Chapter 16 - Arc 2: Ephemeral
Gemuruh petir terdengar menggelegar ibarat dentuman yang memekakkan telinga. Angin bertiup dengan kencang membuat pepohonan tersapu hingga dedaunan berguguran, hujan membasahi jalanan serta atap-atap rumah. Di sebuah sekolah yang perlahan sepi karena murid-muridnya pergi menembus hujan dibandingkan menetap di sekolah. Kini koridor sangat lengang, hanya terdengar langkah kaki seorang lelaki yang dibalut seragam tim basket Deadly Wolves, hanya ia yang ada di koridor tersebut, tak terdengar langkah kaki lain.
Dia berniat menuju lokernya untuk mengambil kunci mobil, dompet, dan ponselnya. Namun, langkahnya terhenti ketika terdengar suara sepatu berdecit di belakangnya, lekas ia menoleh bersamaan petir bergemuruh, membuat koridor itu sesaat bercahaya kebiruan karena kilatan petir. Sayangnya, tak ia temukan siapa pun di koridor tersebut. Lengang, sepi, hanya lorong panjang dengan sisi kanan terdapat jajaran loker besi, sementara kirinya pintu-pintu kelas yang tertutup dan sebagian sudah dikunci petugas sekolah.
"Sialan," umpatnya.
Kembali melangkah, ia hendak membuka kunci lokernya, tetapi bau aneh, amis, anyir seperti ikan busuk tercium. Ia mengedarkan pandangan dan penciuman untuk mengetahui dari mana asal bau tersebut. Hingga ia sadar jika bau anyir itu tercium di jajaran pintu loker tersebut. Ia sentuh loker yang dari dalam tercium bau yang sangat busuk dan menusuk perut hingga membuat mual. Betapa lelaki itu terkejut karena loker ini adalah loker miliknya sekaligus sumber dari bau anyir itu berasal. Maka merasa jika seseorang telah mengerjainya dengan kejenakaan yang tak ia sukai. Lekas ia buka loker tersebut yang tiba-tiba puluhan foto polaroid berjatuhan ke lantai, ia terkejut karena tak pernah menyimpan polaroid satu pun di lokernya. Tidak hanya itu, bau busuk dan anyir semakin menyengat, ia kibaskan tangannya, seraya mengambil ponsel dan kunci mobil, ia lupakan dompet hitamnya, ketika flashlight ponsel ia nyalakan, matanya membelalak kaget.
"Bajingan, keparat---" Umpatannya berhenti karena dia sangat mual bahkan berani memuntahkan salivanya ke ubin putih di koridor tersebut. "Sial, keparat mana yang berani menaruh tikus mati di lokerku! Akan kubunuh mereka!"
Lekas ia membanting pintu lokernya, ia tutup rapat dan dikunci agar bau amis itu tak semakin merebak. Kini ia terengah-engah, berusaha menstabilkan detak jantung dan napasnya. Ia lalu menatap pada polaroid di dekat kakinya. Ia ambil satu, awalnya gambar polaroid itu tak jelas, tetapi ketika ia senter dengan flashlight ponselnya---memperlihatkan wajah sosok lelaki; wajahnya agak jelek, culun seperti kutu buku, rambutnya pendek, serta mengenakan kacamata.
"Fuck, bagaimana bisa foto pecundang ini ada di lokerku!" Kutukan terus keluar darinya karena sosok lelaki culun di foto tersebut sangat ia kenal. Terlebih foto ini memperlihatkan sosok lelaki di masa lalunya yang tak bisa ia lupakan karena menjadi salah satu kejadian yang baginya sangat menggembirakan ketika ia sekolah menengah pertama. Hanya saja, melihat polaroid ini seolah membawa pertanda buruk. "Pasti ada seseorang yang mempermainkanku! KELUAR KALIAN! AKU TAHU KALIAN BERSEMBUNYI DI SEKITAR SINI!"
Suara teriakannya seolah-olah mengalahkan gemuruh petir yang berkecamuk, tetapi sayangnya tidak ada sahutan, tidak ada tanda-tanda seseorang di koridor tersebut selain dirinya. "Jangan pikir aku akan takut hanya karena trik murahan kalian ini!!"
Sekali lagi tak ada balasan, ia benar-benar sendiri di sana ataukah ada seseorang, tetapi sengaja tak mau memperlihatkan dirinya? Maka lelaki itu menggeram kesal seraya memungut satu per satu polaroid tersebut, setelahnya ia keluarkan korek api dari kantung celananya, kemungkinan ia merokok karenanya membawa korek api. Maka dibakar polaroid tersebut, ia jatuhkan ke lantai hingga bekas polaroid terbakar, berserakan di lantai. "Lihat! Aku bakar foto anak payah, cacat, dan sudah mati ini! Jangan berani menggangguku! Ini hanyalah trik murahan! Keluar jika benar ingin menghadapiku! KELUAR KEPARAT!"
Apakah ada yang menjawab? Sayangnya tidak, hanya terdengar gemuruh petir yang terus bersahutan. Kekesalan merasuki lelaki itu, ia merasa menang karena ia tahu jika para pengecut hanya ingin mempermainkan dirinya. Tidak berani menghadapinya secara langsung. Maka ia bermaksud untuk beranjak dari sana dan segera pulang. Itulah yang ia inginkan.
Hingga terdengar suara berkelontang serta loker yang dipukul berulang kali dengan tongkat besi. Sukses membuat si lelaki terkejut bukan main. Lekas ia menoleh ke belakang. Betapa ia terkejut ketika mendapati suara itu semakin keras karena dari kejauhan ia bisa melihat sosok misterius yang tubuhnya diselimuti jubah dengan topeng---berwarna putih, mata hitam, mulut terbuka lebar seolah hendak merobek kedua ujung mulutnya, kulit topeng sedikit berkerut seperti kulit manusia yang sudah mencapai umur 60-an kemudian rambut hitam panjang dan kusut. Sosok bertopeng itu terus-menerus memukul loker dengan tongkat bisbol-nya yang ditancapkan besi-besi hitam dan tajam sehingga semakin membuat suara berkelontang terdengar memekakkan telinga.
"Siapa kau bajingan!" teriak si lelaki yang kini jantungnya berpacu dengan cepat. "Berhenti menakut-nakuti karena aku bisa melaporkanmu!"
Tidak kunjung ada jawaban dari si topeng putih karena kini dia melangkah pelan dengan tangan yang terus-menerus memukulkan tongkat bisbol ke loker. Seiring langkahnya membuat si lelaki seragam basket berjalan mundur.
"Jangan dekati aku! Aku bersumpah akan melaporkanmu dan memanggil kepolisian!" Ia merasa napasnya sesak karena rasa takut, kakinya gemetar dan lemas. "Kau bajingan, kutelepon polisi sekarang juga!"
Maka ia menekan panggilan telepon. Hal itu memicu amarah si topeng putih yang tiba-tiba menerjang sangat cepat. Langkahnya bergema bersama si lelaki berlari juga agar tak tertangkap dan kepalanya tidak dihancurkan si topeng putih. Gemuruh petir terdengar meredam teriakan si lelaki yang meminta pertolongan karena si topeng putih semakin berlari kencang dan hampir menangkapnya. Tangisan si lelaki tercetak, ponselnya sudah tergelincir sejak ia berlari tadi karena tangannya gemetar. Ia merasakan kematian semakin dekat, membuatnya terus berlari dengan keringat dan tangis yang turun sering langkahnya hingga akhirnya ia berhasil keluar dari sekolah tersebut. Melompat seperti orang gila dan tubuhnya menghantam paving block.
"Hey kau kenapa?!" ucap salah seorang murid dan beberapa murid sedang menunggu jemputan kini juga menatap lelaki tersebut.
"Ada---ada seseorang ...." Ia terdiam dan tak melanjutkan perkataannya karena para murid menatap dirinya dengan aneh dan jijik. Ia juga melihat ke arah pintu masuk, tetapi tak kunjung muncul sosok yang mengenakan topeng tersebut. "JANGAN MENATAPKU, BUBAR KALIAN SEMUA!"
Lekas para murid pergi, meninggalkan lelaki tersebut karena takut menjadi target perundung jika terus berurusan dengannya. Kini si lelaki perlahan berdiri, seragam basketnya basah kuyup karena hujan. Ia kembali menatap pintu masuk sekolah yang sepi, tidak ada tanda-tanda pembunuh gila atau makhluk apa pun yang tadi mengejarnya. "Bajingan, bajingan!" Ia mengentak-entakan kakinya hingga air berkecipak. Ia ambil kunci mobilnya kemudian berlari menuju parkiran dan berusaha melupakan apa yang terjadi padanya.
****
Hari esok. Di ruang tim basket sekolah yang selalu menjadi saksi perjuangan Deadly Wolves, kini berlangsung adegan dramatis yang tak terlupakan. Ruangan itu yang biasanya dipenuhi dengan tawa dan semangat, sekarang menjadi saksi dari kehancuran yang dipicu oleh ledakan kemarahan Hunter Nikolaus, pemimpin tim Deadly Wolves.
Kabar yang mengguncang tentang dua anggota tim yang terluka dan harus masuk rumah sakit telah mencapai Hunter seperti petir di tengah siang yang cerah. Dalam sekejap, semangat juang yang selalu membakarnya menjadi api yang membara dengan cara yang sama sekali berbeda. Mata yang semula berkilauan oleh semangat kompetisi kini memancarkan kemarahan yang tak terkendali.
Hunter meraih cangkir dengan geram dan melemparkannya ke lantai. Kristal-kristal kaca pecah berkeping-keping, mencerminkan kekacauan yang merajalela dalam hatinya. Kaca cermin di ruangan itu, sekarang telah retak, rapuh, dan hancur, ketika Hunter membanting ke lantai.
Dengan langkah-langkah berat, Hunter mendekati meja besar. Dalam sekejap, dia mendorong meja itu dengan kasar, membuatnya terbalik dengan suara derap yang keras. Benda-benda di atasnya berterbangan, berjatuhan, berkejaran seperti mimpi-mimpi yang hancur dalam sekejap.
"Hey, Hunter! Tenangkan dirimu," ujar Abel, tetapi didorong Hunter. Membuatnya kembali mundur ke tepi ruangan bersama anggota tim basket yang lain.
Kini kursi-kursi di ruangan tersebut, diangkat Hunter kemudian dibantingnya dengan sangat kasar. Dengan setiap bantingan, suara rangkakannya menciptakan dentingan yang mengisi ruangan. Kursi-kursi itu terlempar tak berdaya, hancur seperti hati mereka yang terpukul.
"Bajingan! Siapa keparat yang berani melukai mereka!!" Kemarahan Hunter tak berujung. Dengan tinju terangkat, dia meninju dinding, menciptakan suara yang menggema dan menggetarkan seluruh ruangan. Seolah-olah dia mencoba menyalurkan semua kekecewaan dan frustrasinya melalui tindakan destruktif ini.
Mereka yang dimaksudkan oleh Hunter adalah kedua sahabatnya yakni Thomas dan Charlie yang kini terbaring di rumah sakit dalam keadaan tak berdaya.
Thomas, pemain basket berbakat yang sering mencetak poin, sekarang terbaring di ranjang pesakitan dan terlihat hancur. Kakinya yang biasanya lincah dan tangguh telah patah dengan luka terbuka yang menganga, berdarah tak terkendali. Maka dari itu, tubuhnya terikat oleh perban-perban yang mencoba mengendalikan perdarahan.
Sementara Charlie, pemain dengan senyum yang tak pernah padam, sekarang tampak mengerikan. Gigi-giginya yang biasanya menjadi daya tariknya, copot. Wajahnya penuh luka gores dan bengkak menghantui dan tubuhnya juga dililit oleh perban-perban yang mencoba pula meredakan cedera luar biasa pada lengannya yang penuh luka dan patah.
"Sial, kenapa harus mereka berdua! Manusia gila mana yang membuat mereka seperti itu!" Hunter berteriak. Sebelum Hunter melanjutkan amukannya, teman-temannya dengan langkah hati-hati mendekati dia. Mereka mencoba untuk berbicara, meskipun suara Hunter yang terengah-engah hampir mengalahkan suaranya.
"Hunter," kata Alfonso dengan suara yang lembut, mencoba meredakan api kemarahan. "Kita semua merasakan takut dan amarah yang sama, tapi mengamuk dan menghancurkan banyak barang hanya akan membuat semuanya lebih buruk."
Hunter menghentikan amukannya sejenak, napasnya memburu. Dia melihat sekeliling ruangan yang berantakan dan wajah teman-temannya yang bingung dan sedih. Kemarahan Hunter mulai mereda dan dia merasa sedikit malu atas tindakan destruktifnya.
Ruangan itu dipenuhi oleh keheningan yang mencekam setelah Hunter menghentikan amukannya yang menggema. Terlihat banyak puing-puing dari amarahnya yang merusak masih tersebar di sekitar mereka. Semua mata tertuju pada Hunter, yang masih berdiri di tengah-tengah ruangan dengan tatapan yang bingung dan tak berdaya. Seiring dengan kata-kata temannya yang bijaksana, Hunter akhirnya mengangguk. Dia tahu bahwa marah tidak akan membantu Charlie dan Thomas yang terluka dan mereka harus mendukung satu sama lain dalam cobaan ini.
"Sialan, aku juga kesal, kenapa bisa mereka seperti itu! Pasti ada seseorang di balik semua ini!"
"Mungkin ada yang membenci mereka jadi mencelakai mereka, terutama kemarin hujan deras jadi seperti waktu yang tepat untuk mencelakakan seseorang?"
"Aku takut. Apa mungkin pelakunya adalah orang yang sama yang membunuh murid tahun pertama?"
Di saat yang lain sedang sibuk dengan berbagai macam asumsi. Sementara itu, Tyler, diam-diam bergumul dengan pikirannya sendiri. Ekspresi cemas memenuhi wajahnya dan matanya yang gelap memancarkan ketakutan yang mendalam. Dia tidak berani membicarakan apa yang ada di pikirannya, bahkan kepada teman-temannya.
Tyler sangat yakin bahwa makhluk bertopeng putih yang mengejarnya kemarin di koridor sekolah adalah pelaku serangan ini. Dia tahu bahwa dia harus berbicara, memberikan petunjuk yang mungkin akan membantu mengungkap kebenaran. Namun, rasa takut yang luar biasa mencegahnya untuk membuka mulut.
"Tyler," bisik Ben pelan, "kau terlihat sangat tertekan. Ada apa?"
"Tidak! Tidak apa, hanya lelah saja." Waktu berjalan dan dengan perasaan yang semakin cemas, Tyler mengambil keputusan untuk tetap diam.
****
Di dalam ruang kelas yang biasanya dipenuhi tawa dan kejenakaan, kini dikuasai oleh atmosfer yang berbeda. Meskipun begitu tetap tak mengusik Viole yang duduk dengan tenang di kursinya, membaca buku yang selalu dibawanya ke mana pun dia pergi. Sementara Louie yang lebih ekspresif terlihat agak terganggu dan penasaran akan kabar yang beredar hari ini.
Bisikan dan gosip berderu di kalangan murid seolah angin yang tiba-tiba berembus di dalam ruangan. Kabar tentang dua anggota tim basket sekolah; Charlie dan Thomas yang dirawat di rumah sakit dengan luka serius dan kaki yang patah, menjalar dengan cepat seperti api yang tak terkendali. Semuanya terjadi dalam semalam saat hujan deras mengguyur, meninggalkan sejuta tanda tanya di benak para murid.
Perlahan suasana kelas kini ramai oleh percakapan dan spekulasi yang mulai menyebar. Mereka dengan mata penuh kebingungan mulai saling menyampaikan berita dan pandangan, mencoba menghubungkan titik-titik yang tak terlihat. Mereka menciptakan asumsi-asumsi dari potongan-potongan informasi yang terbatas.
"Bagaimana bisa semua itu terjadi dalam semalam?" kata murid berkacamata.
Seorang perempuan menimpali, "aku ingat jika tim basket sedang berlatih, temanku sempat menonton latihan mereka di gedung olahraga, semuanya baik-baik saja saat itu."
Louie kini ikut menimbrung pembicaraan tersebut. Viole sebelumnya tampak begitu acuh tak acuh terhadap segala sesuatu, kini mulai memperhatikan dengan tajam. Matanya yang selalu terasa beku mulai mengikuti percakapan di sekelilingnya. Meskipun novel di tangannya tak ia lepas.
Seorang murid yang duduk di samping Louie dengan cemas mulai menyampaikan teori pribadinya. "Mungkin ini adalah kecelakaan mobil, bukankah semalam hujan deras? Itu bisa menjadi alasannya mengapa mereka harus dirawat di rumah sakit."
"Mereka berlatih basket, bagaimana bisa berada di mobil?!"
"Maksudku setelah pulang dari latihan basket!"
"Kurasa kecelakaan mobil bukan jawabannya!" ujar seorang perempuan, ternyata Sophia yang datang bersama dengan Emma. Kini mereka berniat duduk di belakang Louie. Namun, sebelum itu keduanya menarik kursi Viole.
"Hey!" teriak Viole ketika kursinya ditarik mendekat hingga pas di samping kursi Sophia.
"Jangan hanya menyendiri jadi bergabunglah," kata Emma tersenyum simpul.
"Ya, jika kau hanya diam, kami takkan tahu semisal kau diculik suatu hari nanti," timpal Sophia. Sementara Viole hanya bisa pasrah.
"Lanjutkan kalimatmu tadi," kata salah seorang murid pada Sophia.
"Okay, ini hanya asumsiku. Jika bukan karena kecelakaan mobil, habisnya bagaimana mungkin luka mereka sedemikian parah jika ini hanya kecelakaan mobil? Oh ayolah, kudengar gosipnya jika ada bekas luka seperti sabetan pisau. Apakah ada sesuatu yang kita tidak tahu?"
"Bisa saja luka mereka karena tergores kaca mobil!"
Louie menyahut, "ya, kecelakaan mobil juga bisa membuat seseorang meninggal. Jadi kemungkinan mereka terluka karena kecelakaan."
Semua mata dalam ruangan itu saling pandang dengan pertanyaan besar yang terpampang di wajah mereka. Ini adalah berita yang begitu mendadak dan misterius, sehingga setiap potongan informasi menjadi sangat berharga.
Sophia menggeram kesal, ia berkata, "aku yakin bukan karena kecelakaan. Ini hanya asumsiku, tapi dengan cuaca semalam yang buruk dan detail yang kita miliki, aku merasa ada sesuatu yang tidak beres, terlebih lagi, kabarnya, gigi salah satu dari mereka seperti dicopot."
Para murid yang mendengarkan percakapan itu mulai menyampaikan teori mereka sendiri. Mereka mencoba menyusun potongan-potongan informasi menjadi gambaran yang lebih utuh tentang apa yang mungkin terjadi.
"Mungkin mereka diserang oleh seseorang," kata Emma yang kini para murid menoleh padanya.
Sophia merangkul Emma. "Inilah yang kumaksudkan! Aku berasumsi jika bisa saja, kedua anggota basket itu malah diserang oleh seseorang yang mengincar nyawa mereka. Lagi pula di act satu dalam film thriller-slasher, penyerangan selalu terjadi saat sekolah sepi, hujan, dan murid pulang terlambat."
"Kau berlagak seperti ahli dalam memecahkan kasus," kata salah satu murid.
"Dengar ya, aku memang ahli, asal kautahu jika aku juga secerdas Sherlock Holmes!" balas Sophia yang langsung saja para murid tertawa.
Kini Viole menyelesaikan acara membacanya. Para murid masih tertawa kemudian lanjut memberi spekulasi. Beberapa dari mereka bahkan mulai menyebutkan nama orang-orang yang mungkin terlibat dalam insiden ini. Perlahan Viole menengok ke belakang, mendapati kursi dan meja Theodore yang kosong, sejak pagi hingga kini lelaki itu tak kunjung datang, entah mengapa Theodore sering tidak turun sekolah.
"Kuharap Sherlock Holmes benar-benar datang karena insiden aneh di sekolah ini semakin menjadi-jadi," gumam Viole.
****
Meskipun masih jam pelajaran, sebenarnya jam istirahat. Parkiran sekolah kini agak ramai karena Viole, Louie, Emma, Tyler, Lola, dan Ben berada di parkiran sekolah. Mereka awalnya hendak ke kantin, tapi rencana itu tampaknya akan ditunda karena kedatangan tak terduga dari kakak Lola, Bobby Powell yang datang untuk memberikan kunci rumah.
Bobby seorang mahasiswa berusia dua puluhan, datang ke sekolah dengan mobilnya yang gagah. Dia tak sendiri karena ada teman sebaya berambut keriting dan berpostur tinggi juga ikut dengannya. Mereka memasuki halaman parkiran dengan tertawa.
"Aku bakal pulang agak malam hari ini. Jadi, aku bawa kunci rumah untukmu," kata Bobby mengeluarkan kunci rumah dari saku jaketnya dan memberikannya pada Lola.
Lola menerima kunci tersebut dengan senyum. "Terima kasih, Kak! Maaf aku lupa bawa kunciku."
"Jangan khawatir, adikku yang manis," kata Bobby sambil merengkuh Lola dalam pelukannya. "Oh ya, perkenalkan ini temanku, Alex. Dia ingin melihat sekolahmu sebentar."
Alex tersenyum sopan pada Lola, meskipun terlihat sedikit kaku. "Hai, Lola. Sekolahmu terlihat keren."
Lola membalas sapaan itu dengan gembira, lalu dia memperkenalkan teman-temannya kepada Bobby dan Alex. "Ini Viole, Louie, Emma, Tyler, dan Ben. Mereka teman-temanku."
Bobby dan Alex menyapa teman-teman Lola dengan sapaan seolah-olah sudah akrab, dan segera mereka berada dalam percakapan yang ramai. Tyler, Ben, dan Bobby memiliki banyak kesamaan dalam hal minat mereka yakni olahraga, sehingga mereka langsung berbincang tentang tim basket dan sepak bola sekolah. Sementara Alex mendengarkan Emma dan Lola yang bercerita jika mereka adalah anggota tim renang.
Viole sama sekali tak tertarik, jadi dia bersandar di mobil, entah mobil siapa sambil mengecek ponselnya. Lalu Louie menghampiri Viole. "Mereka mengobrol seolah-olah tidak ada hal buruk di sekolah ini."
"Satu insiden orang lain takkan mengubah seseorang kecuali seseorang itu yang merasakannya sendiri," balas Viole memasang earpod-nya.
"Kau benar," balas Louie, lalu tak lama dipanggil Tyler.
"Hey, Louie kemari sebentar," kata Tyler, "Alex berkata jika dia punya teman yang bekerja sebagai fotografer pernikahan, mungkin kaubisa bekerja di sana!"
"Benarkah?" teriak Louie, "aku pergi ke sana ya."
Sementara obrolan berlanjut, Bobby menarik adiknya ke sudut yang lebih sepi. Lola nampak sedikit bingung, tapi penasaran. Mereka berbicara dengan suara yang lebih rendah, agar hanya mereka berdua yang dapat mendengarnya. Ya, seharusnya hanya mereka yang bisa mendengar percakapan itu.
"Ini tentang Chelsea," kata Bobby.
Seketika raut wajah Lola jadi kesal. "Chelsea lagi? Aku tak mau membicarakan pelacur itu."
"Oh ayolah adikku, bantu aku ...." Bobby sedikit bersedih.
"Dia sudah menolakmu berkali-kali Kak!" balas Lola sedikit meninggikan suaranya. Sudah bukan rahasia lagi antara mereka jika Bobby menyukai Chelsea saat Chelsea tampil sebagai pemandu sorak. Ketika itu tim basket kampus Bobby melawan tim sekolah ini dan Chelsea ada sebagai pemandu sorak. Sejak saat itu Bobby menyukai Chelsea dan sudah berulang-kali mendekati perempuan itu, tetapi berakhir sama saja, ditolak. Sementara Lola, dia benci Chelsea karena perempuan itu populer dan tentu saja punya badan yang lebih bagus. Lola semakin benci ketika tahu kakak tersayangnya ini ditolak oleh perempuan murahan itu!
"Tolong adikku, aku ingin tahu di mana kelasnya dan biarkan aku menemuinya," ujar Bobby.
"Apa imbalan untukku?" sahut Lola.
Sejenak Bobby berpikir. "Aku akan mentraktirmu seminggu penuh."
"Tidak, terkecuali kau mentraktirku selama dua minggu, deal?"
"Okay, dua minggu penuh, deal! Jadi di mana ruangan kelasnya atau tempat yang biasa dia datangi saat jam istirahat?" Bobby berucap dengan seringai nakal dan Lola memberitahukan apa yang ingin Bobby dengar.
"Kau memang adik terbaikku!" Bobby seolah-olah hendak mencium Lola, tetapi ditolak perempuan itu.
"Sebelumnya aku ingin Kakak menjawab dengan jujur."
"Apa?" balas Bobby seraya mengecek wajahnya di kamera ponsel, memastikan penampilannya sangat baik.
Lola menatap sinis. "Kau tak serius 'kan? Atau kau mempermainkannya seperti mantanmu yang sebelum-sebelumnya?"
Senyuman jahat terpatri di wajah Bobby. "Tentu saja, aku tak mungkin serius karena yang kuinginkan hanyalah merasakan tubuhnya kemudian dia memohon padaku dan menangis. Kini pun akan kubuat perempuan sombong itu menangis."
Detik itu, tanpa mereka sadari. Ada seseorang di balik mobil, beruntung tinggi badannya tidak melebihi mobil jadi dia tidak akan ketahuan, tengah mendengarkan percakapan mereka dari awal hingga akhir. "Manusia memang menjijikkan."
Perlahan Viole melepaskan earpod-nya dan tanpa ada yang sadar, sesaat kilatan mata lelaki itu terlihat menggelap, tetapi ia kembali mengontrol ekspresinya. "Haruskah kubawa Leatherface ke sekolah ini?"
****
Chelsea kapten tim cheerleader yang cerdas dan cantik, sedang sibuk memeriksa berkas pendaftaran lomba timnya di ruangan cheerleader. Jam istirahat pelajaran adalah waktu yang tepat untuk menyelesaikan tugas-tugas ini, dia pikir. Namun, tiba-tiba, pintu ruangan tersebut terbuka dengan keras. Chelsea menoleh dan terkejut melihat Bobby, fuck?! Apa yang dilakukan pria itu di sekolah ini? Bahkan dia membawa temannya! Chelsea segera merasa tidak senang dengan kehadiran mereka.
"Kalian tidak boleh masuk tanpa izin!" tegas Chelsea, mencoba mengusir mereka. "Lagi pula apa yang kalian lakukan di sekolah ini!"
Bobby menghampiri Chelsea. "Kautak perlu tahu, tapi sungguh Chelsea, aku ingin bicara padamu."
"Tidak! Aku tak mau bicara denganmu. Aku sudah berkali-kali mengatakan padamu bahwa aku tidak tertarik padamu jadi keluar dari ruangan ini, right now!"
Alex mencoba menjelaskan. "Chelsea, Bobby serius. Dia ingin bicara tentang sesuatu yang penting."
Chelsea mendengus. "Apa lagi yang ingin kamu katakan? Apakah dia akan memaksa aku untuk berkencan dengannya?"
Bobby menggelengkan kepala. Ia memulai aktingnya. "Tidak, Chelsea, aku tidak akan memaksamu. Aku hanya ingin kita bisa berbicara dengan baik."
Chelsea mulai merasa tidak nyaman. Dia merasa sudut ruangan ini semakin sempit dengan kehadiran Bobby yang semakin mendekat. "Bobby, berhenti. Aku serius, tinggalkan ruangan ini sekarang." Namun, Bobby tidak menghiraukan permintaan Chelsea. Sebaliknya, dia mendekati Chelsea dengan langkah-langkah perlahan.
"Chelsea, aku tahu kita bisa saling mengenal lebih baik. Aku yakin kita bisa punya hubungan yang indah," ujar Bobby terus memaksa.
Chelsea merasa cemas. Dia berdiri dan mencoba keluar dari ruangan, tetapi Bobby mencegahnya. Dia memegang pergelangan tangan Chelsea dengan keras. "Chelsea, dengarkan aku!" ucap Bobby dengan suara yang penuh keputusasaan.
Gadis itu mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Bobby, tetapi dia tidak berhasil. Saking kuatnya cengkeraman tangan tersebut. Dia merasa panik dan tidak bisa menyelamatkan dirinya sendiri. Air matanya mulai menetes. "Lepaskan aku, Bobby! kau melewati batas!"
Bobby tampaknya tidak mendengarkan. Dia semakin mendekat dan mencoba mencium Chelsea dengan paksa. Chelsea berusaha untuk melawan dan mendorongnya menjauh.
"Jangan beraninya kau melakukan hal itu, bajingan! Menjauhlah dariku!" Chelsea berteriak, suaranya gemetar oleh rasa takut.
Alex yang mendukung tindakan Bobby, dia menghalangi pintu agar Chelsea tidak kabur yang kini Bobby semakin tidak terkendali. Dia terus mencoba meraih Chelsea, bahkan dengan kejinya berusaha untuk merobek pakaian dan mengacaukan rambut Chelsea. "Ayolah Chelsea Schwartz, jangan membodohi dirimu sendiri! Aku yakin kau juga ingin merasakan diriku dalam tubuhmu yang seksi itu!"
"You bastard! Menjauhlah dariku!" Chelsea mencoba sekuat tenaga untuk melawan, tetapi Bobby adalah seorang pria yang kuat dan Chelsea tidak bisa menyelamatkan dirinya sendiri. "Bobby kumohon jangan lakukan ini, lepaskan aku!" Air Matanya mengalir saat dia berjuang melawan serangan Bobby.
"Chelsea ...." Dengan tangan kiri menggenggam erat pergelangan tangan Chelsea. Kini jemari Bobby menelusuri kulit lembut di pipi Chelsea hingga perlahan menyugar rambut panjang gadis itu. Ia bahkan mengusap air mata Chelsea yang jatuh. "Jangan menangis, baby, jika kau menangis sekarang. Bagaimana saat aku masuk ke dalam tubuhmu itu, apakah kau akan mengerang dengan kuat?"
Bibir Chelsea gemetar. "Kumohon Bobby lepaskan aku."
"Jangan keras kepala, kau perempuan jalang---"
Ketika situasi semakin genting, pintu ruangan tersebut tiba-tiba terbuka, membuat mereka lekas menatap pada seorang lelaki pendek dengan earpod di kedua telinganya, tetapi tak memutar lagu apa pun. Bobby menilik lelaki itu yang ia kenali sebagai salah satu teman Lola. "Kau, Viole 'kan?"
"Hey, kenapa kau masuk tiba-tiba huh!" ucap Alex menatap bingung karena kini Viole menuju meja di ruangan tersebut.
"Apa yang kau lakukan," ujar Bobby masih berusaha mencerna apa yang terjadi di sini terlebih lelaki pendek itu nyelonong masuk dan menuju meja yang di atasnya ada tumpukan cangkir dan gelas. Perlahan cengkeraman tangan Bobby menjadi kendor.
"Violetta," gumam Chelsea.
Kini ketiganya memperhatikan Viole yang mengambil cangkir, tidak, melainkan gelas yang besar, ia masukkan dua sendok susu cokelat kemudian mengisinya dengan air mendidih dari dispenser. Tentu saja tindakan Viole mengundang pertanyaan dari Bobby dan Alex.
"Apa yang kau buat, sialan!" teriak Bobby, amarahnya memuncak. "Tidak bisakah kau membaca keadaan?"
"Aku bisa," balas Viole yang kini membawa gelas besar tersebut sambil mengaduk isinya dengan sendok. Ia melangkah mendekati Chelsea dan Bobby. "Namun, biasanya di jam istirahat, aku kemari untuk menyeduh susu cokelat jadi ini waktuku. Hanya saja sepertinya situasi agak berbeda karena ada tamu tak diundang."
Maka ia persis di hadapan Bobby. "Jadi aku menyeduhkan susu cokelat ini untuk tamuku. Kau pasti mau bukan?"
Detik itu berjalan cepat, tanpa peringatan, Viole menyiramkan air panas sedikit bercampur bubuk cokelat di dalam gelas tersebut tepat ke wajah Bobby. Ketika air panas dan beruap itu menyentuh kulit, maka rasa sengatan dan perih seketika menyebar dengan cepat ke wajah Bobby. Membuat lelaki itu melepaskan cengkeramannya dari pergelangan tangan Chelsea, maka segera Viole menarik gadis itu mundur. Ruangan itu kini dipenuhi teriakan dan lengkingan berasal dari Bobby. Ia bahkan mengentakkan kakinya berulang kali seperti orang gila, menyentuh wajahnya dengan kedua tangan karena sakit dan perih terkena air panas yang membuatnya tersiksa. Perlahan wajahnya memerah, melepuh, kulitnya terkelupas, dan matanya memerah serta penglihatannya buram.
"Bajingan kau! Sialan, anak keparat, biadab, jalang, pelacur sialan!!" Semua kutukan keluar dari dalam mulut Bobby yang lekas dia berlari keluar dari ruangan tersebut.
"Bobby," ujar Alex lalu menatap geram pada Viole yang seketika pria itu melangkah maju.
Sontak Viole terkejut, refleks menarik Chelsea agar berada di belakangnya. Namun, Viole kalah fisik karena Alex melancarkan satu hantaman ke sisi kanan wajah Viole hingga lelaki itu tersungkur ke lantai dan darah keluar dari sudut bibirnya yang terluka. Viole meringis, merasakan kepalanya berdengung. Belum sampai di sana, tiba-tiba Alex menarik kuat kerah seragam Viole, mengangkat tinggi lelaki pendek itu. Chelsea hendak menolong, tetapi Alex dengan kasarnya mendorong perempuan tersebut hingga jatuh ke lantai. Kini satu tinju lagi berhasil mengenai pipi Viole dan membuat kedua earpod-nya lepas.
"Hey hentikan!" teriak Chelsea.
"Bajingan!" Namun, sebelum tinju selanjutnya dilancarkan ke rahang Viole. Alex merasakan suatu benda yang sangat berat dan besar menghantam bahunya kemudian sakit tak tertahankan terasa, seperti hendak patah, barangkali retak. Ia langsung melepaskan Viole yang kini terhuyung, tetapi dibantu Chelsea untuk tetap kokoh. Kini terdengar jeritan Alex saat dia menyentuh bahunya yang sakit serta menatap dumbbel seberat tiga kilogram yang ada di samping kakinya. Seseorang tengah melemparkan dumbbell ke arahnya!
"Monica," kata Chelsea yang kini Monica muncul dengan masih menggenggam dua dumbbell berbeda berat, satunya seberat tiga kilogram sedangkan yang kedua seberat lima kilogram.
"Maaf aku terlambat," kata Monica kini mencengkeram kuat dumbbell tersebut dan menatap sinis pada Alex. "Kau pilih pergi atau kuhantamkan benda ini ke wajahmu. Kuyakin kau akan gegar otak."
Maka Alex langsung berlari meski bahunya terasa seperti akan patah. Tawa Monica terdengar. Tidak ia sangka lelaki itu berlari seperti sedang dikejar serigala saja. "Dia seperti bayi, harusnya kuhantamkan saja wajahnya menggunakan dumbbell ini."
Chelsea berdiri di depan Viole, hatinya sakit karena campuran kesedihan dan rasa bersalah saat dia melihat wajah lelaki itu yang memar dan darah menetes dari bibirnya yang babak belur. Warna-warna cerah di wajahnya diredam oleh luka-luka yang dideritanya, sangat kontras dengan penampilannya yang biasanya tanpa cela. Mata Chelsea berkaca-kaca, suaranya bergetar karena rasa bersalah dan kesedihan saat dia berbicara.
"Aku minta maaf, Viole," bisik Chelsea, suaranya dipenuhi penyesalan yang tulus. "Ini semua salahku. Aku tidak bermaksud membuat keadaan menjadi lebih buruk seperti ini. Seharusnya kau tidak perlu menyelamatkanku. Mohon maafkan aku."
Viole diam sejenak. Mencerna semua yang terjadi karena jujur, terkena hantaman tadi sangat menyakitkan. Perlahan wajah pucat Viole berubah menjadi senyuman lembut, meski sedikit terhalang oleh rasa sakit. "Jangan salahkan dirimu sendiri, Chelsea," jawab Viole, suaranya tenang meski ada rasa sakit yang bergema di dalam dirinya. "Aku membuat pilihan untuk turun tangan jadi ini adalah keputusanku."
Saat Chelsea terus menatapnya, matanya dipenuhi rasa bersalah dan kasih sayang. Sementara Monica yang berdiri di samping mereka, mau tak mau tertawa mendengar kata-kata Viole. Tawanya menari-nari dengan riang, diwarnai dengan sedikit nada menggoda. "Yah, baiklah Viole. Sepertinya ototmu tidak cukup untuk membuatmu aman dari amukan Alex."
Ekspresi Viole yang biasanya tenang sempat goyah, harga dirinya tersengat oleh kata-kata Monica. Dia mengepalkan tangannya, suaranya diwarnai campuran rasa frustrasi dan kekesalan. "Dengar ya, aku diserang tiba-tiba! Bukan karena aku ... bukan karena ...."
Tawa Monica terus berlanjut, rasa geli terlihat jelas di wajahnya. "Oh, Viole, kenyataannya, kamu secara fisik lebih rendah dari Alex. Terimalah itu."
"Monica shut up! Berhenti bercanda!" teriak Chelsea, "berhenti mengejek Viole!"
"Okay, okay, maaf aku tak bermaksud menghina, aku hanya menyampaikan kenyataan." Monica hendak kembali tertawa karena melihat lelaki pendek itu menggembungkan pipinya dan kini menatap sinis. "Calm down baby, okay? I'm sorry, bagaimana jika kita bawa wajah cantikmu itu ke klinik sebelum kecantikanmu semakin memudar."
Detik itu Viole hendak marah, tetapi ia ditahan oleh Chelsea. Maka berakhirlah hari itu dengan aksi pahlawan kecil-kecilan dari Viole meskipun akhirnya ia kalah secara fisik dan babak belur.
"Oh ya Viole," kata Chelsea, "kau serius mendatangiku tadi karena mau menyeduh susu cokelat?"
"Iya," balas Viole yang kini diobati oleh petugas di klinik sekolah dan Chelsea hanya bisa menghela napas panjang.
Sungguh apa yang dia harapkan dari seorang lelaki yang lebih muda darinya dan sifatnya berubah-ubah, kadang seperti bayi dan kadang seperti manusia dengan kulkas berlapis tujuh pintu. Kini petugas klinik sekolah sudah pergi dan meninggalkan Chelsea bersama Viole. "Baiklah, apa pun alasanmu, aku tetap bersyukur dan berterima kasih karena kau sudah datang, jika kau tidak datang, aku sudah berakhir diperkosa oleh pria berengsek itu."
Sesaat Viole menatap sinis pada Chelsea. "Ya."
****
Malam telah turun dan gang sempit yang terletak di antara beberapa blok apartement terlihat seperti mimpi buruk. Seiring dengan kegelapan yang menyelimuti, tidak ada cahaya di sekitarnya, kecuali cahaya samar dari bulan yang pucat. Gang ini adalah tempat yang tampak mengerikan dan jorok. Sampah menumpuk di berbagai sudut, menciptakan bau yang busuk dan menarik tikus-tikus nakal yang sesekali melintas di antara beceknya tanah. Namun, hal itu tak mengusik Viole yang wajahnya sudah diberi plester untuk menutupi beberapa lukanya, ia berjalan tanpa rasa takut melalui gang ini. Di satu tangan, dia menggenggam kantong belanjaan dari supermarket.
Tidak butuh waktu lama sebelum dia merasa dikelilingi oleh keheningan dan kegelapan. Itu adalah saat yang sempurna bagi mereka yang menyukai kejahatan untuk menyerang dari bayang-bayang. Maka ketika Viole merasakan kehadiran yang mencurigakan di sekitarnya, senyum lembut muncul di wajahnya.
Dia tersenyum?
Viole berhenti di tempat dan membiarkan preman-preman itu mendekat. Mereka muncul dari bayangan seperti hantu, mengenakan pakaian kotor dan terlalu besar. Wajah mereka tampak gelap dan tanpa ekspresi, kecuali ekspresi keserakahan dan penindasan.
Salah satu dari mereka yang tampaknya menjadi pemimpin kelompok, maju dengan langkah yang penuh keberanian, bahkan jika cahaya bulan mengungkapkan ketakutannya yang terselubung. Dia menunjuk ke arah kantong belanjaan Viole dengan sejumput semangat sadis.
"Hey, apa yang ada di dalam sana, huh?" desisnya dengan nada merendahkan.
Viole hanya tersenyum pada preman itu, wajahnya tetap tenang. "Oh, ini hanya beberapa barang belanjaan dari supermarket. Tidak ada yang istimewa."
Preman-preman lainnya tersenyum mengejek dan mendekati Viole dengan cemas, bersiap untuk mencari sesuatu yang bisa mereka rampas. Gang sempit ini adalah tempat persembunyian mereka, tempat untuk mencari target lemah dan menguras mereka. Namun, Viole tidak menunjukkan ketakutan atau kepanikan. Sebaliknya, dia hanya terus tersenyum, bahkan ketika mereka melangkah lebih dekat. Keheningan malam ini hanya terganggu oleh suara langkah-langkah kotor mereka yang menerjang sampah dan lumpur.
Salah satu preman mencoba meraih kantong belanjaan Viole, tetapi lelaki itu dengan cepat menghindari jangkauannya. "Tidak begitu cepat, teman-teman. Saya pikir kita bisa menyelesaikan ini dengan baik." Mengapa cara bicaranya jadi sangat formal?
Pemimpin preman mendekati Viole dengan sikap yang lebih agresif. "Kau pikir kami takut padamu, huh? Kau hanyalah anak lelaki culun dan pendek yang tersesat di sini."
Viole masih tersenyum, tapi kali ini senyumnya memiliki nada yang lebih gelap. "Ah, kau benar, saya mungkin hanya anak lelaki pendek, tetapi saya selalu punya sesuatu yang tidak kalian miliki."
Kini petir mulai terdengar bergemuruh. Sebelum para preman bisa merespons, Viole dengan cepat meraih benda kecil dari dalam kantungnya. Itu adalah korek api. Sebuah percikan api tiba-tiba muncul di depan wajah para preman yang mendekati Viole. Kedua preman menatap percikan api tersebut kemudian tertawa.
"Apa kau mengancam kami dengan sebuah korek api? Kami bahkan punya benda itu, sangat banyak! Jadi maukau gunakan untuk apa!" teriak preman kedua.
"Kalian benar, tapi korek ini sedikit berbeda!" Senyum Viole terpatri bersamaan dia menjatuhkan korek api yang apinya masih menyala tersebut ke tanah becek.
Maka ketika api tersebut padam karena jatuh ke tanah. Viole lekas berbalik dan melangkah. Sementara kedua preman merasakan tubuh mereka memanas, mereka menjerit-jerit bak orang kehilangan kewarasannya, memegangi tubuh mereka bahkan merobek baju kotor mereka karena kini mereka merasakan jika ada api yang membakar diri mereka padahal melalui penglihatan tidak terjadi apa pun. Kini ketiga preman ambruk di tanah, berguling-guling di lumpur, berharap agar cara ini menghentikan panas yang membakar tubuh mereka, sayangnya tak kunjung berhenti bahkan semakin membakar hingga ke tulang. Ketika mereka menjerit-jerit, kini tampak jelas jika seluruh tubuh mereka melepuh dan mereka kehilangan kesadaran diri mereka. Beruntungnya mereka tak mati karena hujan tiba-tiba turun dan memadamkan rasa sakit mereka.
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
Kalian tahu Leatherface nggak sih? Terus seberapa suka kalian dengan film atau series horor/thriller?
Kasihan banget sama Chelsea, untungnya ada Viole meskipun berakhir babak belur. Ternyata Bobby sebelas-dua belas sama si Lola, sama-sama gila ....
Lalu ada yang bisa nebak kemampuan Viole nggak? Jadi bikin penasaran, hehe
Prins Llumière
Senin, 13 November 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top