Chapter 07: Bullying
Saat bel sekolah berbunyi menandakan berakhirnya kelas dan memasuki jam istirahat. Para murid kini menatap pada tiga murid; Lola, Tyler, dan Ben yang menerobos koridor-koridor yang padat, amarah mereka menggelegak di bawah permukaan, mengancam akan meledak. Ketegangan di udara terlihat jelas saat bisikan tentang bentrokan mereka dengan Liza menyebar ke seluruh murid seperti api yang menghanguskan banyak rumah. Mereka tidak punya keraguan untuk menunjukkan kemarahannya di depan umum.
Bisikan para murid serta rasa penasaran yang bercampur dengan antusias menguar karena Ben membawa ember biru berisi air kotor sementara Tyler menggenggam plastik hitam, entah apa isinya, tapi bukanlah sesuatu yang baik. Ketika sampai di salah satu kelas angkatan tahun pertama. Suasana semakin menebal dengan ketegangan saat Lola mendorong pintu salah satu kelas hingga terbuka, engsel berderit menyatu dengan suara jantung yang berdebar kencang karena amarah. Para siswa di kelas itu menoleh kaget, mata mereka melebar saat mereka melihat tiga murid yang terkenal karena sikap kejam mereka dan tak kenal ampun yang kini tatapan berapi-api mereka tertuju pada sosok perempuan. Liza, tidak menyadari apa yang akan terjadi, mendongak dari mejanya dengan mata terbelalak saat Lola, Tyler, dan Ben mendekat. Ketakutan memancar dalam jiwa Liza, tubuhnya gemetar saat menyadari badai yang akan menimpanya. Ruangan itu menjadi sunyi senyap saat suara Lola menembus udara seperti pisau tajam.
"Lihatlah ini, gadis culun dan jelek yang menyakiti sahabatku serta berbuat curang untuk menggagalkan sahabatku bergabung di klub renang," ejek Lola, suaranya terdengar sangat meremehkan. "Baiklah, karena kau berani berbuat curang, maka izinkan aku menunjukkan konsekuensi tindakanmu, dasar pelacur."
Tanpa peringatan, tangan Lola terulur dan mendaratkan tamparan keras di pipi Liza. Dampaknya bergema di ruangan itu, meninggalkan bekas api di kulit Liza yang gemetar. Air mata menggenang di matanya saat dia menyentuh pipinya yang perih, lalu suara tamparan terdengar kembali yang kini rasa sakit menyeruak di kedua pipi Liza. Berada di kursinya, ia gemetar. Lola tersenyum puas ketika beberapa murid malah menertawakan Liza bahkan ada yang mengangkat kamera ponselnya dan mengabadikan momen ini.
"Giliranku!" Dengan satu tangan, Ben menarik kerah Liza dan menjatuhkan gadis itu dari kursinya.
Seolah ingin menindaklanjuti penyerangan Lola, maka Ben mendekat dengan membawa ember berisi air kotor, bau busuk tercium di udara, membuat beberapa murid menutupi hidung mereka dengan telapak tangan. Sambil menyeringai jahat, Ben membalikkan ember, membasahi Liza dari ujung kepala sampai ujung kaki. Air keruh membasahi pakaiannya, membuatnya kedinginan hingga ke tulang. Bau busuk kini menempel di tubuhnya. Namun, siksaan tidak berakhir di situ. Tyler, dengan sinar jahat di matanya, ia beringsut sambil membawa kantong plastiknya yang ternyata berisi kecoak mati. Dengan gerakan yang kejam, dia membuka plastik itu, melepaskan makhluk-makhluk busuk yang mengalir ke tubuh Liza yang basah kuyup dan menggigil. Liza mengeluarkan jeritan yang menyayat hati saat dia diselimuti oleh balet serangga merayap yang mengerikan, sebagian kecoak tidak mati dan merayap di kulit Liza.
Pemandangan itu mengerikan sekaligus menakutkan, membuat Liza terjebak dalam mimpi buruk. Tubuhnya mengejang karena campuran rasa ngeri dan jijik. Liza hendak kabur, tapi Tyler dan Ben lekas menggenggam dan menarik kuat tangan Liza yang membuat kecoak menjijikkan semakin merayap hingga ke bawah roknya. Jeritan semakin terdengar, ia sudah seperti kehilangan akalnya. Tawa Lola menggelegar dan disusul tawa Tyler serta Ben, bahkan tawa beberapa murid memenuhi ruangan tersebut.
"Inilah akibatnya karena kau menyakiti Emma agar dia gagal dalam seleksi klub renang." Suara Lola terdengar dan dia mencengkeram kuat rambut Liza. "Apa rasanya ketika kecoak busuk ini menjalari tubuhmu?"
Saat tawa mereka bergema di seluruh kelas, gangguan tiba-tiba menghancurkan harmoni yang menyimpang. Louie dan Emma memasuki ruang kelas, mereka terlihat kacau dan napas mereka memburu, berbeda dengan Viole yang berjalan dengan tenang. Louie dan Emma membelalak kaget dan ngeri melihat pemandangan di hadapan mereka. Liza, gemetar dan basah kuyup dari ujung kepala sampai ujung kaki, terbaring di lantai, matanya yang ketakutan mengamati sekeliling ruangan. Lantai telah menjadi lautan kecoak yang menggeliat, kaki kecil para kecoak berlarian di atas ubin dalam tarian yang mengerikan.
Louie melihat ketakutan terukir di wajah Liza dan segera turun tangan. Saat melangkah maju, suaranya menggelegar, berwibawa, tetapi diwarnai kekhawatiran. "Lola, Ben, Tyler, semua ini harus dihentikan! Tadi ada yang melapor jadi kemungkinan guru akan datang kapan saja, dan kalian tahu konsekuensinya jika tertangkap basah."
Mata ketiga perundung itu berkedip dengan emosi campur aduk, terpecah antara keinginannya untuk membalas dendam dan kekhawatirannya akan konsekuensinya. Emma yang melihat gejolak dalam diri temannya, mendekati Lola, Tyler, dan Ben dengan tatapan memohon. Sementara Viole hanya bersandar di papan tulis kelas, serta membiarkan earphone-nya memutar lagu.
"Kumohon kalian bertiga, tolong! Aku tidak ingin kalian mendapat masalah," pinta Emma, suaranya bergetar dengan ketulusan yang tulus. Ia melirik Liza. Jauh dalam relungnya, ia tak mau Liza diperlakukan seperti ini meskipun Liza sudah berbuat jahat pada Emma. Hati Emma meringis sakit seperti diiris pisau tajam. "Ini sudah keterlaluan. Ayo pergi sebelum keadaan menjadi lebih buruk." Sayangnya, Emma tak mungkin memohon dengan alasan ia tak ingin Liza disakiti lebih jauh, jadi dia menggunakan alasan jika ia tak mau ketiga temannya dihukum.
"Baiklah, aku akan menurut untukmu, sahabatku," kata Lola meraih tangan Emma. Dengan enggan, Lola memberi isyarat agar Ben dan Tyler menghentikan siksaan mereka. "Ayo pergi dan tinggalkan pelacur kecoak itu." Mereka pergi dari kelas tersebut. Tak satu pun murid hendak menolong Liza yang kini hanya terkapar di lantai dengan isak tangis.
Viole melirik pada Liza yang sedikit mendongak padanya. Ia bisa melihat bagaimana hancurnya gadis itu yang seolah-olah tak punya harapan hidup lagi. Perlahan Viole menghela napas. Kemudian keluar dari kelas tersebut karena Emma dan lainnya sudah lebih dulu melangkah. Entah ke mana mereka ingin pergi, tetapi terlihat kepuasan di wajah Lola, Tyler, dan Ben yang berhasil membalas dendam atas kejahatan Liza pada Emma. Terlihat pula Emma yang hanya tersenyum saja ketika Lola berkata jika ia senang bisa balas dendam, sementara Louie hanya diam, tapi tidak mau menjauh dari keempat murid itu.
"Kurasa perundungan di dunia nyata lebih mengerikan dibandingkan di film-film." Kini lagu di earphone Viole berganti menjadi lagu Attaention---Charlie Puth.
"Hey bocah cantik, kemari sebentar!" Tiba-tiba saja lengan Viole ditarik ke arah koridor lain oleh gadis rambut keriting. "Aku perlu bantuanmu!"
Sontak Viole menepis tangan gadis tersebut. "Maaf, aku tak mau dan kaukasar sekali."
Manik mata cokelat gadis rambut keriting itu menatap heran. "Apakah kau punya fobia disentuh, lalu perkataanmu seperti gadis kecil, biasanya para gadis yang berkata pada laki-laki berengsek jika perlakuan mereka sangat kasar."
Viole merasakan tersinggung, apakah salah jika ia berkata bahwa sikap gadis yang lebih tua ini sangat kasar? Apakah hanya para pria yang dianggap kasar sementara perempuan tidak? "Cari saja orang lain, aku tidak mau membantumu!"
Belum sempat Viole pergi, perempuan itu mencegat Viole, cengkeraman tangannya lebih kuat, membuat Viole meringis sakit, kemudian ia diseret paksa. "Sialan, hey, kau ... siapa namamu, intinya jangan paksa aku!"
"Monica, kau sangat jahat karena lupa dengan namaku padahal kita pernah bertemu beberapa kali." Masih saja Monica menyeret Viole, sulit sekali bagi Viole melepaskan cengkeraman tangan Monica yang sangat kuat seolah-olah lengan Viole dijepit oleh tang besi. "Tidak perlu berusaha, kau takkan bisa melepaskan diri karena aku selalu rajin pergi ke gym."
Para murid seolah-olah buta melihat Viole yang diseret Monica. Mereka sengaja tak mau ikut campur karena tahu jika Monica adalah sahabat dekat Chelsea. Kini dia membawa Viole menuju koridor sepi, ia hendak pergi ke salah satu ruangan ekskul di sekolah ini "Kau mau membawaku ke mana, sialan! Kenapa di sini sepi sekali! Apa kau mau memperkosaku di tempat ini!"
"Fuck!" umpat Monica terkejut bukan main. "Jesus Christ, aku tidak mungkin melakukan perbuatan dosa itu! Lagi pula mengapa kau berpikir aku ingin memperkosamu, huh! Lalu bukankah laki-laki yang lebih sering memaksa perempuan ke tempat sepi untuk berhubungan seksual."
Viole menatap jijik sekaligus sinis pada Monica. "Kaupikir laki-laki tidak pernah menjadi korban pemerkosaan perempuan! Sejak dulu hingga kini, semua orang bisa jadi korban, tanpa memandang jenis kelamin!"
Kini Monica merasa sakit hati karena Viole berpikiran jika Monica hendak memperkosanya. "Ya, ya, aku tahu jika semua orang bisa jadi korban, tak peduli dengan gender mereka."
"Bisakah kau membedakan antara sex dan gender, keduanya adalah dua kata yang berbeda makna!" balas Viole yang membuat Monica geram.
"Jangan mengguruiku! Dan bantu aku sialan, karena aku ada urusan mendesak!" Monica memaksa Viole masuk ke ruangan yang awalnya tertutup rapat.
Viole berdecak saat dia memasuki ruangan yang besar ini. Sialan, sekolah ini kaya juga karena ekskul saja diberikan fasilitas yang sangat bagus. "Apa yang kau inginkan?! Dan kenapa aku harus di sini!"
"Pelankan suaramu, bodoh, nanti kau membuat Chelsea bangun ...." Monica menatap sinis seraya menunjuk pada seorang gadis yang terbaring lemas dan sofa hijau, tubuhnya ditutupi selimut tebal berwarna kuning pudar.
Viole memperhatikan. Mengapa Chelsea di sana? Apakah gadis itu tidur? "Apa dia mati?"
Satu pukulan di ulu hati berhasil membuat Viole kesakitan. Monica tidak bercanda ketika dia mengatakan bahwa dirinya berlatih rajin di gym. "Jangan berkata bodoh atau kubuat kau babak belur di sini."
"Okay, maaf. Jadi apa maumu, kenapa aku di sini dan kenapa dengan Chelsea?" Viole mengatur napasnya, ia memegangi perutnya yang terasa berdenyut, ia berharap tidak memar dan ia bertanya-tanya, mengapa perempuan sangat mengerikan?
"Dia sakit," kata Monica, "lebih tepatnya stress, ada masalah di rumahnya dan ekskul kami kemungkinan batal lomba jadi karena itu dia sakit dan stress."
Viole hanya diam, entah berusaha berempati atau dia merasa kasihan. "Jadi kenapa kau meminta bantuanku?"
"Bisakah kau menjaga Chelsea sebentar? Chelsea tak mau istirahat di klinik karena akan jadi bahan perbincangan para murid. Aku harus menemui pelatih kami dan guru pembimbing kami untuk membahas lomba," pinta Monica.
"Kenapa bukan yang lain? Dia populer dan pasti punya banyak teman bukan?" balas Viole.
"Menurutmu berapa banyak orang yang hendak menusuk Chelsea dari belakang karena dia populer?" balas Monica, "Chelsea memang punya banyak teman, tapi hanya aku yang paling dekat dengannya. Dia tak mau percaya orang lain terutama ketika sakit. Lagi pula aku tak mau kejadian buruk terulang kembali seperti seseorang pernah diam-diam mencampur obat perangsang ke minuman Chelsea ketika party ulang tahun salah satu anak kelasnya."
Viole bingung hendak bereaksi seperti apa. Obat perangsang, bukankah itu perbuatan jahat? Sangat jahat malah. "Lalu kenapa kau percaya padaku? Bisa saja aku berniat membunuh Chelsea, terlebih lagi, kau dan dia baru mengenalku?"
Tidak terlihat keraguan di mata Monica. "Aku tahu, tapi setidaknya kau bukan di antara para murid yang tergila-gila dengan Chelsea jadi aku yakin kau tak punya niat untuk melecehkannya. Lalu kau itu lebih tidak peduli pada sekitar jadi aku mempercayaimu."
Viole menghela napas berat. "Monica ...."
"Kumohon, bantu aku ... kau hanya perlu duduk di kursi dan menjaga Chelsea jika dia bangun atau butuh sesuatu, ini bukan pekerjaan yang sulit bahkan jika Chelsea tertidur pulas sampai aku kembali, kau hanya perlu diam saja, okay, kau paham 'kan? Sungguh, ini bukan pekerjaan sulit bahkan anak umur lima tahun saja bisa melakukannya."
"Iya, iya," balas Viole, "aku bukan bayi jadi aku paham, aku mengerti!"
Monica terkekeh melihat reaksi lelaki itu yang entah mengapa terlihat imut di matanya. "Baiklah, bisakah aku bertukar nomor ponsel denganmu jika semisal ada hal darurat terjadi nanti?"
Lebih baik, Viole langsung menurut saja dibandingkan membuat masalah ini semakin panjang jadi dia mengeluarkan ponselnya, tapi direbut Monica yang kemudian menuliskan nomornya di ponsel Viole serta menyimpan nomor Viole juga di ponselnya sendiri. "Sudah!"
"Tidak sopan." Viole mengambil ponselnya kembali.
Senyuman Monica terukir. "Aku pergi ya, tolong jaga Chelsea untukku! Oh ya, di atas meja ada kopi sama bubuk susu cokelat jika kau mau menyeduh minuman." Maka ia melenggang pergi dengan perasaan riang sementara Viole memicingkan matanya. Ia merasa beban berat dihantamkan ke tubuhnya.
Terlebih lagi, dia tidak pernah berada di situasi asing ini; menjaga seseorang yang sakit atau semacamnya. Viole terbiasa sendiri, tanpa orang tua, menjalani hidup dengan keheningan, meski ada beberapa orang yang berkunjung, semuanya pergi satu per satu. Hanya meninggalkan sepatu mereka. Membuat segalanya sunyi dan senyap.
Chelsea berbaring di sofa hijau, tubuhnya yang rentan ditutupi selimut tebal, wajahnya tak terlalu terlihat karena selimut hangat itu hampir menutupi seluruh tubuhnya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Viole duduk di kursi seberang dan jauh dari sofa hijau. Ia tidak lagi mendengar lagu melalui earphone-nya karena sudah disimpan sejak Monica menariknya ke ruangan ini.
Tatapan Viole berfokus pada Chelsea yang berada di jarak pandangnya. Wajahnya sesaat berseri-seri dengan perpaduan antara kepolosan dan ketidakpastian ketika diberi tugas untuk menjaga Chelsea. Ruangan ini hening, tak riuh, tidak seperti di luar sana yang penuh dengan kebisingan serta gosip para murid serta pertengkaran. Ia memerlukan waktu menyendiri bersama kesunyian dan beruntungnya Monica menyeretnya kemari. Ia bisa menikmati kesendirian, tentu saja ada Chelsea, tapi melihat gadis lebih tua itu yang tertidur dengan tenang, sesaat membuat Viole merasa tenang pula. Pupil mata Viole sedikit melebar ketika memperhatikan selimut Chelsea yang sedikit bergerak, barangkali dia merasa tak nyaman tidur di atas sofa. Namun, beberapa menit selanjutnya, gadis itu kembali tidur pulas.
Viole kini bertanya-tanya, sebenarnya seberapa besar masalah yang dihadapi Chelsea hingga membuatnya jatuh sakit? Tidakkah ada cara untuk menyelesaikan masalah itu tanpa mempertaruhkan kesehatannya? Menunggu Chelsea membuat Viole bosan, ia lelah menggulir laman media sosialnya, tak ada semangat membaca novel, ia juga tak mau mendengar lagu melalui earphone-nya karena takut jika tiba-tiba Chelsea meminta bantuan, tapi Viole tak mendengarnya.
Setelah mengedarkan pandangannya di ruangan ini. Viole berjingkat ke meja terdekat. Dia dengan hati-hati mengobrak-abrik lemari kecil lalu dia menemukan apa yang dia cari---sebungkus bubuk susu cokelat dan kopi seperti yang Monica katakan. Sejenak ia mengedipkan mata dan berpikir? Kopi atau susu, tentu saja susu karena ia tak suka kopi. Viole pun mengambil cangkir keramik berwarna hijau, mengisinya dengan bubuk susu cokelat, lalu menuangkan air panas secukupnya---ada dispenser di ruangan tersebut---mengaduknya dengan sendok hingga adonan susu tersebut menjadi lembut dan halus.
Setelah cangkirnya terisi, Viole kembali ke kursinya, sambil memegang cangkir itu dengan kedua tangannya. Jari-jarinya melingkari keramik dengan erat, memancarkan rasa tenang. Dia mendekatkan cangkir itu ke bibirnya, meniup perlahan permukaannya untuk mendinginkan susu tersebut. Aroma coklat bercampur dengan keharuman khasnya. Tatapan lelaki itu bak anak kecil polos yang hanya menurut ketika diberi perintah oleh orang tuanya entah anak itu paham atau tidak harus melakukan apa.
Sambil menyeruput susu coklatnya yang terasa lezat. Viole membiarkan pikirannya melayang ke mana-mana. Ia menaikkan kedua kakinya, setelah dia melepaskan sepatunya, ia duduk bersilang kaki di atas kursi tersebut. Dia bertanya-tanya lagi, kapan semua ini berakhir? Apakah ia harus melakukan sesuatu untuk membuat Chelsea merasa lebih baik?
"Kurasa aku harus diam saja, dia masih tidur nyenyak."
Cangkirnya sudah kosong dan Viole merasa ingin lagi. Jadi dia turun dari kursinya, menuju meja yang sama kemudian menyeduh susu cokelat yang kedua. Ia tak sadar jika kegiatan yang ia lakukan cukup menghasilkan kebisingan yang sampai pada Chelsea. Viole bahkan mengambil wafer keju yang masih terbungkus rapi. Ia yakin jika Monica akan mengizinkannya memakan wafer tersebut. Jadi karena merasa lapar juga, Viole membuka bungkusan wafer tersebut, terlalu kuat ia menarik menarik bungkusan tersebut hingga isinya keluar dan jatuh ke atas meja. Suara bising terdengar lagi, tetapi Viole tak sadar karena fokus mengambil wafer yang jatuh di atas meja kemudian memakannya.
Viole akhirnya larut dalam kesenangannya sendiri, menikmati susu cokelat dan wafer, ia bahkan berjalan ke sana kemari dan melihat-lihat properti ekskul cheerleader ini. Mengamati setiap foto yang tertempel di dinding. Ia menebak jika Chelsea selalu menjadi sorotan jika ada penampilan cheerleader. Saking dia fokus makan, ia menyenggol tak sengaja sebuah tongkat dengan pita berwarna merah muda. Suara tongkat itu ketika menyentuh lantai terdengar seperti suara berkelontang. Ia melirik Chelsea yang masih berbaring, artinya tak masalah. Maka kembali dia sibuk dengan kesenangannya. Membuat riuh lainnya yang ternyata suara bising itu sampai membangunkan Chelsea, tetapi gadis itu berusaha tidur kembali karena kepalanya yang berdenyut.
"Monica sialan, kenapa dia ribut ...." Chelsea bergumam dan hanya dirinya sendiri yang dapat mendengar suaranya.
Viole kini memutar lagu di earphone-nya, kali ini lagu Tik Tok—Kesha. Lagu itu membuatnya menikmati waktunya dan sesaat melupakan jika ia tak sendiri. Ia menggerakkan kepalanya sesuai irama musik, tangan kirinya memegang cangkir sementara tangan kanannya bergerak berirama. Ia berjalan ke sana kemari dengan menyeret kedua kakinya karena ia mengenakan kaos kaki dan lantai di ruangan ini licin, tipe lantai vinly. Dia menari kecil, hanya menggerakkan satu tangannya dan kepalanya sendiri. Sukses ketidaktahuan Viole ini membuat banyak suara bising yang perlahan membuat Chelsea kesal. Suaranya terdengar menggeram karena kesal, membuat Viole menghentikan kesenangannya dan menatap Chelsea agak terkejut.
"Oh My Goddess, Monica tidak bisakah kau diam, aku sakit dan ingin tidur---" Chelsea bangkit dari tidurnya, matanya terbuka lebar saat dia menyadari kebisingan yang memenuhi ruangan. Butuh beberapa saat baginya untuk menyadari sumber keributan itu adalah Violetta? Bukan Monica. Sambil mengerang pelan, dia menatap dengan mata membelalak. "Bajingan, kenapa kau ada di sini!!"
Viole tersentak, ia juga kaget dan tubuhnya jadi menegang tiba-tiba. Hampir saja cangkirnya jatuh jika tak ia pegang erat-erat. "Ma-maaf, maaf. Monica yang memintaku untuk menjagamu selagi dia pergi karena ada urusan." Ia berkata dengan satu tarikan napas.
Chelsea meringis karena sakit kepala yang masih berdenyut. "Monica sialan! Bisa-bisanya dia menyuruh laki-laki berengsek sepertimu untuk menjagaku!" Kini ia akan mengutuk sahabatnya itu dan jikalau bisa ia akan memarahi Monica habis-habisan karena menyeret lelaki itu kemari.
"Hey, jangan marah padaku! Aku hanya melakukan yang disuruh. Harusnya kau berterima kasih padaku 'kan?" balas Viole.
"Berterima kasih? Untuk apa? Kau hanya membuat keributan---"
Saat Chelsea bergeser, selimutnya meluncur ke bawah. Ternyata Chelsea tidak mengenakan baju karena dia lepas akibat rasa panas dan tak nyaman menyengat dirinya. Kini memperlihatkan bra hitamnya, bagian perutnya yang telanjang dan sekilas belahan dadanya.
Tentu saja hal ini tidak luput dari pandangan Viole terutama karena lelaki itu persis di hadapan Chelsea, hanya beberapa sentimeter saja yang memisahkan jarak mereka. Jadi mau tidak mau, dia melihat pemandangan itu yang bagi kebanyakan orang adalah kenikmatan surgawi, tetapi Viole merasa malu dan bersalah. Terutama ketika Chelsea berteriak, "Violetta!"
Menyadari kesalahannya, Viole segera mengalihkan pandangannya dengan menutup kedua matanya, dia berbalik dan kini memunggungi Chelsea. "A-aku minta maaf! Aku tidak bermaksud ... aku tidak berpikir .... Aku akan ... aku akan tetap berbalik seperti ini dan memberimu waktu." Dia mengeratkan genggamannya pada cangkir, masih dengan memejam kedua matanya, ia sambil merutuki dan memarahi dirinya sendiri karena begitu ceroboh.
Chelsea segera menarik selimutnya kembali, menutupi seluruh tubuhnya, membuat perlindungan karena dia dipapar rasa malu dan jengkel. Semua ini terjadi karena Monica!! Andai sahabat sialannya itu tak membawa Viole kemari maka semua ini takkan pernah terjadi! "Kau sudah boleh berbalik."
Tak kunjung Viole berbalik, dia malah berkata, "maaf aku tak sengaja, tapi aku bersumpah aku tidak benar-benar melihatnya, hanya sekilas saja, maksudnya sedikit saja. Ya, hanya ... sedikit saja."
Semakin Viole bahas, semakin saja Chelsea merasa sangat malu dan ingin menghilang saja dari bumi. Oh Tuhan, tolong kubur Chelsea sekarang juga! Dia tidak pernah merasa semalu ini. Meskipun terkadang dia mengenakan pakaian agak terbuka ketika pergi ke pesta atau hangout. Dia melakukan hal itu dengan sadar, berbeda situasinya dengan sekarang. Karena ini di luar prediksinya apalagi di hadapan murid baru dan lebih muda darinya.
"Tidak perlu meminta maaf, ini bukan salahmu, kau tidak sengaja melihat." Ia tidak mau membuat lelaki itu terus merasa bersalah. "Aku melepas bajuku karena rasanya panas dan tubuhku sakit semua." Chelsea lekas menjelaskan karena ia tak mau ada rumor yang mengatakan jika ia bertelanjang dada di sekolah. "Kau boleh berbalik sekarang."
Perlahan Viole berbalik dan menatap Chelsea dengan tubuh agak menegang. Baru kali ini bagi Viole berada di situasi yang memalukan dan membuatnya sangat merasa bersalah. Ia bisa saja dikenal dengan kepribadian dingin nan angkuh, tetapi Viole tahu batasan terhadap wanita jadi dia tidak mau melampaui batasan tersebut. "Maaf, aku ... sekali lagi, aku minta maaf. Jujur, aku hanya melihat sedikit saja. Aku tadi langsung berbalik. Aku bersumpah."
"Bisakah kau berhenti membahasnya?! Kau membuatku malu!" teriak Chelsea.
"Okay! Aku akan berhenti, tapi tolong maafkan aku!"
Chelsea melihat manik mata Viole yang seperti anak anjing memohon belas kasihan. Dia juga kaget dengan sikap Viole pada detik ini. Apakah dia Viole yang sama dengan Viole yang mengabaikannya di awal pertemuan? "Iya, aku memaafkanmu jadi berhentilah merasa bersalah. Semua ini karena ketidaksengajaan."
Viole diam, mengamat-amati Chelsea yang sepertinya tidak ada tanda-tanda amarah. Jadi dia hendak mendekati Chelsea. "Kau sudah agak baikan?" Tatapan Viole seperti anak polos yang bertanya pada ibunya yang kelelahan karena sibuk bekerja dan mengurus rumah. Membuat Chelsea bingung harus bereaksi seperti apa terutama wajah Viole yang memadai sehingga sah-sah saja jika lelaki itu bersikap seperti anak kecil atau bayi.
"Belum, kepalaku masih sakit dan kau ribut sekali tadi." Chelsea menyandarkan punggungnya, merebahkan kepalanya di sofa, ia semakin merasa pusing. Haruskah dia izin saja ke guru dan pulang dibandingkan beristirahat di ruangan ini? Lagi pula, dia juga sudah tertinggal kelas. "Hey, kau tak mau pergi apa? Kelas sudah mulai sejak tadi."
Viole mengerjap-ngerjap, benar juga perkataan Chelsea, Viole jadinya terhitung bolos karena tidak masuk kelas. "Tidak apa, Monica menyuruhku menjagamu sampai dia kembali. Jika aku pergi, kuyakin dia akan membuatku babak belur dengan tinjunya."
Semakin pusing kepala Chelsea karena sifat kasar Monica yang suka main tinju. Beruntung wajah lelaki cantik ini tidak terkena tinju Monica. "Aku takkan tanggung jawab jika kau tertinggal pelajaran atau dihukum."
"Tenang saja, ini konsekuensiku sendiri, aku juga malas masuk kelas." Viole berucap sambil menyesap susu cokelatnya.
"Kupikir kau anak rajin yang gila belajar, ternyata kau nakal juga, Violetta." Chelsea sengaja mengejek Viole dengan menyebut nama lengkap lelaki itu. Berharap lelaki itu akan kesal, tetapi reaksi Viole tidak sesuai dengan ekspektasi Chelsea.
"Apakah kau demam?" Viole berujar, sementara Chelsea bingung. Ia merasa tidak enak badan, tetapi tak tahu apakah hawa panas di tubuhnya karena cuaca terik atau ia terserang demam. "Bolehkah aku meminta izinmu?"
"Izin untuk apa?" balas Chelsea terkejut, bingung, alisnya terangkat.
Viole menatap Chelsea, tatapan itu lagi, tatapan yang entah mengapa terlihat polos dan tulus. "Izin untuk menyentuh dahimu agar aku tahu apakah kau demam atau hanya karena cuaca panas ini."
Tuhan, kapan Engkau menciptakan manusia seperti Viole di tengah kegilaan Amerika Serikat ini? "Tentu lakukanlah." Chelsea tersenyum simpul, hendak melihat cara apa yang digunakan Viole untuk menjaganya.
Viole beringsut mendekati Chelsea. Tangan kirinya masih memegangi cangkir sementara tangan kanannya bergerak mendekati wajah Chelsea kemudian dia menyentuh dahi Chelsea dengan punggung tangannya. Rasa hangat menjalar. Membuat Viole yakin jika gadis ini sakit. "Kau demam, cukup tinggi, meski tidak seperti panci mendidih"
Wajah Chelsea memerah, ia mengeratkan genggamannya pada selimut. Tidak menyangka akan mendapatkan perlakuan sebaik ini dari seorang laki-laki karena hampir dari semua lelaki yang ia kenal serta para mantannya, mereka semua sangat berengsek dan hanya berotak mesum. Namun, lelaki ini berbeda bahkan meminta izin dulu sebelum menyentuh Chelsea. Ia tidak mengerti mengapa sikap Viole bisa berubah ataukah lelaki itu hanya bersikap sesuai dengan keadaan? "Iya, aku demam," kata Chelsea yang kini manik matanya melirik Viole. "Lalu harus apa? Bukankah kau diminta untuk menjagaku dan sekarang akun demam."
Viole menarik tangannya, sesaat wajahnya memperlihatkan jika ia sedang berpikir. "Tunggu sebentar okay, jangan tidur dulu." Lekas dia beringsut menuju lemari di samping meja tempat dia menyeduh susu cokelat. Dia ingat jika di dalam lemari tersebut ada kotak obat. Dia mencari obat yang bisa menurunkan demam dan sakit kepala, kompres tempel, serta menuangkan air hangat ke cangkir. Merasa sudah lengkap bahan tempur itu jadi ia kembali menuju Chelsea yang duduk dengan menyandarkan tubuhnya di sofa. Gadis itu menutup matanya karena berusaha menahan kepalanya yang berdenyut.
"Chelsea," panggil Viole seperti anak kecil atau barangkali seperti tokoh Disney Princess, Anna yang memanggil Elsa.
"Kupikir kau manusia yang enggan merawat orang lain," balas Chelsea dengan kekehan, menarik erat selimutnya, ia tak mau ada adegan film yang bodoh lagi, seperti selimutnya meluncur lagi.
Viole tak menjawab Chelsea. Sebenarnya ia tidak enggan, ia hanya jarang dihadapkan di situasi ini. Ia terbiasa hidup sendiri bahkan tanpa orang tua. Sejujurnya tanggung jawab yang Monica berikan untuk menjaga Chelsea adalah pengalaman tambahan bagi Viole jadi dia dengan senang hati melakukannya meskipun ia bingung harus bereaksi seperti apa dan apakah yang ia lakukan salah atau benar.
Dia pernah membaca novel, ketika tokoh utama laki-lakinya merawat kekasihnya yang sakit. Maka dia meletakkan semua yang ia bawa di atas nakas samping sofa. Perlahan dia mengambil dua butir obat, masing-masing satu; obat demam dan obat sakit kepala. Kemudian dia dekatkan telapak tangannya serta ia sodorkan cangkir berisi air hangat. "Minum ini dulu," kata Viole.
Chelsea sebenarnya enggan karena ia benci minum obat terlebih yang sangat pahit. Ia lebih memilih tidak minum obat dan berbaring seharian dibandingkan menelan dua butir makanan pahit tersebut. Namun, melihat tatapan polos dan penuh harap Viole. Membuatnya mengambil dua butir obat tersebut kemudian menelannya dibarengi air hangat. Wajahnya menunjukkan rasa tak suka, ia menutup mata, dahinya mengerut, seraya merasakan pahitnya rasa obat. "Terima kasih, kau orang pertama yang membuatku meminum obat tanpa paksaan."
"Memangnya harus dipaksa?" kata Viole sambil menaruh cangkir di atas nakas.
"Ya, aku sangat bebal dan benci minum obat. Aku juga tak suka bau rumah sakit dan fobia jarum suntik." Perkataan Chelsea meluncur begitu saja, ia merasa aman berada di dekat Viole.
"Pasti sulit. Kau harus menjaga kesehatan agar tidak minum obat dan terhindar dari rumah sakit," kata Viole sedikit menunduk seraya tangannya mendekatkan tisu ke sudut bibir Chelsea kemudian mengusap lembut karena ada kotoran dan sisa air di bibirnya tersebut. "Permisi ya, aku bersihkan sudut bibirmu."
Mata gelap Chelsea terpaku pada gerakan lembut Viole. Ada suasana kerentanan yang melingkupinya, tapi juga apresiasi yang tak terbantahkan atas kecantikan Viole. Jantungnya berdebar-debar di dadanya, berdetak dengan ritme yang cepat. Chelsea mendapati dirinya terpesona oleh kedekatan Viole, aroma parfum lelaki itu menyelimuti indranya.
"Aku pasang kompres ya, supaya demammu lebih cepat turun." Viole berkata dan mengambil satu kompres yang akan menghantarkan rasa dingin dan sejuk ketika menyentuh kulit. Melihat Chelsea hanya diam, Viole kembali berujar, "Chelsea, apakah aku boleh memasang kompres ini di dahimu?"
"Ya-ya, tentu, lakukan lah." Chelsea merutuki kebodohannya.
Tindakan sederhana dari sentuhan Viole yang memasang kompres di dahinya. Mengirimkan getaran menyenangkan ke tulang punggung Chelsea. Setiap sensasi meningkat, dan dia semakin mengagumi kecantikan Viole. Membuat jantungnya semakin tak karuan. Ia takkan berbohong jika detik ini dia merasa sangat bahagia. Hanya saja ia harus menyembunyikan ekspresi kebahagiaannya karena dia adalah gadis populer yang punya reputasi. Bisa jadi rumor panas jika sekolah tahu jika ia memuji murid baru.
"Done, apakah kau sudah merasa agak nyaman?" Viole menatap dengan polos lagi.
Chelsea menganggukkan kepalanya kemudian berujar dengan seringai nakal terukir di wajahnya. "Bisakah kau duduk di sampingku?"
"Mengapa aku harus melakukannya?" Viole menaikkan alisnya.
"Ayolah jangan membantah, aku lelah melihatmu berdiri sejak tadi." Maka ia menarik Viole dengan kuat sampai lelaki itu duduk tepat di sampingnya yang tubuh Chelsea ditutupi selimut kuning. "Aku masih tak menyangka kau mau menjagaku padahal kau bisa saja kembali ke kelas."
Viole berusaha melemaskan tubuhnya yang tegang. "Monica memberiku tanggung jawab jadi aku harus melaksanakan tanggung jawab itu dengan baik."
"Jarang laki-laki berkata sepertikau, kebanyakan mereka yang kukenal, hanya sibuk dengan bola basket, game, dan pergi ke klub malam." Senyuman Chelsea terukir lebih lebar, ia merasa semakin bahagia, terlebih lagi, kini bahunya yang ditutupi selimut sedikit bersentuh dengan bahu Viole.
"Kurasa karena kau dekat dengan laki-laki yang aneh jadi mereka seperti itu," balas Viole sedikit mengandung sarkasme.
"Kaubenar, aku selalu saja menarik laki-laki berengsek ke dekatku." Chelsea berujar agak sendu. "Apakah kautahu Viole, aku sekarang lagi sedih."
Haruskah Viole menjawab? Atau dia cukup diam saja? "Sedih karena apa?"
Tak Viole sadari jika Chelsea tersenyum kembali. "Ekskul kami awalnya dijanjikan ikut lomba, tetapi tiga hari lalu dikabarkan jika tim kami tidak bisa bergabung di lomba. Aku semakin sedih karena akhir-akhir ini ayahku dekat dengan seorang wanita."
Tubuh Viole semakin tegang, selain karena bahu Chelsea yang semakin dekat, tetapi karena Chelsea tiba-tiba bercerita mengenai kesedihannya. Bukankah aneh bercerita masalah kita pada seseorang yang baru dikenal? "Dekat dengan wanita ... bagaimana perasaan ibumu---"
"Ibuku sudah lama pergi bersama pria lain," balas Chelsea cepat. "Ibuku berselingkuh ketika umurku sembilan tahun. Dia lebih memilih bersama dengan pria yang kesehariannya pergi travelling, bernyanyi, dan bermain alat musik. Dia menyukai pria yang selalu ada sepanjang waktu untuknya dan memberinya cinta serta hasrat seksual."
Perlahan tubuh Chelsea merosot, dia sengaja merebahkan kepalanya di bahu Viole. Terlihat imut mereka karena Chelsea sebenarnya lebih tinggi dari Viole, lalu Chelsea terlihat nyaman sementara Viole sangat tegang dari tadi. "Ibuku lebih bahagia bersama pria yang memberinya bunga dan rangkaian puisi romantis dibandingkan dengan ayahku yang kaku, dingin, sulit berekspresi, dan sibuk bekerja. Padahal ayah bekerja demi ibuku dan aku bahkan ayah pernah melunasi utang ibu ketika ibu masih muda. Ayah sebenarnya baik dan penyayang ... hanya saja dia sulit mengekspresikan dirinya. Mungkin hal itu yang membuat ibu tak betah dan memilih pergi bersama pria Prancis yang jago membuat puisi. Dia lebih memilih pergi dan meninggalkanku bahkan ingkar janji ke penampilan baletku."
Viole berusaha membuat posisi ternyaman agar Chelsea juga merasa nyaman karena kini nada suara gadis itu gemetar. "Sudah bertahun-tahun semenjak ibu pergi. Sekitar tiga bulan lalu, ayah dekat dengan wanita lain, kurasa mereka pergi kencan, wanita itu juga terkadang memberiku banyak barang mahal." Gadis itu perlahan menutup mata dan mulai mengantuk. "Ayahku sudah pasti jatuh cinta lagi, mungkin dia akan menikah lagi. Sebenarnya aku tak bisa melarang karena ayah juga berhak menemukan kebahagiaannya, tetapi aku merasa sakit dan sedih, seolah-olah aku akan ditinggal lagi. Bagiku hidup berdua dengan ayah sudah cukup, aku ingin seperti ini selamanya, aku tidak ingin orang baru datang ke hidup kami, tapi kurasa ayah ingin kebahagiaan lain dan aku harus mendukungnya. Viole, aku tak ingin ditinggal lagi terutama oleh ayah."
Sesaat Viole melirik Chelsea, aroma sampo gadis itu menyeruak ke penciuman Viole. Dia bisa melihat kerentanan seorang gadis dalam jarak sedekat ini serta alasan mengapa dia hancur. Meskipun Viole tidak pernah merasakan di posisi Chelsea terutama karena Viole yatim-piatu, tetapi ia bisa memahami kesedihan tersebut.
"Viole." Chelsea semakin terlelap dan kini matanya sangat berat, dia mulai berbicara melantur.
"Hmm," balas Viole dengan gumaman.
"Kalau menikah nanti jangan selingkuh ya, jangan juga menikahi wanita lain lagi, cukup satu karena berbagi cinta itu, sangat menyakitkan." Chelsea akhirnya tertidur dengan kepala bersandar pada Viole, suara gemetar gadis itu sudah tak terdengar lagi, ia tidur nyenyak setelah menumpahkan sakitnya pada Viole.
"Selamat tidur, semoga cepat sembuh," ujar Viole lembut dan perlahan ia memejamkan matanya dan tertidur pula di samping Chelsea.
Semuanya berjalan cepat setelah itu, sekitar sepuluh menit kemudian. Monica akhirnya kembali dan menyaksikan pemandangan imut di hadapannya. Viole dan Chelsea tertidur bersama, seperti anak kecil yang perlu diabadikan moment mereka jadi Monica meraih kamera ponselnya dan memotret mereka. Ia terkikik geli lalu duduk di samping Viole kemudian sengaja merebahkan kepalanya di bahu lelaki tersebut. Mereka bertiga sama-sama tertidur.
****
Lola, Tyler, dan Ben memasuki kantor kepala sekolah, wajah mereka dihiasi seringai menantang yang menunjukkan kesombongan mereka. Mereka sudah menduga akan dipanggil dan dimarahi oleh kepala sekolah terutama setelah mendengar beberapa murid melaporkan mereka, tetapi mereka tetap teguh dalam perlawanan, tidak mau menunjukkan penyesalan atas tindakan mereka.
"Bukan Kepala Sekolah, tapi Wakilnya," bisik Lola.
"Kuyakin si pak tua sedang bersenang-senang di luar sana," balas Tyler. Ternyata di ruangan tersebut bukan Kepala Sekolah mereka, Mr. Rasmussen, melainkan wakil kepala sekolah yang umurnya lebih muda dan lumayan tampan. Pria itu bernama Mr. Vincent Galileo Xaviera.
Ego mereka membengkak dengan kesan superioritas, semakin tinggi pula karena hanya wakil kepala sekolah di hadapan mereka, bahkan merasa tidak perlu meminta maaf. Lagi pula, Liza duluan yang menyakiti Emma, mereka hanya ingin menunjukkan di mana tempat sesungguhnya Liza berada yakni bersama para kecoak kotor. Suara wakil kepala sekolah membelah ruangan, tajam karena kecewa dan berwibawa. Dia dengan tegas menegur ketiganya atas perilaku tercela mereka, menekankan beratnya penindasan yang mereka lakukan dan kerugian yang ditimbulkan. Namun, hal itu tidak didengarkan oleh ketiganya karena keangkuhan mereka menutupi jejak penyesalan
Mereka ibarat lambang kesombongan, mencibir sebagai tanggapan, bahkan menolak untuk memberikan penyesalan. Tatapan mereka bertemu dengan wakil kepala sekolah dengan intensitas yang menantang, tindakannya merupakan bukti penolakannya yang tak tergoyahkan. Meminta maaf adalah tanda kelemahan yang tidak mau dia terima.
Hal ini membuat kesabaran wakil kepala sekolah berkurang karena ketiga penjahat tersebut tetap keras kepala, menolak untuk bertanggung jawab atas tindakan mereka. Dalam upaya untuk menanamkan pelajaran yang tidak bisa mereka abaikan, dia menyampaikan hukuman kepada mereka dengan suara tegas, matanya mengeras karena tekad. Seringai tersungging di sudut bibir mereka terutama Tyler, percikan pemberontakan muncul di dalam dirinya.
Tatapan tajam wakil kepala sekolah mengeras, suaranya menjadi dingin. "Karena kalian bertiga menolak menunjukkan penyesalan atau bertanggung jawab atas tindakan kalian, aku tidak punya pilihan selain memberikan hukuman yang sesuai dengan beratnya perilaku kalian."
Mr. Xaviera mengucapkan kalimat mereka tanpa sedikit pun keraguan. "Kalian akan diberi tugas membersihkan setiap toilet di sekolah ini. Selain itu, kalian akan diskors selama seminggu, hal ini kulakukan untuk memaksa kalian merenungkan konsekuensi atas tindakan kalian."
Ketika mereka meninggalkan kantor kepala sekolah, penolakan mereka tetap keras kepala, hati mereka mengeras terhadap segala rasa penyesalan. Hukuman yang menanti mereka tidak menimbulkan rasa takut, dan semakin menguatkan tekad mereka untuk membuktikan diri mereka tak tersentuh. Membersihkan toilet dan diskors hanyalah hal kecil bagi ketiganya. Malahan tidak bersekolah selama satu minggu tampaknya sangat menggiurkan, seolah-olah itu adalah kesempatan untuk menikmati hari-hari mereka tampa pelajaran.
"Aku akan menghubungi Emma jika kita diskors seminggu," kata Ben meraih ponselnya.
"Wakil Kepala sekolah sialan itu ... dia akan menyesal setelah aku melaporkan hal ini pada ayahku." Tyler berucap, tapi dia menikmati seminggu tanpa pergi ke sekolah. "Ben bagaimana jika kita bermain Resident Evil 4 Remake DLC Separate Ways?"
"Woho, tentu saja aku setuju!" balas Ben bersemangat. "Ayo mainkan malam ini juga!"
"Jangan lupakan aku! Aku akan mengajak Emma, Louie, dan Viole," sahut Lola.
"Ayo ajak mereka semua, kita akan menonton film juga nanti." Tyler sudah siap dengan rumahnya yang selalu menjadi markas untuk berkumpul. Dia anak kaya raya. Mereka pun pergi dengan hati riang, tanpa merasakan penyesalan sedikit pun.
Sepeninggalan mereka, wakil kepala sekolah, menatap dan membaca beberapa dokumen yang ia ambil dari amplop cokelat tua. Di ujung amplop tersebut ada lambang salah satu perusahaan terbesar di dunia. Matanya memicing, menilik biodata para murid di setiap lebaran tersebut. Mr. Xaviera terlihat cukup muda dan berwibawa.
"Kurasa hukuman Anda masih kurang, mereka akan menganggap skorsing seminggu sebagai liburan yang menyenangkan," kata seorang wanita rambut cokelat, mata hazel, berkacamata. Ia mengajar di mata pelajaran kimia di kelas tahun keempat. Dia bernama Miss Mackenzie Josephine.
"Tak masalah, aku sengaja tidak menghukum mereka dengan berat," ujar Mr. Xaviera.
"Mengapa?" balas Miss Josephine.
Senyuman kecil Mr. Xaviera terbentuk, matanya ibarat kejahatan yang sedang menunggu pertunjukan yang takkan lama lagi akan menghiburnya. "Kudengar Tuan Beauvoir, dekat dengan mereka. Kasihan jika teman dekatnya harus di-skorsing terlalu lama atau dikeluarkan dari sekolah ini."
Benar sekali, jika Lola, Tyler, dan Ben tidak menyesal, tetapi mereka tak menyadari pula bahwa tindakan mereka akan mempunyai konsekuensi yang jauh melampaui apa yang dapat mereka bayangkan, konsekuensi yang akan menghancurkan ilusi mereka tentang ketidakterkalahkan dan memaksa mereka untuk menghadapi kegelapan yang mereka sebarkan. Lalu siapakah yang akan terseret atas konsekuensi mereka nanti?
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
Konfliknya sudah dimulai guys^^ Ternyata Viole bisa panik juga yah, mana lucu juga paniknya dia. Kalian suka tidak interaksi antara Viole dan Chelsea?
Hmm sepertinya Tyler, Lola, dan Ben akan mengundang banyak masalah di sekolah~ Mereka juga semakin semena-mena, kira-kira kejadian di masa depan apa yang akan terjadi?
Prins Llumière
Jumat, 13 Oktober 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top