Chapter 11: Why U happy?!
Kini kegelapan menyelimuti koridor sekolah saat kesuraman yang nyata meresap di udara. Kematian tragis Chuck sangat membebani hati dan pikiran sebagian murid, menimbulkan bayang-bayang kesedihan di jiwa mereka. Hal ini menciptakan malam yang euforianya terasa berbeda diselimuti kesedihan, ketakutan, dan kekhawatiran. Beberapa murid merasakan kesedihan dan ketakutan meskipun mereka tak dekat dengan Chuck. Namun, membayangkan kematian tragis, tidak dapat memungkiri jika merasa merasa diri mereka ditusuk puluhan pisau hingga membuat mereka terjaga di malam hari.
Terlebih lagi, setelah kabar Chuck meninggal terdengar hingga telinga ibunya. Sang wanita yang rentan dan menderita penyakit jantung tersebut tiba-tiba ambruk, tubuhnya mengejang, hingga perlu dilarikan ke rumah sakit juga. Tentu saja kabar ini cepat tersebar dan semakin membuat para murid merasakan kesedihan. Namun, benarkah mereka semua merasakan kesedihan tersebut? Atau ada yang sebagian merasa tak peduli atas kematian tragis ini dan malah bersenang-senang?
Dalam kenyamanan kamarnya, Lola mendapati dirinya dalam keadaan yang sangat bahagia. Dia mengenakan piyama pendeknya, energinya yang bersemangat terpancar ke seluruh ruangan saat dia fokus pada tugas sekolahnya, pikirannya dipenuhi dengan kegembiraan alih-alih kesedihan yang merasuki sekolah. Tergambar jelas jika ia tak peduli dengan duka di sekolahnya, bahkan ia abaikan setiap pesan yang masuk dan menuduhnya sebagai pelaku kematian Chuck.
Melodi musik menyelimuti ruangan dan menari dengan semangat Lola, berdenyut di dalam dirinya. Detak ritmis mengalir melalui nadinya, terjalin dengan pikirannya, dan menyulut rasa bahagia yang tak terbatas. Dengan setiap goresan penanya, hati Lola melonjak, aura kebahagiaan terpancar terang. Seluruh tubuhnya tampak bergetar dengan positif, terjalin dengan musik yang menggelegar melalui speaker. Ia lekas menaikkan volume speakernya dan terus bersenandung ria karena malam ini kedua orang tuanya sedang ada pekerjaan di luar kota jadi dia bisa menikmati kesendirian tanpa harus mendapatkan larangan dan teguran.
Di sisi lain, di sebuah rumah mewah. Pesta sepupu Tyler yang lebih tua adalah perayaan kehidupan yang semarak, hiruk-pikuk musik, tawa, dan aroma yang menggugah selera memenuhi udara. Suara obrolan dan irama yang menular bergema di seluruh ruangan, menciptakan suasana yang penuh kegembiraan. Itu adalah surga kegembiraan yang memperlihatkan bahwa tak sedikit pun tercetak kesedihan di wajah lelaki itu.
"Ayo naikkan volume musiknya!" teriak Tyler.
Mengenakan pakaian ternyaman dan mereka mahal, hatinya dipenuhi oleh energi yang berdenyut dari ruang. Aroma makanan lezat tercium ke arahnya, menggugah selera. Dia menikmati hidangan lezat yang menghiasi meja prasmanan, menikmati setiap gigitan dengan gembira. Setelah itu, saat musik terdengar semakin keras melalui speaker, tubuh Tyler merespons secara naluriah. Dia menyerah pada ritme, bergoyang dan berputar-putar di lantai dansa. Di tengah perayaan yang menggembirakan, Tyler tenggelam dalam kebersamaan dengan teman dan kerabatnya. Gelak tawa menggema, perbincangan pun mengalir, dan dentingan gelas menciptakan simfoni kegembiraan.
Pada pukul sepuluh malam. Di bawah cahaya bulan yang redup, Ben menemukan ketenangan dalam pelukan akrabnya di lapangan basket di belakang rumahnya. Udara malam yang sejuk berbisik di kulitnya saat dia melangkah, suara langkah kakinya bergema di tengah keheningan. Keheningan malam memberikan latar belakang yang sempurna untuk latihan sendirian. Tidak ada gangguan, tidak ada suara-suara yang lain, hanya langkah kakinya dan bola basketnya.
"Woho!! Ben Turner terus mencetak poin!"
Saat cahaya bulan menyinari lapangan dengan cahaya lembut, gerakan Ben menjadi permadani kehebatan atletik dan energi yang bersemangat. Setiap dribel dan setiap tembakan dipicu oleh semangat yang tak tergoyahkan, keterampilannya mencapai tingkatan baru saat ia mendorong dirinya melampaui batas kemampuannya. Tubuhnya bergerak dengan keanggunan dan kelenturan yang lahir dari latihan berjam-jam. Dia melewati lapangan, langkahnya tepat dan hati-hati. Desir jaringnya nyaris merdu, kemenangan manis semakin bergema di udara malam. "Aku mencetak poin lagi!"
Lalu bagaimana dengan yang lain? Apakah kesedihan atau kebahagiaan dalam diri mereka? Malam terasa berat di pundak Louie. Beban kesedihan seakan menggantung di udara, sebuah kehampaan yang mengancam akan melahapnya. Tragedi kematian Chuck adalah luka yang kini terus mengeluarkan darah, membuatnya rentan, sendirian, dan kewalahan.
Louie seolah-olah tak punya tempat untuk kembali dan melampiaskan kesedihannya serta tempat perlindungan karena beban kehidupan rumahnya yang menambah lapisan siksaan tambahan. Ruang tamu berantakan yang penuh dengan botol-botol beer, sebagian masih ada isinya, sebagian sudah kosong dan takkan dibuang terkecuali Louie yang membersihkannya. Matanya tertuju pada ibunya yang merosot ke dinding, mabuk dan kehilangan kesadarannya. Pemandangan keadaan ibunya yang muram menambah rasa sakit Louie.
Ketergantungan ibunya pada perjudian sangat membebani pundak Louie, beban yang tidak bisa dia abaikan dengan mudaH. Saat dia mendekati ibunya dengan campuran kesedihan dan tekad terukir di wajahnya, hatinya bergejolak dengan segudang emosi. Tanggung jawab merawat ibunya yang mabuk merupakan sebuah beban berat, tetapi sudah menjadi hal yang sangat familiar baginya terlebih lagi, dia sudah lama kehilangan sosok ayah.
"Ibu, mari kubantu kau berbaring di sofa, tidak baik jika Ibu tertidur di lantai karena malam ini terasa dingin." Dengan langkah hati-hati, Louie memberikan bantuan, menuntun ibunya ke sofa terdekat tempat dia bisa beristirahat.
Berada di rumah Emma. Malam itu sangat membebani bahunya yang terpuruk saat dia duduk di meja makan, dengan piring yang belum tersentuh di hadapannya. Nafsu makan Emma telah hilang, akibat dari kesedihan luar biasa yang membuat hatinya tertahan. Meskipun kedua orang tuanya saling bertukar pandangan prihatin, dia tetap tenggelam dalam lautan kesedihannya sendiri. Dengan berat hati, Emma pamit dari meja, langkah kakinya terasa berat saat menaiki tangga untuk mencari perlindungan dalam kesendirian kamarnya. Dinding-dinding seakan menutup dirinya, kesunyian menyesakkan. Dan saat dia terjatuh ke tempat tidurnya, bendungan yang menahan emosinya runtuh, dan gelombang kesedihan menyusulnya. Ia takut, takut akan kematian Chuck, takut jika sahabatnya dituduh atas kematian tersebut, ia takut dengan pembunuh yang kemungkinan berkeliaran di sekolah.
Di saat yang sangat rentan ini, dia membiarkan kesedihannya meluap, tanpa tersaring dan tak terkendali. Di luar, langit menangis bersamaan dengan air mata Emma. Tetesan air hujan mengalir dari langit, rintik-rintiknya yang berirama di kaca jendela cocok dengan hiruk pikuk ratapannya. Simfoni meteorologi menyatu dengan simfoni kesedihannya, gabungan melodinya menyatu dalam kesedihan.
Sementara itu di sebuah rumah besar dan kaya raya kini terlihat dipenuhi kesedihan juga. Badai mengamuk di luar, mencerminkan prahara yang berkecamuk di dalam hati Chelsea yang rapuh. Ingatan akan tubuh Chuck yang tak bernyawa menyerbu pikirannya, setiap ingatan terukir dengan detail yang jelas---kulitnya yang pucat dan berlumuran darah. Penglihatan yang menghantui itu diputar berulang-ulang, setiap tayangan ulang memperdalam luka yang melukai jiwanya.
Mencari penghiburan dan kenyamanan, Chelsea mundur ke tempat tidurnya, meringkuk di tengah lautan selimut. Di sanalah, di tempat perlindungan di kamarnya, dia menemukan perlindungan sesaat dari rasa sakit yang tak terhindarkan yang menguasai dirinya. Maka di sana pulalah, dengan mengenakan jaket Viole, dia mencari cara untuk melawan rasa takutnya. Kain lembut jaket lelaki itu, membawa rasa tenang sesaat, aroma yang tersisa memeluknya dengan hangat. Seolah-olah kehadiran Viole, meski secara fisik tidak ada, terpancar melalui jaketnya, memberinya semacam persahabatan ditengah kesedihannya. Dalam kerentanannya yang diliputi kesedihan, Chelsea membisikkan nama Viole. "Viole aku takut, aku tidak bisa tidur."
Apartement Cerulean terasa euforia yang sedih. Viole berbaring di kasurnya, mengabaikan hujan yang deras, ia mengenakan earpod seraya membaca kalimat per kalimat dari sebuah novel. Setelah merasa lelah, ia bangun dan menuju meja, menarik laci, membuka botol obatnya, mengambil satu butir obat kemudian dia telan bersamaan ia habiskan segelas air. Kini manik matanya menatap luar jendela. "Kuharap hujannya segera berhenti."
****
Bela sungkawa di lakukan di gedung olahraga, jadi jam pertama pembelajaran akan ditiadakan karena seluruh murid dari empat angkatan harus berkumpul di gedung olahraga. Mereka diminta berbaris rapi sesuai dengan kelas masing-masing. Kegiatan bela sungkawa ini akan dipimpin oleh wakil kepala sekolah, Mr. Xaviera karena Kepala Sekolah mereka sedang akan kegiatan penting di Universitas Columbia. Ketidakhadiran kepala sekolah membuat para murid membicarakan pria itu yang dinilai buruk karena tak mau hadir di acara yang lebih penting terlebih lagi ada kematian mengenaskan di sekolahnya.
"Lihat itu mereka, pembunuh di sekolah kita."
"Kenapa masih bisa tersenyum, mereka tak punya hati."
"Aku sangat takut, setiap hari mereka selalu menyakiti orang lain."
"Kudengar Eddie tidak datang ke sekolah karena trauma kematian Chuck."
"Aku juga melihat Liza, dia sangat kacau, mungkin takut karena dia bisa saja jadi korban selanjutnya."
Sungguh sangat hebat karena Tyler, Lola, dan Ben bisa menahan diri, mereka seolah menganggap gosip para murid sebagai angin lewat dan kini melangkah ke dalam barisan dengan wajah mendongak serta keangkuhan tercetak sekali. Banyak murid mulai mencibir dan mencemooh dari kejauhan, tetapi ketika Tyler menoleh dan menatap sinis mereka seketika mereka semua langsung terdiam. Dasar manusia bodoh, mereka bergosip, tapi kenyataannya takut juga.
Di sisi lain, Viole dan Louie sedikit terlambat karena Louie harus pergi ke toilet dahulu. Lelaki itu terlihat sangat kelelahan, kantung mata tercetak di wajahnya, seolah ia tak tidur semalaman. Setelah membasuh wajahnya, mereka berdua segera ke aula. Saat hendak berbaris, Louie tak sengaja menabrak bahu Theodore hingga bunyi gedebuk terdengar. Beruntunglah Theodore tidak mengamuk.
"Tak kusangka akhirnya kau masuk sekolah juga," kata Louie yang berbaris di samping Theodore sementara Viole di samping Louie. Mereka terlihat seperti anak tangga dengan Theo paling tinggi, disusul Louie, kemudian Viole.
"Ayahku marah jika aku bolos lagi," ujar Theodore sedikit berdecak.
Louie mengangguk pelan, meskipun Theodore anak kaya raya, tetapi ayahnya sangat ketat juga dalam masalah pendidikan. Sesaat manik mata Viole melirik pada Theodore yang pipinya terluka dan memerah, pelipisnya juga luka sehingga diberi plester, kemudian kedua telapak tangannya terlihat lecet seperti banyak goresan dan memerah juga. Aneh, kenapa dia terluka? Lagi pula luka itu terlihat lecet sekali seperti habis menarik tali goni?
"Theodore kenapa kau terluka?" Louie juga menyadari jika Theodore terluka. "Tanganmu lecet, tidak kau obati?"
Mendengar perkataan Louie sontak Theodore menyembunyikan kedua tangannya di belakang badannya. Ada secercah rasa terkejut dan takut di manik matanya. "Aku hanya terluka, bermain skateboard lalu jatuh dan kedua telapak tanganku lecet."
"Kau serius?" balas Louie menaikkan satu alisnya.
"Kau pikir aku berbohong---"
Perkataan Theodore terhenti ketika suara wakil kepala sekolah menggelegar di gedung tersebut. Dia mengatakan agar para muridnya merapikan barisan. Maka segeralah barisan tak rapi itu saling bergeser agar terlihat rapi. Perbincangan mereka berhenti karena fokus pada perkataan wakil kepala sekolah tersebut dan dia akan memulai pidato serta penyampaian belasungkawa atas kematian Chuck sekaligus berbelasungkawa pula untuk ibu Chuck yang meninggal di rumah sakit.
"Oh Goddess, ibunya juga meninggal."
"Ini gila secara tak langsung, pembunuh itu sudah mengambil dua nyawa tak berdosa."
Kini gumaman para murid terdengar, mereka terlihat sedih dan iba atau sebisa mungkin memasang topeng kesedihan agar tidak dihakimi orang lain? Viole merasa ada banyak manusia munafik di sekolah ini. Mereka kini memasang kesedihan, bersikap seolah-olah peduli, saling menghujat pembunuh, tapi ketika Chuck dirundung atau murid lain diperlakukan dengan kasar di hadapan mereka semua. Mereka hanya menonton, merekam, kemudian tertawa.
Tidak satu pun dari mereka yang berusaha menolong para murid yang dirundung seolah-olah mereka sebenarnya menikmati perundungan yang ibarat pertunjukan musikalisasi, jika semisal tak mau ikut campur bukankah mereka bisa pergi dan tidak perlu menonton, tetapi nyatanya mereka tetap menikmati pertunjukan itu. Lalu ketika ada yang meregang nyawa, mereka baru menjadi manusia paling alim dan suci dan punya hati, berempati serta simpati kemudian memasang topeng kesedihan.
Benar bukan, manusia adalah makhluk yang munafik? Pantas saja malaikat Lucifer lebih memilih dijatuhkan dari surga dibandingkan bersujud di bawah kaki manusia.
Perlahan Viole menutup matanya, mendengarkan setiap kalimat yang meluncur dari lidah pria yang lebih muda itu, tetapi sudah menjabat sebagai Wakil Kepala Sekolah. Pria itu terlihat jauh lebih berwibawa dibandingkan kepala sekolah, barangkali karena dia muda. Ketika manik mata Viole menatap Mr. Xaviera, di tengah-tengah pembacaan pidato, tak Viole sangka jika pria itu mendongak, mengedarkan pandangannya, dan manik mata hitamnya jatuh pada Viole pula. Mereka berdua saling bersitatap dan Viole sadar jika pria itu tengah melihatnya. Senyuman pria itu terukir yang lekas Viole membuang wajahnya lalu Mr. Xaviera kembali fokus membacakan pidato belasungkawa.
"Oh God," gumam Viole, "kurasa aku telah salah karena pindah ke kota ini."
****
Saat jam pelajaran berlangsung, beberapa murid sedikit heboh karena sekolah mereka kedatangan Deputy sheriff kota ini. Mereka lekas menengok melalui jendela kelas dan melihat dua pria berpakaian cokelat dan mengenakan topi khas seorang Deputy sheriff. Kedua pria itu berbincang-bincang dengan wakil kepala sekolah kemudian mereka segera memasuki gedung.
"Kurasa yang datang Deputy sheriff Matthias Francis, kemungkinan sheriff Jude Dawson tidak bisa hadir."
"Hey Emma, itu ayahmu 'kan yang bersama Deputy Francis?" kata seorang murid dan Emma dengan perlahan menengok ke jendela. Benar sekali jika ayahnya Emma, Jeremiah Walter adalah bawahan dari Deputy Francis.
"Iya itu ayahku," kata Emma dengan lesu.
Guru-guru di kelas lekas menegur para muridnya agar berfokus pada pelajaran dan diizinkan untuk keluar jika nama mereka dipanggil oleh wakil kepala sekolah.
"Pengumuman kepada Tyler Robertson, Lola Powell, dan Ben Turner, silakan untuk pergi ke ruangan kepala sekolah, terima kasih."
Mendengar pengumuman melalui speaker sekolah itu membuat para murid di kelas Tyler kini melirik pada lelaki itu dan dua sahabatnya. Tentu saja mereka akan dipanggil karena mereka adalah tersangka utama. Mereka merundung Chuck pada pagi hari, lalu sorenya Chuck meregang nyawa maka sudah dipastikan jika bisa saja mereka yang membunuh Chuck karena masih ada dendam dalam diri mereka.
Di kantor yang remang-remang, ketiga murid; Lola, Tyler, dan Ben, duduk berdampingan, wajah mereka dipenuhi sikap menantang dan meremehkan. Udara berderak karena ketegangan, penghalang tak kasat mata memisahkan mereka dari Deputy sheriff yang duduk di depan mereka, tatapan tajamnya tertuju pada setiap gerakan mereka. Mereka bertiga adalah tersangka utama dalam penyelidikan seputar kematian Chuck karena tentu saja, wakil kepala sekolah sudah menceritakan jika ketiga murid tersebut sering berbuat keonaran di sekolah, tak heran pula sering merundung pada murid.
Deputy Francis memulai interogasinya dengan pertanyaan mudah sementara ayah Emma, Jeremiah Walter bersiap mencatat jawaban pertanyaan dari ketiga murid tersebut. Terlihat pula ada alat perekam di atas meja. Ketika pertanyaan-pertanyaan itu muncul, semakin dekat ke inti permasalahan, Tyler bersandar di kursinya, seringai menari di bibirnya. Suaranya, yang dipenuhi arogansi, menggema di ruangan saat dia menceritakan alibi mereka.
"Kami tidak membunuh Chuck," kata Tyler dengan berani, suaranya terdengar penuh keyakinan. "Saat Chuck meninggal, kami baru saja pulang dari sekolah. Kami semua berencana untuk jalan-jalan, menonton film, dan bermain-main. Tidak mungkin ada di antara kami yang terlibat dalam kematiannya."
Ben meski tidak segembira Tyler, mengimbangi tantangan mereka dengan tekad baja. Dia mencondongkan tubuh ke depan, meletakkan tangannya di atas lutut, berusaha menjaga kontak mata dengan Deputy itu. Tekad dalam suaranya tidak menunjukkan sedikit pun rasa bersalah. "Ya, apa yang dikatakan Tyler itu benar." Ben menambahkan, suaranya tegas. "Kami bersama sepanjang waktu dan kami tidak tahu apa yang terjadi pada Chuck. Kami berduka sama seperti orang lain."
Lola menegakkan badannya, dia terlihat tak takut pula. Malah merasa kesal karena Deputy Francis menuduhnya dan teman-temannya sebagai tersangka. "Deputy Francis, kami tidak membunuh Chuck. Saat kejadian naas itu, kami bertiga sudah keluar dari sekolah dan hendak hangout, kami juga bersama dengan putri Anda pada sore itu, Pak Jeremiah Walter. Anda pasti tahu jika putri Anda tidak mungkin melakukan perbuatan seperti membunuh seseorang. Tanyakan saja pada Emma, kami tak bersalah."
Pandangan sang Deputy serta ayahnya Emma beralih ke mereka bertiga, mencari tanda-tanda kepalsuan atau penipuan. Namun, mereka tetap teguh dalam penyangkalan mereka, ketenangan mereka pantang menyerah. Kecurigaan yang besar tidak mampu menembus penghalang arogansi yang telah mereka bangun. Deputy melanjutkan pertanyaannya, berharap bisa melihat sekilas kerentanan, celah di balik pelindung mereka yang bisa mengungkap kebenaran.
Tatapan sang Deputy tertuju pada Lola, Tyler, dan Ben, suaranya dipenuhi kecurigaan saat dia menyelidiki sudut-sudut gelap dinamika sekolah menengah mereka. "Apakah kalian bertiga sering melakukan perilaku perundungan terhadap sesama murid?" Sang Deputy bertanya dengan tajam, matanya mengamati reaksi mereka dengan cermat.
Seringai Tyler melebar, perpaduan antara arogansi dan kebenaran terpancar di matanya. Dia tidak ragu untuk menjawab, suaranya terdengar penuh percaya diri. "Kami tidak akan menyebutnya penindasan, Deputy. Kami hanya ... berurusan dengan individu yang pantas mendapatkannya. Ambil contoh Eddie. Dia pernah merekam seorang anak renang ketika mengganti baju kemudian menyebarkan rekaman tersebut. Dia memerlukan konsekuensi."
Lola, tatapannya mantap dan tak tergoyahkan, menimpali, suaranya tegas. "Dan Liza? Kami bersikap keras padanya karena dia telah menyakiti Emma, putri Anda, Pak Jeremiah. So we think we'll just give Liza a taste of her own medicine."
Ben mencondongkan tubuh ke depan, suaranya membawa tekad yang mendasar. "Kami tidak membenarkan tindakan perundungan, Deputy. Kami percaya bahwa kami harus membela para korban, melindungi mereka yang rentan. Kami mungkin terkadang bertindak berlebihan, tetapi kami tidak pernah bermaksud untuk menimbulkan kerugian yang nyata. Tindakan kami didorong oleh rasa keadilan, bukan niat jahat."
Ruangan itu berderak karena ketegangan, setiap kata yang diucapkan membawa beban tekad pantang menyerah mereka. Deputy itu bersandar di kursinya, diam-diam merenungkan tanggapan mereka, potongan-potongan teka-teki penyelidikan, tetapi Deputy Francis masih tidak mempercayai semua perkataan mereka. Namun, sudah tak ada lagi yang perlu dipertanyakan, jadi kini giliran menginterogasi murid lainnya.
"Baiklah kalian boleh keluar," kata Jeremiah Walter, "kemudian tolong panggilkan Emma dan Louie Harrison."
Kini Emma dan Louie memasuki ruangan. Sesaat Emma bersitatap dengan ayahnya kemudian duduk di kursi dan menghadap pada Deputy Francis dan Jeremiah Walter. Pandangan Deputy Francis beralih ke Emma dan Louie, kehadiran mereka di ruangan menambah kerumitan penyelidikan. Tatapannya mencari-cari, mencari tanda-tanda penipuan atau keraguan dalam ekspresi mereka.
Emma matanya diwarnai dengan kesedihan yang berkepanjangan, berbicara dengan suara penuh keyakinan. "Aku bersama mereka." Dia menegaskan, suaranya mantap, tetapi dipenuhi kesedihan. "Lola, Tyler, dan Ben—aku dan Louie, kami bersama saat Chuck meninggal. Kami bersama pulang sekolah dan berniat pergi jalan-jalan. Aku juga minta izin pada ibuku saat mau jalan."
Louie, sikap percaya dirinya yang kontras dengan ketegangan yang memenuhi ruangan, menambahkan pembelaan. "Kami tidak ada hubungannya dengan pembunuhan Chuck," katanya dengan keyakinan. "Memang Tyler suka berbuat semena-mena, tapi kami bukan tipe orang yang melakukan tindakan ekstrim seperti itu."
Pandangan sang Deputy beralih antara Emma dan Louie, mempertimbangkan kata-kata mereka dengan bukti dan kecurigaan yang membayangi penyelidikan. Dia bersandar di kursinya, desahan berat keluar dari bibirnya. Interogasi, kecurigaan, dan keraguan terbukti tidak membuahkan hasil dalam mengungkap jalan ke depan yang jelas. Jaringan hubungan dan motif rumit mengaburkan kebenaran, meninggalkannya dalam lautan ketidakpastian.
"Silakan keluar," kata Deputy Francis.
"Terima kasih Deputy," balas Emma lalu menatap ayahnya.
"Emma," kata sang ayah dengan khawatir.
"Tidak apa Ayah, aku baik-baik saja," balas Emma kemudian keluar dari ruangan itu bersama dengan Louie.
Interogasi terus dilanjutkan, mereka juga memanggil para saksi yang melihat mayat Chuck ketika sore itu. Empat murid perempuan, beberapa murid lainnya. Mereka bahkan menginterogasi Liza yang merupakan korban perundungan Tyler dan kawan-kawan, sayangnya tak ada Eddie. Namun, semua alibi mereka, tidak kunjung menyatukan potongan puzzle ini.
"Tolong panggilkan Chelsea Schwartz dan Violetta Beauvoir."
Suasana tidak menyenangkan di dalam ruangan seperti meresap ke dalam tulang Chelsea saat dia dan Monica duduk, mengamati sosok tegas Deputy Francis. Saat pertanyaan dimulai, pikiran Chelsea menjadi pusaran emosi. Jantungnya berdebar tak menentu di dalam dadanya, setiap detaknya diiringi bayangan tubuh Chuck yang tak bernyawa. Kenangan jelas tentang wujudnya yang berlumuran darah melonjak ke depan, mengancam untuk melahapnya dalam pelukan yang mengerikan.
Putus asa mencari kenyamanan dan stabilitas, Chelsea menempel pada jaket Viole. Ya, dia mengenakan jaket lelaki itu. Kainnya yang masih mengandung esensi Viole, menyelimutinya seperti perisai melawan kengerian yang mengganggu pikirannya. Saat dia mendengarkan suara tegas sang Deputy, kehadiran jaket yang menenangkan membantunya membumi.
"Maaf aku terlambat," kata Viole.
Masuknya Viole secara tiba-tiba ke dalam ruangan itu bagaikan secercah cahaya di tengah kegelapan. Perlahan Viole mendekati Chelsea dan dengan lembut mengusap bahunya, aliran kehangatan mengalir melalui nadinya, untuk sesaat meringankan rasa takut yang membebaninya.
"Bisakah aku meminta sesuatu. Aku dan Chelsea bersama-sama saat kejadian itu jadi kalian cukup menginterogasiku saja. Chelsea tidak kuat jika dihadapkan pertanyaan Anda sekalian, terlebih lagu, kurasa dai sedikit trauma karena melihat mayat Chuck."
Deputy Francis menatap Viole sesaat, lalu setuju. Hati Chelsea membengkak karena lega. Dia bertukar pandang sekilas dengan Monica, rasa terima kasih mereka yang tak terucapkan terpancar di mata mereka. Ini merupakan penangguhan hukuman, kelonggaran sementara dari pertanyaan-pertanyaan keras yang mengancam akan menghabiskannya.
"Terima kasih Viole," kata Chelsea sesaat mengusap telapak tangan Viole.
"Tidak masalah," balas Viole.
Kepergian mereka hanya menyisakan Viole dan Deputy Francis serta Jeremiah Walter di ruang tertutup, suasana diwarnai ketegangan yang tak terucapkan.
Perlahan Viole duduk di kursi. "Halo Deputy Francis."
"Violetta Beauvoir," kata Francis seolah-olah mereka berdua sudah saling mengenal. Membuat Jeremiah Walter sedikit bingung.
"Mr. Walter," sapa Viole.
"Aku tahu dirimu dari putriku, dia pernah bercerita jika kau cantik." Jeremiah sedikit terkekeh karena awalnya tak percaya akan omongan putrinya.
Deputy Francis berdeham. "Aku akan langsung saja karena waktu kita terbatas." Dia mencondongkan tubuh ke depan, tatapannya tajam saat dia menanyai Viole. "Jadi, Viole, bisakah kamu menjelaskan apa yang kamu dan Chelsea lakukan sebelum kejadian itu?"
Viole mempertahankan ketenangannya, suaranya mantap saat menceritakan sore hari mereka di taman yang damai. "Kami berada di bawah dahan pohon yang anggun, asyik membaca halaman-halaman novel kami. Suasana tenang dan angin sepoi-sepoi memberikan latar belakang yang sempurna untuk pelarian sore kami."
"Bisakah kau menjawab dengan serius dan jangan menggunakan kalimat yang puitis?" balas Francis sedikit kesal.
"Okay, maaf tadi hanya bercanda karena kalian terlalu tegang." Viole terkekeh. "Jadi aku awalnya berada di taman belakang sekolah untuk istirahat dan membaca novel sendirian. Lalu tak lama Chelsea datang kemudian ikut beristirahat di sana. Dia kemudian tertidur yang tak lama kemudian aku juga tertidur. Menjelang sore, kami bangun dan bersama-sama mau pergi keluar, lalu kami mendengar jeritan empat murid perempuan dan saat kami mendatangi mereka, ternyata sudah ada mayat Chuck yang bersimbah darah dan tali goni di lehernya."
Jeremiah membaca catatan mengenai alibi keempat murid dan berkaitan dengan perkataan Viole barusan. "Apakah kau punya hubungan dengan korban? Seperti teman?"
"Aku tak kenal banyak orang, aku juga murid pindahan. Aku hanya tahu Chuck setelah dia dipermalukan di depan banyak murid," balas Viole atas pertanyaan Jeremiah.
"Saat kau sendirian di taman, berapa lama jeda antara kau masih sendiri di sana dan kedatangan Chelsea Schwartz?" ujar Deputy Francis.
"Entahlah, aku tidak tahu karena fokus membaca." Viole heran dengan pertanyaan itu.
Mata Deputy Francis menilik tajam. "Bagaimana saat kalian di taman, apakah kalian melihat hal-hal yang mencurigakan? Karena jalan yang kalian lewati untuk ke taman itu adalah koridor di mana mayat Chuck ditemukan, benar bukan?"
"Aku maupun Chelsea tidak melihat hal yang mencurigakan," balas Viole.
Deputy Francis menghela napas. "Sejujurnya ini sangat buntu. Semua orang bisa jadi tersangka terutama ketiga murid perundung bahkan Emma Walter." Dia menatap pada Jeremiah. "Lalu kamera pengawas di koridor itu juga mati. Jadi kami sulit untuk menyelidikinya."
"Bagaimana dengan mayatnya, apakah tidak ada hal mencurigakan atau tanda sidik jari dan sebagainya?" ujar Viole.
"Saat ini mayat Chuck sedang diautopsi," balas Jeremiah, "jadi kami menunggu hasil, tetapi sejauh ini, pihak rumah sakit belum ada memberikan keterangan seperti sidik jari atau hal mencurigakan yang mengarah pada pelaku pembunuhan ini."
Viole memutar bola matanya malas. Seperti adegan film saja yang penjahatnya akan ditemukan saat menuju menit akhir film dan ada korban jiwa lagi. Maka setelah beberapa pertanyaan, interogasi itu akhirnya selesai dan Viole diperbolehkan pergi.
Kini koridor sekolah sepi karena para murid berada di dalam kelas dan melaksanakan pembelajaran. Viole melangkah hendak kembali ke kelasnya. Namun, melihat seorang wanita yang tak sengaja menjatuhkan tumpukan buku dan dokumen dalam map kuning---kemungkinan wanita itu salah satu guru di sekolah ini---jadi mau tidak mau Viole menghampiri wanita tersebut dan membantunya untuk memungut dokumennya yang terhambur.
"Terima kasih," ujar si wanita yang tingginya cukup jangkung. Rambut berwarna cokelat disanggul dan mengenakan kacamata bulat. Dia terlihat muda, tetapi Viole tak suka caranya tersenyum.
"Sama-sama," balas Viole yang tak sengaja melihat sebuah kalung terselip di antara dokumennya, kalung itu berwarna silver dengan bandul kalung tersebut berbentuk bulan dan bintang. Sesaat Viole merasa familiar dengan kalung tersebut. Ah, ya kalung milik Chuck, ia pernah melihatnya ketika di kantin, saat Chuck memungut kalung tersebut setelah dirundung Lola dan lainnya.
"Senang bertemu denganmu, Violetta Beauvoir," sapa wanita itu.
"Maaf, bagaimana Anda bisa mengetahui namaku?" Kini Viole menilik wanita tersebut.
"Miss Mackenzie Josephine, kau harus mengingat namaku. Lalu mengapa aku kenal siapa dirimu? Tentu saja karena akulah yang memanggil namamu untuk menemui Deputy Francis." Wanita itu kembali tersenyum setelah memperbaiki posisi kacamatanya. "Sekali lagi, terima kasih atas bantuannya, aku harus pergi menemui Mr. Xavier." Wanita itu lekas melenggang pergi dan sepatu hak tingginya terdengar sepanjang ia melangkah.
Viole terdiam, menatap kepergian wanita itu, seraya bergumam, "What the fuck this School?"
****
Angin berembus membelai setiap rambut para murid yang beristirahat di sekitaran taman depan sekolah. Begitu juga dengan Tyler dan lainnya yang berkumpul bersama. Meski sekolah dilanda kesedihan dan mereka diinterogasi kepolisian setempat, mereka seolah-olah tak peduli dengan semua itu. Mereka masih bisa bercanda bahkan membuat lelucon seperti para Deputy tidak mampu menangani kasus ini.
Kini Tyler membaringkan kepalanya di paha Lola ketika perempuan itu fokus mengobrol dengan Ben mengenai kegiatan apa yang akan mereka lakukan di akhir pekan nanti. Tak lama kemudian, Emma dan Louie datang seraya membawa minuman kaleng. Langkah Emma terhenti saat melihat Tyler berbaring di paha Lola kemudian lelaki itu bangkit saat pesanan sodanya datang.
"Thanks, Louie," ujar Tyler mengambil kaleng Coca-Cola-nya. "Sialan hari ini sangat panas!"
"Kaubenar, hari ini kita ada latihan basket, mungkin kita bisa minta latihannya di dalam gedung saja agar tidak terpapar sinar matahari," timpal Ben sambil menghabiskan sodanya.
"Aku setuju!" sahut Tyler sambil menatap Emma yang duduk di samping Lola. "Kau baik-baik saja saat interogasi tadi? Bagaimana juga denganmu Louie?"
"I'm fine," sahut Louie tersenyum kecil.
"Ya, aku baik-baik saja," balas Emma.
Ben menyahut, "jangan khawatir padanya, ayahnya saja rekan Deputy Francis, Emma akan bersih dari tuduhan."
Lola meremas kaleng minumannya. "Bajingan, aku masih kesal karena mereka menjadikan kitab tersangka utama! Lagi pula kenapa pula babi itu mati! Orang gila mana yang berbuat kejahatan kemudian melemparkan getahnya pada kita!"
"Kuyakin pembunuhnya ingin membuat kita tertuduh," sahut Ben.
"Aku berpikir jika si gemuk itu, bunuh diri," ucap Tyler.
Mendengar pembicaraan mengenai Chuck, membuat wajah Emma pucat lagi, dia tidak tahan dengan pembicaraan ini. Louie sadar akan hal itu jadi dia lekas berujar, "bagaimana jika kita bicarakan hal lain? Emma sepertinya tidak nyaman."
"Kau benar, mari lupakan si babi itu," sahut Tyler kembali berbaring di rerumputan.
"Kalian berdua ada latihan basket ya?" kata Lola, "aku dan Emma, sore ini juga ada latihan renang. Kau akan datangkan Emma atau absen karena tak enak badan?"
"Aku akan latihan," balas Emma.
"Bagus, mari lupakan saja tragedi di sekolah ini dan kita fokus berlatih renang," ujar Lola merasa tak sabar untuk latihan hari ini.
"Aku juga ada rapat jurnalistik," ujar Louie.
"Kita semua sibuk sore ini," balas Ben, "omong-omong di mana teman cantik kita? Kudengar dia diinterogasi juga, tapi sampai sekarang dia tak menemui kita lagi."
"Aku curiga padanya." Tyler tiba-tiba berucap.
Hal ini membuat Louie dan Emma menatap Tyler, baru Emma hendak membalas perkataan tersebut, Louie lebih dulu berucap, "dia tidak mungkin melakukannya."
Tyler terkekeh dan menjawab, "aku tahu, aku hanya asal saja. Lagi pula mustahil wajah cantik seperti Viole membunuh seseorang."
"Tapi jujur, aku kesal dengan Viole karena dia dekat dengan pelacur ketua cheerleader itu. Bagaimana jika Chelsea pembunuhnya dan dia memanfaatkan Viole?" Lola berucap dengan penuh keyakinan.
"Ah benar juga, bisa saja dia menggoda si babi dengan tubuhnya kemudian membunuh babi itu." Tak lupa Ben menimpali maka Lola dan Tyler tertawa kencang. Sementara Emma dan Louie banyak diam, mendengarkan perkataan kotor mereka, dan terjebak selamanya dalam lingkaran setan itu.
****
Viole awalnya mengabaikan pesan Emma yang mengajaknya untuk menonton latihan renangnya dan Lola atau melihat latihan basket Tyler dan Ben, barangkali juga Viole mau membantu Louie yang disuruh memotret dokumentasi latihan ekskul di sekolah sebagai bahan mading. Namun, semua itu Viole tolak dengan satu jawaban bahwa dia sangat sibuk dan ada urusan lain. Jadi Emma berhenti menghubungi Viole dan kini perempuan itu dilanda rasa kekecewaan.
Kini Viole menelusuri trotoar tempat para pejalan kaki melintas, ia memperhatikan beberapa orang yang keluar masuk toko-toko. Mereka sangat sibuk meskipun hari perlahan menuju sore. Musik di earphone kabel Viole terdengar. Ia dengan riang dan santai melangkah seperti anak kecil yang bahagia akhirnya pulang ke rumah. Hingga kini Viole masih betah pulang-pergi dengan berjalan kaki, ia tak berpikiran hendak menggunakan kendaraan seperti motor atau mobil, tak juga ia berniat menaiki sepeda dan skateboard, entah apa alasan pastinya, tetapi dia merasa betah dengan berjalan kaki dan menikmati setiap pemandangan kota ini.
Alasan utama dia menolak ajakan Emma bukan karena malas, ah sebenarnya dia memang malas, tetapi alasan paling utama adalah dia harus menemui Julius sekaligus mengambil obatnya di rumah sakit. Ia tak mau menunda-nunda lagi karena tanpa obat itu, dia terkadang sulit tidur dan bermimpi buruk, serta mereka datang mengganggu. Tidak hanya mengetuk jendela, melainkan menjeblak pintu kamarnya bahkan berlarian ke sana-kemari, sangat menyebalkan.
Ia sampai di area parkiran rumah sakit, bergegas melewati jajaran mobil yang parkir dengan rapi. Harusnya dia tinggal masuk ke dalam rumah sakit tersebut, tetapi dari kejauhan dia menatap dua perawat perempuan yang terlihat sedang kesusahan, lalu di dekat perawat tersebut ada seorang nenek tua, rambutnya putih penuh uban, wajahnya berkerut, dan dia menggunakan tongkat agar bisa berdiri. Sejak tadi nenek tua itu hendak pergi, tetapi ditahan kedua perawat tersebut.
Viole mengangkat alisnya, tanpa pikir panjang, dia mendekati perawat dan nenek tua itu yang terlihat sedih sekali dan terus berkata, "aku ingin menemui cucuku, dia sakit, dia perlu aku rawat. Kumohon izinkan aku pulang."
"Mohon maaf, Nenek, tapi Nenek tidak bisa pulang. Tunggu anak Nenek ya, baru pulang sama anak Nenek," kata si perawat bernama Millie.
"Tidak! Cucuku sakit demam, dia harus bertemu aku agar dia sembuh! Aku hendak pulang, jika kalian tidak mau mengantarkanku, maka aku akan pulang dengan berjalan kaki saja!" bentak si nenek sedikit marah.
Selagi perawat Millie terus berbicara lembut pada si nenek dan meyakinkan nenek itu untuk masuk ke rumah sakit dan menunggu anaknya datang, Viole mendekati perawat lain yang sibuk menelepon perawat pria di dalam rumah sakit untuk membantu mereka. Hal ini karena mereka sudah hampir setengah jam terus membujuk nenek tua itu yang terus merengek pulang.
"Permisi, ini ada apa ya?" kata Viole yang sepertinya melupakan pesan Julius Cunningham untuk tidak menarik perhatian siapa pun di rumah sakit. "Nenek itu, kenapa dia terus meminta pulang menemui cucunya?"
Sesaat perawat kedua yang bernama Jane itu terkagum dengan lelaki yang berwajah tampan, tapi dilihat lagi ternyata juga cantik. Dia sampai lupa jika sedang menelepon dan perlahan mematikan ponselnya kemudian menjawab pertanyaan Viole. "Ah, wanita itu bernama Mrs. Donovan, dia penderita demensia dan sebenarnya sedang dirawat di rumah sakit ini, tapi kabur karena hendak pulang menemui cucunya. Padahal sebenarnya cucunya sudah lama meninggal karena kecelakaan. Akibat penyakit yang diderita Mrs. Donovan, dia jadi lupa jika sebenarnya cucunya sudah lama meninggal. Kami sejak tadi hendak membawa Mrs. Donovan ke dalam rumah sakit, tapi dia berisi keras ingin pulang."
"Kalian jahat! Bagaimana bisa melarangku hendak menemui cucuku! Dia sendirian di rumah dan aku harus merawatnya!" Kini Mrs. Donovan menangis dan terisak. Ia memohon agar kedua perawat membiarkannya pergi.
Tak lama kemudian, datang dua perawat pria yang satunya membawa kursi roda, satunya lagi membawa obat anestesi, mereka terpaksa harus membius Mrs. Donovan karena tidak akan mau wanita itu dibujuk baik-baik. Ketika mereka berencana menyuntikkan obat anestesi. Viole seketika menahan para perawat tersebut seraya berujar, "bolehkah saya membantu kalian?"
"Maaf," balas perawat Jane.
"Berikan saya satu kesempatan." Maka tanpa menunggu jawaban para perawat. Viole melangkah mendekati Mrs. Donovan.
Dia membungkuk, menekuk kedua lututnya di tanah agar bisa sejajar dengan tinggi nenek itu terlebih tubuh nenek itu pendek dan agak bongkok. "Halo, Nek."
Seketika Mrs. Donovan berhenti merengek dan terkejut, lalu tiba-tiba mendekap Viole membuat Viole terkejut. "Oh God, cucuku ternyata ada di sini! Kau sudah sehat ternyata. Hendrick jangan sakit lagi ya, Nenek tak mau kau sakit, kau harus sehat agar bisa memasak makanan yang enak."
Ah jadi seperti ini ketika seseorang terkena demensia. Dia bahkan lupa wajah cucunya sendiri, kini saja Mrs. Donovan berpikir jika cucunya masih hidup. "Hendrick, kamu ternyata sudah tumbuh besar dan tinggi. Nenek sangat bangga, Nenek sedih sekali saat tahu kamu sakit, maaf ya Nenek tak bisa merawatmu."
Senyuman Viole terbentuk. "Iya Nek, aku sudah sehat, Nenek sekarang masuk ke rumah sakit ya, Nenek harus berobat agar sehat juga kayak aku sekarang. Nanti kalau sudah sehat, aku bakal buatkan Nenek makanan enak."
Mrs. Donovan menangis terharu sambil mendekap tubuh Viole lagi. "Cucuku sangat baik, aku bersyukur cucuku sebaik ini. Ayo, Nenek mau berobat agar sembuh." Mrs. Donovan menuju kursi roda, dibantu para perawat, kemudian duduk tenang di sana.
"Nenek sama para perawat dulu ya, aku harus sekolah jadi Nenek baik-baik sama mereka," ujar Viole.
"Iya, kamu harus sekolah agar bisa kerja dan menikah," kata Mrs. Donovan, "jaga kesehatan ya, Cucuku agar kita bisa masak sama-sama."
Viole hanya membalas dengan senyuman dan lambaian tangan. Kemudian dua perawat pria mendorong kursi roda tersebut memasuki rumah sakit. Perawat Jane mendekati Viole dan berujar, "terima kasih ya. Kami jadi tak perlu susah payah menyuntikkan anestesi pada Mrs. Donovan, lalu aku terkagum karena biasanya Mrs. Donovan selalu marah jika melihat anak laki-laki muda karena dulu cucunya sering dirundung, tapi denganmu ... mungkin terdengar sedih, dia berpikir kau adalah cucunya. Namun, terima kasih sudah membantu, lalu kurasa karena aura positifmu, Mrs. Donovan sampai berpikir kau cucunya."
Anggukan kepala terlihat pada Viole. Tidak ia sangka jika masa lalu cucunya Mrs. Donovan begitu menyedihkan, apalagi kehilangan cucunya. "Sama-sama."
Kini perawat tersebut pergi. Viole pun harus masuk ke rumah sakit itu, beruntungnya, si nenek di bawa ke lorong rumah sakit yang berbeda dengan tujuan Viole menemui Julius Cunningham. Sesaat Viole bertanya pada dirinya sendiri. Mengapa dia bersusah payah melakukan semua ini? Apakah karena ia ingin jadi anak berbakti atau sekadar menolong karena rasa kemanusiaan? Mungkin jawabannya karena ingatan di masa lalunya yang berkata, "kalau kita bisa membantu, maka kita harus membantu orang lain. Lebih baik lagi jika kita melakukannya secara tulus".
Perlahan Viole melangkah hendak memasuki pintu rumah sakit. Saat itu juga, seorang gadis yang kemungkinan dokter muda dan menggendong anak kecil berambut pirang, keluar dari rumah sakit. Viole menatap pada gadis tersebut yang tak sengaja manik mata mereka saling bersinggungan. Namun, Viole tak peduli dan segera menuju lift untuk menemui Julius Cunningham serta mengambil obatnya.
"Kakak cowok tadi cantik ya," puji si anak kecil berambut pirang.
Sementara dokter muda tersebut tersenyum manis. "Iya, dia cantik."
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
Ada yang sudah mulai membuat teori, kira-kira siapa yah pelaku pembunuhan Chuck? Lalu mengapa Tyler, Lola, dan Ben malah merasa senang dan begitu sombong bukannya sedih?!
Ternyata semakin ke sini, kita bisa melihat sisi Viole yang berempati dan hangat^^ Adakah yang ingin punya pacar seperti Viole? hehehe
Prins Llumière
Senin, 16 Oktober 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top