Chapter 09: What is Æthelwulfos?

Hari ini sekolah dihebohkan dengan berita tentang pembunuhan terhadap keluarga kaya raya yakni keluarga Courtney. Diketahui jika keluarga itu, Kepala keluarganya adalah Jeffrey Courtney yang merupakan anggota pemerintahan di Erysvale. Ketika polisi menyelidiki, satu keluarga yang terdiri dari Mr dan Mrs. Courtney, tiga anak, empat asisten rumah tangga, dua tukang kebun. Mereka semua meninggal di mansion Courtney dalam keadaan mengenaskan seperti habis dilakukan pembantaian di rumah tersebut. Darah ada di sepanjang aula makan keluarga, beberapa kamar juga bersimbah darah, potongan tubuh tersebar di mana-mana, terutama tangan, jari-jari, dan juga kaki. Ada pula yang mati karena racun. Polisi juga menemukan bentuk perlawanan dengan senjata tajam seperti pisau serta tembakan pistol, seperti keluarga Courtney melakukan perlawanan pada pembunuh berantai, tetapi mereka gagal. Bahkan para asisten rumah tangga mereka ada yang mati tertembak pistol milik keluarga Courtney tersebut.

"Kuyakin pistolnya direbut sama pembunuh kemudian kepala asisten rumah tangga itu ditembak!"

"Aku baca berita juga, anak-anak keluarga Courtney meninggal sangat sadis, ada yang kepala mereka hancur karena mesin pemotong rumput, ada yang tubuhnya mengapung di kolam renang, tapi ususnya terburai keluar! Sial, sangat mengerikan dan menjijikkan."

"Istri Mr. Courtney katanya mati karena terbakar, lalu Mr. Courtney sendiri yang matinya paling sadis ...." Suara murid itu menjadi pelan.

"Apa? Matinya karena apa?" tanya Emma yang duduk di samping Louie, lelaki itu sejak tadi memperlihatkan wajah tegang. Dia bahkan sempat mencengkeram kuat lengan Viole sebelum lelaki itu menepis Louie. Kali ini Viole juga ikut mendengarkan perbincangan para murid itu, tentu saja karena dipaksa Emma dan Louie. "Ayo katakan."

"Emma, kenapa kau malah antusias? Aku malah merinding, tidakkah kalian jijik membicarakan berita dan kematian keluarga itu?" ujar Louie yang langsung mendapatkan pukulan kecil di bahu kanannya.

"Jijik dan takut," timpal perempuan dengan rambut dikepang. "Tapi seru, apakah kau tidak merasakan euforia seru dan menegangkan di sini? Apalagi ini berita tadi pagi dan pembunuhnya baru terjadi semalam."

"Sial, aku takkan tanggung jawab jika pembunuh itu ke sekolah ini!" balas Louie yang langsung saja teman-temannya tertawa.

"Oh ayolah Louie," kata Gerald, "pembunuh itu hanya mengincar orang-orang kaya atau jahat, dia takkan mau singgah di sekolah ini! Lagi pula apa yang dia cari sampai ke sekolah ini, huh?!"

Louie cemberut ketika teman-temannya tertawa lagi dan kini Emma mengelus punggung Louie meskipun dia juga ikut menertawakan, ternyata Louie agak penakut, berbeda dengan Emma yang lebih berani bahkan Emma akan baik-baik saja jika menonton film seperti Insidious atau Conjuring.

"Aku bingung, kenapa pembunuh itu bisa selamat ya? Maksudku sehebat-hebatnya seseorang, tapi kalau lawannya banyak juga akan kewalahan, tapi pembunuh itu berhasil membunuh satu keluarga seperti membunuh semut, bahkan kamera pengawas di mansion keluarga Courtney tidak berfungsi. Seolah-olah semua ini sudah direncanakan."

"Itu artinya ...." Murid perempuan itu sengaja menjeda perkataannya. "Pembunuh itu juga cerdas, mungkin seperti Joker musuhnya Batman."

Seorang murid laki-laki selesai membeli minuman bersoda dari vending machine tiba-tiba berujar, "mungkin pembunuh itu ævoltaire karenanya dia selalu berhasil selamat dari kejaran polisi. Bukankah pembunuh ini adalah orang yang sama dengan pembunuh dari negara bagian lain, dia jugakan yang membunuh empat mahasiswa di Varenheim University. Lagi pula, siapa pun bisa jadi target jadi berhati-hatilah kalian."

Perkataan lelaki itu sukses membuat beberapa murid terdiam termasuk Emma dan Louie sementara Viole sejak tadi memang hanya mendengarkan perbincangan mereka tanpa niat membuka suara. Dikarenakan hening masih menguar, Emma memecah keheningan ini. "Oh ayolah, Theodore, jangan terlalu serius, okay?"

"Okay," balas Theodore Lucariah kemudian menuju kursinya di bagian paling belakang dan lanjut bermain game di ponsel. Viole baru sadar jika ada anak itu di kelas ini. Ah, sebenarnya kursi di tempat itu kosong selama beberapa minggu ternyata pemiliknya baru masuk sekolah.

"Lucariah ini sangat menyebalkan," sahut murid perempuan seraya memutar bola matanya.

Louie kemudian menatap Viole. "Dia Theodore Lucariah, anak dari keluarga kaya raya, dia baru masuk karena sempat dirawat di rumah sakit akibat kecelakaan motor. Ayahnya itu kenalan deputy di kota ini."

"Aku tidak tanya dan tidak perlu penjelasan itu," balas Viole.

"Bajingan," sahut Louie jadi kesal, tapi berusaha menekan amarahnya dan banyak-banyak sabar.

****

Pelajaran sejarah mengharuskan para muridnya menemukan literatur lain untuk menunjang tugas mereka jadi sebelum perpustakaan tutup, Viole pergi ke sana dan mencari literatur tersebut. Perpustakaan di sekolah ini ternyata besar dan rapi serta buku-bukunya lengkap jadi bukan sekadar kata pajangan perpustakaan saja, tetapi isinya tak memadai. "Kuyakin kepala sekolah di sini tidak korupsi, tentu saja, dia bahkan kaya raya tanpa harus menjabat menjadi kepala sekolah."

Setelah mendapat bukunya, lekas Viole menuju meja di tengah-tengah perpustakaan, ia duduk dan mulai membaca seraya mencatat beberapa poin penting. Sebenarnya Louie ada di sini juga, tetapi dia harus menghadap guru Biologi dahulu karena nilainya sangat jelek dibandingkan yang lain, kemungkinan dia akan diberi tugas tambahan atau remedial.

"Viole, kenapa kau cepat sekali menulisnya," ujar Emma sudah lelah menulis dan meletakkan penanya kemudian merebahkan kepalanya di atas lipatan tangan.

"Kau saja yang lamban dan pemalas," balas Viole. Dia seperti biasa, mengenakan earphone, tetapi hanya sebelah saja.

"Mulutmu jahat sekali." Bibir Emma maju beberapa sentimeter. Dia sejak tadi bersama Viole karena Tyler, Lola, dan Ben masih belum masuk sekolah. Lalu tugas yang diberikan guru sejarah mereka ternyata sama jadi Emma sekalian saja ikut Viole yang hendak mengerjakan tugas sejarah.

"Jika kau tidak mau mengerjakan tugas itu lebih baik istirahat," sahut Viole.

"Akan kulanjutkan nanti malam saja." Emma menegakkan badannya seraya membuka ponselnya. "Tyler dan Ben akan latihan basket sore ini di gedung sekolah kita."

Viole tak menjawab dan terus fokus menulis. "Kau punya media sosial tidak? Maksudku instagram?"

"Ada."

"Sungguhan? Apa nama instagram-mu? Apa kau sering upload foto?"

"Tidak," balas Viole.

Emma berpikir sejenak kemudian merebut ponsel Viole. Sialan sekali gadis itu! Kini sifatnya semakin melunjak! "Emma kembalikan ponselku." Viole masih mau bersabar.

"Tidak, cepat bukan ponselmu, aku ingin lihat instagram-mu!"

"Emma." Viole masih mau bersabar, lagi. Dia tak mau berteriak karena ia dengar rumor jika pustakawan di perpustakaan ini sangatlah galak dan seram meskipun hanya wanita tua dengan rambut sebagian memutih.

Bukannya menurut, Emma menarik buku catatan Viole. "Tidak mau, kau takkan mengerjakan tugas ini sebelum kaubuka kunci ponsel ini dan aku ingin melihat instagram-mu."

Viole memutar bola matanya. "Baiklah."

Emma mengembalikan ponsel Viole sementara buku catatan Viole masih dipeluk gadis itu. Kemudian Viole membuka kunci ponselnya dan instagram-nya lalu ia berikan pada Emma yang lekas disambar gadis itu. Kini Emma kegirangan dan sedikit terkejut karena followers Viole cukup banyak meskipun lelaki itu tak mengupload foto apapun. Emma mengembalikan buku Viole, jadi lelaki itu kembali mengerjakan tugasnya.

Aneh sekali Viole karena biasanya laki-laki enggan meminjamkan ponselnya, entah karena tak suka ponsel mereka diotak-atik atau ada film merah yang disembunyikan, tetapi melihat sikap acuh tak acuh Viole jadi kemungkinan lelaki itu bersih dari film kotor. Kini Emma mengamati akun instagram Viole yang ternyata mengikuti Taylor Swift, Anya Taylor-Joy, Anne Hathaway, One Direction, serta beberapa akun artis lainnya. Sangat membosankan bagi Emma karena tidak satu pun anak di sekolah ini yang Viole ikuti.

Maka dengan senyuman licik terukir. Emma membuka akun instagram-nya lalu mengikuti akun tersebut menggunakan akun Viole, begitu pula akun milik Louie. Kemudian dia memotret Viole yang sedang fokus menulis secara diam-diam lalu diunggah foto tersebut ke akun instagram Viole. Oh Tuhan, tanpa mengedit foto tersebut, Viole sudah terlihat tampan sekaligus cantik! "Terima kasih, Viole." Emma mengembalikan ponsel Viole.

Lelaki itu memicingkan mata karena merasa ada hal aneh dari sikap Emma. "Apa yang kau lakukan pada ponselku?"

"Coba lihat saja sendiri." Emma tersenyum simpul.

Viole membuka ponselnya, mengecek instagram-nya yang ternyata Emma telah mengunggah foto Viole. Foto tersebut sudah di-like hingga ribuan padahal belum sampai sepuluh menit sejak diunggah Emma. Followers Viole juga baik drastis. "Emma Walter!"

Emma cekikikan, ia juga terkejut karena tak menyangka jika satu foto Viole sudah sukses menyentuh lima ribu like, sepertinya wajah tampan nan cantik punya banyak kelebihan. "Viole, hidupmu harus lebih berwarna jangan datar terus!"

"Sialan." Viole berniat menghapus foto tersebut dan menjadikan akun instagram-nya sebagai akun privat.

"Jangan dihapus fotonya, tolonglah, kau jahat sekali jika menghapus foto itu, aku susah payah loh memotretmu tadi," ujar Emma dan tentu saja dia berbohong padahal dia asal potret, sekali saja, dan langsung unggah.

"Fuck you," balas Viole meletakkan ponselnya, ia urungkan menghapus foto di akunnya tersebut, dan kembali mengerjakan tugasnya. Sedangkan Emma merasakan kemenangan mutlak. Ternyata Viole tidak begitu dingin atau menutup diri, meskipun perkataan lelaki itu terkadang cukup menusuk.

Tidak lama kemudian, Louie muncul dan mengagetkan Emma, tetapi Emma tidak kaget. Lalu Emma menceritakan apa yang barusan terjadi serta memperlihatkan instagram Viole. Kini kedua manusia itu terkekeh seraya melirik Viole. Untung saja Viole mengabaikan keduanya dan terus fokus pada tugasnya.

"Kurasa aku harus pergi," kata Emna berdiri dan merapikan buku-bukunya.

"Pergi ke mana?" tanya Louie kemudian memberi Viole sekaleng soda karena lelaki itu menitip soda pada Louie.

"Tyler sore ini latihan basket, kalian berdua datanglah ke gedung olahraga jika sudah selesai dengan tugas kalian." Emma menggendong tasnya sambil tersenyum. "Bye!" Dia lekas pergi dengan perasaan riang gembira.

Louie yang duduk di hadapan Viole, dia hanya bisa menghela napas tanpa membalas perkataan Emma. Entah mengapa, Louie jadi merasa sedih dan perasaan tak enak. Viole menyadari perilaku Louie maka lelaki itu berujar meskipun ia tetap fokus menulis. "Jika kau tak suka mereka, kenapa tidak pergi saja?"

Louie tersentak dengan perkataan itu secara tiba-tiba, ia berpura-pura tak mengerti akan maksud perkataan Viole. "Apa kau bicarakan, aku tak paham."

"Jangan bodoh," balas Viole, "kutanya sekali lagi, mengapa tak pergi saja jika kau tak suka mereka?"

Sesaat Louie merasa harus bersyukur pada Tuhan karena mengirim Viole ke sekolah ini jadi Louie punya seseorang yang bisa dia ajak mengobrol mengenai kegundahannya meskipun sepertinya Viole tak terlalu peduli dan berempati. "Aku tak bisa, sekeras apa pun aku mencoba, aku tetap tidak bisa."

"Kenapa?"

Louie menjawab sedikit takut. "Karena Emma."

Viole hanya diam, tak menyahut.

"Aku tak bisa meninggalkan dia. Emna menyukai Tyler, mencintai dia, aku tak bisa meninggalkan sahabatku bersama mereka jadi aku memilih untuk melindunginya diam-diam." Kini terukir kesedihan di wajah lelaki bermanik mata biru itu.

Perlahan Viole menatap Louie. "Kaupikir dirimu Spider-Man atau pahlawan super yang hendak melindungi seseorang meskipun artinya menyakiti dirimu sendiri?"

Kali ini Louie merasa jika perkataan Viole menyakitkan. Viole tak tahu alasan mengapa Louie sangat melindungi Emma. Entahlah apakah Viole memang jarang berempati atau dia tak memiliki sesuatu atau seseorang yang dapat membuatnya berempati. Maka dengan penuh perasaan serta sakit hatinya, Louie pun berkata, "aku menyayangi Emma, kau tak tahu alasannya, tapi dia penting bagiku. Aku tak mengerti dirimu Viole, mungkin kauberkata seperti itu karena belum menemukan alasan mengapa kau harus bersikap seperti pahlawan super yang rela menyakiti dirinya sendiri. Namun, Viole, andai suatu hari kau menemukan alasan itu. Maka percayalah padaku jika kau akan melakukan berbagai macam cara untuk melindungi alasan itu bahkan jika harus kehilangan dirimu sendiri."

Louie kemudian berdiri, mengambil barang-barangnya dan hendak menyusul Emma. "Aku pergi menemui Emma, sampai jumpa esok."

Sepeninggalan Louie, kini hanya tersisa Viole di sana karena beberapa murid di perpustakaan juga pergi. Viole melepaskan earphone-nya kemudian tersenyum simpul, senyuman yang terlihat cantik, tetapi entah mengapa dia tersenyum. "Alasan untuk jadi pahlawan super yang rela menyakiti diri sendiri, katanya."

Viole terkekeh seraya menyandarkan punggungnya dan menatap lampu di langit-langit perpustakaan. "Kuharap Tuhan mengembalikan alasan itu padaku. Kuharap Tuhan mengujiku dan menghukumku, tapi jangan ambil alasan itu dari hidupku."

Kira-kira apalagi yang harus lelaki itu doakan supaya Tuhan mengembalikan alasannya untuk melakukan apa pun demi melindungi alasan itu? Ataukah dia harus menemukan alasan baru untuk menjadi pahlawan super? Dunia ini terlalu kejam ya, sangat kejam untuk Viole yang hanyalah manusia.

"Jika memang Tuhan ingin memberikanku alasan baru untuk menjadi pahlawan super atau penjahat yang membakar dunia. Maka aku menunggu alasan itu, jadi kapan waktunya tiba?"

****

Pertemuan dengan Julius Cunningham adalah sesuatu yang tak pernah direncanakan oleh Viole. Dia bahkan enggan melihat wajah psikiater jahat itu, tetapi karena obat Viole sudah habis dan dia tak membawa stok banyak setelah kepindahannya ke kota ini jadi dia terpaksa untuk meminta pada Julius karena pria itu satu-satunya yang bisa memberikan obatnya. Mudahnya obat yang Viole konsumsi tidak terjual secara ilegal di apotek, jika pun ada diperlukan resep dokter dan ia enggan bertemu dokter baru jadi lebih memilih Julius meskipun lelaki itu terkadang licik.

Setelah bersiap dan mengenakan pakaian yang bagus serta rapi, Viole segera turun ke bawah untuk menuju restoran yang akan menjadi tempat pertemuannya dengan Julius. Tiba-tiba saja pria itu menghubungi Viole dan mengirimkan lokasi restoran cukup mahal di kota ini. Sialan sekali dia! Mengapa tidak bertemu di tempat yang lebih sederhana? Ataukah karena dia dikenal kaya raya jadi malu jika pergi ke kafe atau semacamnya?

Kali ini Viole perlu naik uber karena jarak ke restoran tersebut jauh terus ini juga malam hari jadi lebih rawan bahaya, mana tahu dia bertemu pembunuh berantai di jalan raya nanti? "Kota ini terlihat tenang, padahal banyak korban jiwa juga di sini."

Memerlukan waktu sekitar 38 menit untuk sampai di restoran yang ia tuju. Setelah membayar uber, Viole masuk ke dalam restoran yang sesampainya di dalam saja seorang pelayan pria dengan jas hitam menghampirinya kemudian menanyakan mengenai reservasi jadi Viole menjawab dengan nama Julius Cunningham.

"Tuan Cunningham," kata si pelayan dengan alis terangkat sedikit. Dia menilik Viole sesaat, memperhatikan wajah Viole yang perpaduan antara ketampanan dan kecantikan yang ilahi. Pakaian Viole rapi dengan kemeja diberi vest serta celana kain panjang berwarna biru dongker, sepatu mahal yang kemungkinan harganya bisa mencapai harga sepatu merk Prada. Pelayan itu yakin jika lelaki ini bukanlah orang miskin, terutama bertemu dengan Julius Cunningham yang notabenenya terkenal di Erysvale. Namun, yang jadi pertanyaan adalah mengapa Julius Cunningham yang biasanya enggan makan dengan siapa pun malah mengundang bocah sekolah?

Viole benci diperhatikan seperti itu. "Bisakah Anda menunjukkan di mana meja tuan Cunningham?"

Si pelayan tersadar dan sedikit malu karena seperti lalai dengan tugasnya. "Tentu, mari ikuti saya."

Padahal pengunjung restoran bisa mengabaikan Viole dan fokus saja pada makanan masing-masing. Namun, beberapa dari mereka malah memilih melirik Viole yang dibawa ke lantai atas. Viole semakin kesal karena ada cekikikan serta bisikan yang entah apa yang mereka bicarakan. Beberapa pengunjung juga terlihat agak terkejut ketika Viole dibawa ke lantai dua dan menuju lorong ujung di restoran ini. Lalu jika diperhatikan secara detail ternyata tidak ada anak kecil di restoran ini seolah-olah ini pertama kalinya anak di bawah umur kemari.

"Maaf bisakah Anda menjelaskan padaku, restoran apa ini?" kata Viole pada si pelayan yang tiba-tiba saja pelayan itu jadi gugup. "Lalu mengapa beberapa pengunjung menatapku dengan tatapan aneh?"

"Apakah tuan Cunningham tidak menjelaskan?"

"Tidak karenanya aku bertanya," balas Viole yang tak jauh lagi mereka akan sampai di meja terujung. Meja paling sering dipesan Julius dan seolah tempat itu adalah hak miliknya setiap berkunjung ke restoran ini.

"Para tamu di sini menatap Anda karena... aku sulit menjelaskannya Tuan." Si pelayan berusaha berpikir positif dan menganggap jika Julius Cunningham hanya sedang bercanda karenanya mengundang anak ini ke restoran penuh dosa ini. "Intinya, restoran ini tak bisa dimasuki sembarang orang dan harus reservasi serta tamunya selalu orang dewasa. Meskipun terlihat seperti restoran biasa, tapi jika masuk ke lorong sana...." Pelayan itu menunjuk pada salah satu belokan lorong. "Itu adalah tempat menyewa ... Anda pasti tahu maksud saya lalu selain tempat untuk menyewa mereka. Para orang kaya biasanya membawa kekasih mereka kemari. Jika ada anak-anak maka sudah dipastikan mereka bukan anak kandung melainkan sugar baby."

Meskipun suara pelayan itu menjadi lebih pelan di akhir seperti berbisik, Viole tetap bisa mendengarnya dengan sangat jelas hingga membuat manik mata lelaki itu agak membelalak. Katanya apa? Bukankah artinya restoran ini seperti distrik lampu merah? Bajingan, pantas saja dia jadi sorotan pengunjung di restoran ini!!

"Saya undur diri, Tuan Julius Cunningham ada di meja ujung."

"Terima kasih." Sepeninggalan pelayan itu. Tangan Viole mengepal sangat kuat dan amarah tercetak jelas di matanya.

Maka dia melangkah dengan tegas, bisa dia lihat bagaimana pria bajingan itu duduk dengan tenang di sofa yang depannya ada meja berisi makanan lengkap, mewah, serta lezat. Kini Viole jadi mengerti, alasan mengapa pergi ke restoran ini sedikit sulit aksesnya dan jalan berlika-liku. Ia juga paham mengenai tatapan sopir taksi ketika mengantarkan anak kecil ke restoran terlarang ini. Ternyata tempat ini benar-benar kotor dan Julius dengan santainya mengundang Viole kemari!

"Akhirnya kau tiba, kupikir kau akan tersesat bersama uber ketika mau ke restoran ini," ujar Julius seraya dengan cepat mematikan rokok yang dia hisap, kepulan asap kecil menghilang ke udara. Julius tak mau merokok di hadapan orang lain terutama anak kecil. Wah betapa gentleman sekali pria itu. Jika wanita di hadapan Julius sudah dipastikan mereka akan gila dan kegirangan, tetapi Viole malah terlihat kesal.

Rambut hitam legam Julius disisir rapi, membingkai fitur pahatannya dengan sempurna. Bahu lebar dan perawakan tinggi cukup menarik perhatian siapa pun yang berada di sekitarnya. Pria itu mengenakan kaos turtleneck yang dipadukan dengan kemeja hitam ramping, serta celana hitam panjang, memancarkan aura mahal keanggunan.

Viole menghirup udara, mencium aroma samar dari Julius Cunningham yang tak menyengat. Itu adalah campuran kayu cendana yang kaya dan vanila hangat, bercampur dengan aroma halus cologne pedas. Aroma cologne yang memabukkan menyelimuti dirinya, perpaduan warna dasar kayu dan sedikit rempah. Sudah dipastikan jika seorang wanita akan luluh dengan aroma perfume pria itu, tetapi sekali lagi, Viole bukanlah wanita dan kini dia sangat kesal.

Maka bukannya memberikan salam atau menyapa dengan baik. Viole beringsut serta menarik kerah kemeja Julius. Membuat lelaki itu sedikit terkesiap karena tindakan pemberontakan secara tiba-tiba ini. Kini keduanya saling bersitatap, Viole dengan amarah sementara Julius merasa lucu dengan amarah tercetak di manik mata lelaki cantik di hadapannya ini.

"Beginikah caramu menyapaku? Violetta." Julius tersenyum, membuat matanya seolah-olah tersenyum pula.

"Kali ini aku benar-benar akan memanggil Michael Myers atau Jason untuk membunuhmu, kubantai sekalian para pengunjung restoran yang berpikiran kotor tentangku." Tangan Viole mengepal dan kini lampu restoran berkedip-kedip. Julius Cunningham sadar jika Viole benar-benar dilanda amarah yang kemungkinan takkan bercanda dengan perkataannya.

"Tenanglah, sebelum mimpi buruk terjadi," balas Julius maka Viole melemaskan kepalan tangannya. Mendorong tubuh Julius hingga terantuk punggung sofa kemudian Viole duduk di seberang sofa dengan kaki bersilang dan menatap sinis pria itu.

"Kenapa kau membawaku kemari sialan? Kautahukan restoran menjijikan apa ini? Para pengunjung menatapku dari aku masuk hingga naik ke lantai dua!" Viole tak bisa membayangkan apa yang ada di pikiran pada pengunjung restoran ini. Namun, sudah pasti isinya menjijikkan semua.

"Jangan berprasangka buruk, aku mengundangmu kemari karena jima restoran biasa. Aku takut ada penguping, bisa berbahaya jika mereka mengenal identitasmu. Jika di restoran ini kemungkinan mereka hanya berpikir jika kau adalah mainanku. Aku memohon maaf jika kau merasa tak nyaman akan hal ini," balas Julius merapikan kemejanya seraya meraih minumannya. "Nikmati makananmu, semuanya sangat enak, dan khusus untukmu tentu saja non-alkohol."

Viole masih menatap tajam, penguping, identitas, dan bahaya adalah tiga kata yang cukup membuat Viole paham mengapa ia dan Julius bertemu di sini. "Mengapa tak di rumah sakit saja?"

"Aku sibuk bahkan harus ke luar kota karena ada urusan, kita juga jangan terlalu sering bertemu di rumah sakit karena bisa saja para penguping akan mencari tahu identitas setiap pasienku," balas Julius dengan tenang. "Kau tahu bukan sesusah apa membawamu dari perusahaan itu?"

Helaan napas Viole terdengar, dia tak menyahut, tapi sangat paham konteks yang dibicarakan jadi Viole mulai menyantap makanannya yang ternyata cocok di lidahnya. Beberapa menit berlalu, merasa sudah menghabiskan setengah piring. Viole berujar, "apa yang ingin kaubicarakan?"

"Aku mau membuka sesi konseling sebentar," ujar Julius, "bagaimana apakah kau masih menulisnya di diary-mu? Ada sesuatu yang perlu kau ceritakan akhir-akhir ini?"

Gerakan Viole jadi lamban, dia sisa beberapa suapan lagi untuk menghabiskan makanannya. "Aku punya beberapa teman, di antara mereka ada perundung, tapi aku tak mau ikut campur. Lalu ada dua perempuan yang sering membuatku risi dan beberapa hari lalu ada dua anak kecil hampir tertabrak mobil di jalan raya."

Julius Cunningham mendengarkan sambil sesekali melirik Viole untuk membaca suasana hati lelaki itu. "Kau selamatkan kedua anak itu?"

Viole hening sesaat. "Ada seorang pria yang menyelamatkan mereka."

"Bukan itu jawaban yang kuinginkan. Sekali lagi kutanya, apakah kau menyelamatkan mereka?"

"Ya."

"Violetta, kita sudah membicarakan hal ini, jangan kau---"

"Takkan ada yang menyadarinya, hanya aku, kau tak perlu khawatir," balas Viole seraya meletakkan garpu dan sendoknya.

Jika lelaki itu sudah bersikap egois maka Julius hanya bisa bersabar. "Mari ganti topik pembicaraan. Apakah kau tahu berita akhir-akhir ini? Tentang mereka." Terlihat Viole mengangguk kecil. Atas hal inilah, Julius membuka ponselnya dan memperlihatkan sebuah berita. "Ada berita di California yang membahas mereka juga kalau terjadi kebakaran yang menghanguskan dua lantai di apartement, tetapi tak satu pun ada korban jiwa. Kamera pengawas sempat menangkap potret seorang anak yang terlihat berada di antara kobaran api dan dia baik-baik saja.

"Ada juga berita di luar negara, London Inggris. Berita ini mengangkat tentang tenggelamnya pabrik rokok yang menyebabkan beberapa karyawan meninggal, setelah diselidiki ternyata pabrik itu juga menjadi tempat penjualan manusia dan pemerkosaan wanita serta anak-anak, tetapi sayangnya, pihak kepolisian melihat melalui kamera pengawas, dua saudari kembar yang ada di lokasi kejadian sebelum pabrik tersebut tenggelam. Apakah kau paham mengapa aku membicarakan hal ini?"

"Mereka yang bodoh karena tidak bisa menyembunyikan identitas mereka dan sok main pahlawan-pahlawanan," sahut Viole yang nada bicaranya sangat menusuk.

"Bukan itu poinnya Violetta," balas Julius, "meskipun mereka tidak bermain sebagai pahlawan, tetapi di zaman sekarang, organisasi yang mengincar mereka sudah sangat banyak dan para pengkhianat juga ada. Jadi tanpa mengumbar identitas pun, para penjahat itu bisa menemukan mereka."

"Maka suruh perusahaan Æthelwulfos untuk turun tangan dan membasmi mereka, apa susahnya?" balas Viole jengkel.

"Jangan seenaknya menyebutkan nama perusahaan itu." Kini Julius menatap sinis.

Æthelwulfos adalah nama perusahaan yang menampung dan meneliti para anak-anak berkemampuan spesial. Dengan artian, perusahaan itu jugalah yang menciptakan rumah penelitian serta tempat tinggal anak-anak yang dibawa atau diculik dari seluruh dunia. Ada banyak gedung atau tempat penelitian di bawah naungan Æthelwulfos, tetapi tentu saja tidak ada yang tahu gedung-gedung tersebut ada di mana. Bahkan gedung utama Æthelwulfos juga tak diketahui yang rumornya berada di sebuah pulau yang dirahasiakan pemerintah dunia. Namun, sayangnya gedung utama perusahaan itu, tidak semudah itu untuk konsepnya untuk ditemukan oleh manusia. Kemudian, perusahaan itu juga punya pasukan khusus dan rahasia yang bergerak untuk menangkap dan menculik anak-anak yang terpilih, serta pasukan khusus untuk membunuh diam-diam para pengkhianat atau hama yang mengganggu kekuasaan dan penelitian mereka.

Viole berdecak. "Mereka yang menculik, meneliti, dan mereka juga yang membuang kami," balas Viole, "aku paham apa tujuanmu membicarakan ini jadi sudahi perbincangan kita karena aku mengantuk. Lagi pula Julius, aku bisa menjaga diriku sendiri." Viole berdiri dari sofanya.

Julius terkekeh. "Menjaga diri sendiri, katamu? Kau saja tidak tahu dan asal masuk ke restoran ini tanpa mencari tahu lebih lanjut. Jika semisal aku tak ada di sini, kau sudah pasti habis jadi mainan para pengunjung."

Sesaat wajah Viole memerah karena malu bercampur kesal dan amarah. "Suatu hari kau akan kulemparkan ke hutan penuh dinosaurus, seperti di film Jurassic Park!"

Julius malah terkekeh. "Baguslah, aku ingin sekali bertemu dengan Brontosaurus. Lagi pula, akan jadi masalah jika kau melemparku bertemu dengan ilmuwan gila yang mengubah manusia menjadi singa laut atau manusia kelabang."

"Kau sangat menjijikkan," balas Viole menahan perutnya untuk tidak memuntahkan makanan mahal yang baru beberapa menit dicerna lambungnya. "Jangan ingatkan aku pada kedua film gila itu. Sekarang sudah selesai bukan, aku mau pergi."

"Oh ya, aku sudah pesan uber dan kubayar, jadi kau tak perlu membayarnya lagi."

"Tata krama yang baik untuk psikiater gila sepertimu," balas Viole, tetapi dicegat Julius lagi. "Apa lagi yang kau inginkan?"

"Mengenai obatmu, tiga atau empat hari lagi, datanglah ke rumah sakit." Ah Viole hampir lupa hendak membahas obat, tapi Julius sudah bisa membaca keinginan Viole dengan sendirinya.

"Baiklah."

"Lalu bisakah kau jangan menarik perhatian orang-orang di rumah sakit." Julius memberi peringatan.

"Kenapa?"

Julius Cunningham berpikir sejenak. "Aku hanya tak mau ada orang waras yang gila menempel padamu."

"Terima kasih atas peringatan anehnya." Maka Viole lekas melangkah, mempercepat langkahnya, mengabaikan tatapan pengunjung restoran, dan masuk ke dalam taxi uber untuk menuju apartement-nya serta berusaha melupakan semua yang terjadi pada malam ini terutama mengenai restoran penuh dosa itu. Sialan, bagaimana bisa kota ini punya restoran yang bergabung dengan tempat seks bebas?

Setelah kepergian Violetta, Julius memanggil pelayan untuk menuangkan wine ke dalam gelasnya. Setelah itu dia menyuruh pelayan itu pergi karena ada yang hendak Julius perbincangkan dengan seseorang. "Kini sudah aman, kau boleh memperlihatkan dirimu, agent Hydrangea."

Maka secara perlahan, samar-samar terlihat percikan cahaya putih samar seperti kabut yang perlahan memunculkan sesosok manusia dengan pakaian hitam dan jubah hitam panjang juga sehingga melapisi dan menutup rapat seluruh tubuhnya. Ya, dia menggunakan kemampuan invisible-nya karena sejak tadi dia mendengar semua perbincangan antara Julius Cunningham dengan Violetta Beauvoir. Manusia itu mengenakan plague mask, topeng yang berbentuk paruh gagak dengan warna hitam kemudian bagian matanya bundar agak besar dan terdapat kaca hitam, selain itu ia juga mengenakan bowler hat dengan warna senada dengan topengnya. Pada suatu zaman, topeng ini digunakan para dokter untuk menghindari wabah penyakit berbahaya yang tersebar di sebuah wilayah, jadi sering pula dinamakan plague mask doctor.

"Kuharap kau bisa mengenakan pakaian yang lebih normal, terutama kita berada di restoran," balas Julius karena agent Hydrangea sering sekali berdandan berlebihan dan selalu menggonta-ganti topengnya. Pernah agent Hydrangea mengenakan topeng Michael Myers, topeng Iron Man, topeng badut di film Terrifier serta masih banyak lagi. Julius menebak jika manusia di depannya ini punya banyak koleksi topeng yang tak terhitung jumlahnya.

"Ini namanya fashion Julius," balas agent Hydrangea. Tidak akan ada yang tahu, dia wanita atau pria karena suaranya disamarkan menggunakan voice changer jadi suaranya kini bukan suara aslinya. Bisa dikatakan jika setiap agent selalu menggunakan alat pengubah suara. "Kau payah jika tak memahami fashion."

Julius hanya menghela napas karena harus bersabar dengan kegilaan manusia itu terhadap fashion. "Baiklah cukup membicarakan fashion. Sekarang fokus pada tujuanmu, apa yang kau inginkan."

Perlahan agent Hydrangea menyilangkan kedua kakinya. "Aku hanya ingin mengunjungimu, apakah salah jika sahabatmu ini ingin melihatmu lalu aku juga ingin melihat bagaimana lelaki cantik tadi menjalani hidupnya di kota ini."

"Berhenti bercanda Hydrangea, kautahu bukan jika kau tidak bisa berbohong di hadapanku?" balas Julius yang sesaat manik matanya memancarkan warna putih samar-samar.

"Tidak asyik jika kaumenggunakan kemampuanmu Julius, kau tidak bisa dikelabui." Terdengar nada sedikit frustrasi meskipun agent Hydrangea menggunakan voice changer.

"Jadi apa tujuan dan hal yang hendak kau sampaikan?" tanya Julius yang kini menekan setiap kata. "Kau hanya punya waktu lima menit sebelum restoran ini tutup."

Perlahan agent Hydrangea membuka telapak tangannya, cahaya putih terlihat yang kini memunculkan sebuah kertas yang berisi tulisan. Julius membaca tulisan di kertas cokelat itu. Lalu agent Hydrangea berujar serius. "Dua puluh lima ævoltaire di salah satu tempat penelitian mati dengan cara bunuh diri. Namun, kami menyelidiki jika hal ini bukan karena bunuh diri, tetapi seseorang mempengaruhi mereka untuk bunuh diri. Kini para pembunuh itu terus bergerak, para Petinggi kita sangat berharap jika takkan ada korban lagi."

Perlahan tatapan Julius menjadi sinis. "Katakan pada mereka. Jika aku akan berdoa agar bencana ini tidak merebak seperti wabah penyakit." Maka pertemuan mereka berakhir setelah lima menit berlalu.

◇─◇──◇─────◇──◇─◇

Uwahhh semakin seru saja nih!! Selain karena ada drama di sekolah, ternyata kehidupan Viole penuh dengan hal-hal misterius!

Ada yang bisa menebak apa maksud dari kemampuan Julius? Apakah dia termasuk ævoltaire? Lalu siapa sebenarnya agent Hydrangea ini?

Prins Llumière

Jumat, 13 Oktober 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top