Chapter 15: Cheerleader Girl
Saat matahari pagi memancarkan sinarnya yang hangat, Viole berjalan menyusuri koridor, langkahnya tersinkronisasi sempurna dengan musik yang bergema melalui earpod-nya, meredam suara bising dan celoteh para murid. Dia sangat berharap jika tidak ada yang memperhatikan dirinya, tetapi percuma karena semakin hari, dirinya semakin menjadi pusat perhatian para murid. Terlebih kini, Viole mengenakan kacamata bundar yang bertengger menawan di pangkal hidungnya, bingkai kacamata itu sesaat seperti memantulkan cahaya. Mengapa dia mengenakan kacamata? Sebenarnya jawabannya ada dua karena dia ingin dan karena dia hendak menyamarkan luka yang diberi plester di pipinya ini.
Plester biru bergambar bintang kecil-kecil menghiasi pipinya, menarik tatapan penasaran dari para murid. Plester itu adalah sisa-sisa dari kecelakaan yang terjadi baru-baru ini; tentu saja karena terkena sabetan botol vodka ketika di rumah Louie. Meskipun di pipinya terdapat plester, bukannya mengurangi kecantikannya, itu malah berfungsi untuk menonjolkan fitur-fiturnya. Kontras antara plester cerah dan kulit putih mulusnya hanya menambah daya tariknya, kini semakin banyak yang memuji kecantikan lelaki itu.
Selain karena kacamata dan plester serta kecantikan Viole, ia jadi pusat perhatian karena membawa tote bag berwarna krem dengan gambar beruang cokelat di tengahnya. Entah mengapa dia membawa tas tambahan padahal dia tengah menggendong tas punggung yang biasa ia gunakan sehari-hari. Kira-kira apa isi tote bag tersebut?
Saat Viole masuk ke ruang kelas, Theodore dan Louie terkejut dengan aksesori barunya yang tak terduga serta tote bag yang dibawa lelaki cantik itu. Mereka bertukar pandang dengan bingung, rasa ingin tahu mereka terusik. Viole yang biasanya menyendiri, memancarkan aura dingin, kini terlihat lebih cerah terutama karena kacamata bundar dan plester gambar bintang---seperti anak kecil saja---yang menghiasi pipinya. Sebenarnya tak masalah dia menggunakan plester, tetapi bukankah ada plester yang tak bergambar dan berwarna jadi lebih netral. Sementara plester yang Viole gunakan seperti khusus untuk anak-anak dan terkesan memberi gambaran cerah pada lelaki itu.
Dengan santai duduk di kursinya dan meletakkan tote bag-nya. Viole mengangkat alisnya karena melihat reaksi Louie dan Theodore. "Kenapa menatapku begitu?"
Louie yang sangat penasaran pun akhirnya berucap, "Fuck! Kenapa kau gunakan kacamata dan ada apa dengan tote bag ini? Kau bawa apa ke sekolah kita!"
"Kau seperti perempuan dengan membawa dua tas ke sekolah," gumam Theodore seraya menilik Viole. "Kenapa kau gunakan kacamata? Ada apa dengan perubahanmu yang tiba-tiba ini, huh!"
"Got a problem with my tote bag? It's none of your damn business." Viole membalas mereka dan kini ia terdengar kesal karena terus ditanya-tanya dan jadi bahan perbincangan banyak murid. "Lalu aku mengenakan kacamata karena ingin saja."
"Seriously Dude?" balas Theodore, "kau bersikap arogan sekarang." Maka tanpa permisi, Theodore mengecek isi tote bag Viole. Bahkan Louie juga ikut-ikutan mengecek isi tas tersebut yang ternyata isinya beberapa kaleng minuman soda, susu kotak rasa vanila dan cokelat, serta beberapa camilan seperti keripik dan kukis.
"Woah, kau ingin memberi siapa dengan semua ini?" ucap Louie terlihat antusias, ia tak menyangka di balik sifat dingin Viole, ternyata dia sangat perhatian ataukah sebenarnya lelaki itu memang perhatian hanya saja belum dia perlihatkan sifatnya karena belum akrab dengan siapa pun? "Aku tebak pasti untuk Chelsea 'kan?"
"Mengapa Chelsea?" ujar Theodore dengan alis terangkat.
"Dia kalah tantangan dari Chelsea, tantangan siapa yang lebih dulu menghabiskan makanan pedas dan Viole kalah jadi dia harus memenuhi permintaan Chelsea, aku dengar cerita ini dari Emma," jelas Louie yang detik selanjutnya Theodore tertawa kencang karena Viole tak bisa makan pedas.
"Kaukalah dari perempuan dan tak bisa makan pedas! Ini sungguh lucu!" Dia pikir hanya wajah Viole saja yang memadai dipanggil cantik, ternyata sifatnya juga anggun sampai tak tahan makan pedas.
"Jangan menghina, kau sialan!" Viole tiba-tiba memukul belakang kepala Theodore dengan buku tebalnya.
"Sakit bajingan." Theodore usap belakang kepalanya dekat leher karena agak berdenyut, ia lalu lanjut terkekeh kecil. "Jadi apa Chelsea menyuruhmu membawakan minuman dan makanan ini?"
"Tidak," balas Viole tegas, "permintaan dia, aku harus datang di latihan Cheerleader-nya. Jadi membeli makanan dan minuman ini adalah ideku. Jujur aku tak enak jika tak memberinya sesuatu selesai dia berlatih, bukankah selesai latihan mereka akan lapar? Karenanya aku membelikan mereka makanan."
Theodore dan Louie sedikit bingung harus berkata apa. Mereka tak yakin apakah Chelsea akan menerima pemberian Viole karena setahu mereka jika anggota Cheerleader sangat menjaga proporsi tubuh mereka jadi ada kemungkinan jika mereka tak terlalu banyak makan makanan yang banyak kalori, barangkali ada yang diet juga.
"Viole kurasa mereka---" Louie hendak mengatakan yang sejujurnya, tetapi terpotong.
Theodore menyenggol Viole sambil bercanda, kilatan nakal di matanya. "Yah, mereka pasti senang kaumemberi mereka kejutan terutama Chelsea pasti akan sangat menghargaimu! Sore nanti, jangan biarkan dia menunggumu, Romeo. Sapu dia dengan hadiahmu itu."
Viole menepis tangan Theodore. "Bisakah jangan sedekat ini? Kau membuatku risi."
"Bajingan, aku bingung, sebenarnya sifat aslimu yang mana ya, keparat!" balas Theodore.
Louie membiarkan keduanya. Ia perlu berharap jika hari ini berjalan dengan lancar tanpa hambatan dan masalah serta tentu saja Chelsea menerima pemberian Viole.
****
Sebelum matahari bersinar terik. Viole berdiri di lapangan sekolah, rambutnya acak-acakan karena angin sepoi-sepoi, ia memperbaiki posisi kacamata bundarnya. Ekspresinya dingin dan acuh tak acuh, saat dia mendapati dirinya menjadi pusat perhatian, dia berusaha mempertahankan sikapnya yang tenang. Kini bisikan para murid di kelasnya yang mengelilinginya selalu mengingatkan akan sorotan yang diberikan padanya dan teman-temannya, Louie dan Theodore. Sekarang adalah giliran mereka bertiga untuk meluncurkan roket air dalam praktikum Fisika.
"Yang menonton tak hanya dari kelas kita, tapi kelas lain juga," ujar Louie sambil membantu Theodore memasang pompa ke roket air mereka.
"Tentu saja karena si cantik di belakang ini," balas Theodore asal-asalan dan terkekeh kemudian.
"Jaga mulutmu Theo, kau juga penyebab mereka berkumpul di sini," balas Viole seraya menatap sinis.
"Tapi kau alasan paling berpotensi yang membuat mereka berkumpul. Lihat saja sebelah sana, sejak tadi para perempuan itu diam-diam memotret wajahmu." Setelah memasang pompa tersebut, Theodore berdiri dan menepuk-nepuk tangannya yang kotor.
Semakin saja lapangan sekolah terasa hidup dengan bisikan kekaguman saat para murid berkumpul, mata mereka tertuju pada Viole. Kecantikannya yang halus tampaknya memikat mereka, menarik hati mereka kepadanya seperti ngengat ke nyala api. Kulit porselennya, sehalus beludru seperti bayi, tampak bersinar di bawah hangatnya sinar matahari, memberikan mantra pesona pada semua orang yang melihatnya.
Meskipun sikap Viole dingin dan menjaga jarak, hal itu sepertinya hanya menambah daya tariknya, membuat para murid terjerat dalam jaringan ketertarikan. Aura misteri dan ketidakpeduliannya hanya memperkuat keinginan untuk mengungkap teka-teki dirinya. Setiap garis wajahnya, setiap fitur yang terpahat sempurna, membuat penasaran orang-orang di sekitarnya.
"Mereka semua keparat, aku benci mereka," balas Viole sambil menyilangkan kedua tangannya.
"Jangan marah dasar bayi." Theodore terkekeh yang semakin membuat Viole kesal.
Sebenarnya Theodore juga menarik perhatian para murid, dengan pesona nakal dan energi hiperaktifnya. Seringainya yang jahat dan sikapnya yang ceria memiliki efek magnetis pada orang-orang di sekitarnya. Seolah-olah Viole dan Theodore adalah bintang dari produksi teater mereka sendiri, dengan para murid memainkan peran sebagai penonton yang taat. Bisikan kegilaan memenuhi udara, tatapan terpesona tertuju pada wajah halus Viole dan kehadiran Theodore yang penuh semangat.
Lekas Louie berdiri dan tersenyum cerah. "Oh Ayolah, jangan selalu mengutuk, harusnya kau sedikit bangga kan karena punya banyak penggemar?" Sementara Louie, dia punya sifat bertentangan dengan Viole karena lelaki bermata biru itu selalu suportif dan baik hati. Sikapnya lembut dan punya senyum yang tulus.
Peluncur roket sudah berdiri tegak dan kokoh, menunggu perintah mereka. Theodore dengan penuh semangat meraih pompa itu, energinya hampir tidak dapat ditahan. Sedangkan Louie akan memegangi badan peluncur roket agar tetap seimbang. Bagaimana dengan tugas Viole? Dia akan mencatat jarak terbang roket tersebut sebagai bahan untuk membuat laporan nanti.
Saatnya tiba—Theodore melepaskan pompanya dan roket itu meledak menjadi hidup, melesat ke langit dalam lengkungan yang indah. Kegembiraan saat itu memenuhi udara dan gumaman semangat dari teman-teman sekelas mereka semakin keras. Mata Viole mengikuti lintasan roket yang ternyata terbang sangat jauh, lebih jauh dari kelompok sebelumnya yang meluncurkan roket. Sesaat membuat kagum guru Fisika mereka dan ketika roket tersebut mendarat serta Viole segera mengukur jarak roket tersebut dan mendapatkan jarak terjauh dari kelompok lain. Mereka mendapatkan pujian dari guru mereka. Hal ini sukses membuat Louie sangat bahagia, disusul kebanggaan Theodore, sementara Viole hanya tersenyum, tetapi tak bisa dimungkiri jika dia juga merasa senang.
****
Saat bel berbunyi, menandakan pergantian jam pelajaran, Liza bersama dengan dua rekan kelompok Fisikanya sangat tidak sabar dengan pelajaran selanjutnya. Kegembiraan memenuhi udara ketika para murid mendiskusikan proyek mereka yang sebentar lagi akan diluncurkan---roket air. Sayangnya, Liza tidak menyadari bahwa masalah akan segera terjadi.
Saat dia dan temannya mengobrol, tiga murid memasuki kelas mereka. Kini para murid di kelas itu mulai saling berbisik dan menebak apa yang sebentar lagi akan terjadi. Tyler, pembuat onar terkenal, duduk sambil menyeringai di meja Liza sementara Lola dan Ben mengapitnya, ekspresi mereka nakal.
Tyler sebagai pemimpinnya, tiba-tiba berdiri dan berjalan menuju roket air. "Oh, apa yang kita punya di sini?" Dia mencibir, kesenangan jahat terlihat jelas dalam suaranya. "Sepertinya kalian sedang mengerjakan sesuatu yang cukup penting ya?"
Lola bersandar di meja Liza juga, suaranya dipenuhi cemoohan. "Wah, wah, nah, apa yang kita punya di sini? Sedikit eksperimen sains, ya? Kuharap kalian tidak terlalu terikat pada roket ini karena ini akan segera dihancurkan."
Hati Liza tenggelam saat dia melihat Tyler mencengkeram roket itu, kemudian Lola mengancam akan menghancurkannya. Ketakutan membanjiri dirinya, tapi dia menolak menunjukkan kelemahan. "Tyler, tolong, ini untuk latihan fisika kami, kami sudah berusah payah mengerjakan tugas ini selama beberapa hari," pintanya, suaranya sedikit bergetar.
Lola yang selalu menyukai ketidaknyamanan orang lain, mengambil langkah maju, matanya bersinar karena kegembiraan yang sadis. "Kau tahu, Liza, aku sedang dalam suasana hati yang baik hari ini," Dia mendengkur, suaranya mengandung kebencian yang nyaris tidak bisa disembunyikan. "Aku akan memberimu kesempatan. Beri aku satu alasan bagus mengapa aku tidak boleh menghancurkan roket ini."
Pikiran Liza berpacu saat dia mati-matian mencari argumen yang meyakinkan. Dengan suara gemetar, dia memohon, "kami telah bekerja keras dalam hal ini, Lola. Ini bukan hanya tentang kami lulus tugas; kami sudah bekerja keras bahkan kami mengeluarkan uang untuk membeli bahan roket ini. Kumohon jangan hancurkan roket kami, ini demi nilai kami juga."
Mata Lola menyipit, sejenak merenungi perkataan Liza. Namun, kilatan superioritas di matanya memperjelas bahwa dia sudah mengambil keputusan. Sambil menyeringai jahat, dia mengambil roket itu dari tangan Tyler dan dengan sengaja mematahkan sayap halusnya, menjadikannya tidak berguna.
"Oops, aku tak sengaja, sayang sekali sayapnya jadi lepas," ujar Lola yang kemudian terdengar tawa Ben dan Tyler.
Hati Liza tenggelam. Air mata menggenang di matanya saat dia menyaksikan proyek yang telah menghancurkan hati dan jiwanya di depan matanya. Namun, siksaan tidak berakhir di situ.
"Lola, kaujahat sekali jangan merusak proyek penting seseorang, bagaimana jika nanti roket ini calon roket terbang ke Jupiter?" kata Ben, "kemarikan, biar aku perbaiki!" Tanpa pikir panjang, Ben memanfaatkan kesempatan itu untuk menimbulkan kerusakan lebih lanjut. Dia dengan cepat mengambil gunting dan menebas badan roket, membuatnya tidak bisa diperbaiki lagi. Gunting logam bergesekan dengan plastik, sebuah simfoni kehancuran yang kejam. "Lihat, lebih baik dari sebelumnya 'kan?" Ben berikan roket tersebut pada Tyler.
Tyler mencondongkan tubuh ke dekat Liza, suaranya penuh dengan kemenangan atas dendamnya. "Ini dia, Liza. Proyek kecilmu yang berharga, hancur." Dia menjatuhkan roket tersebut ke lantai kemudian mengangkat tangan dan mendorong bahu Liza, menyebabkan dia tersandung ke belakang. Dengan seringai jahat, dia mencondongkan tubuh ke arahnya dan menuangkan sebotol air ke atas kepalanya, membasahinya dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Saat tawa ketiganya memenuhi ruangan, Liza berdiri di sana, basah kuyup dan hancur. Air mata bercampur dengan air di wajahnya. "Kasihan sekali Liza kecilku." Lola berucap sebelum melenggang pergi dari kelas tersebut yang kemudian disusul Ben dan Tyler.
Sepeninggalan mereka bertiga, Emma masuk ke dalam kelas hendak membantu Liza. "Hey, maaf ... aku akan membantumu."
Sayangnya dengan cepat Liza tepis tangan Emma. "Jangan berpura-pura bersikap baik padaku! Kau sama saja seperti mereka, dasar munafik." Liza pun pergi meninggalkan Emma yang kini Emma merasa bingung harus berbuat apa.
****
Viole dengan masih mengenakan kacamata bundar melenggang ke lapangan sekolah, memegang erat tote bag berisi makanan ringan dan minuman. Matahari sore memancarkan sinar keemasan yang hangat di sekeliling, menyinari lapangan hijau cerah tempat latihan pemandu sorak Chelsea berlangsung. Begitu dia melangkah ke lapangan, semua mata tertuju padanya, meski dia sudah tidak asing lagi menjadi pusat perhatian dengan penampilannya yang mencolok.
"Kenapa di sini?"
"Kudengar dia akrab dengan Chelsea."
"Apa yang dia lakukan?"
Viole abaikan bisikan para murid dan mengamati area lapangan, tatapannya dengan cepat menemukan Chelsea di antara regu pemandu soraknya. Angin mengacak-acak rambut panjang Chelsea yang dikuncir kuda, membuatnya menari-nari di sekitar wajahnya saat dia berinteraksi dengan riang dengan rekan satu timnya. Sudah diyakini jika para murid terpesona saat melihat senyum Chelsea, tetapi berbeda dengan Viole karena tak memperlihatkan ekspresi yang begitu kentara.
Salah satu rekan Chelsea berucap, "Chels kurasa lelaki imut itu sedang mencarimu."
Kini manik mata Viole bertemu dengan Chelsea dan senyum cerah menghiasi wajah perempuan itu. Pom-pomnya berputar dengan anggun saat dia memberi isyarat agar dia mendekat. Para murid di sekitar mereka berbisik dengan nada pelan, tertarik dengan interaksi tak terduga antara anak baru yang imut dan cantik dengan Chelsea si gadis populer yang memukau.
Sambil menarik napas panjang, Viole berjalan menuju Chelsea. "Hey."
Sesaat mata Chelsea berbinar saat dia melihatnya, keceriaannya semakin meningkat. Dia melompat dengan energi yang tak tertandingi, pom-pomnya bergemerincing di setiap langkah. "Oh God! Aku tak menyangka. Kamu benar-benar datang!" Chelsea lalu diam membisu ketika memperhatikan secara jeli si lelaki lebih muda darinya ini terlihat berbeda terutama dengan kacamata bundar dan ada plester di pipinya.
"Tentu saja, ini karena aku harus memenuhi permintaan karena kalah tantangan," gumam Viole.
"Lalu kenapa dengan wajahmu? Kenapa kau gunakan kacamata, apa kau sengaja untuk menarik perhatian seseorang?" kata Chelsea sedikit menggoda.
"Pipiku luka, lalu aku pakai kacamata agar plester luka ini tidak terlalu nampak," balas Viole tanpa mengambil maksud lebih dalam akan perkataan Chelsea.
Sialan, lelaki ini memang berbeda dengan laki-laki lain. Viole tak tertarik dengan percintaan, sepertinya. "Okay, tapi jujur kau cocok dengan kacamata itu. Dan tote bag itu untuk apa?"
"Untukmu." Perlahan Viole menyerahkan tote bag itu pada Chelsea. Sesaat wajah Viole jadi lembut dan suaranya penuh kehangatan. "Aku membawakan beberapa makanan ringan untukmu. Kupikir kamu mungkin lapar setelah latihan."
Barusan apa yang lelaki ini bilang? Hey! Chelsea hanya meminta Viole datang jadi tak perlu membawakannya makanan ringan! Namun, tak bisa disangkal jika degup jantung Chelsea berpacu. Manis sekali sifat lelaki ini.
"Viole, kau sangat luar biasa! Terima kasih, aku sangat menghargai ini!" Dia terkikik, tidak bisa menahan kegembiraannya.
"Ya, aku senang jika kau menerimanya," balas Viole tersenyum tipis.
Kini Chelsea jadi gugup, ia genggam erat tote bag tersebut. "Kurasa aku harus kembali latihan. Aku akan memakan camilan ini dengan anggotaku."
"Tentu, pergunakan lah waktumu," balas Viole.
"Kau bisa duduk di pinggir lapangan untuk menontonku berlatih," ujar Chelsea.
"Akan kulakukan." Baru Viole hendak pergi, tetapi dihentikan Chelsea karena perempuan itu lekas memperbaiki plester di pipi Viole yang hendak lepas.
"Plester bintangmu mau lepas," ujar Chelsea kemudian melenggang pergi karena saking dia malunya dan wajahnya memerah padam. Sementara Viole menatap bingung.
"Kenapa dia?" gumam Viole.
Tidak disadari oleh lelaki itu jika dari kejauhan, Theodore dan Louie diam-diam mengikuti Viole sampai ke lapangan. Mereka hendak memantau apakah Chelsea menerima pemberian Viole atau ditolak.
"Syukurlah diterima," ujar Louie.
"Ya, tapi aku khawatir, Chelsea itu berbahaya, jangan sampai kepolosan Viole ternodai." Theodore berucap.
"Aku setuju."
****
Chelsea terengah-engah saat dia keluar dari lapangan pemandu sorak, merasakan sensasi terbakar yang memuaskan di otot-ototnya akibat latihan yang intens. Keringat bercucuran di dahinya, tapi dia tidak mempedulikannya, pikirannya terfokus pada waktu istirahat yang sangat dia butuhkan yang menunggunya di kamar kecil. Dia berjalan dengan penuh tujuan, kakinya yang panjang dan kencang ditonjolkan oleh seragam pemandu soraknya.
Melangkah ke kamar mandi, Chelsea mengambil waktu sejenak untuk bernapas, suara air mengalir menenangkan indranya. Namun, ketenangannya dengan cepat hancur ketika dia melihat Serena dan kelompoknya, seringai licik terpampang di wajah Serena. Bukan rahasia lagi kalau persaingan mereka melampaui lapangan pemandu sorak dan tarian modern.
Mata Chelsea menyipit saat Serena mendekat, suaranya mengeluarkan racun. "Yah, baiklah, kalau bukan Chelsea yang disebut ratu pemandu sorak. Siapa lagi yang bisa membuat para murid tergoda." Teman-teman Serena tertawa di belakang, jelas-jelas senang dengan konfrontasi tersebut.
Chelsea tetap tenang. "Ada apa, Serena? Cemburu dengan kemampuanku atau perhatian yang kudapat?" Dia membalas, suaranya penuh percaya diri. "Maaf ya Serena, aku sedang tak ingin berurusan denganmu."
Mata Serena berkobar karena marah saat dia melangkah mendekat. "Kau pikir kaubegitu istimewa, bukan? Hanya karena kaubisa melempar pom-pommu ke udara? Nah, sekilas berita, Chelsea, kamu hanyalah seorang bimbo yang dangkal dan senang mencari perhatian."
Kata-kata tajam itu menyakitkan, tapi Chelsea menolak untuk memperlihatkannya. Dia mengepalkan tangannya. "Kau bisa mencoba sepuasnya untuk menjatuhkanku, Serena, tapi kau tidak akan pernah berhasil," katanya, suaranya mantap dan tak tergoyahkan.
Suara tawa Serena bergema di kamar mandi. "Chelsea apakah kau tahu. Jika banyak yang berpikir, kau hanyalah seorang pelacur! Mencoba merayu banyak laki-laki. Kini saja kau berusaha merayu anak baru dan lugu itu kan? Siapa ya namanya, oh Violetta, kau merayu dia dengan tubuhmu? Dasar pelacur menyedihkan!"
"Tutup mulut bajinganmu itu, Serena!" Kini Chelsea persis di hadapan Serena, dia sangat marah terlebih Serema menyeret nama Viole.
"Kenapa? Kau marah karena perkataanku benar 'kan jika kau tidak lebih dari seorang perempuan jalang yang senang memamerkan diri sendiri, kamu mengundang perhatian, seperti seorang pelacur yang putus asa!" Serena tersenyum sementara teman-temannya tertawa.
Chelsea berusaha menenangkan diri meskipun kini kedua tangannya terkepal hingga buku-buku jarinya memutih. "Kau boleh menghinaku semaumu Serena, tapi aku tak terbukti begitu. Tidak sepertimu yang pernah menggoda panitia lomba dance agar kau diberi kesempatan maju ke babak final."
"Kau pelacur!" teriak Serena, "tunggu apa lagi kalian, hancurkan dia!"
Melihat adanya celah, salah satu teman Serena menerjang ke depan, berusaha mendorong Chelsea ke dinding. Namun, refleks Chelsea tajam dan dia menghindar, menyebabkan gadis itu tersandung dan malah menabrak wastafel.
Dengan gelombang kekuatan, Chelsea mengambil kendali konfrontasi, menghadapi Serena secara langsung. Dia menggenggam erat pergelangan tangan Serena, matanya bersinar penuh tekad. "Dengarkan baik-baik, Serena. Jika kamu pikir kamu bisa mengintimidasiku, kamu salah besar dan jangan pernah sekali-kali kau membawa nama Viole."
Kata-katanya mengejutkan dan wajah Serena berubah karena frustrasi dan marah. "Kau takkan menang Chelsea."
Maka sebelum Chelsea bisa unggul, teman Serena memanfaatkan kesempatan tersebut. Dengan seringai jahat, dia mengambil ember di dekatnya, berisi air kotor dan dengan cepat menyiram Chelsea dengan isinya yang busuk. Guncangan sedingin es dari air yang mengalir ke seluruh tubuhnya membuat tulang punggungnya merinding, seragam pemandu soraknya menempel di tubuhnya seperti kulit kedua yang basah kuyup.
"SERENA!" teriak Chelsea.
Terengah-engah dan basah kuyup, sayangnya sebelum dia melawan. Dengan gerakan cepat dan terkoordinasi, mereka mengalahkan Chelsea, menyeretnya ke salah satu bilik toilet, mencabut kunci toilet tersebut, dan membanting pintu hingga tertutup, meninggalkan Chelsea terjebak dalam ruang sesak. "Serena keluarkan aku dari sini!"
Di dalam bilik toilet yang terbatas, jantung Chelsea berdebar kencang karena campuran kemarahan dan frustrasi. Dia memukulkan tinjunya ke pintu, suaranya bergema di seluruh kamar kecil, pintunya bergetar karena benturan, tapi tetap kokoh.
Di luar, tawa Serena mengejeknya, bergema di seluruh ruangan kosong. "Nikmati waktumu di sana," seru Serena, suaranya meneteskan kepuasan sadis. "Kita lihat saja berapa lama kamu bisa bertahan."
Teman-teman Serena juga ikut tertawa bahkan ada yang merekam kejadian ini. Namun, jauh sebelum mereka merasa puas. Seseorang memasuki kamar mandi tersebut dan merebut pelan ponsel teman Serena yang membuat pemilik ponsel terkejut.
"Ponsel yang bagus, tapi bolehkah aku memotong perbuatan keji kalian dan lepaskan Chelsea karena aku ingin bicara dengannya." Itu adalah Viole yang dengan beraninya masuk ke toilet perempuan kemudian tersenyum simpul.
Di dalam bilik toilet, Chelsea bisa mendengar suara samar-samar Viole jadi dia menggedor pintu tersebut, lagi. "Viole!"
"Diam kaupelacur!" teriak Serena yang kini menatap sinis pada Viole karena tak ia sangka jika lelaki ini akan muncul. "Kembalikan ponsel temanku, sialan, lalu betapa menjijikannya dirimu karena masuk ke toilet perempuan."
Viole sesaat menelengkan kepalanya. Tatapannya polos, tapi mengandung kebencian. "Hey, sepertinya kamu tidak paham dengan perkataanku. Jadi biar kuberi usulan untukmu: lepaskan Chelsea atau aku akan menyebarkan rekaman ini agar seluruh sekolah dapat melihatnya, bagaimana si ketua modern dance, pekerjaan tambahannya adalah merundung."
Serena berucap, "wah si kecil ini berani mengancam ya?" Maka tanpa aba-aba salah satu teman Serena mendorong Viole, menampar wajah Viole hingga kacamata lelaki itu lepas, kemudian merebut ponsel tersebut kembali dam menghapus rekamannya.
"Maaf, sudah terhapus," kata teman Serena terkekeh kecil.
"Kasihan sekali adik kecil ini, gagal jadi pahlawan," kata Serena seraya menatap Viole seperti menatap anak kecil. "Apakah kau akan menangis? Bagaimana caramu untuk menghentikanku karena kau tak punya bukti lagi? Ayo merengek untukku atau kau mau kubelikan permen, baby boy!"
Viole menghela napas. Dia perlahan mengambil kacamatanya, dibersihkan dengan ujung seragamnya, kemudian dia kenakan lagi. "Aku tak punya bukti," kata Viole tersenyum, "tapi mereka punya."
Maka dari arah pintu, Louie dan Theodore menyembulkan kepala mereka dengan Louie yang merekam semua kejadian tersebut menggunakan kameranya. Melihat kedua adik kelas tersebut, mata Serena membelalak. Jadi sejak awal lelaki ini tidak sendiri?!
"Halo," sala Louie seraya memperlihatkan dirinya dan masih merekam dengan kameranya. "Kalian memberiku video dokumentasi yang bagus."
Theodore kemudian tersenyum sinis. Serena mengenal Theodore karena lelaki itu adalah anak salah satu keluarga berpengaruh di kota ini. "Dia anak jurnalistik, kalian memberinya bahan mading dan video vlog yang bagus. Aku penasaran bagaimana jika video ini tersebar."
Serena mengepalkan kedua tangannya yang gemetar, kini ia takut karena reputasinya alan hancur terutama jika tersebar ke media sosial maka citranya di dunia maya juga akan rusak. "Baiklah, aku minta maaf!" Maka lekas dia membuka pintu bilik toilet tersebut.
"Sekarang kalian puas dasar bocah kurang ajar! Hapus rekaman itu sekarang juga!" teriak Serena dan perlahan Chelsea keluar dari dalam bilik toilet.
Kini Chelsea menatap Viole yang melangkah mendekati Serena. Meskipun lelaki itu lebih pendek dari Serena, tetapi Viole menatap dengan sangat tajam dan penuh kebencian. "Tentu saja tidak bodoh, video itu akan jadi hak milikku dan jika kau berani mengganggu Chelsea lagi, maka bersiaplah reputasimu hancur! Jadi pergilah sekarang karena wajahmu sangat menggangguku!"
Serena tak bisa melawan akhirnya pergi meninggalkan toilet tersebut bersama dengan teman-temannya. Ia sempat membenturkan bahunya ke Theodore dan menatap sinis Louie. Kemudian menghilang dari pandangan mereka.
"Wow, perempuan itu sangat mengerikan," kata Louie menyudahi rekamannya.
"Itu baru satu, masih ada banyak lagi di luar sana," timpal Theodore.
Sementara Viole menghela napas dan kini menatap pada Chelsea. "You okay? Apa ada yang terluka---"
Diam membisu adalah reaksi Viole ketika Chelsea mendekap tubuh Viole. Lalu Chelsea mendorong Viole lagi karena baru tersadar jika Viole akan terkena basah Chelsea akibat dia disiram air kotor tadi. "Maaf tubuhku basah ... lalu terima kasih sudah menolongku. Aku sangat berterima kasih padamu, aku tak tahu harus berbuat apa jika kau tak datang."
"Tidak perlu berterima kasih," ujar Viole.
Perlahan Chelsea menyentuh pipi Viole yang memerah. "Maaf karenaku, pipimu jadi memerah."
"Aku baik-baik saja jangan khawatir," sahut Viole karena bingung harus menjawab dengan kalimat apa.
Suara Theodore berdeham. "Maaf menginterupsi, tapi kita tak bisa berlama-lama di sini." Dia mengambil kacamata Viole yang ada di lantai kemudian diberikan pada Viole kembali.
"Kau benar, thank's sudah menyelamatkanku lalu ... bisakah aku meminta satu bantuan terakhir pada kalian?" Chelsea menatap manik mata Viole. "Tolong ambilkan tasku yang berisi baju gantiku, aku tak bisa keluar dalam keadaan basah kuyup. Ada yang mau mengambilkannya?"
Sontak Louie dan Theodore menunjuk pada Viole yang sedang memasang kembali kacamatanya. Kini Viole menatap dengan mata membulat. "Aku?" Kemudian dibalas anggukan oleh kedua temannya.
"Viole tolong aku lagi," ujar Chelsea.
"Baiklah!" balas Viole lekas melangkah untuk mengambilkan tas Chelsea.
Kini tersisa mereka bertiga disana dan sangat canggung. "Kurasa kami harus pergi." Theodore memecah keheningan.
"Okay, thanks atas bantuan kalian lalu bolehkah aku bertanya?"
"Ya, tanyakan saja," kata Louie.
"Kenapa Viole dan kalian bisa di sini, kalian memang sengaja mencariku?" tanya Chelsea.
"Ya, Viole yang mencarimu," balas Theodore.
Louie menambahkan. "Dia mencarimu karena dia mau izin mengambil susu kotak rasa pisang miliknya yang tak sengaja tercampur dengan susu kota lainnya di tote bag yang dia berikan padamu, dia tak berani mengambil tas itu karena ada di antara anggotamu, jadi dia hendak menemuimu dulu."
Chelsea mengerjap-ngerjap setelah mendengar penjelasan itu. "Susu rasa pisang?"
"Iya, dua kotak susu rasa pisang lebih tepatnya."
"Ah ... dia tidak bisa ditebak ya," kata Chelsea.
"Aku setuju denganmu," balas Louie
"Dia memang aneh," sahut Theodore, "ayo kita pergi, Louie."
Chelsea terkekeh, menatap cermin. "Susu kotak rasa pisang. Oh Chelsea, kau pasti becanda 'kan kalau menyukai 'berondong' itu."
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
Waduh bahaya nih, apakah Chelsea sudah mulai menyukai Viole?
Lalu Viole punya sahabat baru, semoga betah ya dia dengan para sahabatnya yang menyebalkan itu~
Prins Llumière
Sabtu, 04 November 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top