Chapter 06: Please, Help Me!
Tidak dimengerti oleh Viole apakah sifat Louie memang pada dasarnya banyak oceh atau sangat menyebalkan sehingga membuat pusing kepala. Semalam Louie menghubungi Viole di jam sebelas malam, perlu ditekankan lagi, jam sebelas malam, Louie menghubungi Viole! Awalnya Viole abaikan, tetapi hingga sepuluh kali panggilan, Louie belum juga berhenti, jadi terpaksa Viole mengangkat panggilan tersebut kemudian membentak Louie. Bukannya merasa bersalah karena sudah mengganggu waktu Viole membaca novel, Louie malah berujar dengan penuh rasa antusias dan kebahagiaan seolah-olah ada ribuan kupu-kupu yang memenuhi perutnya, membuat serotonin meningkat menjadi perasaan bahagia tak terkira. Andai Viole bisa melihat apa yang Loiue lakukan di kamarnya saat itu; dia berbaring di kasur dengan senyuman tak berhenti terukir di wajahnya, manik mata birunya seperti bersinar cemerlang.
"Berhentilah bersikap seperti kau habis diterima cintamu," balas Viole hendak sekali memutuskan sambungan telepon ini. Namun, jika ia lakukan, Louie pasti akan menerornya sepanjang malam.
"Aku benar habis diterima, tapi bukan pasal cinta," kata Loiue semakin antusias. "Aku diterima di ekskul Jurnalistik! Dan aku diperbolehkan menggunakan kamera mulai besok!" Suara Louie menguar ke udara, bergema di kamarnya sendiri.
Viole memutar bola matanya dengan sangat malas. Ia pikir ada hal lebih penting dibandingkan membagikan kebahagiaan karena diterima ekskul Jurnalistik. "Kau bukan mendapat uang hingga jutaan dollar sampai harus sebahagia itu," balas Viole dengan sarkas, sesaat membuat Louie kesal.
"Sialan, tidak bisa apa kau sedikit berempati dan memberikan selamat padaku!!" Louie menegakkan badannya, ponsel masih ditelinga, kini dia sangat kesal dan terbayang wajah Viole yang sangat mengejek.
"Baiklah, baiklah." Viole menghela napas. Dia sudah memastikan untuk memasukkan nama Louie ke dalam buku berisi daftar orang-orang yang mengganggu dan perlu disingkirkan. "Selamat."
Louie tertawa kencang setelah mendengar ucapan selamat yang tidak tulus itu. "Sialan, menjijikkan sekali kalimat itu keluar dari mulutmu."
"Kau yang meminta tadi, dasar bajingan," balas Viole yang tanpa persetujuan Louie. Dia memutuskan sambungan telepon mereka. Louie yang di kamarnya langsung terkejut karena Viole marah. Dia menelepon kembali Viole, tetapi ponsel lelaki itu malah tidak aktif. Oh wow, kini Louie membuat seorang lelaki cantik jadi marah.
"Ternyata tidak hanya wajahnya yang cantik, dia marah pun seperti perempuan." Suara tawa Louie terdengar kemudian merebahkan tubuhnya dan memikirkan hari esok karena dia tak sabar untuk menggunakan kamera dan bertugas sebagai fotografer di ekstrakurikulernya.
Ocehan Louie terus berlanjut hingga esok harinya, betapa Viole sangat lelah mendengar bagaimana antusias Louie menceritakan kebahagiaannya, mulai dari seleksi anggota jurnalistik yang sangat mudah karena hanya dengan mengirimkan berkas biodata dan alasan bergabung saja sudah diterima menjadi anggota. Kemudian bercerita akan ketidaksabarannya menggunakan kamera dan mengambil setiap momen lalu foto-foto itu dimasukkan ke majalah sekolah. Ia semakin senang karena sudah diberi tugas untuk memotret seleksi keanggotaan klub renang---ia juga diberi bet name sebagai identitasnya di keanggotaan jurnalistik---sehingga dia tak dilarang untuk hadia di acara seleksi anggota klub renang hari ini. Ah ya, perlu diingat jika tidak boleh ada orang luar yang menonton seleksi keanggotaan kecuali tim jurnalistik, tetapi Tyler dan kawan-kawannya berisi keras dengan rencana mereka untuk tetap menonton Emma dan Lola diseleksi, tentunya secara diam-diam. Viole enggan ikut kebodohan mereka, tetapi selalu saja dipaksa bahkan diancam Tyler bahwa apartemen Viole akan dibakar jika Viole menolak ikut---meski semua itu hanya candaan semata---tetapi pada akhirnya Viole setuju saja karena ia penasaran bagaimana rencana mereka akan berhasil atau ditendang oleh ketua ekskul renang yang dikenal pemarah.
"Menurutmu momen apa saja yang harus kuambil dengan kamera untuk masuk majalah sekolah." Louie berujar seraya mengatur kamera milik klub jurnalistik, pagi buta salah satu anggota memberikan kamera tersebut padanya. "Kau ada saran?" Louie terlihat mengenakan kaos biru yang ia tutupi dengan jaketnya berwarna merah dengan kerah dan lengan berwarna putih.
"Ketika salah satu anggota tenggelam," balas Viole tak sedikit pun menatap Louie dan fokus berjalan dengan headphone di telinganya. Tebak saja kali ini penyanyi mana yang ia dengarkan.
"Sialan kau," balas Louie sedikit tercengang seraya matanya membulat menatap Viole yang mengenakan kaos putih berlengan panjang dan vest rajutan berwarna krem. Lelaki itu melangkah tanpa beban setelah mengatakan kalimat yang seram. Apa yang keluar dari mulut Viole sangat bertentangan dengan wajah cantiknya. Sungguh kalimat jangan menilai buku dari sampulnya begitu nyata. Contoh nyatanya saja dapat dilihat di hadapan Louie saat ini. Meski wajah Viole terlihat seperti malaikat, tetapi kenyataannya, dia iblis yang sangat menyebalkan.
"Aku serius, kira-kira apa yang harus kupotret agar dimasukkan ke majalah sekolah." Louie masih berisi keras untuk mendapatkan jawaban dari Viole yang terlihat menghela napas panjang. Mereka hampir sampai ke sekolah.
"Potret para peserta sedang berkumpul, panitia yang bertugas, kolam renang, atau ketika pengambilan nilainya," balas Viole asal-asalan saja karena ia bahkan tak peduli dengan majalah sekolah. Namun, jawaban Viole malah membuat mata Louie berbinar-binar dan dia setuju dengan semua saran itu. Kini Viole menurunkan headphone-nya.
"Sialan, kau sangat cerdas!! Kau pasti sering membaca majalah sekolah. Aku teringat ketika kecil ibuku sering membelikanku majalah bergambar yang penuh dengan komik, aku jadi suka membaca majalah atau komik semenjak hari itu," cerocos Louie terus berlanjut hingga menceritakan hal lain yang terukir jelas di wajahnya jika ia sangat antusias sementara lawan bicaranya saja enggan bernapas di dekatnya, artinya Viole sama sekali tak peduli!!
Louie diam sejenak, menatap Viole karena dia sadar Viole tak menanggapinya, perasaan kesal menyeruak, ia kemudian meninju pelan bahu Viole. "Hey dummy, setidaknya dengarkan jika seseorang bercerita. Jika aku Emma, dia pasti sudah marah dan merengek."
"Aku mendengarkan," balas Viole seraya mengedarkan pandangannya. Sekolah sangat sepi karena ini akhir pekan, meski ada beberapa pekerja di sekolah ini seperti tukang kebun maupun yang membersihkan halaman sekolah, tetap saja tak terlihat para murid, ada beberapa yang tertangkap pandangan Viole, tetapi mereka hanya sebentar saja kemudian pergi. "Aku mendengarkan semua yang kauocehkan dan hal itu membuat telingaku sakit."
Louie tersandung batu, untung tak terjatuh, ia dan Viole tidak melewati koridor sekolah karena enggan jadi memutar melewati lapangan untuk menuju gedung kolam renang. "Kau sungguh mendengarkan ceritaku?"
"Ya, ketika kau masih berumur tujuh tahun, ayahmu akan membelikanmu kamera dengan syarat kau harus mendapatkan nilai tinggi, tapi meski nilaimu sudah bagus, ayahmu tak kunjung membelikanmu kamera hingga akhirnya ayahmu pergi. Kemudian di hari ulang tahunmu, ibumu membelikan kamera dengan menyisihkan sebagian gajinya." Kini baru Viole sadari alasan mengapa Louie beberapa kali mengumpat ketika menyebutkan nama ayahnya.
"Oh Goddess, kau benar-benar mendengarkan ceritaku, sialan, ini menjijikkan. Bagaimana bisa aku bercerita padamu." Tawa Louie terdengar yang membuat Viole ingin sekali menjahit mulut itu.
"Shut the fuck up," umpat Viole merasa sangat kesal karena tawa Louie yang penuh ejekan itu. Tidak kunjung berhenti, Louie puas tertawa, ia bahkan mengangkat kameranya kemudian memotret wajah Viole. "You son of bitch, delete it now!"
Louie senang dengan pertengkaran ini, melihat wajah Viole berekspresi dan tidak datar menciptakan kesan tersendiri. Harusnya Emma ada di sini juga untuk melihat bagaimana ekspresi kesal di wajah manusia cantik itu. Harusnya pertengkaran yang berujung saling melayangkan tinju terjadi, tetapi Viole begitu mudah mengontrol emosinya yang kini dia kembali tenang, tidak berniat mengejar Louie lagi agar fotonya dihapus. Sesaat Louie kecewa karena seharusnya dia mengambil foto Viole ketika marah dan ia kirimkan ke Emma, pasti gadis itu akan suka dan tertawa kencang.
"Jika kau tidak menutup mulutmu dan menghapus foto itu, aku benar-benar akan menghajar wajahmu." Satu ancaman yang diucapkan dalam sekali tarikan napas itu membuat Louie harus segera membungkam tawanya dan menghapus foto Viole. Ia bisa merasakan ada aura mengerikan terpancar dari lelaki cantik itu.
"Aku sudah menghapusnya," balas Louie yang mendapat anggukan singkat dari Viole. Setelahnya Louie menghela napas dan tersenyum tipis ketika mengangkat kameranya lagi, tapi kali ini kamera yang berbeda---Louie sengaja membawa dua kamera---kemudian dia memotret secara random di sekolah ini, mulai dari gedung sekolah, tanaman dan bunga yang ada di sepanjang jalan setapak yang terbuat dari paving block, ia memotret pula langit yang sangat cerah terutama matahari bersinar dengan terik, memotret burung-burung yang beterbangan serta hinggap di salah satu pohon.
Louie lekas berlari menuju pohon yang dihinggapi para burung, ia potret, tapi para burung keburu kabur dan fotonya jadi blur, tapi ia tak mempermasalahkannya. Kemudian dia kembali memotret hal random lagi hingga diam-diam memotret Viole dengan headphone hitamnya, ia terlihat berjalan mendahului dan meninggalkan Louie seolah-olah tak peduli sama sekali jika temannya tertinggal. Namun, hal ini menjadi kesempatan Louie memotret anak baru itu dari belakang. Kebahagiaan menguar ketika Louie melihat hasil fotonya yang hampir semuanya bagus, ia sangat bangga dengan keahliannya memotret.
Memasuki gedung dan berjalan di koridor menuju area kolam renang, Louie masih dengan acara berburu foto random sementara Viole menilik sesaat lalu menggeleng karena tingkah lelaki itu. Belum lima detik setelah Louie memotret langit-langit dan spanduk di gedung ini, dia terkesiap dan suara benturan terdengar bersamaan tas olahraga biru navy jatuh ke lantai, membuat isinya terhambur; baju renang sedikit basah, alat make-up, kunci rumah, gunting, obeng, dan barang lainnya yang tidak sempat Viole ketahui karena pemilik tas begitu cepat merapikan barang-barangnya kembali.
"Hey, maafkan aku, aku tak melihatmu," balas Louie seraya menyerahkan barang terakhir pada si perempuan yang rambutnya digelung agak berantakan dan ia mengenakan kacamata.
"Tak masalah, sudah biasa seseorang tak sengaja menabrak orang lain karena fokus mereka teralihkan," balas si perempuan lekas berdiri kemudian berjalan begitu saja, menjauh dari Louie maupun Viole hingga punggungnya tak terlihat lagi di belokan koridor.
"Apa yang barusan terjadi?" kata Louie.
"Singkatnya, kaumenabrak perempuan itu karena tak menggunakan matamu dengan benar," balas Viole tak peduli jadi kembali berjalan, sementara lagu di headphone-nya berganti menjadi Criminal—Britney Spears meski volume-nya tak terlalu keras.
"Aku tahu hal itu, bodoh!! Maksudku apa kau sadar jika perempuan tadi ada baju renang, kurasa dia yang ikut seleksi keanggotaan juga, lalu jika diperhatikan, ada bekas luka di leher perempuan itu dan juga kedua telapak tangannya. Bukankah dia aneh, apa pula gunting dan obeng yang dia bawa ke sekolah terutama di seleksi renang." Louie berujar dengan sepersekian detik saja seraya berjalan mengikuti langkah kaki Viole.
"Bukan urusanmu jika dia membawa obeng atau apa pun itu," balas Viole. Harusnya ia menaikkan volume musiknya agar tak terdengar lagi ocehan Louie.
"Berengsek kau, bagaimana jika dia melakukan tindak kejahatan!" Louie mulai sedikit panik terlebih dia tak suka ekspresi perempuan tadi; membuat risi dan tidak nyaman dipandang. Wajahnya penuh jerawat dan kusam, bentuk wajahnya lonjong, hidung agak bengkok, mengenakan kacamata meski tak tebal, serta rambutnya berantakan dan sedikit basah, bahkan baju yang ia kenakan tadi juga basah seolah ia langsung ganti setelah pengambilan keanggotaan renang tanpa ia keringkan dengan handuk terlebih dahulu.
Viole dengan reaksi tidak pedulinya menjawab dengan mengedikkan bahu, wajahnya sangat datar, begitu dingin juga. Sungguh Viole sama sekali tidak mau menyembunyikan rasa ketidakpeduliannya. Lelah Louie karena tidak dipedulikan jadi ia kembali mengecek kameranya yang ternyata perempuan tadi sempat masuk ke frame salah satu foto random-nya. "Sial, aku ada fotonya, mungkin jika dia melakukan tindak kriminal, kita bisa gunakan ini sebagai bukti---"
Jantung Louie berpacu ketika mereka tiba di area kolam renang dan terdengar suara Tyler serta Ben berteriak pada mereka. Terburu-buru mereka menuju kedua lelaki yang baru tiba itu. Wajah Ben panik dengan keringat bercucuran membuat kerah bajunya jadi sedikit basah sementara Tyler wajahnya sedikit merah karena amarah, tetapi lebih didominasi perasaan khawatir, dia juga agak berantakan terutama jaketnya awut-awutan dan rambut pirang tidak tertata rapi.
"Apa yang terjadi, kenapa kalian sepanik ini?" Louie memulai pertanyaan karena Ben dan Tyler tak kunjung membuka mulut mereka. Viole mematikan lagunya dan menurunkan headphone ketika manik matanya menatap pada Lola yang berbicara dengan beberapa murid perempuan lebih tua yang kemungkinan senior di klub renang, Lola mengenakan pakaian renangnya yang dibalut jubah mandi serta ia terus berusaha menelepon seseorang sementara mulutnya tidak berhenti bicara dengan para senior itu.
"Sialan, kalian bilang apa? Emma menghilang," teriak Louie yang wajahnya jadi pucat dan terukir kekhawatiran. Viole menatap dan mendengarkan percakapan mereka.
"Sebentar lagi giliran Emma dan Lola untuk seleksi keanggotaan renang," jelas Ben, "tapi hingga kini, Emma tak juga datang bahkan kami sudah menelepon ponselnya berkali-kali dan tidak dia angkat. Jika dia tak datang juga, dia bisa didiskualifikasi dan tidak gagal masuk keanggotaan."
Louie hendak pingsan karena mendengar hal itu, tapi sebisa mungkin dia tahan. "Kita harus bagaimana, sebenarnya dia pergi ke mana?"
"Bajingan," umpat Tyler, "pasti ada seseorang di balik semua ini, kalian tahu saja jika sekolah ini sangat banyak murid jalang yang akan menggunakan cara kotor."
Tatapan mata Tyler terarah pada Louie dam Viole. "Kita cari Emma, kami berdua akan ke sebelah lain gedung ini dan mengecek gudang yang tak jauh dari sini. Kalian cek koridor serta kamar ganti murid laki-laki dan perempuan. Kita harus mencari Emma selagi Lola mengulur waktu."
"Got it, come on Viole!" Louie lekas berbalik dan menuju koridor yang sebelumnya mereka lewati, Viole menyusul meski tidak ada perubahan yang berarti di ekspresinya. Sementara Tyler dan Ben segera menuju sebelah utara dari gedung ini untuk mengecek area belakang dan gudang penyimpanan barang.
Di sisi lain, Lola berusaha meyakinkan para seniornya jika temannya akan segera datang, mereka hanya perlu memberikan waktu tambahan karena ada keperluan mendesak yang harus temannya urus lalu kembali ke seleksi ini sesegera mungkin. Kini Lola menatap ponselnya yang menampilkan nomor Emma, tetapi sejak tadi tak kunjung diangkat olehnya. Dia kembali menelepon nomor itu lagi hingga berulang kali. "Tuhan, kumohon, berpihaklah padaku …."
****
Suara langkah sepatu yang terburu-buru terdengar di sepanjang lorong bersamaan teriakan Louie yang terus memanggil nama Emma. Betapa wajahnya panik, rambutnya berantakan, serta keringat membuatnya panas karena kekhawatiran terhadap keselamatan Emma. Dia tak menyangka kejadian buruk ini menimpa ketika ada seleksi penting.
Tyler dan Ben sebelumnya berkata jika Emma masih bersama dengan mereka, lalu tanpa alasan jelas, Emma izin pergi karena ada panggilan mendesak dari keluarganya entah ayah atau ibu, tapi kemungkinan besar ibunya. Kemudian Emma pamit keluar gedung untuk mengurus hal mendesak ini. Sayang sekali, Lola, Tyler, atau Ben tidak bertanya terlebih dahulu mengenai urusan mendesak Emma atau menemaninya. Mereka tak memperhatikan Emma lagi hingga beberapa menit berlalu, barangkali hampir setengah jam lebih dan sebentar lagi giliran Lola dan Emma, tapi Emma tak kunjung datang. Berkali-kali di telepon pun tidak Emma angkat. Senior renang mereka terlihat kesal karena Lola dan Emma mengulur-ulur waktu sedangkan para senior itu terlihat kelelahan dan masih ada yang harus mereka kerjakan setelah seleksi keanggotaan ini.
"Apakah Emma pulang ke rumah karena urusan mendesak itu?" Louie harus memikirkan segala kemungkinan baik dan positif untuk dapat mengontrol dirinya, kini saja dia panik dan napasnya mulai terasa sesak. "Viole jawab!!!"
"Oh wow, calm down," balas Viole, tidak menyangka jika Louie akan sepanik ini. "Kau terlalu panik Louie, Emma hanya menghilang sejenak, dia bukan anak bayi yang bisa membuatmu khawatir hingga kausesak napas. Lagi pula dia pasti masih di sekitar sekolah ini, mustahil dia melewatkan seleksi terpenting dalam hidupnya." Sesaat Viole terkesima pada dirinya sendiri karena mengucapkan kalimat yang cukup panjang.
"Kalau begitu, di mana dia sekarang?!" Louie sangat kesal pada Viole karena lelaki itu masih berwajah tanpa ekspresi bahkan tidak ada kekhawatiran di wajahnya.
"Bukankah sudah jelas dia ada di mana?" Viole menaikkan satu alisnya. "Adegan klise di dalam film selalu berulang kali diputar. Jika bukan Tyler dan Ben yang menemukan Emma, maka kita yang akan menemukannya, lagi pula jeda sebelum seleksi hanya sedikit, dia takkan diseret ke luar sekolah karena waktunya tak cukup."
Awalnya Louie hendak mengumpat karena kalimat yang dirangkai Viole terlalu penuh teka-teki, tetapi ketika ia paham. Louie langsung berlari menuju kamar ganti murid laki-laki. Ia berteriak memanggil nama Emma, dicarinya hingga ke setiap bilik toilet, tidak ia pedulikan jika pintunya akan hancur saking didorong Louie dengan kuat. Namun, tak ia temukan tanda-tanda keberadaan Emma.
"Keparat," umpat Louie seraya menatap Viole yang bersandar di dinding. "Dia tidak ada di kamar ganti laki-laki, artinya …."
"Coba cek ke dalam." Viole memberi isyarat dengan kepalanya yang menyuruh Louie untuk masuk ke kamar ganti murid perempuan.
"Kau juga bantulah aku, sialan," umpat Louie yang semakin panik, wajahnya sedikit pucat kembali, dan dia bernapas tidak teratur. Keringat mengucur dari leher menuju punggungnya serta sesaat tangan lelaki itu gemetar. Viole bisa membaca keadaan yang dialami Louie.
"Kau masuk saja, aku akan berjaga di luar," balas Viole dengan enteng. Ia sama sekali tak mau menyinggung mengenai keadaan Louie saat ini yang pasti membuat lelaki itu jadi semakin risi.
"Kau harus membantuku Viole, ini demi keselamatan---" Perkataan Louie terhenti, ia tak mampu melanjutkannya ketika di hadapannya ada seorang perempuan yang sebelumnya sempat berpapasan dengan Louie dan Viole, serta menabrak bahu Louie.
Kini perempuan itu menjatuhkan tas olahraganya bersama suara berdentang ketika sebuah linggis jatuh pula ke lantai. "Kau, kenapa kaumembawa benda itu ke sekolah?"
Suara Louie terdengar sedikit gemetar sementara Viole melirik sesaat pada si perempuan yang kedua kakinya gemetar juga, dia sangat ketakutan, perlahan berjongkok kemudian meraih tas dan linggisnya lalu langsung berlari begitu saja.
"Hey!!! Sialan, jangan kabur!" teriak Louie, "Viole aku akan mengejarnya, kaumasuk ke kamar ganti dan temukan Emma, kuyakin dia ada di dalam sana!!"
Maka lekas dengan keberanian, tanpa pikir panjang pula, Louie mengejar si perempuan yang berlari---seperti macan kesurupan---keluar dari gedung tersebut. Viole terdiam karena belum sempat berujar, Louie sudah hilang dari pandangannya. "Keparat itu membiarkanku melakukan tugas yang sulit." Helaan napas panjangnya terdengar dan perlahan Viole mematikan musik yang bergema di headphone-nya lalu masuk ke dalam kamar ganti sambil berbisik; berjagalah, aku akan menyelesaikannya secepat mungkin.
Viole berada di dalam kamar ganti perempuan ini. Dia mengedarkan pandangannya, kamar ganti dengan dinding keramik berwarna putih bersih, lalu lantai keramik kotak-kotak dengan warna putih-abu, ada banyak loker biru untuk menaruh barang-barang maupun pakaian ganti, bangku panjang di tengah-tengah sehingga para murid bisa duduk, ada pula tong sampah di setiap sudut kamar ganti ini. Di sisi lain kamar ganti, ada bagian toilet dan kamar mandi serta shower sehingga para murid bisa mandi di sini, wastafel dengan kaca lebar dan besar. Lalu juga terdapat satu ruangan yang menjadi tempat penyimpanan alat kebersihan yang digunakan oleh petugas kebersihan untuk membersihkan kamar ganti ini.
Manik mata Viole memperhatikan setiap sudut, ada beberapa loker yang tak terkunci bahkan terbuka membuat barang-barangnya keluar dari loker, ada pula jaket yang terjuntai, beruntung sekali bukan pakaian yang lebih privasi karena akan sangat memalukan bagi Viole jika tak sengaja melihatnya. Perlahan di melangkah masuk tanpa rasa cemas meskipun ia berada di kamar ganti perempuan dan dapat kepergok kapan saja oleh siapa saja. Ia pasti akan mendapatkan masalah serius jika seseorang tiba-tiba masuk kemari. Namun, tidak sedikit pun tersirat kecemasan itu karena sudah ada yang berjaga di luar.
Maka Viole berjalan melewati area loker-loker biru ini, mengamati setiap hal yang mungkin terlihat mencurigakan. Ia sampai di bagian toilet dan kamar mandi, jika diperhatikan, tidak satu pun ada tanda-tanda seseorang di toilet atau barangkali terkunci, tetapi Viole akan memastikan lagi jadi ia melangkah hingga berhenti di hadapan cermin. Manik matanya memperhatikan pantulan bayangannya melalui cermin ini. Tatapannya tak berubah, tetap datar, dingin, dan tak berekspresi.
Benarkah ia tak memperlihatkan ekspresi? Bahkan ketika lampu di kamar ganti itu mulai berkedip-kedip, mati-nyala-mati-nyala, lalu suara berderit dari pintu bilik toilet paling ujung terdengar, Viole lekas menatap toilet tersebut yang terlihat jelas melalui matanya jika pintu itu menutup dan terbuka sendiri. Suara deritan pintu semakin terdengar karena kini tidak hanya satu pintu bilik toilet, tetapi bilik lainnya yang terbuka-tertutup sendiri secara perlahan.
"Dia di sini," ujar Viole seraya memutar bola matanya, menatap lampu yang berkedip-kedip pelan.
Sontak Viole membalikkan badannya ketika terdengar entakan keras---seperti seseorang mengentakan kakinya kuat-kuat ke lantai keramik---dari area loker-loker biru. Viole menuju sumber suara, langkahnya pelan karena Viole merasa tak perlu terburu-buru, ia juga tidak merasa takut barangkali dia sudah terbiasa dengan situasi seperti ini. Dia kemudian berhenti ketika melihat bayangan di lantai, bayangan hitam pekat, tetapi ketika didekati, bayangan itu kabur. Enggan sekali Viole mengejar terutama karena ia mendengar suara deritan lagi yang kali ini bukan di pintu, tetapi loker-loker di sini berderit, terbuka-tertutup dengan sendirinya bahkan ada pintu loker yang berdentang karena tertutup sangat kuat seolah-olah dibanting seseorang dengan sengaja. Kini kamar ganti itu terdengar riuh ketika suara gedoran melalang buana, sesaat Viole terkejut dan perlu mengelus dadanya karena semakin saja suara gedoran pada pintu terdengar. Akibat gedoran itu pintu, tak ada suara deritan loker.
"Kurasa dia di sana," ujar Viole mulai melangkah ke sumber suara yakni pintu biru terbuat dari besi serta berderak berkali-kali karena pintu tersebut digedor berkali-kali dari dalam, ya dari dalam tempat penyimpanan alat kebersihan ada yang menggedor-gedor pintu. Viole hampir sampai ketika lampu mulai berkedip-kedip secara lambat. "Apa kau di sana Emma?!"
Dua Detik selanjutnya, suara perempuan berteriak sangat kencang terdengar yang membuat Viole harus menutup kedua telinganya. Itu adalah suara Emma yang terus berujar, "tolong aku, siapa pun tolong keluarkan aku dari tempat ini!!!!"
"Emma," ucap Viole yang kini tepat di hadapan pintu biru dan menyentuh pintu tersebut.
"Viole, kaukah itu? Viole keluarkan aku dari sini! Kumohon, tolong aku!" Suara Emma gemetar, ia terus berteriak dengan isak tangis sehingga terdengar serak. "Viole kumohon keluarkan aku, aku takut! Viole!"
"Hey tenang ya, aku akan mengeluarkanmu dari sana," balas Viole menggenggam gagang pintu yang tidak ada kuncinya.
"Tidak, aku tidak bisa tenang, Viole, aku takut, di sini sangat gelap!" Suaranya terbata-bata dan napasnya memburu. "Mereka melihatku, mereka akan menangkapku, mereka akan menjeratku. Aku tidak bisa bernapas Viole, aku sangat takut, tolong jangan tinggalkan aku."
Viole tidak bisa fokus membuka pintu ini jika Emma terus saja berteriak dalam keadaan panik. "Emma," ujar Viole dengan nada suara yang lebih lembut. "Dengarkan aku, kau bisa mendengar suaraku 'kan?"
"Ya, ya, aku bisa, tolong keluarkan aku dari sini, mereka akan menjeratku Viole, kumohon." Kini Emma menangis.
"Emma hey, dengar, tidak ada yang akan menangkapmu, tidak ada yang akan menjeratmu. Aku di sini Emma, aku akan membantumu keluar dari dalam sana. Aku tidak akan meninggalkanmu, jadi kau harus tenang okay, kau harus tenang agar aku bisa mengeluarkanmu." Viole berujar untuk menenangkan Emma, ketika suara perempuan itu sudah tak terdengar berteriak. Perlahan Viole mengedarkan pandangannya. Menuju loker yang terbuka kemudian mencari sesuatu di sana. Dia bersyukur menemukan penjepit kertas besi serta sebuah hairpin, lekas dia kembali ke pintu biru, membungkuk kemudian mencoba membuka pintu tersebut dengan kedua benda kecil yang dia temukan.
"Viole, kau masih di sana?" Emma menggedor-gedor pintu. "Viole, Violetta, kumohon jangan tinggalkan aku, Viole---"
"Aku di sini Emma, aku tidak pergi ke mana-mana. Kau harus tenang ya, aku akan membuka pintu ini," balas Viole sambil fokus mencoba membuka pintu tersebut dengan penjepit kertas dan hairpin.
Berada di dalam, Emma merasa tubuhnya gemetar hebat, kakinya sudah tak mampu menopang berat badannya sendiri, keringat mengucur, rambutnya berantakan dan lepek, napasnya memburu dan tidak beraturan serta ia merasa akan pingsan kapan saja. "Kau tidak akan meninggalkanku 'kan?"
"Iya, aku takkan meninggalkanmu," balas Viole.
"Kau akan di sini untuk mengusir mereka 'kan? Kau takkan membiarkan mereka membawaku? Kau takkan membiarkan mereka menjerat dan mengikatku lagi 'kan? Viole jawab aku."
Sesaat Viole hening karena tidak memahami apa maksud perkataan Emma. Namun, ia akan tetap menjawab untuk menenangkan perempuan itu. "Iya, aku takkan meninggalkanmu dan takkan kubiarkan mereka membawamu pergi. Aku janji."
Andai Viole tahu, Emma tersenyum manis ketika mendengar kalimat menenangkan dari lelaki itu. Hingga tak lama kemudian terdengar bunyi menceklik dan pintu biru itu berhasil terbuka. Jauh sebelum Viole membuka pintu tersebut, Emma lebih dulu menariknya, kemudian menyambar tubuh Viole dengan pelukan yang sangat erat hingga lelaki itu terjengkang; jatuh ke belakang dan terlentang membuat headphone-nya terlempar ke sembarang arah. Sementara itu, Emma memeluk tubuh Viole dengan posisi menimpa lelaki itu.
Sesaat Viole terkesiap, terukir ekspresi keterkejutan di wajahnya, rambutnya jadi berantakan dan memperlihatkan dahinya ketika Emma mulai terisak kembali dalam pelukan Viole. "Aku sangat takut. Terima kasih, terima kasih sudah menyelamatkanku."
Tidak tahu harus menjawab apa, Viole juga tak tahu apakah dia harus mengelus punggung Emma yang entah mengapa gadis itu tubuhnya masih gemetar karena takut jadi Viole pun berujar, "kau sudah baik-baik saja, jadi jangan takut lagi."
Butuh hingga satu menit setelah kalimat itu perlahan Emma melepaskan pelukannya dari Viole, bangun dengan menahan rasa sakit di kepalanya, kemudian duduk di lantai seraya membantu Viole untuk bangun juga. Emma terkekeh dan merasa malu. "Thank's dan maaf tiba-tiba memelukmu."
"EMMA!!!" teriak seorang lelaki dari pintu masuk. Lelaki itu sangat berantakan terutama rambut cokelat tuanya serta bajunya yang awut-awutan serta di kedua siku serta lututnya sangat kotor karena terkena cipratan tanah becek. "Oh Goddess, kau selamat!"
"Louie---" Emma sedikit terkejut ketika Louie berlari dan langsung mendekap tubuhnya, bisa Emma rasakan napas tak beraturan serta degup jantung yang tak berirama itu. Ia juga memahami betapa khawatirnya Louie terutama karena tubuh Louie gemetaran juga. Senyuman Emma terukir kecil. "Terima kasih sudah mencariku dan khawatir padaku …. Louie kau menangis?"
"Shut up," balas Louie yang masih mendekap, meringkuk tubuh Emma sangat erat sedangkan tangisnya tak bisa berhenti, bahkan terisak dan manik matanya memerah. "Aku sangat takut kau tak ditemukan. Kenapa hal buruk ini terjadi padamu."
Mendengar suara Louie yang terisak membuat Emma membalas pelukan itu dengan erat dan mengelus rambut cokelat si mata biru itu. "Tenanglah, aku sudah tidak apa, aku sudah selamat, aku tak terluka parah. Louie jangan menangis, kau seperti yang terluka di sini."
Detik itu, Viole perlahan berdiri, meraih headphone-nya yang sedikit tergores, tetapi tidak rusak. Perlahan ia menatap Emma dan Louie kembali yang entah mengapa dia merasa dejavu, sesaat gambaran di masa lalu terukir melalui manik matanya, begitu hangat sekaligus menyesakkan ketika diingat. Maka dia menuju sisi lain kamar ganti ini, loker yang berbeda sendiri warnanya kemudian Viole buka kunci loker tersebut dan mengeluarkan kotak obat untuk penanganan pertama pada luka.
"Maaf, aku kacau," balas Louie perlahan melepaskan pelukannya dari Emma kemudian duduk seraya menatap si mata hijau yang wajahnya sedikit pucat. "Kau yakin tak terluka parah, wajahmu pucat."
"Aku hanya ketakutan tadi, tapi sudah lebih tenang." Perlahan Emma meluruskan kedua kakinya yang terasa sakit dan perih, lalu ia baru sadar jika pergelangan kakinya terluka dan berdarah. "Oh sial, aku tak sadar kalau pergelangan kakiku luka."
"Ini buruk, bagaimana kau akan mengikuti seleksi jika pergelangan kakimu …." Suara Louie menjadi pelan, lalu dia menatap pada Viole yang berhenti di hadapannya dan Emma.
"Kita obati dulu luka di kakimu," kata Viole kemudian menyerahkan kotak obat kepada Louie yang langsung Louie ambil dan ia segera mencari obat antiseptik, obat tetes luka, serta perban putih karena tidak ada plester luka.
Emma tersenyum simpul. "Terima kasih, kalian sudah menolongku. Maaf jika aku sangat menyusahkan kalian."
"Jangan berkata seperti itu, kau tidak menyusahkan kami sama sekali, benar bukan Viole?" kata Louie seraya menatap Viole kemudian beralih kembali untuk mengobati luka di pergelangan kaki Emma.
"Tidak, kau sangat menyusahkan dan membuat headphone-ku tergores," balas Viole begitu luwes dan tanpa beban.
"Bajingan ini, tidak bisakkah kau mengontrol perkataanmu!" Louie memelototi Viole.
"Maaf jika aku menyusahkanmu dan merusak headphone-mu, aku akan menggantinya." Emma sedikit sedih, tetapi kesedihannya sirna ketika Viole berjongkok, menatap Emma, dan mengambil alih pekerjaan Louie yang hendak melilitkan perban di pergelangan kaki Emma, tetapi sangat berantakan.
"Tidak apa, yang terpenting kau baik-baik saja. Lalu Louie, kau sangat payah dalam merawat luka." Viole kemudian melilitkan perban di pergelangan kaki Emma dengan lebih baik bahkan simpulnya juga lebih rapi. "Jika asal-asalan dan berantakan, Emma akan kesusahan ketika berenang nanti."
"Tunggu, maksudmu Emma akan tetap ikut seleksi meski pergelangan kakinya terluka?" Louie sangat heran, bukankah berbahaya jika Emma tetap ikut seleksi renang padahal sedang terluka.
"Ya dan aku sangat yakin, Emma akan tetap egois untuk mengikuti seleksi ini, bener bukan Nona Walter?" balas Viole menatap pada Emma yang kini terlihat semangat membara di manik matanya.
"Aku akan tetap ikut," balas dia perlahan hendak berdiri jadi lekas Louie membantunya. "Aku akan mengikuti seleksi sialan itu dan menjadi bagian dari anggota klub renang."
Louie tak bisa menolak atau memohon Emma untuk mengundurkan diri karena ia tahu jika klub renang adalah bagian dari mimpinya sejak dulu dan kebahagiaan dia. Jika Emma benar mampu berenang meski dengan pergelangan kaki terluka, maka ia patut untuk mencobanya dan tidak boleh menyerah.
"Ya, aku akan mendukungmu! Kau harus berhasil menjadi anggota dan tendang keluar bajingan yang menyekapmu!" balas Louie kemudian tersenyum tipis dengan tatapan teduh pada Viole sambil mengucapkan, "terima kasih banyak."
****
Takdir berpihak pada Emma. Ia tak menyangka jika para seniornya masih memperbolehkan Emma untuk mengikuti seleksi keanggotaan meski hampir satu jam keterlambatan Emma. Entah alasan apa yang membuat para senior itu mengizinkan Emma untuk tetap mengikuti seleksi, barangkali karena permohonan dari Lola jika Emma habis mengalami ketidakadilan karena ada seseorang yang hendak mencelakakan dia agar gagal menjadi bagian dari anggota renang atau karena ….
"Hey, bolehkah kami meminta nomor ponselmu?" kata salah satu senior dengan rambut pirang pada Viole yang hanya diam duduk tenang di tribune. "Oh ya, temanmu tadi sangat berbakat meski kakinya terluka, tapi dia memenuhi kualifikasi keanggotaan. Jadi alangkah baiknya jika kau berbagi nomor ponselmu karena sepertinya kau akan sering berkunjung untuk melihat latihan temanmu."
Viole tersenyum tipis dan membalas, "enyahlah kalian para pedofil."
Kini sudah Emma ketahui alasan paling utama mengapa para senior itu tetap mengizinkan Emma mengikuti seleksi. Bingung sekali Emma harus berterima kasih dengan cara apa pada Viole karena lelaki itu sudah menyelamatkannya dan dengan wajah cantik Viole, Emma diperbolehkan mengikuti seleksi keanggotaan klub renang.
"Selamat untukmu," sahut Louie kemudian melakukan tos pada Lola. "Selamat karena berhasil bergabung dengan klub renang."
Rasa sakit dan takut di wajah Emma, tergantikan dengan kebahagiaan yang tidak terkira. Para seniornya langsung mengumumkan bahwa Emma dan Lola diterima menjadi anggota klub renang dan wajib mengikuti latihan setiap dua kali seminggu dan diperbolehkan izin jika ada keperluan mendesak.
"Terima kasih," ujar Emma pada Viole, lagi.
"Kau sudah mengatakan terima kasih sebanyak lima kali dalam hari ini," balas Viole.
Senyuman Emma terukir lebar. "Aku benar-benar berterima kasih padamu karena jika kau tidak menyelamatkanku, kuyakin aku akan gagal mengikuti seleksi."
Viole memutar bola matanya. "Ya, selamat untukmu."
"EMMA, KITA JADI ANGGOTA KLUB RENANG!" teriak Lola yang lekas mendekap tubuh Emma dengan erat setelah para senior pergi karena hari sudah sore hampir menjelang malam.
Sesat Viole memperhatikan interaksi mereka. Lola yang sangat bahagia dan tidak ingin melepaskan pelukannya dari Emma, lalu Tyler yang terlihat memberikan selamat juga kemudian menuju Louie dan membahas mengenai apa yang terjadi pada Emma kemudian Louie menjelaskannya. Lalu Ben yang setelah memberikan pelukan singkat pada Emma dan Lola kini bergabung dengan Tyler dan mendengarkan penjelasan Tyler. Louie juga mengeluarkan kameranya dan memperlihatkan wajah gadis yang ia kejar. Louie sangat yakin jika perempuan itu adalah pelakunya. Setelah itu, mereka lanjut membicarakan sesuatu yang kemudian mereka bertiga menatap pada Viole, bisa Viole baca gerakan bibir Tyler yang berkata, "terima kasih sudah menemukan Emma" kemudian Tyler dan Ben merasa kesal karena perempuan yang kemungkinan menjadi dalang di balik semua ini berhasil kabur dari kejaran Louie.
Viole hanya diam memperhatikan mereka, manik matanya kemudian beralih ke seluruh area kolam renang ini. Kini dia bergumam pada dirinya ini dan hanya bisa didengar olehnya. "Mari lihat apakah masalah ini akan menjadi semakin buruk atau tidak."
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
Hmm sudah mulai nih hal-hal mencurigakan terjadi di kehidupan Viole. Kira-kira siapa ya yang mengunci Emma? Lalu apa motifnya melakukan perbuatan itu?!
Ternyata Viole bisa bersikap sweet juga ya^^ Dia paham harus bersikap tidak peduli dan peduli di situasi tertentu!
Lalu mengapa Emma menjerit-jerit ketakutan dan berkata seolah-olah tidak ingin dijerat dan ditangkap yah? Apakah ada trauma di masa lalunya ....
Prins Llumière
Rabu, 11 Oktober 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top