Chapter 18: Dead Student Again
Di dalam koridor sekolah terdengar kabar duka kembali yang menjadi bagian dari kisah kelam yang tak terlupakan. Kabar duka yang mengejutkan tersebut telah menyebar begitu cepat, mengguncang sekolah itu. Liza, gadis yang sering dirundung oleh Lola, Tyler, dan Ben, telah ditemukan meninggal dengan cara gantung diri di apartemen kecilnya. Yang menemukan dan melaporkan kematian ini adalah neneknya yang sudah tua renta dan buta. Jadi Liza dan neneknya tinggal berdua di apartemen tersebut dan pada malam hari ketika neneknya memanggil Liza untuk makan malam, Liza tak kunjung menjawab. Ketika sang nenek mengecek keadaan Liza, betapa histerisnya wanita tua itu ketika menyentuh kaki dan cairan merah menetes di langit-langit kamar Liza.
Berita ini seperti sejenis angin yang membawa kabar buruk, merambat begitu cepat di antara para murid. Itu terasa seolah-olah atmosfer sekolah tiba-tiba berubah menjadi kelam dan tegang. Suasana hati yang semula cerah dan bersemangat sekarang dipenuhi dengan kebingungan, kesedihan, dan marah. Para murid yang tadi masih tertawa dan berbicara, kini berjalan dengan ekspresi murung dan kengerian di wajah mereka. Mereka saling berbisik, berbagi cerita yang mereka dengar dan memahami betapa tragisnya kejadian ini.
Ketika berita kematian ini semakin menyebar banyak bisikan-bisikan memenuhi udara, jari-jari diarahkan, dan tuduhan-tuduhan dilontarkan seperti belati. Lola, Ben, dan Tyler disalahkan atas perlakuan kasar mereka terhadap Liza hingga menyebabkan Liza memilih untuk bunuh diri atau barangkali mereka bertiga yang telah membunuh Liza?
Ketika Tyler, Ben, dan Lola berjalan melintasi koridor, mereka merasa tatapan mata yang tajam seperti pisau menancap di kulit mereka. Kata-kata penuh racun dan ejekan terlontar dari murid-murid di sekitar koridor. "Kalian bertiga adalah penyebab kematian Liza!" teriak salah satu murid dan sorak-sorai kebencian yang mengikuti menyakitkan telinga mereka.
"Tutup mulut kalian semua!" teriak Tyler mengamuk bahkan menghantam loker karena dia sangat marah.
"Ya, bunuh diri Liza adalah pilihannya, bukan karena kami!" Kini giliran Ben berteriak karena tak terima dengan semua tatapan kebencian para murid.
Lola melantangkan suaranya. "Kalian sebenarnya munafik! Di mana kalian saat kami merundung Liza huh?! Kalian juga menyaksikan perundungan tersebut dengan penuh tawa!"
Saat suara para murid yang marah semakin keras, Lola merasakan kemarahan dan harga dirinya meningkat untuk membela dirinya dan teman-temannya. Terutama karena kalimat hinaan yang semakin menjadi; mereka sebenarnya hendak membunuh Liza, benar bukan? Mereka sangat menikmati mempermainkan Liza untuk hiburan mereka sendiri.
Dengan gerakan kasar, Tyler menerobos kerumunan dan mendekati para murid itu. Bahkan dia menghantam salah satu murid lelaki hingga tersungkur ke lantai koridor yang dingin. "Asalkan kalian paham. Kami hanya bersenang-senang. Liza lemah, dia tidak bisa mengatasinya. Itu salahnya. Dia juga membuat pilihan bodoh karena bunuh diri! Dia terlalu lemah!"
****
Selesai pelajaran olahraga yang melelahkan di sekolah dan membeli dua kotak susu rasa pisang, satu kotak sedang diminum---Viole melangkah dengan pelan menuju bangunan sekolah utama untuk menghadiri kelas berikutnya. Dia melewati taman belakang sekolah yang tenang karena lebih cepat dibandingkan melewati jalan lain. Namun, langkahnya menjadi pelan ketika dia mendapati Theodore yang juga selesai pelajaran olahraga, terlihat mengobrol dengan seseorang, kemungkinan kakak kelasnya, Viole tak kenal. Mereka mengobrol sangat serius, selain itu Viole mendapati sebuah batang rokok terselip erat di antara jari-jari Theodore dan asap tipis terangkat ke udara.
"Sudah kukatakan agar berhati-hati," kata teman Theodore yang berambut pirang dan manik mata hazel, ia bernama Devano. "Jika kita ketahuan, maka hancur sudah segalanya."
Theodore mengembuskan asap rokoknya. "Jangan khawatir, kini sekolah heboh karena kematian Liza jadi mereka takkan sadar dengan apa yang kita lakukan."
"Okay jika kau berkata seperti itu," balas Devano, "aku akan menghubungimu malam ini untuk membahas rencana kita selanjutnya."
Sepeninggalan Devano, Theodore masih lanjut merokok. Mengembuskan asap tipis seraya bersandar di dinding. Lalu manik matanya menatap tajam pada bayang-bayang bergerak-gerak, lalu jaket biru serta rambut halus yang berantakan dan agak panjang terlihat menyembul sedikit di balik pohon. Theodore menghela napas, setidaknya jika ingin menguping, maka harus perhatikan untuk tidak bersembunyi di tempat yang mudah terlihat---Viole memang aneh.
"Aku tahu kau bersembunyi di sana," ujar Theodore. Maka dengan wajah yang konyol dan penuh kekagetan, Viole merasa seperti anak kecil yang terpergok. Dia seolah-olah telah tertangkap basah dalam sebuah permainan petak umpet. Namun, dia enggan keluar dari balik pohon tersebut.
"Tidak ada orang di sini," balas Viole.
Sungguh tak Theodore sangka jika Viole akan menjawab seperti itu. "Lalu yang menjawabku siapa? Hantu, Valak, Annabelle, La Llorona. Keluarlah Viole, aku tahu itu kau."
Viole keluar dari persembunyiannya dengan malu-malu, seperti anak kecil yang tertangkap mencuri permen. Lelaki itu muncul dengan wajah polos serta memegang kotak susu rasa pisang yang ia seruput pelan agar tidak cepat habis. "Aku kebetulan saja lewat, mau kembali ke kelas."
Alis Theodore terangkat. Susu kotak rasa pisang, seriously? Dua kotak susu malah karena ada satu kotak susu yang belum dia minum. Kini dia bingung dengan sifat Viole yang terkadang suka berubah-ubah. "Hanya kebetulan lewat dan menguping."
"Tak banyak yang kudengar, aku tak peduli juga, percayalah, susu pisang jauh lebih penting ketimbang apa pun," balas Viole seraya menatap Theodore yang melangkah pelan ke arahnya.
Ketika di depan Viole, Theodore lekas mengibaskan tangannya agar asap rokok tidak mengenai wajah lelaki itu. Lalu ia jatuhkan rokoknya ke rerumputan, ia injak hingga apinya mati padahal rokok tersebut baru dia sulut tadi. Entah mengapa, Theodore tak mau jika Viole terhirup asap rokoknya. "Jadi kau lebih mementingkan minuman ini?" Ia mengetuk-ngetuk kotak susu Viole.
"Iya," balas Viole seraya menatap pada telapak tangan Theodore yang terbalut perban putih. "Tanganmu terluka, kenapa?"
"Ya tanganku terluka, tapi bukan urusanmu." Senyuman Theodore terukir lalu lekas dia merebut kotak susu pisang di tangan kiri Viole. "Sebagai ganti kau menguping, susu pisang ini jadi milikku okay?"
Wajah Viole menunjukkan keterkejutan. Ia juga merasakan kekesalan karena minuman favoritnya diambil. "Jangan, kembalikan padaku, sialan." Dia menatap sinis pada Theodore seolah-olah mengibarkan bendera peperangan, tetapi dari sudut pandangnya Theodore, Viole malah terlihat lucu seperti seekor bayi kelinci yang sedang marah.
"Baiklah, jangan memasang wajah mengerikan seperti itu, kuyakin orang-orang akan ketakutan ketika melihatmu." Tentu saja perkataan Theodore itu adalah kebohongan, ia tak takut sama sekali. "Ini susu pisangmu, bocah."
"Fuck you!" balas Viole langsung beranjak dari sana dan Theodore mengikuti dari belakang dengan tawa riang gembira. Sialan, ia seperti menjaga seorang anak bayi yang sifatnya suka berubah-ubah, kemungkinan tergantung suasana hati dan pastinya susu rasa pisang.
****
Lola, Tyler, dan Ben merasa perlu untuk melarikan diri dari semua kekacauan yang menimpa mereka di sekolah. Kejadian tragis yang terjadi pada Liza telah mengguncang sekolah dengan keras, tetapi mereka bertiga seolah-olah tak mau ambil pusing dan malam ini mereka ingin menjauh dari itu semua dengan menikmati waktu bersama. Mereka telah memutuskan untuk menonton film di rumah Tyler. Kini mereka pergi ke supermarket untuk membeli camilan untuk amunisi saat menonton film bersama.
Mereka masuk ke dalam supermarket dengan kereta belanja yang kosong, mereka diwarnai semangat untuk mencari camilan yang lezat. Lola yang memiliki selera makanan manis, segera memimpin perjalanan mereka ke bagian makanan ringan. Di sana, berbagai camilan yang menggugah selera terpampang di rak-rak dan Lola dengan cepat mengambil beberapa bungkus cokelat, permen, dan biskuit rasa cokelat dan keju.
"Kita butuh banyak cokelat untuk malam ini," kata Lola dengan senyum manisnya.
Sementara Tyler lebih menyukai camilan asin jadi troli mengarah ke bagian keripik kentang dan camilan gurih lainnya. Dia mengambil beberapa bungkus keripik kentang, kacang, dan bahkan beberapa potong pizza beku untuk dipanggang nanti.
"Aku rasa kita perlu campuran yang baik antara manis dan asin," kata Tyler dengan bijak. "Siapa yang tahu, kita bisa saja berubah menjadi pecandu keripik kentang."
"Aku setuju denganmu bro!" balas Ben, "selanjutnya mari ambil minuman!" Ia sangat bersemangat dan mendorong troli tersebut menuju rak-rak minuman kaleng. Maka dengan cepat mereka bertiga mengambil banyak kaleng soda, susu kotak, hingga jenis minuman lain yang dirasa sangat memenuhi hasrat mereka pada malam ini.
Mereka bertiga tidak sabar dengan malam ini terutama mereka perlu membuang semua perkataan kotor dari anak-anak di sekolah siang tadi. Selain itu, entah mengapa mereka jadi senang ketika tahu akan kabar kematian Liza. Mereka merasa jika salah satu hama di sekolah sudah lenyap selamanya.
****
Sore yang tenang, penuh dengan warna jingga ketika matahari perlahan tenggelam dan berangin menerpa kota ketika Emma, Louie, dan Viole menyusuri jalan raya hendak menuju ke rumah Emma. Terlihat Louie turun dari sepedanya dan mendorong benda itu di atas trotoar. Mereka telah merencanakan malam ini untuk menonton film bersama dan menikmati camilan di rumah Emma, tentu saja karena ajakan dari Emma sendiri dan ibunya juga mengundang Viole dan Louie untuk makan malam. Jadi mau tak mau keduanya menerima permintaan tersebut.
Kini mereka berdiri di depan rumah besar yang terbuat dari kayu. Rumah itu memiliki dua lantai dengan desain sederhana yang memancarkan aura hangat dan ramah. Di langit-langit rumah tergantung lampu porch yang menyala lembut, menerangi anak tangga kayu yang mengarah ke pintu depan.
Pintu rumah itu tinggi dan kokoh, berwarna cokelat tua dengan sentuhan ornamen yang indah. Di sebelah kanan pintu, terdapat sebuah jendela besar dengan gorden merah yang terbuka setengah. Rumput hijau terawat dengan hati-hati di halaman rumah, dan sebatang pohon maple yang tinggi berdiri kokoh di tengah halaman. Pemandangan ini memberi kesan bahwa rumah ini adalah tempat yang tenang dan nyaman, tempat yang menyambut kedatangan siapa pun dengan tangan terbuka.
"Apa ibumu galak?" Pertanyaan itu terdengar dari Louie.
Emma menoleh pada Louie. "Tidak, tenanglah ibuku sangat ramah—pada tamu, padaku sangat mirip Vampire, bahkan Vampire pun takut padanya."
Viole memperhatikan Emma dan Louie secara bergantian. "Ibumu tidak minum darah seperti mereka 'kan?"
"Kau serius bertanya hal itu atau hanya candaan konyol?" balas Louie, tapi melihat ekspresi datar Viole membuat Louie yakin jika lelaki itu serius dengan pertanyaannya.
"Tentu tidak, dummy, perkataanku hanyalah kiasan. Jangan kau anggap serius." Emma terkekeh seraya menggelengkan kepalanya.
Viole, Louie, dan Emma berdiri di atas tangga kayu, menanti ibu Emma membukakan pintu. Setelah beberapa saat penuh obrolan lucu, pintu rumah terbuka perlahan dan di ambang pintu muncul sosok ibu Emma. Wanita itu memiliki warna rambut seperti Emma digerai lembut ke bawah dengan manik mata cokelat, dia tersenyum lebar, wajahnya dipenuhi kebahagiaan saat melihat kedua sahabat putrinya.
"Selamat datang, anak-anak," sambutnya dengan suara hangat. "Ayo masuk, rumah ini selalu terbuka untuk kalian." Jocelyn Walter, begitulah Emma memperkenalkan ibunya yang ternyata bekerja di sebuah restoran kecil di salah satu sudut kota Erysvale.
Mereka melangkah masuk ke dalam rumah Emma, suasana hangat dan akrab merayu mereka. Rumah itu memancarkan kehangatan dan nostalgia yang mendalam. Tidak seperti rumah modern yang serba mahal dan mewah, rumah ini penuh dengan perabotan dan furniture yang minimalis, terawat baik meskipun sudah tua.
Di depan pintu, terdapat karpet besar berwarna cokelat tua dengan motif bunga yang indah, memberikan sentuhan elegan pada ruangan itu. Karpet itu menutupi lantai kayu yang mengeluarkan suara gemerisik lembut setiap kali langkah mereka menghampirinya. Dinding-dinding rumah ini dipenuhi dengan lukisan dan foto keluarga. Ada pula lukisan-lukisan indah berbingkai yang menggantung di dinding ruang tamu dan foto-foto keluarga yang tersusun rapi di meja konsol kayu tua.
"Bagaimana perjalanan kemari, apakah terasa melelahkan?" kata Jocelyn.
"Tidak Mrs. Walter, kami baik-baik saja," ujar Louie merasa bingung harus menjawab apa karena Jocelyn terlalu memancarkan aura kehangatan ... sedikit berbeda dengan ibunya sendiri ... mari lupakan.
"Tolong panggil aku Jocelyn saja, agar terdengar lebih akrab," ujar wanita itu sedikit terganggu ketika dipanggil dengan nama belakangnya.
Sementara Viole, lelaki bermanik mata hitam cemerlang itu memperhatikan sekeliling. Ia sekali lagi berkunjung ke rumah temannya yang tak ia sangka, ia bisa seperti ini dibandingkan menatap dinding dingin nan putih yang membosankan.
"Bagaimana denganmu, Violetta, apakah kau suka tinggal di kota ini?" Senyuman Jocelyn terukir. Ternyata dia sudah mengenal Viole pasti karena Emma yang bercerita.
"Ya Mrs. Jocelyn, aku cukup suka tinggal di kota ini," ujar Viole yang mendapatkan anggukan kepala dari wanita itu.
"Kalau begitu, kalian duduk saja dulu di sofa," kata Jocelyn, "Emma ganti bajumu dan bantu ibu di dapur."
"Baik Ibu! Kalian tunggu saja ya di ruang tamu," ujar gadis itu bergegas ke lantai atas.
Di sudut ruang tamu, sebuah perapian tua terbuat dari batu bata. Kayu bakar teratur tersusun di dalamnya, apinya sudah menyala untuk menyambut malam yang dingin. Di atas perapian itu, ada cermin besar yang menghadap ke ruang tamu, menciptakan ilusi bahwa ruangan ini lebih besar dari pada yang sebenarnya. Lalu sofa berlapis kain berwarna merah tua yang mereka duduki. Semua perabotan sederhana ini mampu menghadirkan nuansa kemewahan klasik, tetapi nyaman. Sofa empuk ini seolah-olah melihat banyak cerita duduk di sana, menjadi saksi untuk pertemuan keluarga dan teman-teman Emma selama bertahun-tahun. Sungguh keluarga yang harmonis.
"Keluarga yang hangat," kata Louie di tengah-tengah keheningan setelah menatap foto keluarga Emma.
"Aku tak terlalu paham arti kalimat itu," balas Viole.
Louie membalas sedikit canggung. "Maaf, aku baru ingat jika kau ... maaf."
"Tidak masalah."
Suara pintu terbuka yang membuat kedua lelaki itu sontak bangkit dari sofa mereka. Lalu muncul pria tinggi dengan postur tubuh tak terlalu gemuk dan tak terlalu kurus. Dia mengenakan seragam cokelat yang menjadi ciri khas petugas kepolisian di wilayah ini. "Ah, ternyata ada kalian, Emma sudah bercerita padaku jika dua temannya akan ikut makan malam dan menonton film."
Keduanya mengangguk pada ayah Emma yang tak lain dan tak bukan adalah Jeremiah Walter, rekan deputy sheriff Francis. "Iya Mr. Walter, kami berdua teman Emma dan kemari karena Emma mengundang kami."
"Bagus, aku lebih suka saat dia membawa temannya kemari dibandingkan meminta izin keluar di malam hari," kata Jeremiah, "di luar sangat tidak aman meskipun kabarnya jika pembunuh berantai itu sudah pergi meninggalkan kota kita."
"Ayah!!" Belum sempat Louie menyahut, suara Emma sudah memotong percakapan dan gadis itu berlari kemudian memberikan pelukan singkat pada ayahnya. "Kalian pasti sudah kenal ayahku kan?"
Jeremiah terkekeh. "Mereka tentu mengenalku Emma, aku beberapa kali pergi ke sekolahmu."
"Ayah benar," ujar Emma, "kalian jangan canggung okay, anggap saja rumah sendiri."
"Emma!! Bantu ibu di dapur dan biarkan ayahmu mandi terlebih dahulu!" Suara Jocelyn terdengar menggelegar dari dalam dapur.
Jeremiah berucap seraya mengelus puncak kepala putrinya. "Nah Emma ayo datangi ibumu sebelum dia semakin marah. Dan kalian tunggulah di sini karena sebentar lagi makan malamnya akan siap, aku pergi ke atas dulu."
"Baik Sir, uhm maksudku Mr. Walter," sahut Louie terdengar sangat canggung. Sementara Viole hanya diam seolah-olah tak mempermasalahkan apa pun di sini.
"Kalian pasti akan suka masakan ibuku, dia yang terbaik jika memasak sup dan daging kalkun." Emma berucap sebelum mendengar teriakan ibunya lagi. "Ya Ibu, aku ke dapur!!"
Maka seperti itulah kehangatan keluarga ini yang terus berlanjut dan semakin menusuk kalbu ketika makan malam dimulai. Hidangan yang sangat lezat dan menggugah selera tersusun rapi di atas meja. Mereka memulai makan malam ketika semua sudah siap. Suasana hangat yang jarang dirasakan Louie terutama Viole kini menari-nari kecil di sekitar mereka. Makan malam ini tidak sepi karena Emma banyak sekali bercerita, apa pun akan dia ceritakan pada ayah dan ibunya bahkan hal-hal yang terdengar remeh dan sepele. Lalu kedua orang tuanya juga menanggapi dengan penuh antusias jadi tidak terkesan seperti pembicaraan satu arah melainkan timbal-balik yang semakin membuat suasana di meja makan terasa sangat hidup.
Waktu berlalu dan kini pukul delapan malam bersamaan hujan mengguyur kota ini dengan sangat deras. Viole, Emma, dan Louie berada di kamar perempuan itu dengan proyektor kecil mengarah ke dinding kamar polos kemudian memperlihatkan film yang akan segera mereka tonton.
"Kenapa harus film sialan ini? Bagaimana jika yang asli akan muncul?" ujar Louie menatap layar yang terpampang jelas tulisan The Bloodied Tortuner.
"Jawaban mudahnya karena kalian tidak pernah menonton film ini dan jika menonton film lain takkan seru," jelas Emma.
"Louie akan mengompol nanti." Viole tiba-tiba berucap yang semakin membuat Louie kesal.
"Baiklah mari nonton film sialan itu! Namun, aku takkan tanggung jawab jika pembunuh aslinya muncul." Louie membalas dengan sedikit amarah.
Emma mengibaskan tangannya. "Tenanglah, ada ayahku, dia punya pistol."
Emma pun memulai film tersebut yang dibuka dengan intro ala-ala film thriller pembunuhan yang memperlihatkan ketegangan serta pembunuhan penuh darah yang terjadi di masa lalu, kemudian dilanjutkan ke masa depan dan perkenalan para tokoh utama. Ketika berada di act pertama yang menceritakan latar belakang para tokoh. Louie berucap di tengah-tengah keheningan itu.
"Emma," ucapnya dengan lembut, "kenapa kita tidak ikut Tyler dan lainnya, kurasa malam ini mereka juga menonton film bersama? Maksudku, kau selalu antusias dengan mereka."
Emma menghela nafas, tampak ragu sesaat sebelum menjawab, "Louie, sebenarnya aku merasa perlu menjauh sejenak dari mereka. Setelah kematian Liza, semuanya terasa begitu rumit dan penuh konflik di antara kita. Jadi aku ingin memberi jarak untuk sementara waktu."
"Ya, aku paham dengan maksudmu," balas Louie merasakan kesedihan menyeruak ke dadanya, sementara Viole fokus menonton dan menumpuk bantal di atas pahanya.
Tiba-tiba Viole berujar, "perempuan itu mau telanjang?"
"JANGAN DILIHAT!" teriak keduanya secara bersamaan dan lekas menutupi mata Viole, menarik lelaki hingga terbaring di kasur, sehingga membebaskannya dari adegan yang vulgar, sebenarnya tak terlalu vulgar, tetapi mereka tak mau membuat lelaki polos itu ternodai.
Film tersebut terus berlanjut. Setiap adegan penuh dengan ketegangan dan mereka jeritan, lebih tepatnya Emma dan Louie karena Viole tak takut sama sekali! Lalu terkadang mereka tertawa ketika ada adegan lucu dipenuhi humor para tokohnya.
Pertengahan film, Emma menyajikan camilan yang telah dipersiapkan. Ada popcorn caramel, keripik pedas, permen, dan minuman soda. Mereka merasa senang, duduk bersama dalam suasana yang lebih santai dan hangat. Ketika film mendekati klimaksnya, suasana hati mereka berubah. Mereka merasa tertegun oleh plot yang rumit dan mengerikan dalam film ini. Secara keseluruhan film ini sangat menegangkan dan juga penuh darah serta jeritan. Sukses membuat Louie takut dan ia merasa akan mimpi buruk sepanjang malam. Emma sangat puas menertawakan jeritan Louie sementara Viole merasa jika menonton bersama seperti ini tidak terlalu buruk juga. Ya, dia merasakan pengalaman baru dibandingkan berada di balik jeruji dinding putih yang membosankan dan dipenuhi jeritan karena jarum suntik.
Malam semakin larut dengan cuaca yang tak kunjung membaik. Kini mereka tidur di kamar tamu, sebelah kamar Emma. Viole berada di atas kasur sementara Louie tertidur nyenyak di kasur tambahan yang dihamparkan di lantai samping kasur. Ternyata Louie tidak bermimpi buruk seperti yang sebelumnya dia katakan karena lelaki itu tidur sangat nyenyak bahkan posisi tidurnya terbalik, kaki berada di bantal.
Pukul satu malam yang gelap dan mendalam, hujan turun semakin deras dengan gemuruh di luar. Viole menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya karena rasa dingin. Tiba-tiba suara ketukan yang lembut terdengar di luar jendela kayu kamar tersebut. Ketukan itu seperti jari yang lembut mengetuk-ngetuk permukaan kaca, menciptakan melodi aneh yang menggema di malam hujan. Perlahan Viole membuka matanya dan mengetahui ketukan di luar jendela, ia merasa lelah untuk bangkit dari kasurnya jadi memilih mengabaikan suara-suara itu. Anggap saja suara itu hanya suara angin atau cabang-cabang pohon yang menggesek jendela. Meskipun dia tahu benar jika ketukan itu berasal dari tangan hitam dan kuku panjang.
Kini dia sedikit terganggu ketika tak hanya terdengar suara ketukan di jendela melainkan terdengar geretan yang mengerikan, seperti kuku tajam menggaruk dinding kamar. Suara itu bergema di dalam kepalanya, tetapi tak sekali pun dia berniat bangun dan mengecek asal suara itu. Namun, semakin diabaikan oleh Viole, terus-menerus terdengar suara ketukan dan geretan di dinding. Hingga akhirnya suara memekakkan telinga terdengar ketika ada hantaman seperti batu membentur jendela kaca.
Viole akhirnya membuka matanya dengan perlahan seraya menghela napas panjang. Ia jadi kesal. Maka posisinya kini duduk di atas kasur, selimut masih menutupi pahanya, ia melirik Louie yang tertidur nyenyak. "Sialan."
Di tengah kegelapan inilah dia melihat bayangan hitam yang bergerak di sekitar jendela. Seseorang atau sesuatu tampaknya berada di luar sana. "Pergilah aku mau tidur." Suara Viole terdengar seperti anak kecil yang serak karena belum menstabilkan diri dari bangun tidur.
Seketika itu, suara gedoran keras lainnya terdengar di pintu kamar tersebut membuat pintu kamar tamu itu berguncang. Gedoran itu seolah-olah ada sesuatu yang ingin masuk dengan paksa, tetapi terhalangi karena pintunya terkunci dari dalam. Sungguh hal mengerikan ini tak mengusik Viole sama sekali, tak pula membangunkan Louie seolah-olah hanya Viole saja yang mendengar semua suara ini. Dikarenakan suara gedoran pintu tak kunjung usai. Dia memutuskan untuk menghadapinya, bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan menuju pintu dengan langkah mantap. Suara-suara menyeramkan itu terus berlanjut, tetapi dia tidak merasa takut. Dengan perlahan, dia membuka pintu, tetapi saat dia melihat keluar, tidak ada siapa pun di luar sana.
"Fine, aku akan minum obatnya," gumam Viole lalu menengok ke dalam kamar dan tak ada gelas atau teko air jadi dia memutuskan turun ke bawah untuk mengambil air minum.
Berada di bawah ternyata di tak sendiri, melainkan ada ayahnya Emma, Jeremiah yang tertidur di kursi dengan kepala diletakkan di atas meja, sampingnya ada botol alkohol yang kemungkinan pria itu sedang mabuk kemudian tertidur. Jadi Viole abaikan saja dan menuju meja, mengambil gelas serta menuangkan air dari dalam teko.
Sebenarnya keluarga ini bukanlah keluarga harmonis seperti yang terlihat di luarnya. Sebelum tidur, Emma bercerita pada Louie dan Viole jika jangan percaya kalau keluarganya adalah keluarga yang utuh dan diidam-idamkan karena sesungguhnya mereka juga diambang kehancuran karena dua hal; perselingkuhan dan perceraian.
Tidak Emma jelaskan alasannya secara detail, tetapi ia mengatakan jika ayah dan ibunya tidak pernah cocok, mereka sebenarnya tak saling mencintai bahkan beberapa kali menyebutkan kata cerai meski hingga kini tak pernah terlaksana. Selain tak saling mencintai, Emma mengetahui pula jika keduanya sama-sama berselingkuh dan punya pacar bahkan sering menghabiskan waktu bersama. Mereka juga sepertinya tak mau menutupi ketidakcocokan mereka dari Emma. Namun, bagi Emma, kedua orang tuanya dulu saling mencintai, tetapi entah mengapa secara perlahan, cinta antara mereka lenyap begitu saja, terkikis seperti batu hingga hancur lebur.
Ayahnya, Jeremiah berselingkuh dengan wanita yang seumuran dengannya dan bekerja sebagai reporter atau wartawan televisi yang sering meliput kejadian, kasus, dan berita terbaru di kota ini. Wanita itu cakap, cerdas, berpendidikan serta membuat Jeremiah jatuh cinta. Pertemuan mereka ketika ada kasus di kota ini dan Jeremiah serta deputy Francis yang turun tangan. Mereka sering bertemu karena kasus yang terjadi di kota Erysvale, hingga akhirnya berkencan di luar jam pekerjaan. Lalu beberapa kali melakukan hubungan seksual.
Sementara Jocelyn yang bekerja di sebuah restoran jatuh cinta pada pria yang lebih muda dua tahun darinya, tapi lebih mapan dan kaya. Pertemuan mereka ketika pria itu makan di restoran tempat Jocelyn bekerja. Pria itu seperti sosok idaman bagi Jocelyn terutama karena punya toko butik serta bekerja di bidang tekstil jadi takkan heran jika Jocelyn sering mendapatkan kiriman pakaian bagus yang jarang bahkan tak pernah dibelikan oleh Jeremiah. Saat keduanya jatuh cinta, pria itu selalu berkunjung ke restoran tersebut untuk makan siang dan mendekatkan diri pada Jocelyn meskipun dia tahu jika wanita tersebut sudah punya suami dan anak. Mereka juga tak jarang melakukan hubungan seksual.
Jadi bisa dikatakan jika keduanya sama-sama berselingkuh bahkan mengetahui perselingkuhan tersebut, tetapi keduanya tak masalah karena mereka tahu jika mereka takkan bisa mencintai seperti dulu lagu. Mereka sadar bahwa cinta antara mereka sudah usai dan punya kebahagiaan masing-masing jadi mereka tak bisa terus berbohong akan perasaan mereka terhadap orang lain. Namun, saat di titik ketika Emma mengetahui kenyataan tersebut. Putri mereka hanya diam dan membiarkan mereka bersama kebahagiaan mereka masing-masing. Hal inilah yang membuat Jeremiah dan Jocelyn tidak kunjung bercerai dan berusaha bertahan agar Emma punya keluarga yang utuh, agar Emma tumbuh bersama orang tua, tanpa harus menyandang anak yang kehilangan orang tuanya karena perceraian. Mereka terus bersama demi Emma, mereka hadir sebagai orang tua meskipun cinta sudah tak pernah hadir lagi antara keduanya hanya demi putri mereka. Namun, entah sampai kapan semua ini akan bertahan.
"Dan aku menerima hal itu," kata Emma dengan tangis di hadapan Louie serta Viole, "aku terima ketika mereka mengatakan jika sudah tak saling mencintai, jika masing-masing punya pacar baru, dan bertahan di pernikahan ini demi aku, bukan cinta apalagi satu sama lain. Aku tahu ini salah, tapi aku ingin merasakan kasih sayang keduanya setidaknya hingga aku lulus sekolah. Terkadang aku egois, egois berharap jika cinta mereka kembali tumbuh dan keluargaku benar-benar terlihat seperti keluarga harmonis bukan sekadar topeng."
Itulah perkataan Emma sebelum mereka tidur. Kini perlahan Viole menghela napas, menatap tiga butir obat di tangannya dan segelas air. Lekas ia telan tiga butir obat tersebut bersamaan menghabiskan segelas air. Ia mengusap sudut bibirnya dengan punggung tangan seraya menatap ayahnya Emma yang tertidur sangat nyenyak.
Setelahnya Viole kembali ke lantai atas, kamar tamu, naik ke kasur yang kini segalanya terasa hening. Sudah tak ada lagi suara-suara menyeramkan yang mengganggu dirinya. Malam ini sangat sunyi yang bahkan Viole tak mendengar suara hujan di luar sana meskipun turun dengan deras. Ia merebahkan tubuhnya, menarik selimut, berusaha untuk tidur kembali. Kini sesaat dia teringat masa lalu dan bertanya-tanya: Sebenarnya cinta itu apa?
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
Ternyata Emma hidupnya tidak "sepohon cemara" itu ya. Sepertinya anak-anak di cerita ini, keluarga mereka bermasalah semua, waduh^^
Kenapa Viole sering diganggu makhluk aneh ya? Apakah hanya khayalan dia? Lalu apa fungsi dari obatnya, Viole sakit apa ya?
Banyak sekali teka-teki di cerita ini~
Prins Llumière
Kamis, 16 November 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top