Chapter 13: Two Boys Awkward

Setidaknya suara Theodore akan terdengar hingga beberapa murid di sekitarnya ketika dia membentak seseorang di ponselnya. Ia sangat geram dan kini dilanda amarah. Kenapa banyak hal yang tak becus dikerjakan bahkan pekerjaan mudah sekali pun? Jika urusannya jadi blunder dan berantakan, dia lebih baik tidak pergi sekolah hari ini dan memilih untuk menyelesaikan urusannya sendiri. Kini dia menuju kantin hendak membeli beberapa minuman sebagai penenang dirinya di tengah riuh menyebalkan ini. Namun, ia urung ke kantin ketika melihat Viole bersama dengan Chelsea dan Monica.

"Sialan Chelsea," gumam Theodore memperhatikan mereka dari kejauhan. "Apa yang ada dipikiran gadis itu hingga terang-terangan mendekati Viole." Hilang sudah nafsu membeli minuman jadi Theodore berbalik dan melangkah cepat menuju toilet.

Berada di sana ternyata sepi, kemungkinan karena para murid sebagian sibuk dengan kegiatan ekskul mereka atau ada yang bolos sekolah. Theodore sendiri tak mengikuti ekskul mana pun karena dia enggan dan tak merasa cocok, lagi pula banyak ekskul yang anggotanya seperti sampah semua contohnya saja ekskul atau tim basket yang menerima para perundung. Tsk, memikirkan hal itu saja membuat darahnya mendidih. Ia ingin sekali menyingkirkan para perundung sialan itu jika bisa diseret saja ke jurang atau mati ditembak.

Menatap pantulan wajahnya di cermin, Theodore menilik pipinya yang semula terluka dan agak memar kini sudah lumayan membaik. Namun, kedua orang telapak tangannya masih lecet. Sulit sekali menyeret benda berat dan berlumuran cairan pada hari itu yang sukses membuat kedua tangannya jadi terluka.

"Harusnya kupanggil orang lain untuk membantuku, bukan aku yang menyeretnya sendiri." Ia lekas masuk ke bilik toilet dan membuang air kecil di sana.

Bersamaan dengan hal itu, pintu toilet terbuka yang kini tiga murid senior di tahun ketiga masuk. Mereka dengan pakaian acak-acakan, meskipun sekolah ini tak ada seragam sekolah dan murid bebas mengenakan pakaian apa pun, tapi pakaian ketiga kakak kelas itu tampak seperti preman, sangat buruk! Mereka bahkan merokok di dalam toilet ini, sepertinya tak bisa membaca larangan yang terpajang besar di toilet untuk tidak merokok.

Theodore awalnya hendak keluar, tetapi mendengar pembicaraan ketiga senior itu membuatnya urung. "Aku bingung kenapa Chelsea bisa tertarik pada banci baru itu. Wajahnya saja seperti perempuan, menjijikkan sekali." Senior yang berbicara itu bernama Steven.

Entah mengapa Theodore harus tenang dan diam serta terus mendengarkan perbincangan mereka meski kini tangannya jadi mengepal sekeras batu.

"Kurasa dia menggoda Chelsea dengan wajahnya, kalian tahukan jika perempuan sukanya yang cantik juga," balas Gerrard.

"Ya," tukas Jordy, "anak baru itu sangat cocok jika menjadi pelacur dengan wajahnya yang cantik kemudian menari pole di bar setiap malam."

Steven tertawa keras seraya mengembuskan asap rokoknya. "Dia juga sangat cocok menari kabaret di Crazy Horse! Aku akan membayar lebih jika dia yang tampil menari di sana."

Maka ketiganya tertawa terbahak-bahak setelah mengucapkan pikiran kotor mereka. "Jadi apa yang akan kau lakukan Stev?" Jordy mengecek ponselnya dan melihat beberapa pesan penting.

"Tentu saja kita beri anak itu rasa obat yang pahit dan menyakiti lidahnya," ujar Steven.

"Tapi dia dekat dengan Tyler Robertson," balas Gerrard.

"Oh ayolah jika kita bertemu Tyler, kita hanya perlu bentrok dan menghantam wajah anak sombong itu," balas Steven, "lagi pula kita bisa menyeret si banci ke tempat sepi lalu beri dia pelajaran yang bagus."

Jordy mengangguk setuju seraya membuang puntung rokoknya ke lantai dan ia injak. "Aku setuju, mari suruh dia menari pole dance dalam keadaan telanjang atau bertingkah seperti anak anjing."

"Kuharap dia tak punya payudara," balas Gerrard yang langsung membuat Steven tertawa kencang.

"Kau sialan sekali, Gerr." Kini giliran Steven membuang puntung rokoknya, "tapi mari kita lihat apakah anak itu bisa jadi pelacur."

"Ayo pergi, yang lain sudah menunggu." Jordy berucap setelah mengecek ponselnya dan kini ketiga kakak kelas tersebut pergi meninggalkan toilet.

Perlahan Theodore keluar dari dalam bilik toilet, ia tak menyangka akan mendengar semua percakapan gila itu, sebenarnya ia tahu jika perbincangan antara lelaki terkadang terkesan mengerikan dan jorok, tetapi mereka sudah melampaui batas. Perkataan mereka sudah mengarah pada pelecehan seksual. Kini Theodore menatap pantulan cermin dengan manik mata menggelap penuh amarah. Ia tak tahu mengapa, ia tak paham, ia padahal tak begitu akrab dan baru mengenal si anak baru. Namun, Theodore merasa sangat kesal saat anak baru itu dilecehkan secara verbal dan kemungkinan akan secara fisik. Kini apa yang harus dia lakukan?

****

Theodore sebenarnya sudah bertekad untuk mengabaikan apa yang terjadi di toilet kemarin, tetapi entah magnet apa yang menariknya sehingga berakhir di perpustakaan yang tak jauh darinya ada si anak baru berwajah ... cantik yang tengah membaca buku seraya mendengar musik melalui headphone-nya. Hari ini sebelum jam istirahat makan siang berakhir, Theodore mengikuti Viole yang masuk ke perpustakaan, ternyata lelaki itu mengerjakan tugas fisikanya sendirian, tanpa ada Emma atau pun Louie, barangkali mereka berdua sibuk dengan Tyler.

"Sialan, aku harus mengatakan pada padanya," gumam Theodore merasa kegundahan merasuki dirinya. Ia berperang dengan batinnya sendiri. Hendak mengurungkan niat ini, tapi dirinya menolak. Maka dia pun memutuskan untuk mendatangi Viole dan duduk di hadapan lelaki itu. "Hey dude, kau sedang apa?"

Viole yang mengenakan headphone hanya mendongak karena menyadari ada seseorang menghampirinya, tetapi ia tak mendengar perkataan Theodore, eh benar bukan namanya Theodore? "Pergilah, aku tak mau diganggu."

Fuck?! Lelaki itu tanpa basa-basi langsung membuang Theodore! Padahal dia berniat baik pada Viole untuk memperingatkan jika bisa saja beberapa kakak tingkat menjadikannya target perundungan dan pelecehan!

"Aku ingin bicara denganmu, sialan," balas Theodore yang tidak sesabar Louie. Sayangnya, Viole sangat menguji emosi karena lelaki itu tak kunjung melepaskan headphone-nya. "Hey! Lepas headphone itu karena aku ingin mengobrol sesuatu denganmu!"

Viole terlihat fokus sekali menulis. Tanpa peringatan, Theodore menarik paksa headphone tersebut dari kepala Viole. Betapa terkejutnya Theodore karena tidak ada lagu bersenandung jadi sejak tadi lelaki itu hanya memasang headphone di telinganya? Kalau begitu, dia setidaknya mendengar perkataan Theodore tadi! "Bajingan, kau ingin wajahmu dihantam, huh?"

"Ada apa denganmu?" balas Viole dengan alis terangkat. "Aku ingin mengerjakan tugas dengan tenang, tiba-tiba kau datang dan mengusikku, kini kau yang marah padaku dan merampas headphone-ku?"

Sebenarnya perkataan itu benar, tapi Theodore datang kemari bukan untuk mengusik melainkan menolong. "Dengarkan aku bodoh, aku kemari ingin mengatakan jika kau dalam masalah karena senior sekolah menargetkanmu, mereka marah karena Chelsea dekat denganmu." Baiklah sudah Theodore katakan maka tugasnya selesai. Ia tinggal pergi saja.

"Okay," balas Viole langsung merebut headphone-nya kembali. Setelahnya Viole menuju rak buku untuk meminjam buku lain.

"Okay," ulangi Theodore, "hanya 'okay' jawabanmu, tak ada kata terima kasih atau sahutan lain seperti kau terkejut atau takut karena kini kau akan jadi samsak tinju para senior itu!"

"Sebenarnya aku tak perlu peringatan darimu," balas Viole yang sukses membuat Theodore urung pergi dan mengikuti lelaki itu.

"Fuck, pantas saja mereka kesal padamu, kau sangat menyebalkan ternyata!" sahut Theodore mengikuti dari belakang. "Dengar, para senior itu tidak main-main dengan perkataan mereka, kaubisa saja babak belur atau parahnya masuk rumah sakit. Mereka bahkan punya pikiran kotor tentangmu!"

"Okay, aku tak peduli." Viole berhenti di salah satu rak buku dan menilik buku mana yang harus dia pinjam.

Sementara Theodore sangat geram dan darahnya mendidih! "Sialan setidaknya kau berterima kasih padaku! Atau pikirkanlah cara supaya tak dirundung mereka! Kau tidak memikirkan keselamatanmu apa?!"

"Kau banyak oceh," balas Viole kembali melangkah dan tinggal menemukan satu buku lagi sebagai bahan literatur.

"You son of bitch!" umpat Theodore, "kau sepertinya tidak pernah ditonjok, jadi biar kuberitahu bagaimana rasanya ditonjok agar kautakut dan memikirkan ulang perkataanku, sialan!"

Maka Theodore melangkah cepat dengan tangan terkepal dan sungguh berniat menonjok wajah Viole. Saat itu Viole terkejut, ia berbalik menatap Theodore, tetapi kemalangan menimpa Theodore yang tersandung tumpukan buku di lantai karena belum disusun ke rak buku. Jadi bukannya menonjok Viole, dia malah terjerembab ke depan, Viole pun tersandung buku lain di lantai. Hingga akhirnya keduanya jatuh ke lantai, suara gedubrak terdengar kencang bersamaan tubuh Theodore menimpa tubuh Viole yang terbaring terlentang di lantai. Kini wajah mereka sangat dekat dan merasakan napas masing-masing yang terasa panas. Viole membuat wajah kaget bukan main dan dia merasa dunia berputar karena kepalanya terantuk lantai sementara Theodore masih perlu mengumpulkan kesadarannya. Ini sangat buruk, mereka hanya berharap jika tak ada yang melihat mereka jadi mereka harus segera bangkit sebelum ada yang memergoki---

"Sialan!! Apa yang kalian berdua lakukan!" teriak Louie dengan wajah sangat terkejut, begitu pula Emma dan Sophia.

Suara Sophia juga terdengar, "what were you two thinking? This is a library, for God's sake!"

"Oh Tuhan." Emma hanya bisa berkata seperti itu saking dia tak tahu harus bereaksi seperti apa.

Terlihat wajah Theodore memerah karena malu, ekspresinya bercampur antara panik dan bersalah. Viole di sisi lain, tampak linglung dan kehilangan arah, dampak kejatuhannya membuat dia sejenak tidak sadar akan sekelilingnya. Pikiran Emma kini berpacu, mencoba menyusun teka-teki di hadapannya. Apakah Viole dan Theodore terlibat dalam sesuatu yang intim atau hanya kesalahpahaman belaka?

"Sebentar! Ini bukan seperti yang kalian pikirkan---Louie sakit, bajingan!" teriak Theodore merasa lehernya tercekik karena Louie menarik kerah bajunya agar Theodore menjauh dan bangkit dari tubuh Viole.

Lekas Emma membantu Viole bangun. "Kautak apa? Apakah si berengsek itu menyakitiku?"

"Aku---" Belum sempat Viole menjawab suara Sophia sudah memecah keheningan.

"Theodore, aku tahu kau berengsek! Tapi aku tak menyangka jika kau ternyata ...."

"Bukan bodoh! Aku tersandung buku keparat di lantai itu lalu menimpa tubuh Viole, ini kecelakaan! Aku juga waras dan masih sehat!" Theodore berucap, "Louie lepaskan aku sialan! Aku takkan menerkam Viole!"

"Aku tak percaya pada omonganmu, terutama tampangmu seperti mafia," balas Louie melepaskan kerah baju Theodore.

"Viole apa yang dikatakan Theodore itu benar?" tanya Emma dengan lembut.

"Viole jika dia mengancammu atau menyakitimu, katakan saja, maka kami akan menghajarnya!" Suara Sophia terdengar lantang.

"Fuck!" umpat Theodore, "cepat jawab Violetta sialan!"

Kini Viole kesal. Maka dia ambil satu buku dan ia hantamkan ke kepala Theodore. "Ya! Perkataan dia benar ini hanya kecelakaan! Dia tersandung buku dan menimpa tubuhku."

"Lalu kenapa kau memukulku!" teriak Theodore mengusap puncak kepalanya. "Kau benar-benar harus kutonjok---"

"Keributan apa ini?" ujar seorang wanita yang berdiri di ujung lorong rak buku ini. Tatapan wanita itu sangat tajam dan menusuk. "Keluar dari perpustakaan sekarang juga! Dasar para pembuat onar!" Maka mereka berlima ditendang keluar oleh pustakawan tua itu.

****

Berita hari ini, telah terjadi perampokan di salah satu toko penjualan senjata api di Kota Lexington, Kentucky, Amerika Serikat pada malam kemarin. Dikabarkan jika perampokan ini berhasil menjarah banyak senjata api yang kerugiannya mencapai ratusan Dollar. Kini pihak kepolisian Kota Lexington sedang melakukan penyelidikan dan menangkap para kelompok perampokan toko senjata api tersebut, lalu ....

Sophia lekas menyudahi YouTube-nya dan kini menatap pada teman-temannya yang sibuk menyantap makanan mereka. Di luar sana sedang hujan deras jadi mereka tidak bisa pulang dan terpaksa menunggu hingga hujan reda.

"Lexington, cukup dekat dari kota kita, hanya perlu tiga jam untuk sampai." Louie berucap seraya menyeruput minumannya.

"Akhir-akhir ini sangat dipenuhi berita tentang perampokan dan pembunuh, bahkan di kota kita saja ... di sekolah ini ...." Emma tak bisa melanjutkan perkataannya. "Ayahku dan Deputy Francis juga sangat sibuk, jika terus terjadi pembunuhan, bisa saja kegiatan belajar di semua jenjang diliburkan selama sebulan lebih dan jadi pembelajaran daring."

"Tidakkk, takkan seru tanpa bertemu teman secara langsung," erang Sophia begitu dramatis.

"Kupikir kau maniak horor lebih senang mendekam di kamar dan menonton," balas Viole sambil menusukkan sedotan di kotak susu rasa pisangnya.

"Ya, aku senang, tapi bukan berarti aku sosiopat yang tak butuh teman bergaul! Aku juga bisa gila jika terus-menerus di rumah seperti masa Covid lalu!" Sophia menenggelamkan wajahnya di antara lipatan tangan.

Louie mengedarkan pandangannya karena kantin semakin sepi barangkali banyak murid yang memilih menembus hujan dibandingkan menunggu di sekolah. "Aku tebak kau punya banyak koleksi tentang film horor?"

"Betul sekali! Aku punya banyak action figure seperti Ghostface dari Scream, Michael Myers, Annabelle, Chucky, bahkan yang terbaru ada Valak! Aku juga punya banyak funko pop!" jelas Sophia dengan bahagia.

"Wah, aku semakin tak ingin berkunjung ke rumahmu apalagi masuk kamarmu!" balas Louie yang mendapat tendangan kaki Sophia. "Fuck! Bisakah jangan balas dengan menendang di kaki!"

"Ternyata kau semaniak itu, apakah kau pernah takut dengan semua film yang kau tonton?" tanya Emma sambil mengecek ponselnya. Menunggu apakah Tyler akan menghubunginya jika latihan basketnya dimulai.

"Tentu tidak! Jika kaget saat menonton film, aku sering, tapi aku tidak pernah ketakutan atau trauma," balas Sophia, "tapi ada beberapa film yang tidak berani kutonton."

"Misalnya?" balas Louie.

Sophia berpikir sejenak. "Siccin film Turki, aku tak suka itu karena sangat mengerikan. Aku hanya menonton setengah saja dan aku tak melanjutkannya."

"Aku tak tahu film apa itu, tapi aku takkan mau penasaran," balas Louie.

"Pengecut," ejek Sophia.

"Mulutmu tidak bisa dikontrol ya?" sahut Louie tersenyum sinis.

Emma tiba-tiba berdiri. "Aku harus ke gedung olahraga, latihan Tyler dan Ben dimulai. Jika kalian mau ke sana juga, nanti menyusul okay? Bye everyone!" Maka Emma berlari kecil setelah melambaikan tangannya.

Ketiganya menatap ke arah Emma, sebenarnya hanya dua karena Viole tak peduli dan fokus menyeruput susu pisang serta menggulir laman media sosialnya. Beberapa kali lewat berita yang mengangkat tentang perampokan di toko senjata. Louie melirik ponsel Viole dan ia berkata, "perampokan ini dilakukan kelompok lain bukan? Jadi Bloodied Tortuner bukan dalang perampokan ini?"

"Dari kulihat beritanya sepertinya begitu. Ada kelompok perampok lain yang menjarah toko senjata itu. Sementara Bloodied Tortuner kan di kota kita," balas Sophia sambil menatap Viole. "Kau suka sekali susu pisang."

"Enak," balas Viole singkat tanpa mengalihkan perhatiannya dari susu dan ponselnya.

Sophia menatap Louie seperti saling memberi kode mengenai sifat Viole yang terkadang tiba-tiba aneh dan Louie hanya mengedikkan bahunya. "Aku penasaran bagaimana kehidupan Bloodied Tortuner itu kalau tidak membunuh orang-orang? Lalu apa jangan-jangan, pembunuh Chuck adalah dia?" Louie agak memelankan suaranya ketika menyebutkan nama Chuck.

"Mungkin dia hidup normal seperti kita," ujar Sophia, "lalu aku juga sempat berpikiran yang sama denganmu. Mungkin di balik kematian Chuck ada Bloodied Tortuner karena ini Deputy tidak bisa menyelesaikan kasus Chuck dan ditutup begitu saja."

"Ini mengerikan," balas Louie, "aku takut."

Suara gemuruh petir saling bersahutan terdengar kencang bersamaan lekingan suara seorang wanita. Maka tanpa peringatan, Sophia berdiri dan lekas berlari ke sumber suara yang asalnya dari luar kantin. Sementara Viole masih duduk di bangku, maka Louie lekas menarik kerah baju Viole agar lelaki itu beranjak dari sana. Kini mereka berdua mengejar Sophia. "Susu pisangku!"

"Bukan waktunya memikirkan susu pisang!" teriak Louie.

Berada di luar kantin, mereka bertiga terdiam membisu ketika melihat seorang murid perempuan rambut blonde membantu temannya yang tak sadarkan diri. Sangat mengenaskan karena kedua tangan temannya yang pingsan itu patah begitu pula kaki kirinya. Lalu murid rambut blonde itu menangis kemudian menatap pada Sophia, Louie, dan Viole sambil berkata jika temannya jatuh dari lantai dua. Kini beberapa murid berkumpul, salah satu murid segera menghubungi rumah sakit dan ada pula yang berlari ke klinik sekolah untuk mengambil tandu. Kepanikan dan kericuhan terjadi di sana.

"Ada seseorang di atas!" teriak Sophia dan benar saja, sekilas mereka melihat sosok berjubah hitam dan kini berlari karena keberadaannya disadari. "Jangan kabur!" Sophia tanpa pikir panjang mengejar sosok jubah hitam itu.

"Hey, bodoh! Jangan seenaknya pergi!" teriak Louie, "Viole cepatlah!" Viole menatap heran, ia menggeram dan kesal karena hal gila terjadi lagi di sekolah ini.

Sophia sudah berada di lantai dua, dia mengedarkan pandangannya, mencari keberadaan dari si jubah hitam. Tak jauh dari posisinya, dia melihat seseorang, maka ia mempercepat langkahnya, suara sepatunya bersatu dengan lantai putih yang ia pijak sementara Louie dan Viole tertinggal di belakang. Suara Louie melengking menyebutkan nama Sophia, tetapi perempuan itu malah tetap fokus berlari mengejar si jubah hitam.

"Berhenti kau!" teriak Sophia, rambut pendeknya sedikit berkibar. Ia berbelok ke koridor karena ia melihat dengan jelas jika sosok jubah hitam itu berbelok. Saat ia di koridor yang berbeda dan sepi. Sosok jubah hitam lenyap begitu saja. "Fuck, apa dia hantu? Keluarkau sialan! Aku tahu kau ada di sini! Aku sudah sering menonton film horor dan aku tahu kau bersembunyi, keluarlah sekarang juga!"

Maka benar saja terdengar suara berdebum di arah koridor kiri dari Sophia. Maka ia berlari dan melihat si jubah hitam. Kini lari Sophia semakin ia percepat. Ketika si jubah hitam berbelok lagi dan Sophia mengikuti. Tiba-tiba saja, sesuatu yang keras menghantam wajahnya hingga Sophia terjengkang, ia ambruk ke lantai, perlahan darah merah menetes dari dahinya bersamaan sebuah tongkat bisbol jatuh di sampingnya. Pandangan Sophia buram, ia tak jelas melihat dan sosok berjubah hitam perlahan pergi, berhasil lolos dari kejaran Sophia. Sebelum perempuan itu tak sadarkan diri, ia samar-samar melihat seorang lelaki dan wajahnya sangat familiar bagi Sophia. Maka ia bergumam, "Theodore." Lalu ia pingsan.

Butuh sekitar lima menit lebih bagi Louie dan Viole mengejar Sophia. Saat ia temukan perempuan itu yang ternyata sudah tergeletak tak sadarkan diri di ubin putih, dahinya berdarah dan ada pemukul bisbol di sampingnya. "Oh Tuhan! Sophia!" Louie berteriak lekas mendekati Sophia, memanggil namanya berulang kali, tapi tak kunjung sadar perempuan itu jadi tanpa izin pun, Louie mengangkat tubuh Sophia, ia gendong. "Viole, kita harus membawanya ke klinik! Sekarang!"

Dengan penuh kekhawatiran dan ketakutan. Maka Louie menggendong tubuh Sophia yang lemas dan berjalan dengan langkah terburu-buru serta jantung Louie berdebar kencang karena takut.

Kini tersisa Viole, ia mengambil tongkat bisbol di lantai, ia genggam dan memperhatikan sekelilingnya yang sepi, tak ada seorang pun di sini. Tidak mau berlama-lama di sini. Maka ia berbalik kemudian menyusul Louie sambil membawa tongkat bisbol.

Sayang sekali, Viole tak menyadarinya. Bahwa di salah satu ruangan tersebut, jika diteliti lebih jelas menggunakan mata. Maka ada bayangan bergerak-gerak di balik jendela. Meskipun jendela ruangan itu berjenis tinted black glass---kaca bening yang ditambahkan warna dari campuran senyawa logam---tetapi jika ada seseorang di balik jendela itu, tetap akan ketahuan karena terlihat samar-samar seseorang bergerak-gerak di sana. Jika ditilik lebih jeli, proporsi seseorang di balik jendela tersebut seperti tubuh seorang perempuan.

"Ya, aku melihatnya dan hampir ketahuan, tapi mereka sudah pergi, jadi aku aman," ujar seseorang di balik jendela yang memiliki suara cukup lembut dan mengenakan jaket.

◇─◇──◇─────◇──◇─◇

Wah jadi Theodore ini baik hati atau gimana yah ke Viole~ Semoga dia jadi tokoh yang baik dan tulus berteman^^

Hmm, ternyata villain di sini tidak hanya Bloodied Tortuner, tetapi ada kelompok pembunuh lain? Jadi penasaran nih, Viole bakal bertemu siapa dulu? atau malapetaka apa yang akan dia hadapi nanti?

See you next hiding time

Prins Llumière

Rabu, 25 Oktober 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top