Chapter 17: Don't Says That Name!
Berita pagi ini tidak hanya diisi dengan cerita-cerita tentang cuaca, tetapi dibuka dengan berita yang mengejutkan seluruh kota. Siapa lagi kalau bukan karena pembunuh berantai yang dikenal sebagai Bloodied Torturer kembali beraksi, tetapi kali ini pembunuhan tersebut dilakukan di luar Kota Erysvale yakni kota New Orleans, Louisiana.
Suaranya yang serak, pembaca berita di layar televisi memberikan detail yang mengerikan tentang pembunuhan terbaru ini. "Kali ini, pembunuhan keji terjadi di luar kota Erysvale yakni di Kota New Orleans, di salah satu mansion terbesar di kota tersebut. Keluarga kaya yang tinggal di sana telah menjadi korban brutal dari tindakan Bloodied Tortuner. Keluarga itu ada adalah keluarga Brackenridge, yang tinggal di sebuah mansion megah di pinggiran kota. Sang pembunuh telah memusnahkan satu per satu anggota keluarga dengan kejam."
Dia melanjutkan, menguraikan detail kekejaman pembunuh tersebut. Korban yang ditemukan pertama kali adalah Brabham Brackenridge, Kepala Keluarga dari keluarga tersebut. Tubuhnya ditemukan di ruang tamu, tengkurap dengan kedua tangan dan kaki terikat, wajahnya penuh darah dan sabetan pisau. Matanya terbuka lebar, melotot hampir keluar, seperti melihat kengerian yang tak terlukiskan sebelum dia dibunuh. Kemudian, kematian kedua adalah anak-anak keluarga tersebut; Aninditha dan Jaegar. Aninditha, gadis muda berusia 17 tahun, ditemukan di kamar mandi dengan leher yang teriris. Tubuhnya mengambang di bak mandi, penuh dengan air merah yang menyayat jiwa. Jaegar, yang berusia 21 tahun, ditemukan di lantai bawah dengan luka bakar parah di sekujur tubuhnya, seolah-olah dia telah dilempar ke dalam kobaran api.
Kemudian kematian paling mengerikan adalah Nadya Brackenridge, ibu dari keluarga itu. Dia ditemukan di dapur, terikat di kursi dengan tali yang kuat, kedua matanya copot dan ditaruh di atas piring makan, kedua tangan dan kakinya buntung dan tersaji di atas nampan besi serta tertancap pisau dan garpu serta diolesi mayones dan keju meleleh, sementara Bloodied Tortuner yang selalu mengenakan jubah dan topeng duduk di depannya, sambil minum teh dan menatap Nadya Brackenridge dengan tenang. Dia tampaknya menikmati secangkir teh tersebut, seolah-olah tidak ada kejahatan yang baru saja dia lakukan dan tidak ada mayat di hadapannya.
Pembawa berita mengakhiri berita dengan menyampaikan bahwa ketika kamera pengawas berusaha merekam sang pembunuh berantai lebih jelas, gambar itu tiba-tiba berubah buram dan rusak. Seolah-olah pembunuh tersebut memiliki kemampuan untuk menghancurkan rekaman kamera hanya dengan kehendaknya.
Berita ini mengejutkan semua orang, tidak hanya di kota New Orleans melainkan di kota Erysvale serta kota-kota lainnya. Pembunuhan oleh Bloodied Torturer yang brutal dan sadis selalu membuat warga merasa ketakutan. Ketidakpastian tentang siapa yang mungkin menjadi korban berikutnya telah menciptakan rasa ketidakamanan yang mendalam di seluruh kota.
Saat berita pagi ini ditayangkan, para murid di sekolah menengah atas Erysvale mulai membicarakan tentang kejadian mengerikan ini. Ruang makan di kantin sekolah dipenuhi dengan percakapan yang penuh kecemasan dan kekhawatiran.
Di salah satu sudut meja beberapa murid duduk bersama, membicarakan berita terbaru ini. Wajah mereka tampak serius dan suasana hati mereka terasa berat. "Kurasa kini pembunuh berantai itu sudah pergi meninggalkan kota kita dan sekarang ada di New Orleans."
"Oh Tuhan, aku bingung harus bahagia atau sedih karena aku bersyukur jika pembunuh itu pergi meninggalkan kota kita."
"Aku juga, tapi tetap saja, ini sangat meresahkan terutama kota yang baru menjadi target Bloodied Tortuner."
"Hey jangan sebut terus namanya," balas Louie, "kudengar jika kita menyebut namanya sebanyak tiga kali di waktu bersamaan maka dia akan datang."
"Teori dari mana itu? Quora atau forum Reddit atau kau bergabung dengan Discord para pencari pembunuh itu?" sahut Theodore.
"Kau pikir dia Bloody Mary?" balas Viole juga. Oh wow, mengapa bisa lelaki itu ikut menimbrung? Yah meskipun dia kembali fokus membaca novelnya lagi.
"Bloody Mary, Lady Gaga," sahut Theodore lalu terkekeh.
"Ha ha, lucu," sahut Viole langsung terkena pukulan di kepala oleh Theodore. "Fuck."
"Kau yang sialan," sahut Theodore.
"Serius, Bloodied Tortuner itu tidak ada yang berhasil menangkap apa? Apakah pemerintah tidak mau mengirimkan ratusan polisi atau tentara karena berita tentangnya sudah ada di mana-mana bahkan diangkat jadi film, bukankah ini termasuk masalah serius," kata murid lain.
"Bahkan kudengar, di luar Amerika juga membicarakan Bloodied Tortuner ini." Emma ikutan menyahut. "Kemungkinan sampai Eropa dan Rusia bahkan Asia."
"Tentu saja! Kan sudah kukatakan berulang kali kalau waralaba Bloodied Tortuner juga sebanyak Insidious atau Conjuring! Meskipun filmnya tak sebagus kedua legendaris itu, tapi kurasa satu dunia tahu akan pembunuh itu!" Sudah tak perlu ditebak lagi siapa yang berbicara. Ya, Sophia Reid si penggila thriller, horor, dan slasher.
"Karena sudah terkenal seharusnya pemerintah tak tutup mata dan menyelesaikan masalah ini secepatnya, kalau bisa bom saja sekalian pembunuh itu!" teriak seorang murid perempuan.
"Kau brutal sekali," balas Theodore.
Salah satu murid menggebrak meja untuk mendramatisir suasana. Sesaat Viole terkejut, membuat beberapa murid merasa imut dengan sikap lelaki cantik itu. "Jangan menertawakanku," ucap Viole.
"Oh ayolah, kau imut saat terkejut," balas salah satu murid perempuan.
"Fuck."
"Fuck you too!"
"Hey dengarkan aku!" kata si murid yang menggebrak meja tadi. "Aku yakin jika Bloodied Tortuner itu adalah salah satu ævoltaire atau punya koneksi besar jadi karena itulah dia selalu lolos."
"Aku juga setuju dengan teori itu!" teriak Sophia Reid semakin semangat. "Banyak forum yang membahas jika Bloodied Tortuner kemungkinan ævoltaire terutama karena keanehan seperti kamera pengawas selalu gagal merekamnya, lalu pernah salah satu polisi hendak menembakkan peluru melalui sniper dari kejauhan, tapi kalian tahu hasilnya? Bloodied Tortuner itu berhasil menghindar, boom, ini gila bagaimana caranya dia melakukan hal itu!"
"Sialan. Kalau dia memang ævoltaire, bagaimana bisa perusahaan itu menciptakan makhluk brutal dan sadis, bukannya menciptakan kedamaian dan ketenangan," kata Emma.
Theodore menyahut, "di film science-fiksi saja ada Avengers, tetapi masih banyak penjahat. Terlebih lagi ini dunia nyata."
"Apakah tidak ada organisasi kebaikan yang mau mengalahkan Bloodied Tortuner?"
"Hey sudah kubilang jangan terus menyebut nama itu! Gunakan nama samaran saja, nanti dia kemari," balas Louie.
"Payahkau Louie, pengecut," balas Theodore.
Tak disangka jika Viole juga tertawa. "Ya aku setuju dengan Theo. Louie, kau sangat penakut."
"Kau sendiri memangnya tidak takut, huh!" sahut Louie.
Maka Viole berujar dengan nada sedikit angkuh. "Tidak, lagi pula itu hanya nama, Bloodied Tortuner, Bloodied Tortuner, Bloodied Tortuner, Bloodied Tortuner, Bloodied Tortuner, Bloodied Tortuner, Bloodied Tortuner. Look, they don't come here."
"Viole, kau benar-benar sialan!" teriak Louie sementara murid lain hanya menertawakan.
"Kudengar jika kau menyebut namanya lebih dari lima kali di waktu bersamaan, maka dia akan terobsesi padamu dan akan menjadi kekasih serta cinta sejatimu," balas Sophia Reid, tentu asal-asalan saja teori itu.
"Damn, where's that fucking theory from?!" balas Viole yang mengundang tawa para murid. Kini perbincangan mereka terputus karena bel sekolah berbunyi.
****
Kantin yang ramai tiba-tiba menjadi heboh dan berantakan ketika Liza menyerbu masuk, kemarahan memancar dari setiap pori-porinya. Dia memegang erat ember berisi air kotor di tangannya yang gemetar, tatapannya terpaku pada Lola. Dengan setiap langkah yang diambil Liza ke arah mereka, suasana menjadi semakin tegang, seperti badai yang menunggu untuk melepaskan amarahnya.
Lola, Tyler, dan Ben terkejut, membeku di tengah gigitan makan siang mereka saat tuduhan Liza memenuhi udara. Konsep tentang mereka yang menghancurkan proyek ekosistem biologi Liza membuat mereka benar-benar lengah, kebingungan mewarnai ciri-ciri mereka. Namun, sebelum salah satu dari mereka bisa mengucapkan sepatah kata pun, Liza melampiaskan amarahnya pada Lola dengan cepat menyiramnya menggunakan air keruh dan kotor serta berbau amis.
Air dingin membasahi Lola dari ujung kepala sampai ujung kaki, membasahi pakaiannya dan merembes ke setiap pori-porinya. Itu seperti kejutan mendadak pada sistem tubuhnya, langsung menyadarkannya dari keterkejutan awal dan menyulut api kemarahan dalam dirinya. Matanya menyipit dan tinjunya mengepal.
Kantin menjadi sunyi ketika Lola---rambutnya yang basah kuyup menempel di dahinya---melangkah maju dengan sengaja, tatapannya tertuju pada tubuh Liza yang gemetar. Noda air kotor yang mengalir di wajahnya hanya menambah intensitas tatapannya. Dia tidak akan membiarkan siapa pun menginjak-injaknya, terutama ketika tuduhan palsu dilontarkan oleh perempuan culun dan jelek seperti Liza.
Senyuman pelan dan jahat terlihat di bibir Lola, suaranya meneteskan kebencian saat dia berbicara, seolah-olah membelah ketegangan. "Kau benar-benar mengira aku akan merendahkan diri hingga menghancurkan proyek menyedihkanmu? Kau benar-benar delusi, Liza." Nada suaranya dipenuhi dengan racun yang diperhitungkan, setiap kata mencapai sasarannya dengan tepat.
"Ya, pelacur!" kata Tyler, "bagaimana bisa kau menunduh Lola dan berani sekali kau menyiramnya saat makan!"
Saat Liza menyaksikan amarah ketiga murid perundung itu, rasa takut merayapi tulang punggungnya. Dia bisa melihat api menyala di belakang mata Lola, kilatan berbahaya yang membuat tulang punggungnya merinding. Suaranya bergetar saat dia berbisik, "aku ... aku pikir ... ada fotomu di dekat proyekku yang hancur!"
"Bisa saja jika seseorang yang meletakkan foto Lola, tapi itu bukan dia!" kata Ben, "kau membuat makan siang kami hancur!"
Kantin tersebut meledak membuat napas tercekat dan bisikan kaget saat telapak tangan Lola mengenai pipi Liza, meninggalkan bekas merah menyala di belakangnya. Tamparan itu bergema di seluruh kantin, mencerminkan ketegangan dan pelampiasan yang berputar di antara kedua gadis itu.
Lalu Ben yang dipicu oleh campuran kemarahan juga, melangkah maju, suaranya tajam dan berbisa. "Kau sudah berani menyentuh Lola? Maka kau harus menerima konsekuensinya!" Pembalasan cepat langsung dilakukan oleh Benar, tangannya dengan keras dan kuat melayang ke wajah Liza, menambahkan tamparan lain yang menyengat. Dampaknya bergema di udara saat Liza tersandung ke belakang, ia jatuh dan air mata mengalir.
"Pelacur ini memang harus dihancurkan." Sementara itu, Tyler dengan tekad yang nyaris liar, dia menjambak rambut Liza, menariknya lebih dekat sebelum membantingnya ke lantai. Kekuatan benturannya mengejutkan para penonton di sekitarnya, napas mereka memenuhi ruangan saat Liza ambruk di bawah cengkeraman Ben. Namun, itu tidak berhenti di situ.
Dalam tampilan kesatuan pembalasan yang mengejutkan, Ben dengan cepat mengambil nampan besi di dekatnya, matanya dipenuhi dengan intensitas yang tajam. Dengan satu gerakan cepat, dia menghantamkan nampan itu ke punggung Liza, menyebabkan gadis itu menangis kesakitan. Ben tertawa, terus menerus menghantamkan punggung Liza dengan nampan besi. Dentang logam bergema di seluruh kantin.
Saat Liza berjuang untuk bertahan dari serangan Ben, Tyler melanjutkannya dengan memberikan aksi yang mengejutkan. Tangannya bergerak dengan ketelitian yang diperhitungkan, menggenggam semangkuk sup milik murid lain yang masih mengepul, dia tidak membuang waktu untuk menyiram tubuh Liza yang sudah babak belur dengan isinya yang panas. Sup panas itu memercik ke kulit Liza, menimbulkan jeritan kesakitan saat dia menggeliat di bawah serangan gencar Ben.
Lola, api di matanya tidak pernah goyah, melangkah mundur untuk melihat hasil dari gabungan pembalasan mereka. Liza yang tadinya percaya diri kini menjadi sosok yang hancur, wajahnya dirusak oleh bekas tangan merah, tubuhnya didera rasa sakit, serta kulitnya melepuh. Senyuman pelan dan puas tersungging di bibir Lola saat dia mengambil satu langkah terakhir ke depan, tangannya bertabrakan dengan pipi Liza dalam tamparan yang kuat dan bergema. Ia terus menampar Liza tanpa henti, mengabaikan permohonan ampun Liza, bahkan telapak tangannya sendiri jadi memerah, tetapi ia abaikan karena belum puas melihat semua rasa sakit Lola.
Para murid merasa tindakan impulsif ini keterlaluan jadi ada murid yang memanggil Emma yang berada di kelasnya. Ketika Emma dan Louie datang, mereka menghentikan pertengkaran tersebut. Menatap naas perbuatan gila yang terjadi di kantin ini. Emma dan Louie terus berusaha menghentikan mereka, beruntungnya amarah Tyler, Lola, dan Ben berhasil dipadamkan. Sementara itu, Viole dan Sophia hanya menyaksikan dari kejauhan semua tindakan perundungan tersebut.
Hanya saja benarkah hanya mereka yang menyaksikan dengan tatapan naas? Ataukah sebenarnya ada yang menyaksikan semua ini dengan senyuman lebar. Sosok yang di antara kerumunan murid terlihat sangat bahagia, tersenyum, serta tangan kanannya diam-diam memegang kamera dan foto polaroid---foto yang jika ditelisik lebih jauh adalah foto Lola.
****
Malam itu, di salah satu sudut kota Erysvale dipenuhi dengan sorotan cahaya yang berkilauan, ketawa riang, dan aroma makanan yang menggugah selera. Festival pasar malam rutin yang diadakan dua kali sebulan telah tiba dan warga kota berbondong-bondong menuju lokasi yang dipenuhi dengan berbagai warna dan suara.
Emma yang selalu bersemangat mengikuti festival ini, telah berhasil meyakinkan Viole untuk bergabung. Viole tidak terlalu antusias, tetapi karena Emma terus mengusik ketenangannya bahkan meneleponnya berkali-kali hingga akhirnya perjuangan Emma pun terbayarkan dan Viole setuju ikut mereka ke festival pasar malam, meskipun lelaki itu menggerutu.
Kini mereka berenam; Viole, Tyler, Ben, Emma, Lola, dan Louie, tiba di lokasi festival. Cahaya warna-warni dari lentera kertas menghiasi langit malam, menciptakan suasana yang magis. Musik dari berbagai tenda wahana permainan serta suara bising para pengunjung memenuhi telinga mereka dan suasana riang gema tawa mengisi udara.
Ada sangat banyak tenda-tenda dan para penjual yang menjajakan berbagai macam makanan dan minuman. Wahana permainan di sini juga melimpah ruah dimulai dari wahana di tenda kecil seperti menembak target dengan senapan air, lempar bola, menangkap ikan di kolam, menebak bola yang disembunyikan di dalam gelas, lempar holahop, serta masih banyak lagi. Ada pula wahana permainan yang besar seperti bianglala, hysteria, rollercoaster, serta masih banyak wahana yang jika dipikirkan lagi semua wahana itu menantang adrenalin.
"Kurasa karena hari ini hari pertama buka festivalnya jadi banyak yang datang!" teriak Lola yang mengenakan pakaian agak mencolok.
"Lihat wahana itu sangat seru!" ujar Emma menunjuk pada wahana yang akan membawa para penumpangnya naik ke atas kemudian terjun dengan kecepatan yang mengerikan.
Louie menelan saliva melihat wahana itu. "Itu sangat menyeramkan!"
"Menyeramkan?" balas Tyler, "kau payah, tidak ada seramnya. Wahana itu salah satu favoritku sejak aku kecil!"
"Kau main mandi bola saja Louie agar tidak takut," tukas Ben yang membuat mereka tertawa. Beruntungnya Louie tidak terlalu ambil hati.
"Tunggu apa lagi?" kata Lola, "ayo berkeliling dan mencoba wahana permainannya!"
Lola lekas menarik lengan Tyler dan membawanya lari, kemudian dikejar Ben. Sesaat Emma memperhatikan bagaimana Lola bergenggaman dengan Tyler, entah mengapa terasa sedih, tetapi dia lekas mengenyahkan pikiran tersebut dan menarik Louie serta Viole---sejak tadi hanya diam karena mengamati sekitar---untuk menyusul yang lain.
Malam penuh permainan dimulai, ibarat ada musik yang menari-nari di kepala mereka. Setiap permainan mereka coba. Tyler dan Ben berlomba menjatuhkan bebek dengan senapan dan berhasil mendapatkan hadiah, boneka, terpaksa mereka berikan pada Lola dan Emma. Terlihat Lola bersama Louie bermain lempar bola sayangnya Louie selalu kalah dan tak mendapatkan hadiah jadi Emma mengusap punggung lelaki itu. Permainan berlanjut dengan Emma yang mahir dalam lempar holahop, membuat para pengunjung lain ternganga karena gadis itu mengambil semua hadiah. Jika mereka bersenang-senang, bagaimana dengan Viole?
Lelaki itu bersenang-senang juga, sebenarnya lebih banyak menghabiskan waktunya dengan mengamati segala kemeriahan festival pasar malam ini. Ada banyak tawa dan sahut-sahutan antara pengunjung. Para anak kecil berlarian seperti lebah yang takkan pulang kepada induknya. Ia juga melihat beberapa pengunjung kesal karena tak kunjung berhasil mendapatkan hadiah yang mereka inginkan. Senyuman banyak pengunjung terukir ketika menikmati jajanan di pasar malam ini. Paling banyak dibeli adalah gulali warna-warni terutama oleh anak-anak, balon lucu juga laris bahkan orang dewasa juga tak urung membeli balon karena terlihat lucu terutama yang berbentuk binatang.
Perlahan Viole memejamkan matanya, lalu membukanya pelan yang tak ia sangka jika ia bisa menikmati waktu dan hari seperti ini. Penuh dengan warna-warni dan kemeriahan serta suara-suara yang takkan berhenti saling bersahutan ibarat musik diputar setiap harinya. Tak ia sangka, dinding putih yang selalu ia tatap kini memudar menjadi banyak pemandangan yang gemerlap dan warna-warni bahkan menyakitkan mata.
"Jangan hanya diam! Ayo kau main juga!" teriak Emma merangkul lengan Viole. Bahkan Louie juga melakukan hal yang sama. Mereka membawa Viole ke permainan melempar bola yang jika berhasil mengenai target maka akan mendapatkan hadiah.
"Tidak," tolak Viole.
Emma menyahut, "ayolah, kau takkan mati hanya karena bermain lempar bola."
"Kautakut tidak bisa ya jadi kau menolak." Louie terkekeh yang kini membuat Viole kesal. Maka dia mencoba permainan tersebut.
Setelah memberi uang beberapa dollar, Viole diberi delapan bola. Maka ia mulai permainannya, Emma memperhatikan dan berharap jika Viole berhasil mendapatkan hadiah sementara Louie tersenyum meremehkan, ia ingin tahu, apakah kalau Viole gagal, lelaki itu akan menangis? Sayangnya pemikiran Louie salah besar karena delapan bola Viole, berhasil mengenai seluruh target bahkan target yang bergerak paling cepat pun dengan mudahnya dijatuhkan Viole.
"Jangan remehkan aku, dasar payah," sahut Viole.
"Sialan, aku akan mencobanya!!" Beberapa menit berlalu, tapi Louie hanya berhasil mengenai dua target saja sehingga tak mendapatkan hadiah apa pun. "Kau pasti gunakan sihir atau semacamnya!"
"Sihir hanya ada di Harry Potter," balas Viole.
"Sialan!" umpat Louie.
Beberapa jam berlalu begitu cepat dan akhirnya mereka semua berkumpul di salah satu area makanan untuk istirahat sejenak. Mereka duduk di meja panjang, di mana Ben dan Tyler menyantap hot dog yang sangat besar, sementara Lola, Emma, dan Louie membeli roti sandwich dan minuman yang rasanya manis dan asam. Viole sudah menghabiskan semacam pancake saus cokelat. Kini dia pergi lagi karena hendak membeli minuman.
Viole menyukai makanan dan minuman manis, jadi ia membeli minuman cokelat yang ternyata dicampur keju jadi terasa legit dan lebih enak. Ia berpikir akan membeli minuman seperti ini di lain waktu. Setelah membeli minumannya, dia tak langsung pergi, berkeliling sebentar untuk menikmati suasana ini. Sebenarnya Viole cukup menyukai keramaian, tetapi ketika tidak ada orang-orang yang mengenalnya.
Di bawah cahaya gemerlap pasar malam yang berkilauan seperti bintang di langit malam, Viole berjalan dengan langkah ringan. Hingga dari kejauhan mata Viole tertuju pada seorang anak kecil perempuan yang berusia sekitar tiga tahun. Rambutnya dikucir dua dan mengenakan gaun merah muda yang cantik. Wajahnya halus dengan pipi merah muda, memancarkan kepolosan tak tertandingi. Namun, hal yang paling mencolok adalah air mata mengalir dari matanya ke kedua pipinya yang mungil.
Anak itu terpisah dari orang tuanya dan terjebak dalam pusaran ketakutan. Banyak pengunjung berusaha mendekatinya untuk membantu, tapi semakin banyak orang yang mendekat, semakin keras ia menangis. Terlihat seakan-akan kebingungannya semakin bertambah, terlihat seperti ia tak percaya pada siapa pun dan hanya ingin pulang ke dalam pelukan orang tuanya.
Langkah Viole terhenti, sesaat ia memandangi anak tersebut. Dia yakin jika ada orang lain yang membawa anak itu menemui orang tuanya jadi Viole tak perlu bersusah payah untuk mengulurkan tangan, lagi pula bukan kewajibannya menggunakan empati pada orang asing.
Harusnya begitu. Namun, melihat gadis kecil itu semakin terisak. Membawa ingatan lama Viole naik ke permukaan. Sesaat anak kecil itu mirip dengan seseorang yang sangat dekat dengan Viole. Maka setelah membuang gelas minumannya, tanpa ragu, dia menuju penjual balon terdekatnya. Ia membeli balon dengan warna merah muda. Sungguh Viole terlihat mempertanyakan dirinya sendiri dan mengapa ia susah payah melakukan semua ini. Hanya saja dorongan dalam relungnya terus memaksanya yang kini langkah pelannya menuju sosok gadis kecil yang dikelilingi beberapa pengunjung, tapi tak satu pun dari mereka mampu menenangkan gadis kecil tersebut.
"Permisi," kata Viole yang membuat para pengunjung di festival tersebut jadi menjauh. Beberapa dari mereka terpesona dengan Viole, lalu lekas menjauh karena entah mengapa mereka berpikir jika lelaki cantik itu mungkin bisa menenangkan tangis si gadis kecil.
Gadis kecil itu masih menangis ketika Viole mendekat. Hingga perlahan dia mendongak, memandang Viole dengan mata berair, tangan kecilnya mengepal erat pada gaun merah muda yang dikenakannya. Sementara Viole, menurunkan tubuhnya hingga ia berjongkok di hadapan gadis kecil tersebut, ibarat pangeran tampan yang memberi penghormatan pada putri Kerajaan. Ia kini sejajar dengan gadis kecil tersebut---tentu Viole tinggi sedikit---perlahan tangannya yang menggenggam balon merah muda berkilauan, ia ulurkan, diberikannya pada gadis kecil tersebut.
"Halo, jangan takut ya," kata Viole dengan suara lembut, mencoba menenangkan si gadis kecil. "Ini ada balon yang cantik lho."
Dunia seolah-olah berhenti, menyisakan mereka berdua. Membuat gadis kecil tersebut berhenti menangis dan memandang balon itu dengan penuh kekaguman. Mata kecilnya yang awalnya dipenuhi ketakutan, mulai terpancar rasa bahagia. Ia perlahan mengulurkan tangan kecilnya untuk meraih tali balon tersebut, ia genggam erat dengan tangan kecilnya. Kemudian manik matanya yang berkilauan akibat air mata, kini menatap penuh kekaguman pada sosok lelaki yang berwajah cantik sekaligus tampan itu.
Viole yang jarang tersenyum, entah mengapa pada detik ini, senyumannya terpatri dengan sangat lembut dan manis. Memancarkan pesona yang tertandingi. "Halo, perkenalkan. Namaku Viole," katanya, mencoba membangun kontak dengan gadis kecil itu. "Boleh aku tahu siapa namamu?"
Gadis kecil itu tersenyum pula dan merasa tenang berada di dekat Viole. Ia menjawab dengan suara kecil "Alicia." Suaranya lembut seperti angin yang melintas.
Barangkali Tuhan menciptakan Viole memiliki sikap yang manis untuk saat-saat tertentu.
"Nama yang cantik, Alicia," puji Viole sambil menjulurkan tangan lainnya untuk mengusap lembut air mata di pipi merah Alicia. "Alicia kenapa menangis?"
"Aku ... aku jalan sama mama, terus mama hilang, aku cari-cari mama, tapi tidak ketemu." Si gadis kecil menjelaskan dengan semampunya. "Aku takut."
"Jangan takut okay. Viole akan membantu Alicia mencari ibu Alicia, pasti ibu Alicia ada di dekat sini dan sedang cari-cari Alicia juga," kata Viole yang tak disangka suaranya sangat lembut seperti melodi biola yang dimainkan dengan tangan paling mahir di dunia ini.
Alicia mengangguk pelan, wajahnya mulai menunjukkan sedikit keberanian, menepis rasa takut. Viole merasa ada sesuatu yang menjalar ke relung hatinya, seperti sebuah kehangatan yang jarang ia rasakan di kehidupannya yang lalu. Tangan Viole bergerak hendak meminta izin untuk menggenggam tangan gadis kecil tersebut. Dia terlihat seperti pangeran yang melakukan curtsy untuk mengajak seorang tuan putri menari di pesta Kekaisaran. "Boleh Viole menggenggam tangan Alicia? Kalau Alicia tidak mau, tidak apa-apa."
"Boleh Viole!" Tak disangka, Alicia menerima uluran tangan tersebut. Kini tangan kanan Alicia menggenggam tali balon sementara tangan kirinya bergenggaman dengan Viole. Senyuman Alica semakin terukir lebar. "Viole seperti pangeran!"
Mendengar hal itu, seraya berdiri, Viole terkekeh. "Pangeran apa?"
"Pangeran Disney!" ujar Alicia seraya melompat kecil, ia seolah-olah menjelaskan betapa ia menyukai Disney.
Mereka berdua kemudian berjalan perlahan, dengan balon merah muda terbang tinggi di atas mereka. Viole memandu Alicia melalui kerumunan pasar malam, mencari tanda-tanda orang tua kecil itu. "Alicia suka Disney apa?"
"Frozen, aku suka Elsa! Aku juga suka Jasmine, naik karpet terbang!" jelas Alicia teringat akan banyak boneka Elsa dan Anna di rumahnya. Ia juga punya boneka princess Jasmine. "Kalau Viole suka princess apa?"
Sesaat Viole berpikir, pertanyaan yang agak susah jawabannya, tetapi ia tetap akan menjawab dengan jujur. "Viole suka Belle dan Aurora." Sebenarnya alasan Viole menjawab kedua tokoh tersebut bukan karena Viole penggemar berat Disney, tetapi karena dua princess tersebut sudah difilmkan live action dan aktris yang bermain adalah Emma Watson dan Elle Fanning.
"Aku juga suka mereka, mereka cantik!" puji Alicia.
Kini mereka terus berjalan menembus kerumunan pengunjung. Di bawah langit malam yang penuh bintang, Viole dan Alicia memang terlihat seperti pangeran tampan dan putri kecil yang hilang, bersama-sama menjalani petualangan mereka di pasar malam yang indah. Alicia ternyata cukup hiperaktif dan berceloteh terus. Ia bahkan ingin bermain dengan Viole jadi mau tidak mau lelaki itu menuruti keinginan gadis kecil tersebut. Setelah mencoba beberapa permainan, Viole berakhir membelikan Alicia boneka olaf di film Frozen.
"Viole kakiku sakit," kata Alicia.
"Kalau begitu, Viole gendong okay," kata Viole lekas menggendong gadis kecil tersebut yang memeluk boneka olaf dan menggenggam tali balon.
Setelah mereka berkeliling sebentar, mereka melihat seorang wanita yang terlihat panik dan melapor pada petugas di festival tersebut. Ternyata ibunya Alicia. Maka Alicia meminta turun kemudian berlari ke pelukan ibunya yang kini sangat berterima kasih pada Viole. Sang ibu terisak seraya memeluk putrinya. Betapa ia bersyukur karena Alicia bersama dengan pria sebaik Viole.
"Sekali lagi terima kasih Nak," kata ibu Alicia.
"Tidak apa Nyonya," ujar Viole. Setelah itu, sang ibu menggendong Alicia yang kini melambaikan tangannya pada Viole dan berujar sebelum pergi.
"Terima kasih dan sampai jumpa lagi, Pangeran Viole!" Suara Alicia sangat bersemangat dan kini terlihat jika gadis kecil itu takkan melepaskan pelukannya dari boneka olaf serta terus menggenggam balon merah mudanya. Bagi Alicia, malam bertemu Viole adalah salah satu hari yang menyenangkan. Sementara Viole tak bisa berbohong juga jika ia merasa bahagia. Ya, dia merasa bahagia.
****
Seharusnya malam ini berakhir setelah Viole dan kawan-kawannya pulang, tetapi kehebohan terjadi yang membuat beberapa pengunjung berteriak. Tenang saja bukan karena pembunuh berantai datang ke pasar malam. Namun, tetap saja kejadian ini membuat para pengunjung ketakutan dan kini perhatian mereka tertuju pada bianglala yang tiba-tiba berhenti padahal masih banyak penumpang di dalamnya. Suara keras bergema melintasi pasar malam. Terdengar seperti suara ledakan. Kegaduhan segera menguasai area tersebut. Mesin penggerak Bianglala tampaknya telah meledak dengan hebat. Pengunjung yang ada di atas Bianglala berteriak histeris, merasa terjebak di cabin yang tinggi di udara.
Kecemasan melanda hati Emma dan teman-temannya saat mereka menyaksikan kekacauan ini. Hanya Viole yang tak memperlihatkan ekspresi berlebihan. Mereka bergegas mendekati wahana yang terhenti. Banyak pengunjung lain juga berbondong-bondong menuju sana, mencoba mencari cara untuk membantu yang terjebak di atas karena petugas penyelamat sedang dalam perjalanan.
Di cabin paling atas, terlihat seorang pria yang paling panik di antara pengunjung lainnya. Dia memegang erat pegangan cabin, wajahnya pucat. "Tolong! Tolong!" teriaknya dengan putus asa.
Tiba-tiba, wahana Bianglala seakan hendak roboh. Suara retakan dan gemuruh mendominasi suasana. Semua mata memandang dengan ngeri saat roda besar wahana itu terguncang dan goyah. Para pengunjung yang menyaksikan berteriak, menutup mulut dan wajah mereka dengan tangan karena takut.
Sontak Emma yang menyaksikan semua itu menggenggam erat tangan Viole. Dia tak berani melihat apa yang terjadi. "Viole aku takut."
Sayangnya tak ada jawaban dari Viole, Emma berpikir jika lelaki itu juga ketakutan. Jadi Emma melirik Viole yang ternyata lelaki itu menatap tajam ke arah bianglala. Sesaat Emma bisa melihat bibir Viole yang seperti bergumam sesuatu.
Para pengunjung berteriak kembali, wahana tersebut berguncang lagi karena pria di cabin tiba-tiba terjatuh dan bergelantungan dengan berpegangan erat pada lantai cabin. Tak kunjung petugas datang. Sebuah kejutan tak terduga terjadi saat seorang pria di antara para pengunjung---Sinclair dengan keberanian yang luar biasa, memanjat perlahan ke atas, mengabaikan bahaya yang mengancam nyawanya. Ketika sudah dekat dengan pria yang bergelantungan tersebut. Tangan kuat Sinclair dengan cepat mencengkeram pria yang hampir terjatuh itu. Dalam sekejap mata, ia berhasil membantu pria itu masuk ke cabin-nya. Dengan susah payah, mereka berdua berpegangan erat, menyelamatkan nyawa satu sama lain.
"Dia berhasil Viole, pria dungu itu selamat," ujar Emma masih menggenggam tangan Viole. Ia melirik Viole lagi yang masih menatap segala kejadian yang terjadi di depan matanya, tetapi entah mengapa, pikiran lelaki itu tak ada di sana.
Sayangnya masih ada satu hal yang belum selesai. Ketika wahana bianglala semakin rapuh tampaknya akan runtuh, bergoyang membuat pintu cabin terbuka, maka seorang anak kecil tiba-tiba terpeleset dari tangan ibunya. Dia jatuh bebas ke bawah, menuju tanah yang keras.
Semua orang menjerit, merasa tak berdaya melihat kejadian mengerikan itu. Namun, sebelum anak kecil itu mengenai tanah, seorang pria yang berada di cabin yang lebih rendah, dengan reaksi instan yang luar biasa, melompat dari tempat duduknya. Dengan tangan terulur, pria itu berhasil menangkap anak kecil itu tepat sebelum anak itu mencapai tanah. Sebuah kelegaan besar melanda pasar malam dan terdengar tepuk tangan.
Anak kecil itu, yang masih belum menyadari betapa dekatnya ia dengan bahaya, hanya merasa lega dan aman dalam pelukan pria yang telah menyelamatkannya. Matanya yang penuh kebingungan perlahan menjadi tenang dan ia tersenyum kecil. Ketegangan yang melanda pasar malam itu akhirnya mereda ketika petugas datang. Dan semua pengunjung bersatu dalam perasaan syukur. Mereka menyadari bahwa dalam saat-saat genting, ada pahlawan di antara mereka yang bersedia menghadapi bahaya untuk menyelamatkan nyawa orang lain.
Emma yang menyembunyikan wajahnya di balik lengan Viole kini bernapas lega. Lalu ia mendongak dan menatap Viole, ia merasa ada yang aneh dengan lelaki itu. "Violetta."
"Ya, ada apa?" Viole menoleh pada Emma.
"Kau baik-baik saja?"
Senyuman Viole terukir lembut. "Tentu, aku baik-baik saja."
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
Waduh, kengerian Bloodied Tortuner semakin menjadi-jadi nih, bahkan tersebar melalui banyak forum yang mengatakan jika menyebut nama Bloodied Tortuner sebanyak tiga kali dalam satu waktu akan memanggil pembunuh tersebut lho. Ada yang berani sebut? Coba di waktu malam!
Lah kalau Viole malah sebut lebih dari lima kali! Dia sih nggak ada takut-takutnya, hehe.
Ada pesan nggak yang mau kalian sampaikan ke Tyler, Lola, dan Ben?
Btw, chapter ini salah satu chapter favorit Prins terutama adegan Viole dengan Alicia! Semoga mereka bisa bertemu lagi kapan-kapan yah!
Lalu di akhir chapter kok, Viole sus ya^^
Prins Llumière
Selasa, 14 November 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top