Chapter 03: New Greenie
Hari ini berakhir juga, Viole merasa seluruh tenaganya terkuras dan paling banyak habis ketika tur kecil-kecilan bersama Emma Walter. Gadis itu benar-benar musuh alami bagi Viole karena energinya yang sangat banyak, ia tidak lelah berbicara panjang lebar, dan ada banyak topik yang dibahas olehnya.
Kini sebelum kembali ke apartemennya, Viole mampir ke kafe es krim dan minuman karena panasnya hari ini benar-benar menyengat. Beruntungnya dia mengenakan tabir surya karena seseorang pernah berkata padanya untuk melindungi wajahnya dari jahatnya sinar matahari. Jadi Viole hanya menurut saja ketika diberitahu. Atas inilah ia rajin pula menggunakan tabir surya.
Suara lonceng kecil terdengar ketika ia memasuki kafe yang menjual es krim dan minuman. Beruntungnya karena tidak banyak yang mengantre, jadi dia mulai menilik menu di kafe ini. Sepertinya ia akan membeli minuman dengan rasa jeruk nipis yang dicampur dengan susu atau susu dicampur jeruk nipis? Intinya ia akan membeli minuman yang menyegarkan tenggorokannya. Pelayan di depannya menjelaskan jika ada promo jadi Viole memutuskan untuk membeli es krimnya juga, meski ia tak terlalu mau, tapi tak masalah untuk mencoba es krim sebelum pulang ke apartemennya.
"Bisakah melakukan pembayaran secara digital?" tanya Viole yang dibalas anggukan oleh si pelayan.
"Silakan scan saja barcode di sini." Si pelayan wanita itu menjawab dengan senyuman terukir di wajahnya, sudah pasti dia tersenyum meski tertutupi oleh masker hitamnya. Viole tidak mau menebak isi pikiran wanita itu hingga si wanita berujar, "kau cantik. Maaf aku tidak bermaksud menyinggung."
Tidak dibalas Viole, tak lama kemudian es krimnya datang sedangkan minumannya belum selesai. Jadi dia akan menunggu sebentar, ia duduk di sofa yang tak jauh dari kasir, meletakkan es krimnya di atas meja yang tingginya di bawah lutut Viole jadi anak kecil pun dapat menjangkau meja ini, sungguh ia enggan duduk di kursi terlebih ada beberapa orang di sana. Ia lalu membongkar tasnya untuk mencari earphone-nya. Tanpa disadari oleh Viole, ada seorang wanita yang datang bersama anaknya. Wanita itu sedang memesan sementara si anak menatap es krim Viole. Lalu dengan polosnya, ia mendekati Viole, dikarenakan lelaki itu fokus pada ponselnya untuk mencari lagu yang hendak diputar. Si anak kecil memakan es krim Viole dengan satu suapan besar terlebih es krim itu menjulang melewati bibir gelas jadi tanpa sendok pun, anak kecil itu bisa langsung memakannya.
"Oh Tuhan, kenapa kau memakan es krim itu," ujar si ibu yang baru membuat Viole sadar jika ada anak kecil laki-laki yang duduk tepat di sampingnya. Ia mengunyah es krim dengan polosnya serta mulutnya jadi belepotan akibat es krim yang menempel. "Maafkan aku, putriku tiba-tiba memakan es krimmu. Aku akan mengganti es krim ini."
"Tidak perlu Nyonya," balas Viole tersenyum sangat hangat dan lembut. Dia terkejut, tetapi tidak sedikit pun amarah tercetak di wajahnya. Perlahan dia mengambil es krimnya dan ia berikan pada si anak kecil itu. "Kau boleh mengambilnya. Aku dengan senang hati memberikan es krim ini."
"Apa tidak apa?" ujar si wanita dengan manik mata yang penuh ketulusan dan rasa tidak enak karena putrinya diberi es krim secara cuma-cuma
Perlahan Viole berdiri karena pesanan minumannya sudah selesai dibuat. "Aku tak masalah, anak Anda sangat imut, dia boleh mengambil es krimnya. Oh ya ...." Viole merogoh sapu tangan berwarna putih bersih dari dalam tasnya kemudian diberikan pada si wanita. "Gunakan itu untuk membersihkan noda mulutnya."
"Terima kasih banyak, kau anak yang baik," ujar si wanita yang dibalas senyuman dan anggukan oleh Viole yang segera menuju kasir dan mengambil pesanannya.
"Dadah, Kakak cantik. Terima kasih, es krimnya." Adalah kata yang terucap dari bibir si gadis kecil seraya melambaikan tangannya kepada Viole. Ibunya terkejut karena putrinya malah memuji lelaki itu dengan kata cantik walaupun sebenarnya Viole memang cantik. Si ibu merasa tak enak lagi, tetapi Viole tidak menunjukkan ekspresi risi, maka dengan senang hati, Viole membalas lambaian tangan itu sebelum ia keluar dari kafe.
Berada di jalan menuju apartemennya, Viole menyeruput minumannya yang terasa asam, tapi sangat ia sukai. Campuran antara susu dan jeruk nipis benar-benar jadi favoritnya. Lalu ia tersenyum tipis, kini ia tengah berpikir bahwa sepertinya hari ini tidak buruk juga.
****
Malam ini ia mengenakan kaos berlengan panjang dengan warna putih garis hijau, celana biru dongker mencapai lututnya, ia juga kenakan kaos kaki agar tidak dingin. Dengan headphone putihnya yang memutar musik, ia fokus membaca beberapa materi pelajaran karena ia cukup banyak tertinggal pelajaran. Sesaat pikiran Viole kembali ketika kelas siang tadi. Emma yang penuh senyuman dan mata berbinar dengan senang hati mengantarkannya ke kelasnya kemudian memperkenalkan teman dekat Emma yakni seorang laki-laki bernama Louie Harrison.
Viole hanya bertatapan saja dengan lelaki itu yang lebih tinggi sekitar dua sentimeter dari Viole, rambutnya cokelat dan agak pendek sehingga sedikit memperlihatkan jidatnya. Ia punya manik mata biru tua. Terlihat sifatnya acuh tak acuh pada Viole jadi setelah Emma memperkenalkan nama Viole ke Louie serta sebaliknya kemudian Emma pergi karena kelasnya sudah dimulai sejak tadi. Maka tersisa antara kedua laki-laki itu yang sama sekali tak bertegur sapa, Viole pun tak mau peduli jadi dia lekas menuju kursi kosong yang berada di baris belakang serta samping jendela, jadi semakin saja ia tak mempedulikan Louie yang berada di kursi paling depan.
Pelajaran tadi adalah pelajaran matematika, berlangsung dengan tenang, meskipun kebanyakan para murid terlelap saking mereka tak peduli. Viole tentu saja dapat memahami pelajaran dengan mudah, ia tertinggal materi sebelumnya, meskipun begitu ia takkan masalah karena ia bisa memahami materi itu sendiri. Inilah alasan mengapa malam ini dia mulai membaca buku dan mencatat poin penting. Serta mencoba menjawab beberapa soal yang terdapat di dalam buku. Ia tak lupa membaca ulang materi yang disampaikan oleh guru matematika di kelasnya tadi.
Kini ia selesai menjawab soal-soalnya, malam menunjukkan pukul sebelas hampir tengah malam. Ia melepaskan headphone-nya, lalu merebahkan kepalanya di atas tangannya yang terlipat. Sesaat menatap jendela kamarnya yang tidak ia tutup gordennya. Matanya memicing, agak buram, tapi ia bisa melihat sesuatu yang bergerak dan ia mendengar suara di balik jendela kacanya itu. Lalu jika diperhatikan dengan jeli, seperti ada tangan besar dengan kuku panjang yang menggores jendela kaca, ketukan demi ketukan terdengar seolah-olah meminta Viole membukakan jendela tersebut agar makhluk atau sosok bertangan besar dengan kuku panjang di luar sana dapat masuk ke kamarnya. Semakin lama ia abaikan, semakin saja suara kuku-kuku panjang menggores jendelanya. Lalu samar-samar terlihat senyuman sangat lebar dengan gigi-gigi besar terpatri serta tajam melebihi tajamnya gigi hiu. Hawa mencekam terasa sekali, tetapi Viole tidak terusik bahkan manik matanya tak menunjukkan ketakutan.
Perlahan ia menegakkan tubuhnya kemudian dia bersin karena tak terlalu suka hawa dingin. Lalu ia berdiri dan menuju nakas di samping kasurnya. Ia tarik laci kecil, meraih sebuah botol kecil yang besarnya kurang lebih telunjuk orang dewasa dengan botol itu berwarna kuning tembus pandang serta tutupnya berwarna hitam, tidak ada tulisan apa pun mengenai nama obat itu karena sudah dikelupas oleh Viole, entah kapan ia melakukannya, ia tak ingat sama sekali. Viole membuka botol obat itu, mengeluarkan tiga keping obatnya yang berwarna putih, lalu ia makan obat tersebut dibarengi segelas air yang langsung ludes. Jantungnya berdegup kencang setelah meminum obat tersebut, ia perlu mengatur napasnya berulang-kali agar menstabilkan dirinya terutama degup jantung ini. Merasa sudah lebih nyaman. Ia menaruh kembali botol obat itu ke dalam laci.
"Berisik," ujar Viole seolah berbicara pada seseorang padahal hanya ada dirinya di kamar itu ataukah ia berbicara pada makhluk di luar jendela sana. Maka langkah kakinya terdengar, ia menuju jendelanya, sebenarnya tak ia temukan siapa-siapa, tak ada kuku panjang maupun senyuman dengan banyak gigi terpatri.
Viole meraih gordennya, lalu ia tarik untuk menutupi jendela tersebut. "Tidak malam ini, carilah orang lain, boogeyman sialan!" Setelahnya dia menuju meja belajar, menggunakan headphone-nya lalu menghabiskan waktunya dengan membaca buku lagi hingga pukul dua pagi, baru ia pergi tidur sebentar kemudian bangun pada pukul lima subuh untuk bersiap ke sekolah.
****
Viole sampai di kelas cukup pagi sehingga belum banyak murid. Sebenarnya di luar kelas sudah banyak murid terutama di lapangan dan taman, mereka lebih mau menghabiskan waktu di sana terlebih dahulu dibandingkan langsung masuk ke kelas. Apalagi ada beberapa murid yang membawa skateboard, mereka pun memamerkan keahliannya sehingga membuat murid-murid yang menonton jadi bersorak. Viole sendiri enggan menonton atau bergabung dengan mereka jadi dengan earphone di telinga kirinya saja, ia sengaja menggunakan satu earphone lalu ia fokus membaca novel yang berjudul Pretty Girl karya Karin Slaughter. Judulnya saja terlihat seperti novel romansa, tetapi isinya benar-benar gila dan penuh dengan plot-twist.
Saking fokusnya Viole membaca, ia sampai tak sadar jika ada yang masuk ke kelas kemudian duduk tepat di kursi depannya serta mengarah pada Viole dengan tatapan tajam. Perlahan manik mata Viole beralih dari paragraf novel ke pemilik mata biru itu. Ternyata Louie Harrison, apa yang dia mau dari Viole? Sungguh bisakah Louie menunda percakapan atau entah apa pun yang hendak ia lakukan karena Viole sedang membaca adegan seru di dalam novel itu.
"Jadi kau teman dekatnya Emma?" Itulah yang ia katakan dengan sekali tarikan napas.
Viole jadi kesal, ia pikir ada percakapan yang lebih berbobot dibandingkan pertanyaan itu. Jadi ia menaruh pembatas buku di halaman terakhir yang ia baca kemudian menutup bukunya. "Aku baru kenal dia kemarin, dia diminta Mrs. Ivanna untuk memandu tur kecil-kecilan dan mengantarkanku ke kelas ini."
Louie mengangguk, tetapi masih dengan memperhatikan Viole. Dia merasa jika Viole ini terasa berbeda terutama wajahnya, sempat Louie mengira jika Viole adalah perempuan dengan rambut pendek, terutama karena Emma memperkenalkannya. "Jadi kau tidak menganggap Emma sebagai teman?"
"Apakah harus? Aku hanya kenal dia secara tidak sengaja karena Mrs. Ivanna yang memintanya membawaku berkeliling sekolah," balas Viole, "lagi pula kami berbeda kelas juga, tak mungkin akan bertemu lagi."
Louie mengerjap-ngerjap sesaat, padahal tadi malam Emma mengirimkan dia pesan panjang, bercerita jika lelaki ini sangat asyik diajak mengobrol terutama beberapa candaannya. Emma sangat senang karena bertambah teman baru, bahkan tidak sabar bertemu Viole lagi. Louie sampai bingung menanggapi tingkahnya yang sangat bersemangat itu. Namun, detik ini, Louie berpikir bagaimana bisa Emma berkata bahwa lelaki yang namanya seperti perempuan itu terlihat asyik. Bahkan dia tidak menganggap Emma sebagai teman.
"Emma bercerita jika dia sangat senang bertemu denganmu, itu artinya dia akan menjadikanmu temannya," balas Louie.
"Tidak perlu repot," sahut Viole hendak membaca bukunya lagi, tapi Louie dengan cepat menutup buku tersebut.
"Bagaimana jika kita mengobrol, maaf kemarin aku tidak acuh padamu. Karena aku masih perlu menganalisis, apakah kau berengsek atau tidak." Louie memperhatikan beberapa murid berdatangan karena sepertinya bel akan segera berbunyi.
"Lalu apa hasilnya?" Viole menaikkan satu alisnya.
"Kau lulus, kau sepertinya tidak berengsek meski sangat menyebalkan!" balas Louie entah mengapa jadi sangat bersemangat.
"Kau juga sangat menyebalkan dengan melakukan percakapan tak berguna ini," balas Viole.
Tak lama kemudian teman duduk Viole datang. Louie menatap lelaki itu yang terlintas sesuatu di pikiran Louie. "Hey Vertov, kau mau bertukar tempat duduk denganku? Aku ingin di sini karena dia teman dekatku dan Emma."
Maka tanpa berpikir panjang Vertov langsung setuju. Ia sejak awal merasa kecil dan seperti terintimidasi ketika duduk dengan Viole jadi setelah mendengar tawaran dan Louie, ia takkan menolaknya. Maka lekaslah Louie meraih tas hitamnya kemudian duduk di samping Viole yang menatap dengan sinis, ia merasa kehadiran Louie adalah masalah besar dan mengusik ketenangan hidupnya.
"Aku bukan teman dekat kalian," balas Viole menaruh novelnya ke dalam tas dan mengeluarkan buku pelajarannya. "Dan kau sangat menggangguku."
Louie terkekeh seraya mengambil buku catatannya. "Dude, come on. Jangan terlalu dingin begitu, ini bukan film. Aku malah merasa kita akan menjadi teman akrab, bersama dengan Emma juga tentunya."
Viole menarik kursinya menjauh sedikit dari Louie, ia seperti alergi pada manusia sejenis Louie. "Kurasa Emma sudah ada teman dekatnya dan aku tak mau bergabung."
"Dari mana kau tahu?" balas Louie. Guru mereka yang mengajar di bidang pelajaran sejarah masuk kemudian menampilkan materi melalui proyektor.
"Kulihat dia pulang bersama dengan beberapa orang, tapi kau tak ada di sana," balas Viole. Meskipun dia pendiam, tetapi dia ahli dalam memperhatikan keadaan di sekitarnya.
Louie sesaat terdiam, ia tahu siapa yang dimaksudkan oleh Viole. Melihat Louie tak menjawab, Viole menebak seperti ada sesuatu, tetapi ia enggan bertanya lebih lanjut maupun ikut campur. Jadi dia mulai fokus dengan materi yang disampaikan oleh guru. Sayangnya, fokusnya teralihkan ketika Louie menyenggol kakinya dengan sengaja.
"Jangan mengganggu saat jam pelajaran berlangsung." Viole memperingatkan.
"Sebisa mungkin jangan dekat-dekat dengan mereka, maksudku lebih baik menjauh dari mereka," balas Louie yang langsung dipahami oleh Viole, tetapi ia tak tahu alasan mengapa Louie memberi peringatan itu.
"Kau juga harus menjauh, kau menyebalkan," sahut Viole yang mendapat pelototan dari Louie.
"Aku terkecuali, begitu juga Emma," balas Louie sepelan mungkin karena takut ketahuan guru sejarah. Sementara Viole menggeleng pelan dan tidak menjawab, ia fokus pada catatannya serta menjawab beberapa pertanyaan gurunya hingga waktu tak terasa berlalu. Sedangkan Louie menyeringai kecil karena ia merasa akhirnya mendapatkan teman yang bisa satu frekuensi dengannya dan tentu tidak gila seperti mereka.
****
Ada harapan dalam diri Viole agar tidak menjadi sorotan, tetapi masih ada beberapa murid yang memandanginya dengan berbagai tatapan dan makna konotasi, entah apa yang ada di dalam pikiran karena tidak hanya kaum perempuan, tetapi lelaki juga menatap pada Viole ketika dia menyusuri koridor hendak menuju kantin sekolah. Beruntungnya Viole tidak memiliki kemampuan untuk membaca pikiran jadi dia tidak perlu mendengar isi pikiran bejat dari setiap manusia di sekolah ini, kasihan sekali bagi mereka yang memiliki kemampuan membaca pikiran. Meskipun ia tak punya kemampuan itu, tetapi ia masih bisa menebak seberapa menjijikkan manusia di sekolah ini.
Baru Viole menutup lokernya, seorang perempuan bersandar tepat di samping loker Viole dengan beberapa temannya. Ia memperhatikan perempuan itu yang memiliki rambut kecokelatan dan panjang sebagian dikuncir, tanpa poni. Ia menggunakan baju dengan warna hitam ditutupi blazer putih dengan warna rok merah muda kotak-kotak, stocking hitam panjang serta sepatu merah muda. "Hey, apa kau anak baru? Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya."
Sesaat Viole memperhatikan perempuan itu. Ah, bolehkah dia tebak peran gadis ini? Dengan semua pakaian yang bermerek, pastinya ia anak orang kaya raya, entah apa jabatan ayahnya, lalu dia akan jadi kesayangan karena putri satu-satunya. Kemudian salah satu jajaran primadona sekolah ini entah alasannya apa, bisa jadi dikenal sebagai anak cerdas dan langganan memenangkan piala serta penghargaan, dapat pula disegani karena orang tuanya kaya raya, putri donatur sekolah barangkali atau ia dikenal sebagai perundung yang suka menindas anak culun. Maka Viole lebih setuju dengan poin terakhir.
Pasti perundung.
"Ya." Viole pun berbalik hendak melangkah pergi. Hal ini membuat manik mata si gadis jadi membulat lebar! Apakah barusan saja dia ditolak dan diabaikan oleh seorang lelaki?
"Hey! Sialan, berani kau tak mengacuhkanku!" Ia melangkah cepat agar bisa mengejar kaki Viole. "Kau akan dapat masalah karena mengabaikanku, dasar anak baru sombong!"
Rahang perempuan itu mengatup karena Viole tidak mengindahkan perkataannya. Oh siapa lelaki itu yang berani menolaknya padahal banyak lelaki di sekolah ini yang berjajar untuk bisa berbicara padanya. "Apa kautuli sampai tidak mendengarkanku? Aku bicara padamu bodoh! Jangan abaikan aku, tidakkah kau tahu siapa aku?"
"Seribu tahun pun aku takkan peduli, sepenting apa kau?" Mendengar perkataan Viole itu, beberapa murid di sekitarnya jadi meringis kesakitan dan terasa sangat ngilu.
"Bajingan," geram perempuan itu, "namaku Chelsea Schwartz, ketua pemandu sorak di sekolah ini. Kau harus lebih sopan denganku karena aku lebih tua darimu! Kaupaham---hey dengarkan aku, bodoh, kenapa kau malah pergi!"
"Ah kau sudah tua ya, baguslah, aku akan memanggilmu nenek," balas Viole berbelok ke koridor lain. Sementara Chelsea hanya terdiam dengan mulut menganga. Ia menjadi sorotan murid lain karena si pemandu sorak itu barusan dihina sebagai nenek-nenek? Sungguh ditaruh mana otak lelaki itu atau sejak awal dia memang sangat menyebalkan terutama mulutnya?
"Kurasa itu julukan paling jelek yang pernah kau dapatkan, Chel," ujar teman dekat Chelsea yang bernama Monica Antonio.
Kepalan tangan Chelsea menguat sampai buku-buku jarinya jadi putih. Tak pernah dia merasa sekesal ini karena diabaikan dan ditolak mentah-mentah, sebenarnya ia pernah ditolak juga, tetapi tak lama kemudian lelaki yang menolaknya akan menyesal lalu meminta maaf, tetapi tidak berlaku untuk anak baru itu. Atas inilah, Chelsea kembali mengejarnya, ia harus mengetahui nama lelaki yang menolaknya itu agar ia bisa mencari informasi mengenai lelaki itu dan berada di kelas apa dia ditempatkan. Jadi suatu hari nanti, Chelsea bisa menghancurkan atau membuatnya jera sampai dia menyesal karena telah mengabaikan Chelsea.
"Urusanmu denganku belum selesai! Hey, anak baru sialan!" teriak Chelsea yang bisa Viole dengar dengan jelas. Kini Viole jadi kesal, kenapa pula perempuan aneh itu sangat keras kepala. Apakah semua perempuan selalu seperti ini?
"Berisik," gumam Viole yang tak lama berselang dari itu. Dari arah koridor lain, seorang murid bertubuh agak besar sedang membawa minuman berupa es cokelat, ia saking bersemangatnya karena berhasil mengalahkan lawannya dalam pertandingan basket. Tak ia sadari jika ada perempuan berambut panjang yang melintas tepat di hadapannya. Mereka saling bertabrakan menyebabkan minuman cokelat itu tumpah tepat ke baju Chelsea.
"What the fuck you! Jesus!" Chelsea mengumpat ke arah lelaki berbadan besar yang tak lain adalah Carlos, salah satu anggota basket. Chelsea mengenalnya meski tak akrab. "Lihat apa yang kau perbuat pada bajuku!"
"Wow, sorry Chelsea. Aku tak melihatmu," balas Carlos, "maaf ya, tolong maafkan aku, aku terburu-buru. Aku pergi ya karena dipanggil ke ruang guru!"
Amarah Chelsea memuncak, ia menatap nyalang pada Carlos yang kini menyebabkan baju putihnya jadi sangat kotor bahkan Chelsea bisa merasakan jika cairan dingin menyentuh kulitnya akibat minuman es itu. Ia lekas menatap ke arah Viole yang semakin menjauh bahkan hampir hilang dari pandangannya. "Sialan, kau tak bisa kabur, hey anak baru!!"
"Berhenti mengejarnya," sahut Monica, "kau sedang kacau ... dan sangat berantakan." Dia memandangi sahabatnya dari bajunya yang kotor hingga lantai yang terdapat tetesan es cokelat.
"Tidak bisa---"
"Kau harus memikirkan pakaianmu! Tidakkah kau sadar jika bajumu jadi tembus pandang?" bisik Monica, "bramu kelihatan."
Chelsea mengatup bibirnya karena sadar jika bekas tumpahan minuman itu menyebabkan bajunya jadi tembus pandang dan terlihat tali branya yang berwarna hitam. Hal ini membuatnya jadi sorotan para murid yang melewatinya. "Sialan, ini semua karena Carlos." Lekas ia putar balik, lalu bersama dengan Monica, mereka menuju toilet perempuan untuk membersihkan kekacauan ini.
Pada detik yang sama, Viole melirik ke belakang ketika Chelsea perlahan pergi dan berhenti mengejarnya. Helaan napas Viole terdengar bersamaan seringai kecil terukir di wajahnya. Seolah dia puas dengan apa yang terjadi tadi. "Adegan klise, tapi membantuku kabur darinya, tak masalah. Ah by the way, thank's."
****
Menikmati kesendirian di kantin dengan duduk di meja paling pojok ... kanan dan kiri Viole memang tak ada siapa-siapa, tetapi dia tidak benar-benar sendiri karena kantin cukup ramai. Para murid hanya enggan duduk di sampingnya, selain karena letak meja pojok terkena sinar matahari, mereka sepertinya mengingat wajah Viole yang beberapa menit lalu berbuat ulah pada Chelsea si ketua Pemandu Sorak. Masih terekam jelas di ingatan mereka ketika Viole mengabaikan salah satu primadona sekolah ini.
Manik-manik mata itu kembali menelusuri Viole, ada yang sengaja berhenti sesaat untuk memperhatikan lelaki itu. Ada yang duduk bersama teman-temannya, tetapi sesekali menengok ke belakang untuk curi-curi pandang. Kemudian tak urung pula ada murid yang sengaja menatap dan membicarakan Viole secara terang-terangan.
"Dia pasti anak baru bukan? Aku tak pernah melihat dia sebelumnya," ujar salah seorang murid dengan rambut dikepang.
"Ya, kuyakin begitu, kemarin aku melihatnya ke kantor kepala sekolah."
"Aneh, kupikir takkan ada penerimaan murid lagi sampai tengah semester atau tahun depan?"
"Tadi kau bilang apa? Anak itu menemui kepala sekolah, kurasa dia punya hubungan dengan kepala sekolah kita karenanya dia bisa masuk ke sini sebelum tengah semester."
"Seperti hubungan terlarang, sugar daddy?" sahut murid perempuan lain dengan tawa sebentar lalu menyeruput susu kotaknya yang rasa stroberi. Ia terkejut ketika salah satu temannya menendang kakinya agar mengontrol caranya berucap.
"Jangan terlalu keras, bodoh, kau akan mendapat masalah jika dia mendengarmu!"
"Huh, memang dia siapa? Namun, aku harus jujur, jika wajahnya perpaduan tampan dan cantik sekaligus," balas perempuan lain dengan rambutnya sebagian di-bleaching biru.
"Setuju," sahut teman di sebelahnya seraya menghabiskan kentang gorengnya. "Dia sangat cantik, apa kalian tahu idol K-pop? Wajahnya terlihat seperti orang-orang di sana. Jangan-jangan asalnya dari Asia?"
"Sialan, dipandang berkali-kali memang tidak bosan, akhirnya ada wisata cuci mata di sekolah ini."
"Hey, kudengar-dengar jika dia yang tadi mencampakkan Chelsea." Suara perempuan itu kali ini jadi rendah seolah-olah berbisik.
"Jesus Christ, kaubersungguh-sungguh? Dia yang menolak Chelsea. Oh wow, ini salah satu sejarah di sekolah ini."
"Jika aku punya wajah secantik dia, aku juga berani menolak Chelsea."
"Apa kalian tak mencoba untuk mendekatinya. Bukankah kita akan mendapat jackpot jika dia berhasil menjadi pacar kita. Kapan lagi punya pacar secantik itu." Perempuan itu yang sebelumnya juga menghina kalau kepala sekolah adalah sugar daddy-nya Viole.
"Kenapa tak kau saja yang mencoba, pergilah ke sana. Ajak dia berkencan ... and fuck with him." Tawa mereka terdengar, mereka tahu betapa menjijikkannya hal ini, tetapi membicarakan lelaki cantik itu tidaklah membosankan bahkan membuat mereka tertantang dan merasakan adanya adrenalin kebahagiaan terutama wajah cantik lelaki itu menjadi poin tambahan.
Di meja tempat Viole berada, dia merasa jika kelompok perempuan yang beberapa meja di depannya seolah-olah membicarakan dirinya. Jika pun benar, sebisa mungkin, Viole akan mengabaikan dan tidak mau menebak-nebak pembicaraan menjijikkan apa yang saling bersahutan dari mulut mereka.
Kini beberapa pasang mata menatapnya lagi ketika tiba-tiba ada seorang laki-laki yang merangkul Viole setelah meletakkan makanannya kemudian duduk tepat di hadapan Viole. Lalu disusul laki-laki lain yang duduk di sisi lainnya. Sementara di depan Viole, dua perempuan duduk, satu perempuan dengan rambut dikepang kanan-kiri serta berwarna cokelat muda kemudian di sebelahnya adalah perempuan bermanik mata hijau, ah dia Emma Walter dan kemungkinan orang-orang bersama Emma ini adalah teman-temannya.
"Hey jadi kau greenie di sekolah ini. Mengapa makan sendiri, kau harusnya bergabung dengan kami atau mencari teman." Lelaki dengan rambut agak berantakan ini dan berwarna pirang serta manik mata hitam dan mengenakan jaket tim basket-warna merah gradasi biru tua perlahan melepaskan rangkulannya dari leher Viole "Namaku Tyler Robertson, kebanggaan tim basket."
Tidak Viole jawab, lalu lelaki di sebelah Viole menyahut pula padahal masih mengunyah hamburger-nya. "Ben, Ben Turner. Anggota tim basket juga. Sungguh aku tak menyangka jika kau yang sebelumnya dibicarakan oleh orang-orang karena mengabaikan Chelsea."
"Kau berlebihan Ben," sahut perempuan yang rambutnya dikepang. "Chelsea tidak secantik itu, kalian berlebihan memujinya." Perlahan dia menyeringai dan mencondongkan badannya agar bisa melihat jelas wajah Viole, ia lalu mengedipkan sebelah matanya bermaksud menggoda. "Lola Powell, calon anggota tim renang sekolah ini yang paling seksi."
Alis Viole terangkat, barusan dia bilang apa? Viole rasa seekor anjing lebih nyaman dipandang dibandingkan perempuan itu. Lalu mengapa mereka tiba-tiba mendekati Viole padahal tak sedikit pun Viole hendak bercengkerama dengan mereka. "Apa yang kalian lakukan di sini?"
"Wah, dingin sekali kau, seperti kutub utara" balas Lola, kemudian menyenggol siku Emma. "Tentu saja karena dia yang bercerita pada kami."
Kini tatapan Viole beralih pada Emma yang jadi malu dan menundukkan pandangannya. "Aku pikir, kita bisa berteman dekat jadi aku ingin yang lain mengenalmu juga."
"Dia benar," balas Tyler tersenyum pada Emma. "Teman Emma adalah teman kami juga. Artinya kini kau menjadi bagian dari kami. Kami adalah salah satu kelompok terbaik di sekolah ini." Tyler menyeruput minumannya.
Ben mencomot spageti milik Lola kemudian ia makan. "Ya, banyak yang mengenal kami. Lalu kau jangan takut jika ada yang hendak mengganggumu karena kalau bersama kami mereka lebih dulu takut, percayalah."
"Aku akan menendang selangkangan siapa pun itu jika berani mengganggumu," balas Lola seraya menatap Ben dengan tajam karena mencuri spagetinya.
Emma tersenyum tipis, berujar dengan suara penuh kebahagiaan. "Maksud mereka, kami ingin jadi temanmu meski kita berbeda kelas. Kau juga tak perlu takut dirundung karena orang-orang takkan berani mengusikmu jika bersama kami."
"Itulah yang kumaksudkan," sahut Tyler seraya mengelus lengan Emma yang membuat perempuan itu jadi tersipu malu. "Jadi siapa namamu greenie?"
"Kupikir Emma sudah memberitahu kalian," balas Viole yang merasakan ada euforia tak nyaman ketika mereka di sini. Ia melirik sekitar, para murid terlihat memberikan tatapan takut, khawatir, dan kasihan pada Viole seolah ia benar-benar sial karena didekati Tyler dan kawan-kawannya. Wah, bukankah Emma berkata jika takkan ada yang berani mengusik Viole jika bersama kelompok ini, berarti hanya ada dua alasan hal itu terjadi. Pertama kelompok ini disegani oleh para murid atau dihormati. Yang kedua karena ....
"Ya, Emma sudah bercerita, tapi kami mau dengar secara langsung," balas Lola dengan seringai kecil, ia juga sudah selesai dengan makanannya.
Sesaat Viole melirik pada Emma lalu berujar, "Violetta Beauvoir."
Kekehan kecil terdengar dari Lola kemudian disusul oleh tawa Ben yang sampai tersedak minumannya sendiri. "Oh Tuhan, ternyata benar yang dikatakan Emma. Namamu sangat cantik!" Lola berucap dengan cukup keras serta nada bersemangat.
"Ben berhenti tertawa," tegur Emma.
"Dia tak salah, jujur aku juga merasa namamu sangat perempuan," balas Tyler, "apakah kau pernah bertanya pada orang tuamu kenapa kau diberikan nama yang feminin?"
Ben sudah selesai dengan tawanya. "Kurasa karena mereka awalnya mengira yang lahir anak perempuan, ternyata laki-laki jadi mereka tetap berikan nama perempuan padamu."
"Entahlah, aku tak pernah memikirkan untuk bertanya," balas Viole masih bisa mengontrol ekspresinya meski kanan, kiri, dan depannya sangat menyebalkan.
"Jangan khawatir," balas Emma, "bukankan zaman sekarang sudah biasa ada laki-laki yang namanya seperti perempuan dan sebaliknya."
"Aku setuju," balas Tyler, "kami tertawa bukan maksud menghina hanya agak terkejut. Lalu kau bisa terbuka dalam kelompok ini, katakan saja pada kami jika ada yang berani mengolok-olokmu."
"Percayalah kalau akan akan kuhantam wajah mereka dengan bola basket," tukas Ben.
"Benarkah?" balas Viole dengan alis terangkat satu.
"Jangan kau remehkan kami," balas Tyler, "sekali kau sebut namaku, murid lain pasti tak berani mengusikmu!"
"Bersyukurlah greenie, karena Emma menjadikanmu teman, jadi kami juga adalah temanmu---what the fuck you, bitch!" Lola sontak berdiri dari bangkunya ketika nampan berisi makanan berupa sup dan spageti tertumpah ke seragamnya sehingga menjadi sangat kotor. Ia menatap penuh amarah pada perempuan berkacamata yang kini sangat ketakutan dan gemetar.
"Maaf ... aku tak sengaja, aku tak bermaksud menumpahkan nampannya, tanganku tergelincir---"
"Shut up!" teriak Lola sangat geram. "Kau pasti sengaja, dasar jalang! Aku tahu kau sengaja karena kau membenciku."
Kantin kini heboh dan menjadikan Lola serta perempuan berkacamata kotak itu sebagai sorotan. Rasa takut semakin merasuki diri perempuan berkacamata hingga tak terasa air matanya jatuh. Bibirnya gemetar dan mengatakan permintaan maaf berulang kali karena dia benar-benar tidak sengaja menumpahkan makanan itu. "Maafkan aku kumohon, maaf, aku akan membayar atas apa yang terjadi. Aku akan membersihkan bajumu."
Lola kemudian mengulurkan tangannya. "Berikan nampan besi itu."
Maka si perempuan berkacamata memberikan nampan tersebut dengan perlahan. Lola berucap, "you'll pay for this."
Sekonyong-konyong terdengar suara keras, besi berkelantang, dan memekakkan telinga serta kacamata yang jatuh ke lantai; retak dan gagangnya patah ketika Lola menghantam wajah perempuan berkacamata dengan nampan besi. Para murid sontak menutup mulut dan mata mereka saat Lola kembali menghantam wajah perempuan berkacamata lebih keras lagi! Darah menetes dari hidung si perempuan berkacamata. Ia semakin mengenaskan ketika Lola mendorongnya dan jatuh ke bawah serta tamparan dengan nampan terasa lagi hingga wajah perempuan itu membiru serta darah semakin keluar dari hidungnya.
"Biar kubantu," ujar Tyler melompati meja kemudian menjambak rambut si perempuan berkacamata yang membuatnya memekik kesakitan.
"Ini untukmu, jalang," timpal Ben seraya menumpahkan kuah sisa spageti dan minumannya yang tidak habis ke atas kepala perempuan naas tersebut.
Di sela-sela kericuhan dan isak tangis si perempuan berkacamata. Viole diam saja, perlahan ia melirik Emma yang juga sama diamnya dan tidak menunjukkan tanda-tanda hendak menyiksa perempuan berkacamata itu. Ia seolah menyembunyikan ketakutan, entah pada siapa rasa takutnya berlabuh, tetapi jelas dia menatap penuh khawatir pada perempuan berkacamata itu.
Tanpa ada yang sadar, Viole tersenyum tipis. Kini dia paham alasan kenapa kelompok ini tidak ada yang berani mengusik, ya alasan keduanya adalah kelompok ini merupakan para perundung yang takkan segan menyakiti seseorang tanpa ampun meski merusak mental dan fisik orang yang dirundung.
Bahkan jika ada yang bunuh diri pun, mereka takkan peduli.
Kini Viole didekati oleh mereka dan menawarkan Viole menjadi bagian dari kelompok mereka. Sayangnya Viole tidak ingin menjadi bagian dari kejahatan ... ah jika Viole menolak mereka, apakah dia akan jadi target perundungan mereka selanjutnya? Bukankah semua ini sangat seru, ia penasaran apa yang akan terjadi ke depannya, benar sangat patut untuk ditunggu.
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
Bagaimana dengan chapter ini?
Jujur gue cukup menikmati menulis cerita ini karena tidak seberat cerita sebelah, hehehe, tapi tetap saja genrenya sangat berat (crying).
Viole masih misterius ya^^ Kenapa pula dia berbicara sendiri, lalu siapa yang mengganggu dia tengah malam?
Beri sapaan untuk para tokoh baru yang muncul terutama geng Tyler dan si primadona sekolah yakni Chelsea!!
Prins Llumière
Sabtu, 19 Agustus 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top