Chapter 10: The Dead Chuck

Kegiatan di Erysvale High School berjalan dengan normal. Para murid datang sebelum bel berbunyi, tetapi ada murid yang tetap saja bebal dengan datang setelah bel sekolah sehingga harus mendapatkan amarah dari guru yang mengajar atau dihukum setelah pelajaran berlangsung. Murid di sekolah diperbolehkan membawa kendaraan sendiri, jadi tidak heran jika ada yang mengendarai mobil. Kemudian yang tidak punya kendaraan sejenis mobil atau motor, mereka akan menaiki sepeda atau membawa skateboard, ada pula yang diantar jemput atau menunggu bus tiba, dapat pula menaiki uber. Jika kuat berjalan kaki, maka beberapa murid memilih untuk menempuh dengan jalan kaki.

"Hey pretty, do you have girlfriend?" Suara itu terdengar dari murid di tahun ketiga. Rambut panjang dan cokelat serta mengenakan bando. Ia punya dua teman seperti anjing yang akan mengikuti ke mana pun gadis itu pergi. Gayanya seperti perempuan glamour yang senang menghamburkan uang di kafe atau bar. Penampilannya jauh lebih norak dan berlebihan dibandingkan Chelsea.

"Don't call me pretty," balas Viole sambil meraih buku pelajarannya dan menutup lokernya.

"Why baby? Kau cantik tidakkah, kau menyadari akan hal itu? Satu sekolah membicarakanmu jika ada laki-laki yang kecantikannya seperti Dewi Aphrodite." Gadis itu tersenyum dan melangkah semakin dekat pada Viole.

"Oh Serena, don't tease him, dia terlihat hendak menangis lho," balas sahabatnya bernama Humphrey.

Sahabatnya yang lain ikutan menimpali dengan kekehan kecil. Dia bernama, Laura. "Serena berhati-hatilah, kudengar Chelsea tertarik pada gadis---maksudku laki-laki ini, opss sorry baby, kau terlihat seperti perempuan. Hanya perlu rok dan rambut panjang."

"Chelsea pelacur itu," balas Serena merasa jengah jika seseorang menyebut Chelsea karena sejatinya Chelsea adalah mantan temannya sebelum Chelsea disukai oleh lelaki yang Serena sukai. Kini mereka selalu bersaing terutama perbedaan ekstrakurikuler, Serena adalah ketua ekskul modern dance sementara Chelsea ketua cheerleader. "I don't give a shit with those slut."

Viole merasa tak nyaman dan bahaya bersinyalir dalam dirinya jika gadis ini lebih berbahaya dibandingkan Chelsea. "Maaf, aku harus pergi."

Tiba-tiba Serena menarik lengan Viole. Kemudian mendorong lelaki itu ke loker hingga suara gebrakan terdengar, sesaat Viole pusing karena kepalanya membentur loker besi lalu terdengar suara keras lagi ketika Serena menahan Viole dan menjepitnya di loker tersebut. Kedua teman Serena cekikikan melihat pemandangan seorang laki-laki dijepit dan kalah oleh perempuan. Kini tak ada jarak antara mereka, Viole hendak memberontak, tapi wajah Serena semakin dekat.

"Kau pernah dicium sebelumnya baby boy? Kautahu aku dengan senang hari mengambilmu dari Chelsea, lagi pula bukankah aku lebih menggoda dibandingkan Chelsea? Aku juga tahu cada memuaskan nafsu seorang laki-laki."

"Fuck you bitch." Satu umpatan keluar dari mulut Viole, tetapi Serena tak peduli. Bahkan dengan beraninya, perempuan itu memajukan lututnya yang tak ditutupi kain hanya stoking hitam karena dia mengenakan rok super pendek. Ke arah kedua paha, selangkangan Viole dan hendak menekan benda lelaki itu yang masih tertidur.

"Biar kuajarkan kau---fuck, Jesus!!! Sakit!" teriak Serena ketika satu bola basket menghantam wajahnya hingga membuat perempuan itu melangkah mundur dan melepaskan Viole.

"Kau mau apakan dia bangsat? Memperkosa lelaki itu di sekolah? Jika mau jadi pelacur lakukanlah di bar bukan sekolah." Suara itu terdengar dari perempuan yang lekas mengambil bola basketnya kembali. Ia pantulkan dan menatap sinis pada Serena dan teman-temannya. "You okay Viole?"

"I'm okay, Monica," balas Viole lalu hendak melangkah ke arah Monica, tapi dengan keras kepalanya, Sedena menahan tangan Viole lagi.

"Kau tidak bisa pergi pada jalang itu! Tidakkah kau lihat jika dia menghantamku dengan bola basket?!" Serena merasakan jika wajahnya berdenyut sakit. Kini tatapannya sinis pada Viole yang ternyata membalas dengan tatapan sinis pula.

"Lepaskan tanganku sialan," sahut Viole, "lebih baik dia menghantam wajahmu dengan bola basket agar otakmu berfungsi lebih baik, barangkali otakmu kehilangan sekrupnya."

Beringsut Monica dengan cepat, merebut lengan Viole kemudian mendorong Serena yang hampir saja terjatuh jika tak ditahan kedua temannya. Kini Monica siap melemparkan bola basketnya lagi. "Hey, jika kau melakukan hal ini karena Chelsea, hadapi dia langsung, jangan kauseret anak baru ini. Kaupaham atau harus kulempar bola ini lagi?"

"Kau jalang, Monica!" teriak Serema lekas berbalik dan bersama kedua temannya mereka pergi meninggalkan Viole dan Monica. Langkah mereka cepat menembus lautan murid yang sejak tadi hanya berani menonton karena tak mau terlibat dengan jajaran gadis populer di sekolah ini. Para murid itu punya motto: lebih baik tak terlihat dibandingkan terseret masalah dengan jajaran kasta tinggi dan perundung di sekolah. Hidup takkan aman jika berurusan dengan mereka.

"Kau baik-baik saja, apakah dia tadi, uhm, menyentuhmu?" kata Monica, tapi Viole malah melangkah cepat. "Hey sorry! Tolong jangan marah, Serena memang gila, dia selalu seperti itu untuk bisa mengalahkan Chelsea."

"Lupakan apa yang terjadi," balas Viole dan bel berbunyi, para murid berhamburan menuju kelas masing-masing.

"Okay ...." Monica sedikit cemberut. Pasti baru pertama kalinya lelaki itu mengalami perlakuan buruk seperti tadi. Bahkan apa yang dilakukan Serena tadi bisa dianggap sebagai pelecehan seksual. "Jika ada apa-apa, kaubisa meminta bantuanku atau Chelsea! Kau menyimpan nomor kami 'kan?! Hey Violetta! Dasar laki-laki cantik."

Suara bising terdengar di belakang Monica yang ternyata empat orang sedang berjalan bersama, mereka tentu saja dikenal banyak murid karena sikap mereka yang semena-mena dan suka merundung orang lain padahal baru angkatan tahun pertama. Ya, siapa lagi kalau bukan geng Tyler; Tyler, Ben, Lola, dan Emma, sebenarnya ada satu lelaki lagi, Louie, tapi dia tak ada di sama. Kini mereka terlihat senang seolah-olah ada hal menakjubkan pada hari ini.

"Apalagi yang akan mereka perbuat, kuharap Viole bisa terbebas dari kelompok itu." Monica meraih ponselnya seraya berjalan dengan riang-gembira. Ia mengobrol dengan Chelsea yang kemudian senyuman terukir di wajahnya ketika tidak sengaja manik matanya berpapasan dengan Lola Powell. Lalu Monica fokus mendengarkannya ocehan Chelsea lagi.

"Siapa dia?" kata Emma.

Lola membalas, "Monica Antonio, sahabat Chelsea jalang, bukankah mereka sama-sama jelek, terlebih Monica dengan rambut keritingnya yang seperti mi, sialan, aku heran kenapa banyak laki-laki yang memujinya."

****

Sepertinya kantin takkan lengkap tanpa perundungan yang dilakukan oleh Tyler, Lola, dan juga Ben. Kini mereka membuat heboh ketika mendekati Eddie yang sedang makan dengan temannya. Tanpa peringatan apa-apa Tyler menumpahkan sisa supnya yang tak habis ke atas kepala Eddie hingga ia berlumuran kuah, rambutnya basah dan lengket, begitu pula seragamnya. Eddie yang hendak menyuap nasinya terhenti karena terkejut lalu memekik sakit ketika Ben menampar kepala belakang Eddie dengan nampan besi. Suara berkelontang memecah keributan kantin yang kini para murid jadi menatap ke sumber suara.

"Baby Eddie kasihan sekali," kata Lola dengan keras, "kaumakan berantakan. Sini aku bantu bersihkan." Lola mengeluarkan serbet atau kain putih kemudian mengusap kepala Eddie, tetapi bukannya bersih, Kepala Eddie terasa basah dan air menitik ke bawah. "Oh maaf, ini ternyata kain pel, bukan kain bersih, aku sangat ceroboh."

Maka para murid mulai tertawa, mereka bahkan merekam kejadian tersebut dengan suka rela, melihat wajah Eddie yang memerah, hanya bisa menunduk, dan hampir menangis. Tyler kembali berujar, "jangan menangis banci, kau seperti babi jika terus menangis." Kemudian dia rebut kacamata Eddie yang ternyata kacamata baru. "Woah, meski kaumiskin, tapi kacamata ini lumayan bagus. Apa kau beli atau mencuri?"

"Kembalikan, itu pemberian ibuku," kata Eddie dengan sesegukan.

"Kembalikan," ulang Ben tertawa dan mencoba kacamata tersebut juga, lalu ia berikan lagi pada Tyler. "Ibumu pasti kecewa punya anak banci dan porno sepertimu. Apa perasaan dia saat tahu jika anaknya pernah merekam perempuan sedang berganti baju huh?!"

Tyler mengenakan kacamata tersebut, ia merasa bahagia ketika Eddie terus menunduk, tangan terkepal, dan ia menangis. "Akan kugunakan kacamata ini."

"Kembalikan, itu bukan milikmu!" kata seorang laki-laki yang merupakan teman Eddie. Dia pendek, lebih pendek dari Eddie padahal Eddie saja sudah pendek.

"Chuck jangan," ujar Eddie pelan dengan penuh ketakutan. Harusnya Chuck tak perlu ikut campur.

"Yes Chuck, dengarkan pacarmu ini, jangan ikut campur." Tyler mencondongkan wajahnya pada Chuck yang bertubuh gempal, pendek, wajahnya penuh freckles.

"Hey aku kenal dia!" kata Lola, "dia mirip tokoh film. Ya, kau sangat mirip boneka Chucky, tapi kau versi obesitasnya, apakah kalian saudara jauh? Oh wow kalung yang bagus!" Lola seketika merebut kalung yang tergantung di leher Chuck, kalung silver dengan bandul berbentuk bulan dan bintang.

"Kembalikan!" Wajah Chuck memerah, ia punya kulit putih jadi ketika wajahnya memerah akan sangat terlihat. Kedua tangannya mengepal kuat.

"Tidak mau, kau babi untuk apa menggunakan kalung?" balas Lola.

Maka tanpa aba-aba Chuck mengambil nampan makanannya kemudian melemparnya ke wajah Lola hingga perempuan itu memekin selain karena wajahnya terkena makanan, tetapi dagunya terkena hantaman nampan besi. "What the fuck are you doing!"

Eddie terkejut, diam membisu sementara Chuck ketakutan karena dia kehilangan kendali. Maka Tyler dan Ben amarahnya mengamuk. Mereka segera menarik kerah baju Chuck, menjauhkannya dari meja kemudian menendang area selangkangan Chuck serta meninju perutnya hingga lelaki gempal itu tersungkur ke lantai. Ben melanjutkan serangan Tyler dengan cara menendang kuat-kuat dagu Chuck hingga terdengar suara keras seperti patah tulang kemudian disambung menginjak hidung Chuck hingga patah dan berdarah. Lengkingan suara para murid yang menyaksikan semua itu terdengar, mereka sampai menutup mulut dan mata ketika darah ada di mana-mana. Eddie hanya diam, tak kuasa untuk melawan jadi dia memilih untuk menutup matanya dan membiarkan Chuck. Lalu giliran Lola yang mendekati Chuck dengan membawa sup hangat kemudian ditumpahkan di atas wajah Chuck hingga lelaki itu menjerit-jerit.

"Ini karena kau menghantam wajah cantikku, dasar kau berengsek!" teriak Lola.

"Hey hentikan! Kumohon!" teriak suara perempuan yang membelah lautan murid. Itu ternyata Emma yang bersama dengan Louie. "Lola hentikan, para guru mendengar keributan dan menuju kemari. Ayo pergi, sebelum kalian dihukum lebih berat lagi, ayolah kalian baru saja selesai menjalani skorsing."

"Tyler, Ben, tolong dengarkan Emma," kata Louie. Dia terpaksa memohon karena tak mau jika Emma juga terkena hukuman, notabenenya Emma sangat dekat dengan Tyler.

"Persetan!" teriak Tyler, "jika kau berani bersikap seperti tadi, kau akan kubuat menderita, paham yang kumaksudkan, hey babi sialan?"

Chuck perlahan menganggukkan kepalanya. Maka Tyler pun menyudahi siksaannya terutama karena permintaan Emma. "Okay Emma, ayo pergi." Kemudian Tyler meraih jemari Emma, digenggamnya dengan erat. Hal ini membuat Emma tersenyum tipis, degup jantungnya berdetak kencang, dan ia merasakan pipinya memanas.

"Ayo Tyler," kata Emma sedangkan Louie hanya menatap dengan kesedihan.

"Dasar babi! Kukembalikan kalungmu!" Lola melempar kalung tersebut ke lantai.

"Kalian bubar! Jangan berani melapor karena jika kami tahu siapa yang melapor, kalian akan berakhir seperti babi ini!" teriak Ben lalu mengangguk sebagai tanda bahwa mereka harus pergi. Maka mereka berlima pun segera pergi dari kantin.

Kepergian mereka, para murid bubar, meninggalkan Chuck yang masih tersungkur di lantai dengan keadaan mengenaskan, ia seperti seonggok daging babi yang tidak dipedulikan bahkan anjing liar lun sepertinya enggan memakanan daging tersebut. Sementara Eddie hanya terdiam, menangis, seraya menggenggam kacamatanya yang sudah pecah dan hancur. Dia kehilangan barang yang ibunya belikan dengan susah payah. Kedua manusia malang itu sama sekali tak dipedulikan siapa pun. Ya, kehadiran mereka seolah-olah tak berguna di hidup siapa pun. Sangat menyedihkan.

Beberapa murid yang masih menetap di kantin---tapi pindah meja agar jauh dari Chuck dan Eddie---mereka berbisik serta memuji diam-diam bahkan beberapa perempuan ketika seorang lelaki berwajah cantik berjalan menuju penjual minuman susu. Violetta melangkah tanpa beban dan mengabaikan kedua manusia mengenaskan itu. Ia sama sekali tidak peduli atau menaruh simpati, lagi pula sejak awal ia enggan ikut campur dan tidak mau bermain pahlawan-pahlawanan. Viole bukan Superman atau Spider-Man, lagi pula dunia ini ada hal han lebih mengerikan dibandingkan memikirkan untuk menjadi pahlawan super.

"Ini pesananmu."

"Terima kasih," kata Viole meraih gelas susu cokelat hangatnya yang uap putih mengepul di udara.

Kini dia berjalan kembali dan melewati Chuck yang ternyata perlahan bangkit, lelaki gempal itu mengubah posisinya menjadi duduk, seraya meraih sesuatu seperti sebuah kalung silver. Tidak terlihat jelas ekspresi Chuck karena wajahnya bengkak dan memar, tapi samar-samar Viole bisa mendengar Chuck berujar dengan penuh amarah. Hal ini membuat Viole menaikkan alisnya, tetapi dia tidak peduli dan terus melangkah entah menuju ke mana, tetapi tidak di kantin karena dia ingin menikmati susu cokelat hangatnya dengan tenang dan damai.

"Akan kubunuh mereka." Viole mengulangi perkataan Chuck tadi. "Kurasa ada tuan Joker di sekolah ini."

****

Kini Viole berbaring di taman belakang sekolah karena sepi, susu cokelatnya tersisa setengah. Ia mengenakan headphone dan fokus membaca novel Jepang yang berjudul Ankoku Joshi atau dalam bahasa Inggris yakni Girls in the Dark karya Akiyoshi Rikako. Viole membaca novel tersebut yang versi Jepangnya karena lelaki itu adalah seorang polyglot jadi dia mahir dalam menguasai banyak bahasa termasuk Jepang. Musik yang ia putar adalah penyanyi terkenal di Jepang yakni Yoasobi.

"Hello!" sapa perempuan berambut hitam yang berusaha mengagetkan Viole dari balik pohon, tetapi Viole tidak kaget. "Jahat setidaknya pura-pura kaget untuk membuatku senang."

Perlahan Viole melirik pada perempuan yang kini duduk di hadapannya. Meskipun tak mendengar suara perempuan itu, tetapi Viole dapat memahami maksud raut wajahnya. "Kau tak lihat aku sedang membaca dan menggunakan headphone? Itu artinya aku tak mau diganggu."

Perlahan Chelsea memajukan bibirnya dan pipinya sedikit menggembung. "Viole jahat! Aku kan mau mengobrol, setidaknya hargai itu, lagi pula masa kau tidak senang didekati perempuan cantik sepertiku."

Membaca melalui gerakan bibir Chelsea. Viole menebal jika perempuan itu mengatakan jika dirinya cantik jadi Viole membalas, "lebih cantik Anya Taylor-Joy dan Dilraba Dilmurat dibandingkan kau."

Mendengar perkataan itu membuat wajah Chelsea memerah dan matanya membulat lebar. "Kau menyandingkan aku dengan kedua aktris itu tentu saja aku kalah apalagi Dilraba Dilmurat! Cantik yang kumaksudkan adalah di sekolah atau kota ini, kalau dengan mereka, tentu saja aku kalah!"

Viole memutar bola matanya, ia tidak tahu Chelsea mengatakan apa, tetapi ia yakin jika perempuan itu marah besar. "Maaf aku tak mendengarmu karena volume musikku."

"Violetta berengsek!" Kini Chelsea ngambek, tetapi tak mau beranjak dari sana dan tetap duduk di hadapan Viole.

Chelsea tak peduli jika rumput yang ia duduki akan membuat rok atau bajunya kotor. Dia hanya perlu tempat sunyi agar terbebas dari segala keriuhan di dalam sekolah; ekspektasi para guru dan murid, banyaknya godaan dilayangkan padanya, pujian yang terkadang membuatnya muak, hingga pikirannya yang melayang-layang karena kemungkinan ayahnya akan menikah lagi. Ketika kemari, dia menemukan Viole yang ternyata tak menaruh ekspektasi apa pun padanya. Hal ini membuat Chelsea sedikit lebih tenang meskipun perkataan Viole selalu menyakitkan. Perlahan Chelsea menghela napas dan membiarkan sepoi angin menyapu rambut panjangnya.

Sesaat Viole merasa risi, bukan karena Chelsea ada di sini, tetapi tidakkah perempuan itu sadar jika roknya sangat pendek dan dia mengenakan kaos kaki yang hanya mencapai bawah lutut jadi secara langsung perempuan itu membiarkan kedua pahanya terekspos.

Maka perlahan Viole melepaskan jaket biru dongkernya, lalu dengan perkataan. "Chelsea, aku mohon permisi ya." Dia lekas menyelimuti paha Chelsea yang terekspos dengan jaket tersebut. "Gunakan jaket itu agar tidak terlalu terlihat. Maaf, aku hanya tak mau, kau merasa tak nyaman."

Kini Viole menyandarkan punggungnya ke pohon di belakangnya. Ia kembali membaca novelnya, sedikit terganggu fokusnya, terlebih lagi dia harus membaca novel ini pelan-pelan agar paham dengan alurnya yang semakin menegang. Suara lagunya terus berputar jadi kalau Chelsea berujar, lelaki itu takkan bisa mendengarnya. Begitu juga ketika Chelsea tertawa, Viole tak mendengar tawa cantik perempuan itu.

"Ternyata kau sangat baik dan gentleman Viole, jadi di balik wajah cantik dan cuek serta sok dingin itu, tersimpan perhatian. Jujur, kau membuatku meleleh." Chelsea memperhatikan wajah Viole yang seperti dipahat oleh pemahat paling terkenal di dunia. "Kau tak mendengarku ya ... tapi aku berterima kasih lho karena kau sangat perhatian. Kau jarang bertemu laki-laki yang memperlakukanmu sebaik ini karena kebanyakan dari mereka semua adalah lelaki berengsek."

Viole tidak mendengar perkataan Chelsea karena fokus membaca. Dia bahkan tak tahu jika Chelsea diam-diam memotretnya. Senyuman Chelsea terukir ketika melihat wajah cantik itu di galeri ponselnya.

"Viole," kata Chelsea, sekali lagi, Viole tak mendengar perkataan perempuan cantik. "Kau cantik, aku merasa beruntung sekali kau pindah ke sekolah ini."

"Violetta," panggil Chelsea, tentu saja dia sadar jika Viole tak mendengarkannya, tetapi dia tetap mau berbicara pada lelaki itu. "Kau sukan Taylor Swift bukan? Kira-kira kau cocoknya jadi Mr. Style, Mr. Back to December, Mr. All too Well atau mau dipanggil Mr. Violetta saja?"

Perlahan Chelsea menghela napas. Dia memasang earpod-nya dan memutar musik. "Viole, jika aku menyukaimu, apakah kau mengizinkanku?" Chelsea menunggu dan tidak ada jawaban Viole. "Kau tidak menjawab, itu artinya kau mengizinkan."

Kini Chelsea membaringkan tubuhnya di rerumputan, menurunkan jaket Viole agar menutupi paha dan kakinya, lagu Lana Del Rey berputar di pendengarannya. Ia memejamkan kedua matanya sementara Viole melirik sesaat, lalu menggeleng pelan dan kembali membaca novelnya. Beberapa menit berlalu, sepertinya Chelsea terlelap. Melihat Chelsea yang nyaman berbaring di rerumputan. Kini Viole perlahan membaringkan tubuhnya juga dengan fokusnya tetap pada novel.

****

Setelah dari klinik sekolah, Lola, Tyler, Ben, Louie serta Emma menyusuri koridor. Wajah Lola Powell yang biasanya berseri-seri kini dirusak oleh memar baru yang menghiasi pipinya. Dia meringis kesakitan saat berjalan melewati lorong sekolah, rasa percaya dirinya sejenak terguncang. Saat dia melewati kerumunan, dia melihat Liza, pembuat onar yang nakal, tertawa terbahak-bahak atas perbuatannya.

Ketika menyusuri koridor, hal menjengkelkan yang dia lihat adalah seseorang yang menertawakan dan mengejeknya di saat Lola berada dalam kerentanan. Benar sekali, Liza, si perempuan cupu dan kutu buku malah menertawakan Lola. Penglihatan Lola menyempit, amarah murni mengalir di pembuluh darahku.

"Beraninya dia menemukan hiburan dalam kesakitanku?" gunan Lola yang tanpa pikir panjang, ia segera mendekati Liza, matanya menyala-nyala karena amarah yang tak terbendung. Teman-teman Lola juga menyadari jika Liza sempat terlihat menertawakan Loa. Hal ini juga membuat Tyler dan Ben marah besar. Sementara Emma merasakan firasat buruk, dia hendak menghentikan ketiga sahabatnya itu, tapi pergelangan tangannya ditarik Louie.

"Louie, aku harus menghentikan mereka," kata Emma.

"Tidak, kau takkan bisa menghentikan mereka. Mereka sudah sangat marah." Louie berkata karena takut jika Emma juga akan terkena tamparan Lola karena Emma selalu berusaha menghentikan ketiga perundung itu.

"Tapi Louie---"

Suara keras terdengar ketika Lola, Tyler, dan Ben memojokkan Liza di dekat loker, para murid langsung menatap mereka, menjadikan mereka pusat perhatian, lagi. Mata Lola menyipit saat dia melihat ketakutan melintas di wajah Liza, merasakan pembalasan yang akan dilancarkan padanya. Dengan gerakan sigap, Lola merampas buku Liza dari tangannya, barang berharga yang sangat ia hargai.

Senyuman sinis terukir di bibir Lola, saat dia merobek halaman buku tersebut satu demi satu, setiap robekan menggemakan hancurnya kepercayaan diri Liza dan perempuan itu mulai menangis. Tawa riuh bergema di koridor. Para murid menikmati semua ini seolah menonton pertunjukan sulap.

"Berani kau menertawakanmu, perempuan miskin dan kutu buku!" teriak Lola yang tanpa ragu, tangannya tersentak ke depan, sengatan tamparan tajamnya bergema di lorong yang kini sunyi. Kekuatan pukulan itu menyentak kepala Liza ke samping, sikap kurangajar Liza berubah menjadi topeng kerentanan dan tangisnya semakin pecah.

"Maaf, aku tidak bermaksud menertawakanmu, tolong ampuni aku." Liza memohon. Namun, tak didengarkan oleh ketiga perundung yang hati nurani mereka sudah tak ada lagi.

Saat Liza terjatuh ke lantai, Lola melihat ke arah Tyler yang berdiri di dekatnya, kilatan nakal di mata Tyler terukir saat dia membuka tutup botol air. Dia mengeluarkan semburan air dingin ke Liza, membasahinya dari ujung kepala sampai ujung kaki, menciptakan tontonan yang memalukan untuk disaksikan semua orang.

"Oops, maaf. Minuman ku tertumpah, jangan menangis ya," kata Tyler menarik rambut Lola kemudian menghantamkan wajah Lola ke loker hingga perempuan itu ambruk di lantai.

Sementara itu, Ben berdiri di dekatnya, ponsel di tangan, mengabadikan setiap momen penghinaan yang dialami Liza. Ini adalah pelajaran yang tidak mudah dilupakan. Dengan berlalunya detik demi detik, dominasi ketiganya atas Liza menguat, tindakan kejamnya menjadi pengingat akan kekuatannya. Membuat para murid paham untuk tidak berurusan dengan mereka bertiga.

"Ayo pergi," kata Tyler, "Emma ayo! Kita mau makan ke kafe."

"Aku bingung, ke mana Viole ya? Aku tidak melihatnya sejak tadi." Ben berucap dan mereka melangkah meninggalkan Liza sementara para murid kembali bubar dan tak mau menolong perempuan itu.

"Aku akan coba hubungi dia," kata Louie tersenyum getir, ia sakit melihat Liza menjadi korban lagi.

"Bagus, hubungi si cantik, aku takut dia diperkosa perempuan di sekolah ini." Lola berucap. Setelahnya mereka pergi menuju pintu ke luar sekolah karena jam pulang sekolah sudah tiba.

****

Chelsea terbangun dari tidurnya. Rerumputan lembut menggelitik kulitnya. Dia perlahan duduk dan meregangkan tubuh. Kini pandangannya tertuju pada Viole, yang tertidur juga di sampingnya. Jantungnya berdetak kencang, Viole tampak begitu damai, raut wajahnya lembut. Chelsea tidak bisa tidak terpikat oleh kecantikannya, perpaduan aneh antara maskulin dan feminin.

Headphone Viole menempel erat di telinganya, membungkusnya dalam dunia melodi dan ritme. Dengan setiap tarikan napas yang teratur, dada Viole naik dan turun, menggendong sebuah novel yang terbuka, halaman-halamannya sedikit berkibar tertiup angin sepoi-sepoi. Tatapan Chelsea menelusuri garis wajahnya, mengagumi fitur halus yang menghiasi wajahnya, memadukan maskulinitas dengan keindahan yang halus.

Keberanian entah datang dari mana. Dia tidak bisa menahan diri untuk mengulurkan jari-jarinya dengan lembut ke rambut halus Viole. Sentuhan Chelsea lembut, hampir seperti belaian yang menenangkan, saat dia menyisir setiap helai rambut, menikmati kedekatan yang dia rasakan dengannya. Rambut Viole mengalir melalui jari-jarinya, terasa lembut.

"Oh shit, Chelsea, tenang dan tahan dirimu, okay, jangan sampai rumor aneh menyebar. Kau punya reputasi," gumam Chelsea yang kini secara pelan mengguncang tubuh Viole. "Hey bangun, tukang tidur, kamu mau bermalam di sekolah?"

Perlahan Viole bangkit dari tidurnya, novelnya jatuh dari dadanya, dia menguap pelan dan merentangkan tangannya ke atas kepala, merasakan sisa-sisa tidurnya perlahan memudar. Dia mengulurkan tangan dan melepas headphone-nya kemudian meraih novelnya, ia berkedip beberapa kali untuk menyesuaikan matanya dengan cahaya pagi.

"Terima kasih sudah membangunkanku, maaf aku tertidur tadi." Suara Viole masih diwarnai rasa kantuk.

Chelsea tersenyum simpul. "Saat kautidur, kau seperti bayi."

Viole memutar bola matanya. "Ayo pergi, ini sudah terlalu sore."

Chelsea bangun seraya meraih jaket Viole kemudian dia kembalikan pada Viole. Mereka berdua meninggalkan halaman belakang yang damai dan berjalan menuju gedung sekolah. Menyusuri koridor yang sepi. Suasana sepi itu hancur dalam sekejap saat telinga Chelsea dan Viole dipenuhi dengan jeritan tajam yang bergema di koridor.

Saat mereka berbelok ke koridor, keterkejutan melanda mereka saat pemandangan mengerikan mulai terlihat. Empat murid perempuan berdiri gemetar, air mata mengalir di wajah mereka. Mereka seperti akan gila sebentar lagi.

Detik itu, mata Chelsea membelalak kaget dan tidak percaya. Sementara Viole hanya menatap dengan lurus. Pemandangan mengerikan terbentang di hadapan mereka—tubuh tak bernyawa tergeletak tak bergerak di lantai yang dingin dan tak kenal ampun, itu Chuck. Darah menggenang di bawahnya, menodai ubin yang dulunya putih bersih, dan seutas tali diikatkan dengan kejam di lehernya, selamanya melestarikan citra sebuah tragedi.

Naluri pertama Chelsea adalah menyaksikan tragedi yang terjadi. Namun, sebelum dia benar-benar melihat kenyataan sadis itu. Viole melindungi Chelsea, maka tanpa berpikir dua kali, dia dengan cepat bergerak dan menarik jaketnya lalu menutupi wajah Chelsea, bertekad untuk menghindarkannya dari kenyataan mengerikan. Jaket itu berbau cologne, memberikan kenyamanan di tengah kekacauan. Viole menarik Chelsea lalu mendekap perempuan itu.

Jantung Chelsea berdebar kencang saat dia mencengkeram ujung jaket Viole, napasnya tersengal-sengal. Dia memahami sikap Viole, keinginannya untuk melindunginya dari rasa sakit dan kengerian. Untuk sesaat, mereka berdiri di lorong itu, terkurung dalam gelembung rapuh mereka, tubuh mereka saling menempel saat mencoba memproses bencana yang terjadi di hadapan mereka.

"Sialan," gumam Viole.

Tak lama kemudian dua guru dan beberapa murid berdatangan. Keempat murid perempuan yang menjadi saksi pertama lekas melaporkan pada dua guru tersebut. Sementara murid-murid yang baru datang segera menutup wajah mereka, ada yang kabur dan menjauh karena tidak tahan dengan pemandangan tersebut. Salah satu guru lekas menelepon pihak rumah sakit dan kepolisian kota ini.

"Viole, apakah anak itu ... dia ... dia mati?" Suara Chelsea terdengar serak dan dia terisak. Degup jantungnya berpacu dengan cepat. Meskipun Viole menutup penglihatannya dengan jaket, tetapi sekilas dia melihat darah dan bau anyir tercium. Tubuhnya semakin gemetar. Sejujurnya Viole jarang memberikan pelukan, tetapi dia paham harus berbuat apa, terutama karena tak semua manusia bisa menghadapi keadaan mengenaskan seperti detik ini. Maka perlahan Viole semakin mendekap erat tubuh Chelsea yang gemetar, membuat aroma cologne merasuki penciuman gadis itu sehingga samar-samar bau anyir tak tercium.

"It's okay Chelsea, everything will be fine. Kumohon tenanglah, aku ada di sini, lalu sebaiknya kita pergi. Guru-guru akan menyelesaikan masalah ini," ujar Viole segera membawa Chelsea, beruntungnya gadis itu mau menurut pada Viole. Ketika mereka melangkah menjauh, tak lama terdengar suara Monica yang berlari dengan tergesa-gesa. Dia kemarin karena kebetulan melihat kepanikan para murid dan ia tahu jika Chelsea pergi ke taman belakang.

"Oh ya Tuhan." Dia berbalik kembali karena tak kuasa melihat mayat itu. "Apa yang terjadi? Lalu Chelsea kenapa?" Dia berujar sambil memunggungi mayat Chuck. Berusaha pula tak membayangkan apa pun karena kini perutnya terasa sedikit mual.

"Chelsea baik-baik saja, aku hanya tak mau dia melihat mayatnya. Monica tolong antarkan dia pulang, okay?" Viole perlahan menyerahkan Chelsea pada Monica. "Jaga dia."

"Okay, thank's, Ya Tuhan, Jesus Christ. Ini benar-benar mengerikan. Ayo Chelsea, kita pergi," kata Monica segera membawa Chelsea pergi menjauh dari lokasi.

Sementara itu, Viole berbalik, menatap mayat Chuck yang diselimuti sehelai kain hitam yang dibawakan seorang guru untuk menutupi kengerian itu. Tatapan Viole tidak memperlihatkan ketakutan, barangkali dia sudah terbiasa melihat pemandangan yang jelas-jelas sangat mengerikan dan membuat siapa pun merasa tak kuasa untuk berada lebih lama di sini. Lihat saja para murid sudah menjauh dari lokasi. Tak ia sangka ada kematian di sekolah ini. Chuck yang menjadi korban adalah murid yang sama yang tadi pagi dirundung oleh geng Tyler. Jadi siapakah yang besar kemungkinan menjadi pelaku pembunuhan ini? Lalu mengapa dia dibunuh?

◇─◇──◇─────◇──◇─◇

Waduh Chelsea sudah mulai suka mengganggu dan menempel pada Viole nih!! Lalu semakin lucu yah interaksi mereka kemudian Viole ternyata sikapnya nggak dingin kayak kulkas tujuh pintu, dia masih punya hati meski susah ditembus karena diberi penghalang 100 lapis pintu besi^^

Kini sudah ada satu korban, mari melakukan bela sungkawa untuk Chuck yang meregang nyawa dengan cukup tragis. Kira-kira siapa pelaku pembunuhan Chuck? Apakah Tyler, Ben, Lola, atau ada dalang lainnya?

Prins Llumière

Jumat, 13 Oktober 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top