Chapter 14: Please Mom, stop Please
Sudah beberapa hari berlalu semenjak kejadian murid di tahun kedua---Adisa yang jatuh dari lantai dua. Dia berhasil selamat meskipun kini harus menjalani perawatan yang intensif di rumah sakit. Kemudian dokter mengatakan jika kedua kakinya dan tangannya pasti akan sembuh meskipun memerlukan waktu berbulan-bulan. Sempat terjadi kericuhan akibat orang tua perempuan tersebut yang meminta sekolah bertanggung jawab dan melakukan penyelidikan. Maka hal tersebut dilakukan kembali oleh Deputy Francis dan Jeremiah Walter.
Mereka mengecek tempat kejadian serta kamera pengawas, sayangnya tak ada kamera pengawas yang menyorot sudut tempat Adisa jatuh dari lantai dua, benar sekali jika hasilnya tetap nihil bahkan tidak ada tanda-tanda kekerasan atau perlawanan jika semisal ada seseorang yang berusaha membunuh Adisa. Para murid kini berasumsi dan mengatakan jika bisa saja si Adisa tidak sengaja terpeleset dan jatuh dari lantai dua. Namun, pihak kepolisian belum mengatakan apa jawaban pastinya.
Hingga akhirnya setelah tak sadarkan selama tiga hari. Adisa pun siuman, hari esoknya, Deputy datang untuk menanyakan apa yang terjadi padanya pada hari itu lalu jawaban Adisa sangat mengejutkan. "Ini salahku sendiri, aku ceroboh, aku stress dengan kehidupan sekolahku dan menjatuhkan diriku dari lantai dua."
Satu jawaban yang sukses membuat semuanya terdiam dimulai dari Deputy Francis, Jeremiah Walter, hingga orang tua Adisa. Maka atas pernyataan langsung dari korban tersebut, kasus itu ditutup sebagai percobaan bunuh diri.
"Kau baik-baik saja Matt?" kata Jeremiah Walter seraya duduk di kursi depan Deputy Matthias Francis. "Ayolah jangan bersedih, anak itu kali ini selamat dan ternyata percobaan bunuh diri. Jadi tak ada pembunuh berantai berkeliaran. Yah meskipun sedih juga karena dia berusaha bunuh diri."
Deputy Francis menghela napas. "Aku masih tak yakin dengan jawaban anak itu. Bunuh diri, rasanya tak masuk akal."
"Matt, aku tahu kau lelah, tapi di zaman sekarang, banyak anak-anak yang berpikir ingin bunuh diri terlebih jika ada banyak masalah yang menimpa mereka," ujar Jeremiah, "jangan menyalahkan dirimu, okay? Kita sudah berusaha semaksimal mungkin termasuk mengenai Chuck, tapi kita tak bisa menemukan petunjuk lain untuk mengungkapkan kasus ini."
"Haruskah aku memanggil detektif terkenal?" ujar Francis agak frustrasi, "terlebih lagi ada pembunuh berantai di kota kita ini."
"Andai Sherlock Holmes atau Hercule Poirot benar nyata. Kurasa mereka bisa menyelesaikan kasus kita dengan mudah," ujar Jeremiah yang mendapat tatapan dari Deputy Francis. "Putriku Emma, dia sering bercerita mengenai tokoh detektif dari film yang dia tonton."
Deputy Francis menganggukkan kepalanya. "Kuharap putrimu selalu dilindungi di mana pun dia berada." Lalu tak lama, terdengar bunyi dering ponsel Deputy Francis yang kencang. Dia angkat panggilan tersebut yang setelah mendengar perkataan seseorang di seberang sana. Wajahnya menjadi pucat. "Baiklah kami akan segera kesana!"
"Ada apa?" kata Jeremiah.
"Cepat! Kita akan menuju rumah Keluarga Bernardus. Seorang warga menemukan jika satu keluarga tersebut mati dengan tubuh termutilasi!" Maka keduanya bergegas menuju mobil mereka, sirine mobil dinyalakan, dan lekas menembus padatnya jalan raya.
Mari kembali ke sekolah. Murid tahun pertama kini disibukkan dengan tugas Fisika yang telah diberikan beberapa hari lalu. Tugas ini berupa praktikum Fisika yang membahas hukum Tiga Newton sehingga harus membuat roket air secara berkelompok. Satu kelompok terdiri dari tiga orang. Dikarenakan pemilihan kelompok ini bisa dipilih sendiri jadi Viole satu kelompok dengan Louie dan Theodore, lagi pula hanya dua orang itu saja yang ia kenal dan akrab, ia tak mau harus memulai obrolan dengan orang lain.
Sepulang sekolah, mereka berniat untuk mengerjakan tugas tersebut di rumah Louie yang kebetulan ada banyak bahan tak dipakai yang menumpuk di gudang rumahnya jadi bisa digunakan dari pada ujung-ujungnya dibuang saja. Kini mereka bertiga menuju parkiran sekolah. Bisa dikatakan jika jarak dari sekolah ke rumah Louie sangat jauh, jadi memerlukan uber atau menaiki kendaraan sendiri.
"Jadi kau menaiki sepeda ke sekolah?" kata Theodore menatap pada Louie yang melepaskan rantai di roda sepedanya supaya tidak ada oknum jahat yang hendak mencuri sepedanya.
"Ya tentu saja, kaupikir aku punya motor atau mobil?" balas Louie, "lagi pula sepeda ini juga susah payah kubeli, aku harus kerja sambilan agar bisa menabung dan mendapatkan uang demi membeli sepeda ini. Jika motor dan mobil, kuyakin aku butuh waktu 100 tahun agar bisa membelinya."
Sesaat Theodore terdiam. Ia baru tahu jika Louie bekerja padahal di umur segini mereka sebenarnya dilarang untuk bekerja dan akan mendapatkan masalah jika ketahuan pihak sekolah. "Di mana kau bekerja?" kata Theodore yang kini mereka bertiga berjalan menuju parkiran motor karena Theodore membawa motor.
Louie mendorong sepedanya pelan. "Aku bekerja di dua tempat, pertama setiap malam di sebuah kafe, karena aku masih di bawah umur, mereka menempatkanku di bagian mencuci piring dan gelas. Lalu khusus hari Sabtu dan Minggu aku bekerja di restoran kecil, aku bekerja sebagai pelayan yang membersihkan meja sekaligus mengantarkan makanan pada pengunjung. Terkadang di pagi hari, kalau aku sempat, aku juga bekerja mengantarkan koran dari rumah ke rumah, tapi pendapatan ini kecil terlebih masyarakat sudah tak tertarik membaca koran dan lebih memilih membaca berita di internet."
Perkataan Louie sukses membuat Theodore dan Viole diam sejenak, terutama Theodore yang merasa sangat tak berguna karena sejak kecil segala kebutuhannya sudah terpenuhi, apa pun yang ia inginkan juga langsung diberikan. Ia ingin ponsel baru, pakaian mahal, hingga motor terbaru dan mewah karena ia suka menaiki motor entah pergi ke mana pun terutama night ride, semua itu terpenuhi tanpa ia harus bekerja keras.. "Bagaimana dengan ayahmu?"
Ada jeda agak lama sebelum Louie menjawab, "dia sudah lama pergi, dia berselingkuh dengan wanita lain ketika umurku 10 tahun, intinya saat aku masih sekolah dasar dan dia meninggalkan aku dan ibuku."
Viole seketika menendang pergelangan kaki Theodore yang ditutupi sepatu, sesaat lelaki itu memekik. Ia lekas menatap pada Viole yang memberikan tatapan tajam. "Jangan banyak bertanya bodoh." Itukan kalimat yang hanya bisa didengar oleh Theodore.
Sebenarnya Theodore hendak marah karena Viole menendang kakinya, tetapi ia urungkan karena merasa sedih pula dan tak enak hati dengan Louie yang ternyata hidupnya cukup berat. Dikarenakan ada diam dan jeda yang membuat suasana jadi canggung. Theodore secepat mungkin mencari topik baru. "Bagaimana denganmu, kau tak punya kendaraan?"
Sekarang Viole yang jadi sasaran si lelaki kaya raya dan suka naik motor ini. "Tidak, aku pergi ke mana pun dengan jalan kaki atau memesan uber."
"Payah sekali," balas Theodore tiba-tiba memekik karena Viole menghantam bahu Theodore dengan sangat kuat.
"Jangan menghina karena kau punya segalanya." Viole memelototi Theodore. Sementara Louie terkekeh melihat interaksi keduanya. Tak disangka kini mereka semakin dekat padahal sebelumnya seperti tak saling mengenal.
"Baiklah sudah dengan pertengkarannya. Karena Viole tak punya kendaraan dibandingkan dia naik uber yang mahal jika ke rumahku, bagaimana jika kau membonceng Viole?" kata Louie seraya menatap Theodore.
Detik itu, Theodore diam sejenak, ia tak berpikir akan kemungkinan jika ia harus membonceng Viole! Sumpah, Demi Tuhan, dia sama sekali tak pernah membonceng siapa pun selama menggunakan motor ini! Bahkan ibunya saja tidak pernah duduk di kursi belakang motornya. Namun, dipikir-pikir lagi, ini satu-satunya jalan karena akan susah juga kalau hanya Viole yang menaiki uber. "Baiklah, tapi bukankah persetujuan juga harus ada darimu?"
Viole memutar bola matanya. "Ya, aku tak masalah."
"Okay! Kalian ikuti saja aku, tenang, aku sangat cepat jika membawa sepeda dan kalian takkan bisa membalapku!" Jadi Louie kenakan helm sepedanya kemudian mengayuh sepeda merah tersebut setelah Theodore dan Viole berada di atas motor.
"Jika kau balap dia, kau kubunuh," ucap Viole.
"Aku tahu bodoh, aku takkan membalap dia karena aku bahkan tak tahu di mana rumahnya!" balas Theodore mulai mencap gas.
Kini mereka menyusuri jalan raya yang cukup lengang, cuaca hari ini teduh karena matahari tak bersinar terik dan awan-awan terus berarak menutupi matahari. Sepoi-sepoi angin juga terasa sejuk. Membuat perjalanan mereka jadi tak melelahkan.
****
Butuh waktu hingga 35 menit agar sampai di rumah Louie karena rumahnya berada di perumahan para warga Erysvale berbeda dengan apartement yang terletak di kota jadi jauh dari segala akses. Kini mereka sampai di halaman rumah Louie. Lelaki itu terlihat memarkirkan sepedanya. Kemudian berucap, "selamat datang, maaf sangat berantakan, aku tidak sempat memangkas rumput-rumput ini."
Rumah Louie berdiri sederhana di jalan yang sepi, jauh dari hiruk pikuk kota. Terletak di antara rumah-rumah sederhana lainnya. Itu adalah rumah kecil berlantai satu dengan fasad tua, cat eksteriornya telah memudar selama bertahun-tahun, membuatnya tampak usang dan lapuk. Genteng yang sudah aus dan retak, mengeluarkan tetesan air saat hujan deras, meninggalkan noda di langit-langit di dalamnya.
"Tidak masalah," ujar Viole berjalan lebih dulu selagi Theodore memarkirkan sepeda motornya. Kini lelaki itu mengedarkan pandangannya sesaat.
Halaman rumah ini kecil, rerumputan tinggi dan berhasil tumbuh di tengah trotoar yang retak. Sebenarnya ada halaman kecil juga di belakang rumahnya yang menjadi tempat perlindungan bagi Louie. Tempat di mana dia bisa melepaskan diri dari kekhawatiran dunia, menikmati kelembutan rumput di bawah kaki telanjangnya. Rerumputan, yang kadang-kadang ditumbuhi tanaman, menggelitik jari kakinya saat dia duduk di bawah pohon ek yang menjulang tinggi, mencari ketenangan dalam naungan pelindungnya. Halamannya, meski sederhana, menyimpan rasa tentram, tempat perlindungan yang tenang bagi Louie untuk beristirahat ketika dia membutuhkan kedamaian dan kesunyian.
"Ayo masuk, jangan sungkan okay, di rumah ini hanya ada aku. Ibuku kemungkinan pergi keluar untuk bekerja," ujar Louie.
Saat mereka mendekati pintu depan, Louie memasukkan kunci ke dalam lubangnya, cat yang sudah usang hampir tidak menempel pada permukaan kayu. Pintunya berderit terbuka, memperlihatkan interior hangat dan ramah.
Di dalam, ruang tamu memancarkan rasa keakraban. Sebuah sofa usang, ditutupi dengan selimut biru dongker, bersandar pada wallpaper yang dihiasi pola bunga yang mengelupas. Bingkai foto yang tidak serasi, mengabadikan momen kegembiraan dan nostalgia, berjejer di dinding. Atap yang bocor telah menciptakan noda-noda kecil di langit-langit yang kendur, yang selalu mengingatkan akan kerusakan yang dialami rumah ini.
Rumah ini sederhana, tapi nyaman, hingga Theodore dan Viole menatap di pinggir, dekat dengan dinding. Ada beberapa botol vodka maupun beer yang kosong yang berserakan. Mereka juga mencium bau asap rokok jadi lekas Louie membuka jendela di rumahnya agar tak terlalu mengganggu. "Maaf ya, ibuku suka minum dan mabuk jadi ... ada banyak vodka dan beer di sini. Yeah, beginilah rumahku, tapi jangan khawatir, kamarku lumayan rapi dan bersih. Semua barang yang kita perlukan ada di kamarku. Ayo masuk!"
Sungguh terlepas dari semua kekurangannya, rumah itu adalah surga bagi Louie dan ibunya karena ini satu-satunya tempat mereka tinggal dan Louie merasa rumahnya ini adalah tempat yang aman dan dicintai.
Louie menuntun Viole dan Theodore menuju kamarnya, suara lantai kayu berderit. Saat membuka pintu, ruangan itu menyambut mereka dengan serangkaian poster yang berserakan, tempat tidur nyaman yang dihiasi selimut usang, dan meja kecil yang dipenuhi buku pelajaran dan perlengkapan sekolah.
"Kita sudah sampai, teman-teman," kata Louie sambil tersenyum hangat. "Di sinilah semua keajaiban terjadi."
Viole mengamati ruangan itu, kamar yang sangat sederhana. Theodore juga mengedarkan pandangannya, dia merasa asing dengan kamar seperti ini karena ia selalu berada di kamar yang sangat luas, ranjang mewah, dingin karena ada air conditioner bahkan kamar mandi di dalam kamar.
"Aku suka kamarmu," ucap Viole meskipun wajahnya tak menunjukkan ekspresi yang kentara.
"Tentu saja! Meskipun kecil, tapi ini sangat nyaman. Aku juga punya banyak cat dan kanvas karena aku senang menggambar. Oh ya!! Kita punya semua yang kita butuhkan untuk membuat roket air!" katanya sambil menunjuk ke arah tumpukan di dekat kasurnya yang dipenuhi berbagai bahan. Botol soda kosong, dibilas dengan hati-hati dan siap diubah, berdiri tegak dalam barisan. Sebuah toples berisi lem, gunting, dan spidol warna-warni tersusun rapi di sampingnya. Di dekatnya, setumpuk kardus menunggu transformasinya menjadi sirip.
"Botol-botol ini akan menjadi badan roket. Kita akan memotong bagian bawah dan memasang sirip di bagian belakang untuk stabilitas."
Entah mengapa Louie terlihat sangat bahagia. Seolah-olah ini pertama kalinya, teman sebaya berkunjung ke rumahnya dan dia tak malu mengundang seseorang kemari. Kini Louie meraih sebotol lem, tutupnya agak lengket, dan memberikannya pada Viole. "Lem ini akan menahan semuanya pada tempatnya. Hati-hati jangan sampai jari-jarimu merekatkannya." Louie mengedipkan mata sambil bercanda.
"Okay, kau sangat sigap dalam mengumpulkan bahannya padahal baru dua hari lalu tugas ini diberikan," ujar Viole seraya meletakkan lem tersebut pada tempatnya lagi.
Theodore berkata, "apa kamu yakin bahan-bahan kita cukup, Louie? Aku tidak ingin kita kehabisan bahan di tengah-tengah proyek kita."
Louie menepuk pundak Theodore untuk meyakinkan. "Jangan khawatir, Theodore. Aku sudah mencari setiap botol yang bisa kutemukan. Kita punya banyak hal untuk dikerjakan, percayalah."
"Kalau begitu mari kerjakan karena lebih cepat selesai dan hasilnya maksimal, lebih baik," ujar Viole.
Suasana damai di kamar Louie hancur saat suara gedoran pintu bergema di seluruh rumah. Hati Louie mencelos saat dia mengenali tanda-tanda yang sudah dikenalnya. Tangannya mencengkeram gunting, jari-jarinya gemetar tanpa sadar. Viole dan Theodore bertukar pandangan khawatir.
"Tetap di sini okay? Aku akan segera kembali," bisik Louie kepada teman-temannya, suaranya dipenuhi kecemasan. Dengan langkah ragu-ragu, dia berjalan menuju pintu, hatinya berat menantikan apa yang menunggunya di balik pintu.
Saat dia keluar dari kamarnya, pemandangan di depannya sungguh mengecewakan. Ibunya, Olivia yang berdiri di pintu masuk, matanya sembab dan tertutupi efek alkohol. Kini hidupnya diredam oleh beban stress dan pergumulan pribadinya.
Sambil menarik napas dalam-dalam, Louie melangkah mendekat, suaranya lembut dan menenangkan. "Bu." Louie tergagap, suaranya bergetar saat dia mendekatinya dengan hati-hati. "Ibu pasti lelah, ayo masuk dan istirahat dahulu."
"Siapa di dalam? Motor siapa itu? Apakah kau mengundang para preman ke rumah ini Huh!!"
Louie semakin tergagap. "B-Bu. Tolong tenang. Itu motor temanku, kami hanya mengerjakan sebuah proyek tugas sekolah."
Tatapan ibunya kabur, matanya merah dan dipenuhi amarah. Dia tidak mengucapkan kata-katanya dengan baik dan malah racun menetes dari bibirnya. "Proyek? Apa bagusnya proyekmu, dasar brengsek!! Buang-buang waktumu saja, sementara aku berusaha sekuat tenaga menjaga atap ini tetap menutupi kepalamu. Lebih baik kau bekerja saja, sialan!! Dasar anak berengsek, kau sama berengseknya seperti para penagih utang dan ayahmu!"
"Bu, kumohon." Suara Louie gemetar dan ia hampir menangis. "Aku tahu ibu stres, tapi melampiaskannya seperti ini tidak akan menyelesaikan apa pun. Ayo kita bicara, oke?"
"Bicara, aku tak perlu itu! Ayahmu dulu mengatakan akan menyelesaikan masalah dengan cara bicara baik-baik, tapi dia malah meninggalkanku dan pergi dengan wanita lain!"
Kemarahan yang meresahkan mulai menguasai ibu Louie. Upaya Louie untuk menenangkannya tampak sia-sia karena rasa frustrasinya tampak bertambah secara eksponensial.
"Bu kumohon tenanglah dulu!" Louie mulai menangis sampai dia tak sadar jika Viole dan Theodore mengintipnya dan ibunya.
"Cukup!" teriak ibunya Louie, suaranya melengking menusuk menembus udara tegang.
Dia mengangkat tangannya, maka satu tamparan sukses membuat bekas merah di pipi kiri Louie. Hanya saja satu tamparan sepertinya tak cukup, maka Olivia mengangkat tangannya lagi bersiap untuk menampar wajah Louie. Namun, sebelum serangan itu mendarat, Theodore langsung bertindak, dengan cepat mencegatnya dengan genggaman kuat.
"Tidak, Mrs. Harrison, tolong hentikan! Jangan sakiti anak Anda!" Theodore memohon, dia dengan berani menahan tangan Olivia.
Intervensi tersebut tampaknya menghentikan sejenak kekerasan yang meningkat, tetapi hal itu hanya memicu kemarahan ibunya. Dia tersentak, wajahnya berkerut karena marah. Karena marah, dia dengan paksa mendorong Theodore ke belakang sampai dia kehilangan keseimbangan, tersandung dan jatuh ke lantai.
Jantung Louie berdebar kencang saat dia menyaksikan penyerangan yang terjadi di hadapannya, merasa terpecah antara melindungi teman-temannya dan mencoba berunding dengan ibunya. Namun, agresi ibunya terus berlanjut, matanya kini terpaku padanya, badai kemarahan berputar-putar di dalam diri mereka.
Maka tanpa pikir panjang, Olivia mendorong Louie, lalu dia meraih botol vodka yang sudah pecah. Ujung tajam botol tersebut bersinar terkena sinar lampu. Dengan penuh amarah dan ketidaksadaran, botol tersebut diayunkan dan hendak menggores wajah Louie, tetapi tergagalkan ketika Viole maju dan menolong Louie. Namun, akibatnya pipi kiri Viole yang tergores botol vodka, darah mengalir dari luka tersebut. Viole terlihat meringis sesaat.
Hati Louie hancur. Matanya berkaca-kaca saat melihat darah menetes di wajah Viole. Perpaduan antara kesedihan dan kemarahan melonjak dalam dirinya, menutupi rasa takut yang tersisa. Dengan adrenalin yang terpacu, dia menerjang ke depan dan mendekap ibunya. Suaranya bergetar. "Bu, kumohon berhenti, ini harus dihentikan! Mereka adalah teman-temanku. Tolong jangan lukai mereka Bu, kumohon tenanglah."
Kata-katanya menggantung berat di udara saat ibu Louie merasakan pelukan putranya, sekilas pengakuan dan kesedihan terpancar di matanya. Secercah penyesalan menyapu wajahnya. Perlahan tubuhnya melorot dan membalas pelukan Louie. Air mata mengalir di wajahnya. "Ibu ... Ibu minta maaf," gumamnya, suaranya tercekat karena emosi. "Ibu ... tidak tahu apa yang merasukiku. Maafkan Ibu." Perlahan ibunya tertidur begitu saja dalam pelukan Louie.
Waktu berjalan singkat, Louie merebahkan ibunya di atas sofa dan ditutupi tubuhnya dengan selimut. Sementara Theodore mengobati pipi Viole yang terluka dengan obat luka dan antiseptik serta diberi plester. "Kau menangis?"
"Aku tak menangis!" balas Viole jadi kesal.
Louie mendekati kedua temannya. "Maafkan aku, maafkan ibuku karena melukai kalian."
"Sudahlah tidak apa," kata Viole terdengar lembut. "Kami tak masalah, lagi pula luka ini tak seberapa."
"Dia benar," timpal Theodore, "beruntungnya cowok cantik ini hanya menangis sebentar."
"Fuck you, jerk!" sahut Viole dan Louie tertawa sementara Theodore membuat wajah mengejek setelah menempelkan plester di wajah Viole.
"Jadi bagaimana dengan roket airnya?" kata Louie, "hari sudah menjelang malam."
"Kurasa kita lanjutkan saja karena sebentar lagi roketnya selesai. Aku tak mau menunda hingga hari esok," balas Viole.
"Aku setuju, lagi pula, kami akan baik-baik saja meskipun pulang malam. Terkecuali aku menurunkan cowok cantik ini di jalan raya," balas Theodore.
"Keparat." Viole menyahut. Lalu terdengar tawa mereka lagi.
Kini mereka menyelesaikan tugas mereka. Selain itu Louie juga akan memasak makan malam, dikarenakan Louie tak terlalu pandai memasak jadi Viole mau tidak mau turun tangan yang ternyata lelaki itu mahir dalam memasak. Bahkan tanpa melihat resep di internet pun, aroma masakan Viole sangat lezat dan menggugah selera. Setelah mereka selesai membuat roket, mereka lanjut makan. Ibunya Louie yakni Olivia sudah cukup sadar dan bergabung di meja makan. Setelah permintaan maaf berulang kali dari wanita itu, mereka pun memulai makan malam sederhana.
****
Viole akhirnya sampai di kamar apartement-nya. Dia lekas menaruh barang-barangnya dan mengisi daya baterai ponselnya. Ia lekas menuju kamar mandi dan membersihkan diri serta mengganti plester lukanya dan mengambil beberapa obat kemudian ia teguk bersama segelas air. Kini dia berbaring di kasur seraya menatap langit-langit kamarnya sementara di luar sana, hujan mulai turun dengan deras.
Tidak ia sangka jika ada banyak kejadian yang terjadi di hari ini. Lalu makan malam bersama di meja makan sangatlah asing baginya. Ia tak pernah berada di situasi normal dan sederhana seperti itu. Perlahan dia hampir terlelap hingga ponselnya bergetar dan ada satu pesan masuk. Viole membaca pesan tersebut yang bertuliskan: Violetta~ besok sore aku ada latihan cheerleader, kau harus datang ya untuk menepati janjimu padaku. Aku akan sangat marah dan mengamuk jika kau tidak datang!! Sampai bertemu besok!
Setelah membaca pesan itu. Viole lekas beranjak tidur seraya berkata, "oh fuck, aku harus menemuinya besok!"
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
Ternyata Louie hidupnya cukup menyedihkan yah~ Apakah semua tokoh di sini hidupnya menyedihkan dan punya trauma? Bagaimana dengan masa lalu Viole sendiri?
Kira-kira ada yang bisa menebak kekuatan Viole tidak? eh~
See you next hiding time^^
Prins Llumière
Rabu, 01 November 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top