✒ Chapter 04: The Murderer
Gemuruh petir terdengar, tetapi tak kunjung juga hujan turun. Namun, hawa dingin terasa hingga menusuk tulang-tulang. Orang-orang yang masih berada di luar pada pukul 11 malam segera pulang sebelum hujan turun dan membuat mereka basah. Meskipun begitu masih ada beberapa orang yang tidak terusik dengan suasana mengerikan pada malam ini. Masih dengan gemuruh guntur. Seorang laki-laki yang berkisah umur antara 19-20 tahun bersama dengan teman-temannya baru pulang dari malam penuh musik dan tequila. Mereka tertawa ketika salah satu teman mereka beberapa kali muntah akibat tidak tahan dengan rasa pusing dan gejolak di perutnya.
Harusnya kelompok anak kuliah yang terdiri dari tiga orang itu bisa langsung pulang. Ya, itu adalah pilihan yang terbaik dan berdasarkan kenormalan demi keselamatan mereka. Namun, mereka urungkan ketika melihat salah satu anak culun yang mereka kenal, tengah melintas yang sepertinya dia habis dari klub malam yang sama. Maka salah satu lelaki berbadan besar lekas menarik si culun kemudian diempaskan ke tong sampah hingga suara besi berkelontang terdengar.
"Lemparan yang bagus, Clark!" teriak Vernon sambil meninju lengan sahabatnya itu. Ia melangkah pelan ke arah si lelaki culun yang tersungkur di tanah, lalu satu tendangan kuat menghantam perutnya hingga saliva ia muntahkan. Terus-menerus Vernon menendang si lelaki culun yang kini memuntahkan darah bercampur saliva.
"Ya dan Vernon terus menggiring bola, melewati setiap lawannya dengan mudah dan terus melakukan tendangan dahsyat untuk mencetak gol!!! Wow Bung, kau benar-benar hebat!" Dursley berbicara seolah ia adalah komentator dalam pertandingan sepak bola yang tayang di televisi. "Hey, jangan pingsan payah, kau harus tahu betapa kurang-ajarnya dirimu karena berani menggoda calon pacar Vernon!"
Kekehan mereka bertiga terdengar ketika Clark mengangkat tong sampah yang sangat bau dan menjijikan karena ada air tergenang di dalamnya, bayangkan saja betapa kotornya dan membuat perut mual karena isi dari tong sampah itu. Maka isinya disiramkan tepat ke atas kepala si anak culun yang tak urung air itu sempat masuk ke hidung serta mulutnya. Ia terbatuk-batuk, hampir muntah, dan tubuhnya jadi gemetar. Pandangannya yang kabur menatap pada Vernon yang meraih tong sampah lain, kemudian Vernon hantamkan ke wajah si lelaki culun hingga rasa sakit menyeruak. Suara keras berkelontang terdengar. Wajahnya sudah babak belur, hancur, penuh darah, dan luka gores.
"Kasihan sekali banci kita satu ini, kesakitan seperti anak kucing atau anak anjing yang terkena rabies, kau tak bisa meminta pertolongan di gang sempit tak dilewati orang-orang ini," ujar Dursley tertawa bersamaan gemuruh petir terdengar. Langit seolah menggelegar.
"Dengarkan aku," ujar Vernon melempar tong sampah ke samping. Ia sedikit membungkuk untuk menatap si anak culun. "Jangan berani dekati gadisku, aku tahu kau sengaja bertanya mengenai tugasmu itu padanya agar bisa menggodanya."
"Dia bukan gadismu, dia masih lajang," balas si anak culun.
"Apa kau bilang dasar banci!" Clark menginjak dada si culun dengan kuat, hingga ia kesulitan untuk bernapas. Pandangannya semakin kabur. "Arnold si banci!" Tidak punya tenaga sama sekali, Arnold hanya bisa pasrah ketika dadanya diinjak kuat, ditekan, seolah tulang rusuknya akan patah.
"Dia akan jadi kekasihku, sesegera mungkin," balas Vernon yang kini meraih botol wiski yang sudah kosong, ia genggam dengan sangat erat. Sangat siap untuk ia ayunkan dan ia hancurkan kepala seseorang dengan botol kaca ini. "Karena aku tak senang kau mengobrol dengannya, maka akan kubuat kau tidak berani memperlihatkan wajahmu padanya lagi."
"Kumohon ... jangan lakukan itu, aku akan menjauh darinya," ujar Arnold sudah hampir pingsan karena dadanya sesak, rasa takut kini menggerogoti dirinya.
"Lakukan Vernon, jangan dengarkan perkataan si banci ini," ucap Dursley.
"Kau benar." Anggukan setuju terlihat dan Vernon sudah siap untuk menghancurkan wajah seseorang bahkan jika buta pun tak masalah karena lebih baik buta agar si culun tidak melirik perempuan yang Vernon sukai. "Goodbye---ARRGGGHHHHH.
Mata hitamnya membelalak kaget bersamaan jeritan melengking seolah-olah mengalahkan suara gemuruh petir, saat dia melihat ke atas dan menemukan anak panah yang ujungnya lancip, tajam, kini tertanam di dagingnya dan menembus tukangnya, kulitnya sobek, aliran darah merah memancar keluar. Vernon melepaskan genggaman tangannya pada botol wiski, jatuh ke tanah, dam pecah terhambur.
Penderitaan berdenyut di sekujur tubuhnya, gelombang rasa sakit menghantam indranya. Napas Vernon menjadi pendek saat adrenalinnya melonjak, jantungnya berdebar kencang. Sensasi terbakar di sekitaran tangannya semakin parah, membuatnya menggertakkan gigi, hingga dia kembali menjerit-jerit seperti orang kesurupan.
Clark dan Dursley lekas menoleh, tak jauh dari mereka, ada sosok makhluk yang entah sejak kapan sudah berada di sana. Makhluk itu berdiri dengan membawa crossbow, pakaiannya berupa baju dilapisi semacam jubah panjang berwarna gelap, mengenakan topeng kelinci yang terbuat scarecrow berwarna cokelat, ada merah darah di jubah serta celananya seolah ia habis membunuh seseorang sebelumnya.
"Sialan, itu dia ...." ujar Dursley melangkah mundur, ia sangat takut dan tubuhnya gemetar. Lalu terkejut ketika mendengar jeritan lagi dari Vernon yang seraya menggengam erat tangannya karena rasa sakit tak tertahankan telah menggerogoti dirinya, kini Vernon tersungkur di tanah, keringat bercucuran pula.
"BAJINGAN KAU!!!" teriak Clark meraih salah satu botol kaca di tanah kemudian berlari, ia menyerang tanpa rencana, tetapi sebelum botol kacanya ia hantamkan. Si kepala kelinci sudah menembakkan lagi satu anak panahnya tepat ke mulut Clark. Sangat mengenaskan; anak panah itu bergesekan dengan lidah, ujung anak panahnya yang tajam berhasil menembus mulut sampai tengkorak kepala belakangnya. Suara berdebum terdengar, tubuh Clark ambruk dan mengejang, darah terus keluar tanpa henti melalui mulutnya, perlahan hidungnya pula, membanjiri tanah, tergenang di sana, lalu tubuh besar itu terkapar dan ia meregang nyawa.
"Tidak, jangan bunuh aku!!" Dursley berteriak, hendak berlari dari sana, ia tak peduli dengan Clark yang mati atau Vernon terkapar karena tangannya tertembus panah. Namun, baru hendak berbalik, ia sudah ambruk ketika satu anak panah menembus dadanya. Belum usai kesialan yang menimpanya. Ia berteriak hampir memutuskan pita suaranya ketika si topeng kelinci mengeluarkan pisau kemudian menusuk tubuh Dursley berkali-kali hampir sebanyak 21 tusukan yang awalnya Dursley masih terdengar suaranya hingga tak bergeming lagi ketika lehernya ditembus pisau yang kini ambruk lah tubuh itu ke tanah bersamaan darah berceceran di mana-mana.
Si topeng kelinci melirik ke kiri, tak ia temukan Vernon yang ternyata berhasil kabur saat ia sibuk menusuk tubuh Dursley. Si topeng kelinci tak masalah karena ia pasti bisa mengejar Vernon meskipun lari hingga ujung dunia sekali pun; masih bisa ia dapatkan. Jadi ketika si topeng kelinci meraih pisaunya yang tertancap di leher Dursley. Ia mendengar rintihan sakit sosok lelaki yang sebelumnya dirundung ketiga anak sialan ini.
"Terima kasih," ujar Arnold, tetapi ia merasakan hawa mencekam ketika si topeng kelinci berdiri tegak dan menatap padanya. Arnold takkan dibunuh bukan? Si topeng kelinci pasti membiarkan Arnold 'kan karena Arnold adalah korban perundungan Vernon dan lainnya? "Kumohon jangan, kumohon jangan BUNUH AKU, AKU INGIN HIDUP---"
Terlambat.
Satu anak panah berhasil menembus mata Arnold yang kemudian si topeng kelinci menendang anak panah itu agar semakin menembus tengkorak belakang si lelaki culun itu. Darah tak hanya merembes dari matanya, tetapi mulutnya juga. Melihat Arnold masih hidup. Maka terus-menerus si topeng kelinci menendang anak panah yang menancap itu---tendangannya mengeluarkan suara seperti seseorang menginjak-injak daging yang terendam air---dan akhirnya Arnold ambruk ke tanah serta bersimbah darah.
Melihat Arnold mati, di topeng kelinci tak mau membuang waktu jadi ia meraih tas hitamnya, kemudian melangkah dan berlari mengejar Vernon yang masuk ke gang lain yang tak jauh dari gang itu, ada jalan setapak mengarah ke hutan di kota ini. Lari si topeng kelinci sangat cepat, ia juga berhasil menemukan Vernon dengan mudahnya seolah ia punya kemampuan untuk mendeteksi orang lain.
"Jangan bunuh aku, dasar kau pembunuh sialan!!" teriak Vernon terus berusaha menyelamatkan hidupnya meski tangannya sudah mati rasa dan darahnya terus terkuras. "Akan kulakukan apa pun, aku bisa membayarmu, aku bisa berikan apa pun yang kau mau, tapi lepaskan---arrrrgggkkk." Tubuh Vernon lunglai, ia terjungkal, dan jatuh ke tanah. Wajahnya menghantam kerikil dan tanah, terasa sangat ngilu hingga hidungnya mengeluarkan darah. Ia memekik ketika sadar bahwa paha kanannya tertembus anak panah.
Rasanya kehidupan Vernon sudah diambang batas, ia tak bisa menyeret tubuhnya yang terasa mati rasa sementara tak jauh darinya, sosok pembunuh bertopeng gila itu mendekat secara perlahan. Suara sepatu bersinggungan dengan kerikil semakin menambah suasana malam itu menjadi mencekam. Seraya menatap pada si pembunuh, Vernon yang tahu akan mati, maka ia berteriak kencang. "KAU MAU APA DARIKU, DASAR KEPARAT!"
Si topeng kelinci hendak menembak mulut pembual Vernon, tetapi ia kehabisan anak panah. Melihat hal itu, Vernon tertawa. "Kau kehabisan anak panahmu! Sebenarnya apa maumu? Kau itu pembunuh yang berasal dari New Jersey 'kan? Kemudian tiba di Virginia, Pennsylvania, dan di kota lain hingga akhirnya ke kota ini! Apa maumu, menjadi pembunuh seperti Michael Myers ...."
Vernon perlahan menyeret tubuhnya, ketika si topeng kelinci melangkah pelan. "Atau kau mau jadi Jason Voorhees, Freddy Krueger. Ahhhh atau kaumau menjadi Ghostface yang meneror kota Woodsboro!"
Langkah si topeng kelinci berhenti. Membuat Vernon bertanya-tanya, kepalanya sudah sangat sakit, ia tak tahu tujuannya menyebutkan semua itu karena kini pikirannya kacau memikirkan dirinya berasa dekat dengan malaikat maut. Vernon meneguk salivanya ketika si topeng kelinci perlahan melepaskan topengnya. Sungguh ketidakpercayaan dalam diri Vernon memuncak ketika topeng kelinci itu dilepas oleh pemiliknya, ternyata tak ada wajah dibalik topeng itu, entah karena ditutupi kain hitam ataukah ia memang tak punya wajah.
Apakah pembunuh itu adalah manusia?
Hanya saja, pada detik ini, si pembunuh membuka lebar jubahnya dan mengambil topeng baru kemudian memasangnya. Topeng kali ini benar-benar sangat menyeramkan, berkali-kali lipat sangat seram dibandingkan topeng kelincinya.
Topeng itu menempel erat di wajah, menutupi semua elemen identitas pemakainya. Dibuat dari goni tua, topeng ini memancarkan esensi yang menakutkan dan mengerikan. Teksturnya kasar memberikan kontras yang meresahkan bagi indra siapa pun yang melihatnya. Kainnya, sudah usang dan lapuk. Lubang mata, dijahit dengan tali coklat kasar, menjebak pandangan niat jahat. Seolah-olah topeng itu, dalam desainnya yang bengkok, berupaya membekap seluruh jejak kemanusiaan. Tali-tali yang dulunya merupakan untaian tak bernyawa, kini menjadi pembatas yang membuat mata terkurung, selamanya menatap kosong ke dalam jurang kegelapan. Mulutnya, ekspresi yang mengejek dan kejam, juga dijahit dengan tali yang kencang dan tak kenal ampun.
"Sayangnya semua dari perkataanmu itu tak benar." Suara si pembunuh terdengar, tetapi bukan seperti suara manusia pada umumnya, suaranya seolah dibuat atau disamarkan dengan voice changer. "Bersiaplah untuk mati."
"HAHAHAHA." Tawa Vernon terdengar menggelegar bersamaan hujan mulai turun. Sudah gila rupanya dia. Benar-benar gila bersamaan tangisnya turun. "Seperti kata mereka, kau benar-benar gila."
Perlahan si pembunuh menjatuhkan tas hitamnya, membuka resleting, lalu mengambil kapak yang sudah diasahnya selama berjam-jam agar sangat tajam. "Pernahkah kau menonton film Pearl yang diperankan oleh Mia Goth. Kurasa kau akan menonton versi secara langsungnya dan kau adalah korbannya." Maka si pembunuh melangkah cepat sambil menyeret kapaknya.
"Kumohon, jangan bunuh aku, kumohon!!"
"No, you must died like a pussy!"
Malam itu hujan menutupi Kota Erysvale. Membuat jeritan Vernon tidak terdengar saking derasnya hujan. Tak ada yang tahu bahwa di dalam kegelapan malam. Sebuah kapak tajam diayunkan dengan kuat hingga memotong paha seorang lelaki, disusul dengan paha lainnya. Kemudian kedua tangannya, hingga memenggal perutnya dan ususnya terburai keluar. Kapak tajam itu memenggal leher si lelaki dan tak lagi terdengar jeritannya. Sentuhan terakhir dari pembunuh, dia membawa pergi kepala Vernon dan meninggalkan potongan tubuhnya yang terhambur. Akhirnya sang pembunuh hilang di dalam gelapnya hutan. Malam itu benar-benar malam yang mencekam.
Jarum jam kini menunjukkan pukul satu malam. Viole berada di kamar apartemennya dan menyeduh cokelat panas. Ia duduk di kasur seraya mendengarkan suara hujan yang semakin deras. Ia kembali membaca salah satu novel karya Agatha Christie yang berjudul Murder On The Orient Express, meskipun telah di filmkan dan menjadi salah satu film detektif terbaik. Viole masih senang membaca versi novelnya karena lebih kompleks dan detail.
Di tengah acara membacanya, ia berujar, "kuharap ada tokoh detektif secerdas Hercule Poirot di dunia ini, tapi jika yang dihadapi adalah mereka, kurasa Hercule Poirot pun akan menyerah juga." Viole terkekeh. "Ah ataukah aku saja yang menjadi detektif. Namun, aku tidak suka bermain petak umpet."
****
Suasana sekolah hari ini cukup heboh setelah berita yang ditayangkan di televisi mengenai kematian empat orang mahasiswa di Varenheim University, satu-satunya perguruan tinggi yang ada di kota Erysvale. Reporter dan para jurnalis mengabarkan jika keempat mahasiswa yang semuanya laki-laki itu tiga orang yakni Vernon, Dursley, dan Clark berasal dari program studi Ekonomi dan Bisnis sementara Arnold merupakan mahasiswa Kedokteran. Mereka ditemukan mati dalam keadaan mengenaskan, tiga lelaki ditemukan di gang yang sama kemudian tubuh mereka bersimbah darah, ada anak panah menancap di tubuh mereka serta ada yang mendapatkan 21 tusukan sangat brutal. Sementara satu orang lainnya yakni Vernon yang paling mengenaskan karena tubuhnya terpotong-potong seperti daging cincang serta kepalanya tidak ditemukan. Saat ini pihak kepolisian setempat melakukan investigasi serta mereka bekerja sama dengan dokter forensik untuk segera melakukan autopsi dan memeriksa tubuh para korban.
"Kalian tahu, kata kakakku yang berkuliah di Varenheim, si Arnold yang jadi korban juga. Ternyata paling sering ditindas oleh Vernon dan lainnya. Ada yang berkata jika malam itu Arnold sempat ditindas oleh mereka." Salah satu murid di kelas Viole berujar. Sama sekali tidak berniat memelankan suaranya.
"Kenapa dia ditindas?"
"Sudah jelas bukan? Dia culun dan payah sangat pantas dijadikan samsak tinju. Lagi pula dunia ini menganut hukum rimba, yang kuat akan selalu bertahan dan yang lemah pasti gagal, tersingkirkan, bahkan mati."
Dikarenakan Viole hanya menggunakan earphone-nya sebelah saja, ia masih bisa mendengar jelas pembicaraan para murid itu yang kini beberapa murid entah laki-laki atau perempuan jadi ikut menimbrung.
"Kurasa lelaki bernama Arnold juga begitu, dia kalah dari Vernon. Namun, tak kusangka dia mati tidak di tangan Vernon, tapi pembunuh gila yang bahkan Vernon dan teman-temannya juga mati terbantai oleh pembunuh itu," balas murid lelaki berambut blonde.
"Ini sangat mengerikan, polisi mengatakan jika Vernon yang paling mengenaskan. Tubuhnya terpotong seperti daging babi cincang. Kurasa dia sempat kabur, tapi berhasil dikejar si pembunuh dan dia berakhir mati paling sadis."
Mereka terus membicarakan mengenai pembunuhan yang terjadi tadi malam. Ada kabar dari pihak kepolisian jika gang tempat terjadinya pembantaian, ternyata ada CCTV dari apartemen salah satu warga yang mengarah keluar, tepat mengarah dan merekam ketika terjadinya perundungan yang dilakukan oleh Vernon kepada Arnold. Namun, saat CCTV merekam Vernon hendak memukul kepala Arnold dengan botol kaca yang artinya setelah itu si pembunuh datang. Tiba-tiba saja CCTV di apartemen itu rusak dan seluruh file atau datanya menghilang begitu saja tanpa sebab. Pihak kepolisian telah melakukan segala cara, tetapi seolah ada sihir yang membuat rekaman dari CCTV lenyap di saat si pembunuh menampakkan dirinya.
"Bagaimana bisa? Apa pembunuh itu yang merusak CCTV-nya?"
"Bagaimana caranya? Lagi pula CCTV itu berada di dinding apartemen yang cukup tinggi, mana ada waktu dia memanjat apartemen itu untuk merusak kameranya. Apalagi CCTV-nya rusak ketika dia muncul."
"Berkacalah dari film thriller, pembunuh biasanya punya rekan, barangkali rekannya itu yang menghancurkan CCTV, jika pun tidak, pasti ada cara gila yang dilakukan si pembunuh." Para murid itu menatap pada Louie yang entah sejak kapan sudah nimbrung percakapan mereka.
"Kau benar, bisa saja dia punya rekan," balas murid lain, "tapi aku masih tak habis pikir. Apa bisa seseorang menyabotase CCTV secepat itu, lalu bagaimana bisa si pembunuh tahu kalau Vernon dan lainnya berada di gang sempit itu. Pemilik CCTV juga baik-baik saja, tidak terluka jika misal rekan pembunuh menyelinap ke dalam apartemen dan menyabotase CCTV."
"Kurasa Vernon sejak awal jadi target si pembunuh." Hening terdengar sesaat dan euforia kelas itu jadi mencekam. Kapan guru mereka datang?! Karena jika terus membicarakan hal ini, mereka merasa takut, tapi di sisi lain mereka sangat penasaran.
"Aku jauh lebih setuju jika pembunuh itu tidak menargetkan siapa-siapa," balas murid lain dengan seringai kecil. "Maksudku hanya membunuh saja, tanpa target, demi kesenangannya."
"Hell, you're nuts," balas perempuan dengan rambut sebahu.
Salah satu murid perlahan berujar, dia agak ragu-ragu sebelumnya karena merasa sangat kebingungan. "Aku ada pertanyaan, sebenarnya pembunuh yang kita bicarakan ini siapa? Mengapa dia sangat terkenal?"
Semua menatap pada murid perempuan dengan rambut hitam itu. "What a silly question!" balas seseorang yang duduk di sampingnya. "Kau sungguh tak tahu siapa yang kita bicarakan?"
"Tidak." Dia menggeleng yang membuat beberapa temannya jadi geram, detik selanjutnya mereka pun mulai tertawa karena merasa betapa bodohnya teman mereka itu. Di kala tawa mereka masih terdengar. Louie berdiri dari kursinya kemudian duduk persis di samping Viole yang fokus membaca dengan earphone memutar musik.
"Tidakkah kau mau bergabung dengan mereka dibandingkan terus membaca buku ini?" Louie berujar seraya menopang wajahnya dengan tangan yang dikepal, ia menatap Viole, sengaja hendak mengganggu lelaki itu.
Tidak Viole sahut, dia masih fokus membaca novelnya yang memasuki adegan ketika Hercule Poirot mulai memecahkan satu per satu kepingan puzzle yang mengarah pada pembunuh di kereta Orient Express. Louie merasa sangat kesal. Maka ia menarik novel tersebut, terlepas dari tangan Viole, kemudian ditaruhnya ke meja di samping Louie, entah meja siapa itu, ia tak peduli. Intinya ia harus menjauhkan novel itu dari Viole.
"What's your problem?" balas Viole menoleh pada Louie. Entah mengapa wajah lelaki cantik itu jadi semakin terpancar terutama ketika terkena sinar matahari. Beruntung saja Viole bukanlah vampir di film Twilight yang akan bersinar seperti berlian jika terpapar sinar matahari.
"Aku hanya penasaran, apa kau tak mau ikut nimbrung dengan mereka? Kau seperti kutu buku karena hanya berkutat pada novel dan buku pelajaran. Lagi pula, aku sejak tadi mau memastikan, kau lihat berita 'kan kalau ada pembunuh berantai berkeliaran di kota ini? Atau kau pasti tahu kalau pembunuh yang kita bicarakan bukan sekadar pembunuh baru yang gila, tetapi dia sangat-sangat gila karena rumornya dia sudah melakukan pembunuhan di kota-kota lain sebelum kemari---"
"I don't give a damn," balas Viole yang langsung membuat bibir Louie terkatup. Sungguh lelaki cantik itu sedari awal tak menghiraukan perkataannya! Kini pun Viole berdiri, meraih bukunya kembali, lalu ia masukkan ke dalam tas kemudian melangkah keluar.
"Kau mau kemana, sialan? Temanmu sedang bercerita di sini dan kau malah mau kabur!" balas Louie.
"Toilet," balas Viole langsung berjalan keluar kelas sementara Louie hanya memperhatikan saja punggung lelaki itu yang hilang di balik pintu kelas.
"Sialan, kalau ini di dunia film. Kuyakin dia akan jadi tokoh utamanya atau barangkali antagonisnya," gumam Louie memikirkan banyaknya kemungkinan termasuk melejitnya penonton film jika wajah Viole ditampilkan jadi pemeran utama.
****
Ternyata adegan yang ada di film sebenarnya banyak terjadi di dunia nyata, jadi tak sekadar rekayasa atau ditambahkan bumbu fiksi. Semua itu juga berasal dari apa yang sering terjadi di lingkungan sosial. Jadi tidak mengherankan jika suatu kejadian di film sebenarnya diangkat dari dunia nyata. Inilah pula yang dinamakan cerminan realitas sosial masyarakat.
Viole baru keluar dari toilet setelah mencuci tangannya, ia melihat di bilik toilet lain, ada asap rokok yang sedang membumbung, padahal sudah jelas aturan kalau para murid dilarang merokok di area sekolah terutama toilet, tetapi masih banyak yang melanggar. Kemudian kebanyakan toilet ini digunakan anak angkatan tahun pertama. Bukankah artinya mereka belum cukup umur untuk merokok? Ah, Viole membantah pikirannya sendiri karena ia ingat kalau setiap negara punya aturan dan budayanya masing-masing.
"Kurasa sebentar lagi aku akan menemukan anak-anak di sini mulai pergi ke klub malam dan meminum Vodka." Keluar dari toilet, ia memasang kembali earphone-nya setelah mengecek pemberitahuan di grup kelasnya kalau para guru ada rapat dadakan.
Kini dia melangkah, menyusuri koridor yang cukup banyak murid di luar, mungkin karena adanya rapat dadakan ini jadi para murid memilih untuk berada di luar kelas dibandingkan berdiam diri atau berkutat pada buku-buku. Viole terus mengabaikan tatapan dan pandangan orang-orang padanya, serta bisikan dan cekikikan ketika Viole berjalan melewati mereka. Entah sampai kapan ia akan terus dijadikan sorotan hanya karena wajahnya padahal jujur saja cukup banyak yang berwajah bagus dan nyaman di pandang di sekolah ini. Apakah mereka terlalu melebih-lebihkan atau karena kejadian ia mencampakkan ketua ekskul cheerleader jadinya ia dibicarakan dan pembencinya mulai bermunculan.
Lelaki itu tersentak ketika sesuatu menampar leher belakangnya, ia lalu menatap pada seorang perempuan yang mengenakan bando merah muda dan sepatu yang tingginya hampir selututnya. "Kutemukan kau, bocah sialan."
Viole kesal dengan kehadiran perempuan itu lagi yang membuatnya semakin jadi perhatian murid-murid di sini. "Kau mau apa? Menyingkirlah karena aku tak mau berurusan denganmu!"
"Wow, take it easy, dude," balas Chelsea, "kau punya permintaan maaf padaku karena mengabaikanku kemarin."
Baiklah bagaimana jika percepat saja masalah ini dan segera menjauh dari perempuan menyebalkan itu. "Sorry ... lihat, aku sudah meminta maaf, jadi enyahlah." Viole melangkah melewati Chelsea begitu saja yang membuat manik matanya membulat saking terkejutnya dia dengan perlakukan Viole.
"Berengsek, katakan maaf itu dengan tulus! Kau tidak terdengar tulus sama sekali!" Chelsea mulai mengikuti langkah Viole setelah mengabaikan telepon dari Monica. Perlu diketahui jika Chelsea kabur dari Monica untuk mencari Viole. "Hey, dengarkan aku."
"Enyahlah."
Chelsea sudah mengumpat berkali-kali di dalam hati, andai dia bisa menampar wajah lelaki ini, pasti sudah dia lakukan, tetapi dia punya citra dan harga diri yang harus dijaga sebagai ketua cheerleader. "Setidaknya perkenalkan namamu siapa!"
Bukannya menjawab, Viole malah meraih ponselnya dan menaikkan volume musiknya. Chelsea menggigit bibirnya dan berujar, "kau kejam sekali ya! Aku hanya bertanya nama dan kau abaikan begitu saja, apakah salah jika seseorang bertanya nama?! Hey, foolish donkey, jangan abaikan aku!"
Chelsea terkejut ketika Viole berhenti dadakan. Saat tubuh Chelsea bertabrakan dengan tubuh Viole, sengatan listrik mengalir melalui dirinya. Indranya terbangun dan gadis itu menarik napas dalam-dalam, hanya untuk disambut dengan aroma memabukkan yang menyelimuti dirinya seperti pelukan yang mempesona. Ini adalah aroma parfume Viole, ramuan yang membuat Chelsea sesaat merasa terpesona dan menginginkan lebih.
Suara Chelsea terdengar gemetar, ia berusaha mengembalikan kesadaran dirinya. "Kenapa tiba-tiba berhenti?" teriak Chelsea yang merasa jika wajahnya jadi memerah.
Viole berbalik yang kini ia jadi sangat dekat dengan Chelsea, mata mereka saling bertautan terutama karena tinggi Viole hampir setara Chelsea. Lelaki itu menatap sinis dan menunjukkan kekesalan. "Violetta."
"Huh?" Chelsea masih mencoba mencerna perkataan lelaki itu. Pikirannya melayang-layang karena aroma parfume Viole menari-nari di udara, sebuah simfoni nada halus yang membelai indra penciuman Chelsea. Dimulai dengan semburat lemon, zesty, dan menyegarkan. Bercampur dengan kehangatan kayu yang halus, mengingatkan pada kayu ek atau cedar tua. Ini menambah kedalaman dan kompleksitas pada parfume-nya, membumi dan memberikan sentuhan maskulinitas. Hingga aroma terakhir menjadi campur parfume itu adalah musk yang menjadi pusat perhatian, menambahkan sentuhan sensualitas dan kedalaman pada aromanya.
"Violetta Beauvoir, itu namaku," balas Viole, "sekarang kau sudah tahu jadi pergilah, enyahlah karena aku muak mendengar suaramu."
Sebisa mungkin Chelsea harus sadar jadi dia berucap, "Violetta." Chelsea mengulangi nama itu yang langsung saja dia tertawa kencang, kesadarannya kembali setelah sesaat terpesona pada Viole. Kini banyak murid menatap heran pada Chelsea. Oh wow, bisa-bisanya si anak baru membuat ketua cheerleader tertawa begitu keras. Kira-kira ada gosip terbaru apalagi nanti?
"Jesus Christ, namamu Violetta, aku tak menyangka, tapi sangat cocok untukmu terutama kau punya wajah yang cantik." Ia berujar di sela-sela tawanya. Tak disadari oleh Chelsea jika perkataannya itu membuat wajah Viole jadi masam, ia kesal, dan akhirnya pergi begitu saja meninggalkan perempuan itu.
"Hey, kau marah padaku?!" teriak Chelsea kembali mengejar lelaki itu. "Violetta!"
Entakan kaki Viole terhenti kemudian menatap tajam Chelsea membuat gadis itu terpikat oleh kecantikan yang menghiasi wajah lelaki muda tersebut. Meskipun kemarahan berkobar di mata Viole, wajahnya adalah kecantikan halus menantang logika, komposisi fitur yang membuat siapa pun yang melihatnya akan terpesona. Kulitnya putih krem adalah kanvas menonjolkan setiap garis dan kontur, memberikan kontras memukau pada rambutnya yang gelap dan acak-acakan menambah kesan cantik dan candu di wajahnya.
Tulang pipinya yang tinggi, tampak seperti diukir oleh tangan ahli seorang seniman, memberikan sentuhan keagungan pada wajahnya. Bersudut dan menawan, mereka memberikan daya tarik tertentu pada penampilan Viole, meningkatkan simfoni keindahan yang mengelilinginya. Hal ini seolah-olah membingkai wajahnya dengan cara yang hampir puitis.
Tanpa sadar senyuman Chelsea terukir. Bagaimana bisa Tuhan menciptakan manusia berwajah seperti itu? Kini terdengar suara Viole yang cukup rendah dan dingin. "Dengarkan aku, kau sudah tahu namaku, aku juga sudah meminta maaf padamu. Jadi pergilah karena kau sangat membuatku risi. Lalu jangan panggil aku dengan nama lengkapku, aku benci mendengarnya terutama keluar dari dalam mulutmu itu."
Sungguh sangat membingungkan bagi Viole, entah setiap perempuan bersikap seperti Chelsea---menyebalkan, mengganggu, manja, bodoh, angkuh, gila---atau hanya dia seorang? Karena bukannya menurut untuk pergi, gadis itu malah betah pada Viole. Chelsea pun berujar, "wah, itu kalimat terpanjang yang diucapkan olehmu. Aku harus memberimu apresiasi karena jupikir kau sangat hemat dalam bicara."
"Fuck you." Viole mengumpat tepat di hadapan Chelsea
"Fuck you too," balas Chelsea tersenyum kecil.
Keduanya teralihkan ketika beberapa murid berlari menuju kantin sekolah. Sepertinya terjadi sesuatu di kantin tersebut, tetapi karena Viole tak peduli jadi dia berniat kembali ke kelasnya. Sayangnya gadis gila di sampingnya ini malah menyeret Viole ke kantin bahkan berani menggenggam pergelangan tangannya. Viole berusaha melepaskan genggaman tangan Chelsea, tetapi dibalas, "jangan kasar sama perempuan! Kau laki-laki gentle atau preman berengsek?"
Sesaat Viole tersinggung yang akhirnya ia biarkan dan mengalah pada gadis itu. Tidak masalah, sekali saja ia mengalah karena setelah itu, ia pastikan jika Chelsea akan bertemu dengan 'Annabelle' atau 'Brahms' agar gadis itu bisa bungkam selamanya!
"Kupikir ada hal seru di sini seperti kedatangan Lana Del Rey atau Olivia Rodrigo, ternyata hanya perundungan bodoh," ujar Chelsea yang masih menggenggam tangan Viole, sontak lelaki itu menepis tangannya. "Kenapa dilepas, nyaman loh tadi kau menggenggam tanganku. Aku tak pernah membiarkan orang lain menyentuhku."
Tidak Viole sahut perkataan Chelsea karena kini dia menurunkan earphone-nya kemudian berfokus pada para murid yang mengelilingi salah satu meja di kantin ini. Ketika beberapa murid melangkah mundur karena terjadi perkelahian, detik ini Viole bisa mengenali salah satu perundung yang tengah mengganggu seorang laki-laki rambut keriting. "Itu Tyler," gumam Viole karena sangat mengenali Tyler terlebih ada Lola dan juga Ben di dekatnya. Kini Tyler membanting tubuh lelaki berambut keriting ke lantai.
"Kapan bubur spesialnya selesai dimasak? Anak ini sudah sangat tidak sabar ingin merasakan bubur buatan kalian." Suara Tyler terdengar.
"Sebentar lagi," balas Ben seraya menuangkan jus jeruk dan susu cokelat ke atas mangkuk sup. Kemudian diaduk.
"Hanya tinggal beberapa sentuhan terakhir," tukas Lola memasukkan sepotong bolu kemudian dia hancurkan dengan sendok sehingga semakin menyatu dengan sup tersebut. "Sudah Tyler, silakan suruh si culun itu memakannya!"
"Bagus, Ben bantu aku!" teriak Tyler mengomando, maka dia dan Ben mengangkat tubuh si anak culun berambut keriting. Kemudian kepala anak itu diarahkan, didorong agar dia memakan sup menjijikan yang entah sudah dicampur apa lagi selain minuman jus jeruk, susu cokelat, dan sepotong kue.
"Cepat makan payah, kami sudah menyiapkan bubur yang lezat untukmu," teriak Ben semakin mendorong kepala si anak culun karena sejak tadi dia melawan.
"Anak anjing harus menurut ketika diberi makan," tukas Tyler memukul leher si anak culun agar dia berhenti melawan.
Viole dan Chelsea hanya diam memperhatikan mereka, perundungan itu dibiarkan karena murid lain malah mendukung dan bersorak. "Kurasa yang culun itu namanya Eddie, dia bermasalah karena pada Minggu pertamanya, dia merekam perempuan dari ekskul renang yang sedang berganti pakaian. Perempuan malang yang tubuhnya direkam."
"Jadi itu alasan dia dirundung?" balas Viole.
"Sepertinya begitu, dia hanya mendapat skorsing selama beberapa bulan setelah ketahuan dan orang tuanya dipanggil ke sekolah, kurasa masa skorsingnya sudah selesai jadi dia di sini."
"Oh," balas Viole begitu singkat.
"Aku malah senang dia dirundung, manusia cabul dan berotak porno tidak pantas hidup, mereka lebih pantas mendapatkan hukuman dari masyarakat sosial," balas Chelsea dengan wajah datar dan terkekeh kecil ketika Eddie mulai memakan bubur menjijikan itu, begitu jelas wajah Eddie yang seperti hendak muntah, tetapi ditahan oleh Tyler dengan cara ditendang pergelangan kakinya. "Kau setuju denganku bukan, Violetta? Ataukah kau itu tipe manusia yang menjunjung tinggi kebaikan dan keadilan jadi kau merasa perundungan ini tidak benar?"
"Entahlah, sebenarnya aku tak peduli," balas Viole hendak meraih earphone sebelah kanannya, tetapi lengannya ditahan oleh Chelsea, kini gadis itu mendekatkan earphone Viole ke telinganya dan mendengar musik diputar oleh Viole. "Taylor Swift, ternyata seleramu tidak membosankan, tapi favoritku adalah Lana Del Rey."
Viole melirik pada gadis itu, baru ia sadari jika Chelsea lebih tinggi darinya. Ah, bisa-bisanya dia kalah tinggi dari seorang perempuan. "I got that summertime, summertime sadness, apa itu jadi favoritmu."
"Ya!! Salah satu yang jadi favoritku, aku juga menyukai Queen of Disaster!" balas Chelsea tersenyum lebar. "Kaulumayan asyik, Violetta."
"Sialan, sudah kubilang jangan panggil dengan nama itu! Cukup dengan Viole, V-i-o-l-e!" balas Viole, sempat dia mengeja namanya karena rasa kesal pada Chelsea, ia lalu menarik earphone-nya dengan agak kasar.
"Jahat kau, sudah kubilang jangan kasar pada perempuan, bersikaplah lembut, V-i-o-l-e," balas Chelsea berpura-purq memasang wajah cemberut dan marah padahal dia merasa lucu bisa menggoda lelaki cantik itu. Perlahan Chelsea terdiam ketika dua orang perempuan berlari ke arahnya dan Viole. Salah satunya ia kenal, Lola Powell yang katanya calon anggota klub renang sekolah ini. Ah, ada juga si perempuan dengan manik mata hijau, siapa ya namanya?
"Viole!! Kau di sini juga!" teriak Emma lekas merangkul lengan Viole. "Apa kau sendiri saja, tidak bersama Louie?" Baru sadar Emma jika di sebelah Viole ada kakak kelasnya. "Halo, kau pasti Chelsea."
"Hai," balas Chelsea yang melirik pada Lola karena sejak tadi menatap sinis padanya. "Kalian berteman?"
"Iya," balas Lola, "kami di grup yang sama."
"Wah tak kusangka kau kenal dengan mereka," balas Chelsea seraya menatap pada Viole seolah meminta penjelasan, bagaimana bisa si cantik itu berada di kelompok yang sama dengan para perundung?
"Kalian saling kenal," tanya Emma melepaskan tangan Viole karena ia baru sadar sedekat itu dengan Viole.
"Lumayan, kami pernah mengobrol beberapa kali." Sesaat Chelsea tidak senang karena Viole berada di kelompok ini, tetapi akan jadi masalah juga kalau tiba-tiba Chelsea ikut campur apalagi berniat menarik anak baru ini ke kelompoknya atau Chelsea menjadi sangat dekat dengan Viole. Chelsea harus menjaga harga dirinya sebagai ketua ekskul cheerleader.
"Baru dua kali," koreksi Viole dan Lola hampir tertawa.
"Kalau begitu, aku ambil dulu ya temanku ini, ayo greenie," sahut Lola karena Tyler dan Ben sudah selesai bermain-main---Eddie sudah kabur sejak tadi setelah menghabiskan sup menjijikannya---dan kini melambaikan tangan pada mereka.
"Baiklah silakan," balas Chelsea yang kemudian Emma menarik lengan Viole sementara Lola masih menatap tak senang. Lola merasa jika dia tak kalah cantik dengan Chelsea, ah tunggu saja sampai dia jadi kebanggaan ekskul renang nanti.
"Hey, kelas sebentar lagi dimulai, kalian mau apa," ujar Viole merasa kesal.
"Berkumpul dan mengobrol, oh ayolah greenie, guru-guru masih rapat. Kelas akan dimulai lagi setelah makan siang," balas Lola yang kini setelah mereka berkumpul. Mereka menuju luar gedung dan menempati salah satu meja kayu di bawah pohon rindang.
Monica menyusul Chelsea karena sejak tadi temannya itu tidak kunjung kembali ke kelas. "Kau pergi ke mana saja, sialan!?" Suara napasnya menderu seolah habis ikut lomba lari.
"Aku hanya mencari tahu siapa nama anak baru yang cantik itu," balas Chelsea.
Tidak Monica sangka jika Chelsea punya waktu untuk mencari tahu nama si anak baru. "Baiklah sekarang kau sudah tahu namanya jadi mari lupakan anak itu sejenak. Kau tahu akan kabar para korban semalam," sahut Monica membicarakan tentang pembunuhan yang baru-baru ini jadi perbincangan.
"Apa?" Chelsea berjalan beriringan dengan Monica hendak menuju kelas mereka.
"Kepalanya sudah ditemukan pihak kepolisian kota ini, deputy langsung yang menemukannya di perbatasan kota, kepala itu digantung dengan rantai besi seperti ikan habis ditangkap. Lalu apa kau tahu jika di lidah kepala itu tergantung sebuah tulisan ...."
"Tulisannya berisi apa?" Chelsea menganggukkan kepala ketika beberapa teman cheerleader-nya menyapa.
"Kepala pelacur ini diberikan secara gratis."
Tanpa ada yang sadar, bahkan Monica sekali pun, perlahan Chelsea menyeringai kecil. Seolah dia senang mendengar berita ini. "Berita yang bagus karena kurasa kita akan mendapatkan libur selama beberapa hari. Aku akan pergi membeli sepatu baru."
****
Emma tidak mengizinkan Louie maupun Viole untuk pergi ketika mereka sudah sepakat berkumpul setelah pulang sekolah. Jadi siang tadi mereka gagal berkumpul karena rapatnya selesai lebih cepat, Viole langsung kabur ke kelasnya setelah tahu akan hal itu. Membuat Emma jadi tersinggung seolah Viole tidak ingin berkumpul dengan kelompok mereka. Jadi agar tidak membuat Lola, Tyler, dan Ben tersinggung, ia akan memaksa kedua lelaki itu untuk berkumpul di lapangan basket mumpung cuaca hari ini lebih adem.
"Jadi kapan kalian akan tes anggota renang," tanya Louie karena ia bingung hendak memulai percakapan apa sementara Tyler dan Ben sejak tadi melemparkan bola basket ke dalam ring, sisanya duduk di pinggir lapangan. Viole sedikit menjauh karena enggan terpapar sinar matahari.
"Sabtu nanti," balas Lola seraya meminum es cokelatnya. "Jadi aku dan Emma untuk Sabtu ini sangat sibuk."
"Kami boleh menonton?" tanya Louie.
"Kurasa tidak karena kami seleksi keanggotaan," balas Emma menekuk lututnya kemudian dia peluk. "Aku gugup."
"Jangan khawatir, kau ada aku. Percaya dirilah," balas Lola.
"Dia benar," sahut Tyler kemudian bersorak karena dia berhasil memasukkan bola ke ring lagi sehingga ia lebih banyak mencetak angka dibandingkan Ben. "Kau harus percaya diri."
"Sialan," ucap Ben karena kalah dari Tyler. "Percayalah kalau kalian pasti lulus dan menjadi anggota terbaik seperti kami di tim basket."
"Huh, kalian saja belum mewakilkan apa pun untuk sekolah ini," sahut Lola.
"Tunggu saja nanti, kami akan langsung jadi pemain utama," balas Ben seraya menjentik dahi Lola, gadis itu memekik sakit.
"Ah ya, kalau renang baru seleksi anggota, kenapa tim basket sudah seleksi lebih dulu?" tanya Louie.
"Kami berdua sejak sekolah menengah pertama sudah jadi anggota jadi akrab dengan tim basket di sini, setelah diterima, kami langsung dimasukkan ke tim," jelas Tyler duduk persis di samping Emma dan menenggak minumannya hingga ludes. Sesaat Emma tersenyum karena Tyler memilih duduk di sampingnya. "Bagaimana denganmu, kau tak mau bergabung ke ekskul basket?"
"Aku tak bisa," balas Louie, "tapi aku akan masuk ke ekskul jurnalistik dan mengambil bagian fotografi."
"Ekskul yang payah dan culun." Tyler tertawa yang langsung dipukul pelan oleh Emma di bagian lengannya.
"Jangan katakan itu, tanpa ekskul jurnalistik siapa yang akan mengangkat berita perlombaan," sahut Emma yang langsung saja Tyler meminta maaf meski terlihat dia tak serius.
"Baiklah, baiklah, aku minta maaf. Lalu bagaimana dengan yang di ujung sana, kau akan bergabung ke ekskul apa?" ucap Tyler yang membuat Viole menoleh pelan.
"Kutebak ekskul baca buku atau Dnd yang isinya anak-anak payah dan aneh," timpal Ben.
Lola tertawa. "Kurasa Viole bisa masuk tim yang jauh lebih bagus dari kedua itu."
"Aku tak mau ikut ekskul mana pun," balasnya begitu singkat.
Tyler sudah menduganya. "Kau akan dikira sosiopat jika terus bersikap tertutup seperti itu. Mengapa tidak bergabung dengan basket?"
"Aku tak mau terpapar sinar matahari," balas Viole.
"Huh!" Emma jadi tertawa. "Apa kau itu vampir sampai tak mau terkena sinar matahari?"
"Kurasa karena kau tak mau kehilangan wajah cantikmu," balas Lola.
"Jangan mengatakan jika aku cantik, aku tak suka," balas Viole meletakkan bukunya dan melepaskan earphone-nya.
"Kau akan semakin dihina cantik jika terus mengurung diri. Jangan sampai perempuan yang malah memaksa untuk menidurimu." Tyler berdiri seraya merenggangkan tubuhnya.
Lola lekas berucap, "apa kau tak tahu Tyler, tadi Viole bersama Chelsea si pemandu sorak. Kuyakin dia berniat menculik Viole, benar 'kan? Apa dia mengganggumu, dia menggodamu? Aku heran kenapa orang sejelek Chelsea itu masih banyak yang suka, lebih baik aku dan Emma dibandingkan si jalang itu."
"Tolong jangan katakan fakta itu," timpal Ben, "tapi kurasa dia jadi jajaran perempuan paling cocok untuk ditiduri. Salah satu anggota basket bilang kalau Chelsea pernah mabuk dan dia benar-benar panas saat itu."
"Kau coba lakukan, dia pemandu sorak, kurasa kakinya bagus, tiduri saja dia!" tukas Tyler yang kini euforia pembicaraan mereka sudah mulai terasa tak nyaman. Emma saja menekuk lututnya lagi dan berusaha menyembunyikan wajah tak sukanya. Sedangkan Louie berfokus pada ponselnya dan pura-pura tak mendengar. Ia sepertinya sudah sering berada di situasi ini dan tak senang, tetapi tidak bisa kabur.
"Berhentilah memujinya, tapi kalau dia jadi penari pole di klub malam, pasti sangat cocok untuknya," balas Lola yang tertawa lalu diikuti tawa Tyler dan Ben sementara Emma hanya tersenyum tipis karena tak enak jika tidak menanggapi perkataan Lola.
"Terlebih lagi jika dia mabuk, apa yang akan dilakukannya nanti," sahut Tyler. Hal ini membuat Emma mengepalkan tangannya diam-diam. Ia tak senang pembicaraan mereka, tapi ia tak berani menegur mereka.
"Hey!" teriak Louie yang langsung saja ketiganya menoleh termasuk Emma. Tyler menatap sinis, seolah Louie sengaja memotong obrolan menyenangkan mereka. "Kalian besok melakukan apa? Maksudku kita diberi dua hari libur ditambah hari Sabtu dan Minggu jadi empat hari. Bukankah hari libur harus kita manfaat?"
"Kau cerdas juga Louie, aku berpikir untuk pergi bermain di luar." Tyler tersenyum. "Tak peduli dengan pembunuh gila yang berkeliaran, aku tak mau waktu liburku jadi sia-sia karena hanya mendekam di rumah, sangat membosankan."
"Kau benar. Pembunuh berantai tidak akan menghentikanku untuk pergi ke mal. Bagaimana jika besok atau lusa, kita bersama-sama bermain di luar? Pergi ke kafe atau mal, kurasa ada restoran makanan baru di mal yang katanya cabang dari restoran yang seperti di New York," sahut Lola.
Emma mengangguk bersemangat. "Ya, mari kita pergi keluar, aku ingin jalan-jalan bersama kalian."
"Ide bagus! Lagi pula si greenie juga perlu berkeliling kota ini, benar bukan?" Ben menatap pada Viole yang perlahan lelaki itu menoleh dengan alis terangkat. "Bagaimana?"
"Viole pasti setuju, benar bukan?" Emma berucap seolah ingin sekali Viole ikut bermain bersama mereka.
Sesaat Viole terdiam, ia menyahut, "akan kupikirkan."
"Tidak perlu berpikir, kau kuanggap setuju!" sahut Lola, "kau harus ikut kami! Tidak ada penolakan. Louie juga ikut."
"Baiklah, baiklah," balas Louie tanpa ada yang sadar, ia memaksakan senyumannya.
"Bagus! Kita pergi bersama esok hari!" ujar Emma lalu menoleh pada Tyler yang tersenyum tipis padanya. Sesaat Emma merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tak sabar pergi bersama teman-temannya terutama dengan Tyler.
Viole kembali menggunakan earphone-nya, memutar musik yang kali ini penyanyinya adalah Lana Del Rey, ia berfokus pada novel digital yang ada di ponselnya. Lalu diam-diam tersenyum tipis dan penasaran, kira-kira apa yang akan terjadi ke depannya? Mungkinkah tinggal di kota ini adalah pilihan yang tepat atau malah sebaliknya?
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
Haloo kembali lagi dengan Prins Llumière. Cerita ini ada sedikit pembaharuan jadi sempat gue unpublish dulu^^
Bagaiamana dengan adegan pembunuhnya apakah kalian suka?
Lalu Chelsea sudah mulai tertarik sama Viole~ tapi jangan lupakan jika cerita inj bukan romance bahagia, tapi thriller pembunuhan^^
Prins Llumière
Sabtu, 23 September 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top