Chapter 02: Eryvale High School
Suara sepatu hitam terdengar, lebih tepatnya sepatu boots hitam merek Prada tengah menyusuri ubin putih di sebuah lorong rumah sakit. Beberapa perawat terlihat berlalu-lalang seraya mendorong troli besi atau membantu pasien yang menggunakan kursi roda. Ada pula perawat yang berhenti untuk bergosip dengan perawat lain ketika mereka melihat seorang lelaki muda menyusuri lorong ini dan hendak menjumpai seseorang yang bekerja di rumah sakit ini. Terdengar bisikan dan komentar, dimulai dari mengomentari pakaian yang digunakan lelaki itu. Baju dan jaketnya berasal dari merek mahal begitu pula celana kargo hitamnya serta sepatunya yang sepertinya ia berasal dari orang kaya atau malah artis berkunjung ke kota ini?
"Lihat dia cantik sekali, apa bisa seorang laki-laki secantik itu?"
"Dia benar-benar putih, sangat mencolok juga," timpal perawat lain.
"Apa dia asli di sini, aku baru pertama kali melihat seseorang seperti dia padahal aku sudah tinggal sepuluh tahun di sini."
"Kurasa dia pendatang, bukankah cukup banyak pendatang di kota ini."
"Kutebak dia bukan berdarah asli Amerika, hampir seperti blasteran Asia dan Arab."
"Apa diperbolehkan pergi keluar dengan wajah secantik itu? Dia lebih cocok dikatakan cantik. Aku yang wanita saja, merasa rendah diri melihat kecantikannya."
"Coba goda dia, kapan lagi punya kekasih secantik itu."
"Sepertinya dia masih remaja, bodoh, kau akan dianggap pedofil jika mendekatinya!!"
"Apa salahnya? Di sini seperti itu legal saja, kau tak tahu 'kan kalau sekarang banyak anak-anak belum berumur 18 tahun, tapi sudah mencoba tequila dan berdansa di bar hingga tengah malam."
"Aku setuju," tukas perawat sambil cekikikan. "Jadi tidak ada salahnya menjalin hubungan dengan mereka yang lebih muda ...."
Mereka semua terdiam ketika Viole menatap mereka dengan sangat sinis, seolah dia akan membunuh siapa pun dengan tatapan tajamnya itu. Perlahan ia mengenakan headphone-nya yang berwarna putih---Viole punya banyak koleksi headphone, jadi sering gonta-ganti---lalu melangkah kembali sementara para perawat tadi segera bubar dan melakukan aktivitas mereka masing-masing. "Pedofil sialan, terjun saja kalian ke neraka."
Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong jaket setelah menekan tombol lift ke lantai empat. Pintu lift terbuka, ia mempersilakan orang tua di dalam lift untuk keluar lebih dulu. Senyuman Viole terukir sangat tipis karena membalas senyuman seorang wanita tua yang menggenggam tangan kedua anaknya seraya keluar dari lift. Setelah itu ia lekas masuk ke dalam lift, hanya dirinya sendiri yang berada di sana.
Musik berputar di lift tidak terdengar karena lagu di headphone-nya lebih bergema dengan keras. Ia segera keluar dan melihat beberapa orang berlalu-lalang, begitu pula para perawat. Masih sama saja, ia jadi sorotan, tetapi setelah berbelok ke salah satu lorong. Di sini sepi, hanya ada beberapa perawat tertentu yang berjalan di samping seorang dokter kemudian masuk ke sebuah ruangan. Viole meraih ponsel seraya menurunkan headphone-nya. Memastikan kembali ke mana ia harus menuju, ia tak mau tersesat di rumah sakit yang baru ia kunjungi ini.
"Kurasa berbelok sekali ke lorong itu." Ia bergumam dan hendak menuju lorong yang berbeda, berada di sebelah kirinya.
Dari kejauhan, sebelum belokan ke lorong, ia melihat beberapa orang berpakaian putih dan mengobrol seperti habis melakukan rapat penting, salah satunya kemungkinan seorang dokter senior karena terlihat cukup tua terutama rambutnya putih. Di sisi kanannya ada dua laki-laki kemudian sisi kirinya dua perempuan. Sesaat manik mata Viole menatap pada salah satu perempuan dengan rambut hitam panjang agak bergelombang yang kemungkinan beberapa tahun di atasnya. Sesaat dalam hatinya dia memuji perempuan itu dengan kata cantik, tapi ia tak pedulikan lagi, terlebih dia berbelok ke lorong berbeda sementara para dokter itu tetap jalan lurus. Viole akhirnya menghilang di balik pintu yang sejak tadi ia cari karena cukup jauh juga ruangan yang ia tuju ini.
"Kau harus mengatakan permisi atau mengetuk pintu terlebih dahulu sebagai adab dan sopan santun," ujar seorang pria di dalam ruangan itu. Ia mengenakan jas putih, rambutnya cokelat kemudian disisir klimis ke samping sehingga terlihat rapi, ia duduk di kursi abu-abu dengan secangkir kopi di atas mejanya, ada dua cangkir kopi.
"Kau tahu aku akan kemari jadi untuk apa aku mengetuk pintu," balas Viole lekas duduk di kursi abu-abu itu.
Pria itu menghela napas. Sudah cukup lama ia tak bertemu dengan lelaki di hadapannya ini, tetapi begini kah sapaan hangat yang diberikannya? "Kurasa suasana hatimu sedang buruk, apa terjadi sesuatu sebelum kamu kemari?"
"Kau paling ahli dalam hal ini," sahut Viole, "dan ya, benar sekali, suasana hatiku buruk ketika kemari terutama karena para perawat sialan itu."
Senyum terukir di wajah pria itu yang menyilangkan kedua kakinya, lalu bersandar di badan kursi. "Biar kutebak, apa mereka memujimu cantik atau malah melecehkanmu secara verbal?"
"Wah." Viole memuji kehebatan pria itu yang benar dengan tebakannya. "Apa terlihat jelas?"
"Iya, sangat terlihat oleh mataku." Pria itu memperhatikan Viole yang mengenakan pakaian cukup mewah, semuanya bermerek. "Lain kali cobalah jangan mencolok jika kau tak mau orang-orang melecehkanmu secara verbal."
"Apakah perkataan itu bermaksud untuk menyuruh korban menjaga caranya berpakaian dibandingkan memperingatkan pada para pedofil itu untuk menahan hasrat dan nafsu mereka. Betapa bodohnya perkataanmu itu, begitukah yang dikatakan seorang dokter psikiater?" Viole tersenyum. Ia bisa berdebat dan membela dirinya bahwa para pedofil lah yang harus dibasmi, lagi pula ia enggan menurunkan gayanya berpakaian.
Ruangan ini hening sesaat, ruangan yang jika diperhatikan di atas meja besar berwarna hitam ada tanda pengenal dari pria yang berada di hadapan Viole. Dokter Julius Cunningham, seorang psikiater yang menangani masalah kejiwaan manusia. Ia lulusan salah satu universitas terbaik di dunia, University of Oxford. Terkadang Viole berpikir, mengapa dokter sehebat Julius malah memilih berada di rumah sakit di kota ini ketimbang di London, Inggris atau New York, USA. Yah lagi pula, Julius punya banyak rahasia.
"Bukan begitu, kau pasti paham kalau wajahmu saja sudah jadi masalah, terlebih kau suka yang mencolok. Lalu para pedofil gila atau para pemerkosa kebanyakan sulit diberitahu, apa kau pikir mereka mau ikut sesi konseling dengan tenang kemudian menurut begitu saja setelah diberi ceramah panjang?" jelas Julius tanpa maksud menyindir karena ia jujur saja, tidak ada manusia berwajah seperti Viole di kota ini, ia pasti langsung dianggap sebagai pendatang dan bukan berdarah asli Amerika dengan berjalan-jalan menggunakan wajah itu.
"Baiklah aku yang salah, maaf jika Tuhan terlalu baik ketika menciptakan wajahku yang sesempurna ini," balas Viole sengaja bertingkah congkak. "Jadi apa yang mau kaubahas? Aku masih ingin pergi ke kafe di kota ini dibandingkan berlama-lama dengan dokter gila sepertimu."
Julius merenggangnya badannya sesaat, kemudian berdiri, menuju mejanya dan mengambil berkas di sana. Ia keluarkan kertas putih yang penuh dengan tulisan. "Proses kepindahanmu sudah diurus begitu juga sekolahmu. Jangan khawatirkan mengenai identitas karena sebagian datanya sudah dibuat ulang demi keselamatanmu. Mengenai uang dan lainnya juga tak perlu kaukhawatirkan, tapi sebisa mungkin, tolong jangan boros."
"Jadi apa aku boleh nonton konser Taylor Swift?" balas Viole yang terlihat seperti candaan padahal ia sangat serius. Mengapa pula wajahnya polos seperti itu?
"Lebih baik kaupikirkan bagaimana caramu tidak mencolok ketika bersekolah besok," balas Julius yang terkadang suka heran dengan perubahan suasana hati anak itu.
"Kautenang saja, aku bisa menangani masalah ini." Viole melirik kopinya, tetapi tidak berniat ia sentuh.
"Itu artinya termasuk hal 'mencolok' lainnya bukan?" Julius menaikkan satu alisnya.
Sesaat senyuman Viole terukir. Dia harus paham bagaimana cara mengendalikan ekspresi dan raut wajahnya serta caranya tersenyum supaya tidak membuat orang lain salah paham apa maksud dari senyuman itu, terutama para wanita, ya pastinya banyak yang akan salah paham jika Viole selalu tersenyum seperti itu; mudahnya lelaki itu dapat membuat seseorang jatuh cinta hanya dengan senyuman dan itu akan berbahaya, melihat sikap Viole yang tak tertarik pada hubungan cinta. Boro-boro cinta, hidup tanpa teror saja sulit ia dapatkan.
"Aku tak berniat membawa hidupku ke jurang, tenang saja."
"Baguslah, kau memang dapat diandalkan meskipun tak ada cara untuk menyembunyikan bentuk wajahmu itu." Helaan napas Julius terdengar seraya dia meraih cangkir kopinya dan ia habiskan.
"Aku tak suka kopi," sahut Viole, "aku ingin cokelat dengan krim."
"Sayangnya aku hanya menyediakan kopi, tidak ada cokelat panas, Tuan." Julius tak menyangka jika Viole akan meminta cokelat dengan krim.
"Haruskah kita meminta pada Willy Wonka?" balas Viole dengan alis terangkat satu dan wajahnya agak condong ke depan.
"Aku benci tupai di Willy Wonka, jadi aku tak mau," balas Julius, "ah bisakah aku membahas hal lain sedikit sebelum makan siang?"
"Kau ingin membahas tentang apa?"
"Apa kaumasih sering menulisnya di buku diarimu itu?"
"Terkadang, kalau bagiku penting dan berguna akan kutulis. Kalau tidak, takkan kutulis," balas Viole agak tidak suka dengan pembahasan ini.
Julius mengangguk pelan. "Masih sering mimpi buruk?"
"Untuk akhir-akhir ini kurasa tidak, semalam juga tidak. Lumayan nyaman, meski aku harus membiasakan suasana di sekitarku, tetapi lebih baik dari tempat sebelumnya. Aku juga bebas dan bisa memasak sendiri."
"Suasana hatimu terlihat bagus dan kau juga tak berusaha untuk membuat kebohongan." Julius tersenyum yang ketika ia melakukannya matanya seolah tersenyum pula. Itu adalah ciri khasnya, eye smile.
"Aku boleh pergi?" balas Viole tak suka cara Julius tersenyum.
"Setidaknya habiskan kopimu."
Viole menggeleng pelan. "Aku tak suka kopi, terlebih kopi pahitmu itu."
Julius menatap sinis. "Ya, aku lupa jika kauhanya menyukai hal-hal yang manis."
"Sampai jumpa," balas Viole dengan mengabaikan perkataan Julius lalu tanpa menunggu jawaban pria itu, Viole lekas keluar dari ruangannya. Menutup pintu seraya memasang headphone-nya kembali dan memutar musik.
Ia keluar dari rumah sakit, perlahan menyusuri trotoar hendak menuju salah satu kafe yang berada di dekat rumah sakit ini. Ia bisa merasakan embusan angin yang membelai setiap helaian rambutnya. Beberapa pasang mata menatap padanya, ada bisikan yang seolah berkata jika mereka terpana melihat wajah Viole serta bertanya-tanya dari mana manakah asal lelaki cantik itu, barangkali ia seorang aktor atau model.
Memasuki pintu kafe yang bernuansa kalem dengan warna cokelat dan putih serta musik klasik mengalun. Ia menuju meja pemesanan, memesan minuman cokelat dan sepotong kue dengan krim keju di atasnya, ia lalu duduk di salah satu meja paling ujung dan agak jauh dari keramaian agar ia bisa menikmati kesendiriannya sebelum memulai hari esok yang ia tebak pasti akan sangat melelahkan.
****
SENIN menjadi hari pertama Viole bersekolah di Erysvale High School, kelas dimulai pada pukul setengah delapan nanti hingga pukul tiga sore. Jadi Viole sudah bangun sekitar pukul lima subuh dan bersiap-siap. Mula-mula dia menyiapkan makan terlebih dahulu. Kemarin dia sudah membeli bahan-bahan masakan di supermarket sebelum kembali ke apartemennya. Cukup banyak bahan yang ia beli dimulai dari minyak, beras, penyedap rasa, ayam, daging, nugget, sosis, telur, hingga bahan seperti bawang dan lain sebagainya. Ia juga membeli spageti dan sausnya yang langsung jadi. Tidak lupa pula membeli sereal, roti, dan susu fullcream karena dia suka camilan dicampur susu atau membuat roti panggang.
Sarapan pagi ini hanya dibuatnya simpel. Sosis, telur, daging yang digoreng, kemudian memanggang dua sisir roti. Semuanya ia taruh di piring besar, ia tak lupa pula menuangkan susu fullcream baru dari kulkas ke dalam gelas. Lekas menuju meja makan, ia menyantap sarapannya sebelum pukul enam seraya membaca salah satu novel yang dikarang oleh Agatha Christie, penulis satu itu selalu menjadi favoritnya. Selain itu dia juga menyukai novel karya Stephen King dan Shirley Jackson. Melihat dari bahan bacaannya, sepertinya Viole adalah penggemar cerita bergenre thriller, horor, misteri, dan pembunuhan. Sangat tidak cocok dengan wajahnya yang cantik karena dia pasti dikira akan menbaca novel yang imut atau bertemakan romansa.
Viole tak terlalu suka romansa, terkecuali benar-benar memasuki standarnya seperti Little Women, Pride and Prejudice, serta Bridgerton. Berbicara mengenai Bridgerton, di dalam filmnya, ia jatuh cinta pada tokoh Daphne Bridgerton yang menurutnya sangat-sangat cantik! Oh, bolehkah Tuhan menciptakan manusia secantik itu? Kemudian novel yang ia baca lagi selalu berputar di isu sosial yang diangkat novel tersebut misalnya saja novel Anne of Green Gables, meskipun dia terkadang kesal pada tokoh Anne yang banyak bicara dan terlalu hiperaktif. Ia juga sering membaca novel terjemahan entah dari Mesir---Nawal El-Saadawi selalu jadi favoritnya---hingga novel dari negara-negara di Asia terutama Asia Tenggara.
Selesai sarapan, ia segera mencuci piring kotor dan alat masaknya. Viole adalah tipe yang tak suka menumpuk piring kotor karena dia risi melihat hal itu jadi dia selalu langsung membersihkannya bahkan ia perlu menyemprot cairan pembersih di sekitar kompornya lalu dibersihkan dengan kain agar semuanya terlihat bersih tanpa ada noda yang menempel sedikit pun. Setelah dapur rapi, ia menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Pakaian kotornya dimasukkan ke dalam keranjang pakaian kotor. Ia berniat mencuci pakaiannya setiap dua atau tiga hari jadi dalam seminggu dia hanya akan mencuci dua kali, ia punya banyak pakaian jadi takkan kehabisan meski terlihat menumpuk, tetapi karena dia menyukai kebersihan jadi mustahil ada pakaian menumpuk.
Dia membutuhkan waktu vampir 15 menit untuk membersihkan diri, ia mencuci rambutnya dengan shampoo dan mengenakan pembersih wajah, sejujurnya ia sejak dulu sudah sering melakukan skincare karena seseorang pernah berkata padanya bahwa wajahnya harus dirawat agar tak ternodai oleh apa pun termasuk jerawat. Jadi Viole menurut saja tanpa bantahan, lagi pula dengan menggunakan skincare, dia merasa bersih juga.
Hampir pukul tujuh pagi, dia sudah selesai bersiap-siap. Rambutnya juga sudah kering karena ia gunakan hairdryer, ia mengenakan kemeja putih dengan dasi hitam, tunggu untuk apa dasi? Kemudian dilapisi jaket berwarna hijau army, tapi bagian lengan ada warna putihnya. Sementara celananya berwarna hitam dengan sepatu sneakers berwarna hijau gradasi putih. Sepertinya lelaki itu lupa akan nasihat dari Dokter Julius untuk tidak mencolok, jika pun ingat, ia akan tetap memperhatikan caranya berpakaian.
Hari ini dia takkan membawa headphone karena masih hari pertama sekolah jadi dia sebisa mungkin tidak menyusahkan dirinya. Syukurlah karena dengan headphone akan semakin membuatnya jadi sorotan, terutama semua pakaiannya dari atas hingga bawah termasuk headphone termasuk barang bermerek. "Baiklah di mana earphone-ku." Sebagai gantinya tidak membawa headphone, dia akan membawa earphone dengan kabel ke sekolah itu. Sungguh apakah sehari saja dia bisa tidak mendengarkan musik?! Entah sudah berapa kali dia memutar lagu Taylor Swift dalam seminggu.
Jarak dari Cerulean Apartments ke Erysvale High School jika ditempuh dengan berjalan kaki dapat memakan waktu sekitar 10-15 menit. Inilah alasan lain kenapa Viole memilih apartemen itu karena dekat dengan sekolah. Dia enggan membawa kendaraan, lebih tepatnya dia tak memiliki kendaraan sama sekali apalagi mobil. Seharusnya dia membeli sepeda, tetapi ia masih belum memikirkan hal itu karena kepindahannya ke kota ini saja cukup dadakan.
Seraya berjalan kaki di mana matahari belum bersinar dengan terik, ia sesekali memperhatikan struktur dari kota ini. Bangunannya, toko-toko yang berjajar, para warganya yang berlalu-lalang karena aktivitas dan pekerjaan masing-masing, ada pula beberapa penginapan kecil di sini. Viole menoleh pada beberapa remaja yang sepertinya juga bersekolah di Erysvale High School, mereka menggunakan kendaraan pribadi dan ada juga yang terlihat menggunakan motor, kemungkinan cukup banyak motor di sini, Viole harus lebih memahami kondisi kota ini ke depannya. Lalu sepertinya, hanya dirinya seorang yang pergi ke sekolah dengan berjalan kaki, meski ada yang menaiki bus, tetapi karena jarak ke sekolah dapat ditempuh dengan jalan kaki, maka ia enggan menaiki bus.
Kini dia hampir sampai di Erysvale High School, sekolah ini ternyata sangat besar dengan ada lapangan hijau yang membentang dan juga lokasi parkiran yang banyak juga sehingga ada jajaran mobil, motor, maupun sepeda. Sekolah yang didominasi terbuat dari batu bata merah dengan pilar warna putih, serta kaca-kaca lebar. Kemungkinan bangunan dari batu bata itu termasuk bangunan lama karena dilihat ke sisi lain sekolah ini, ada bangunan baru, tetapi dengan warna yang masih senada dengan bangunan lamanya. Lalu ada banyak fasilitas di sekolah ini dimulai dari gedung lapangan basket, kolam renang dalam gedung, hingga fasilitas penunjang lainnya seperti ruang kesenian, orkestra, serta masih banyak lagi.
"Meski tidak sebagus Hogwarts, tapi ini tidak buruk juga untuk sebuah sekolah menengah di kota ini." Viole melihat para murid berlarian karena jam pelajaran akan segera dimulai, tetapi ada beberapa yang masih menikmati waktu bersantai dengan duduk di rerumputan sambil mengobrol dengan teman mereka.
Hal pertama yang Viole rasakan ketika memasuki sekolah ini adalah suasana yang sangat riuh dan ribut, semua murid berbicara serta saling sahut-menyahut seolah seperti ada ratusan lebah berdengung tepat di samping gendang telinga. Mereka juga sibuk dengan membuka-tutup loker mereka yang suara derit besi saling bersinggungan terus terdengar. Hal kedua yang Viole rasakan adalah tatapan orang-orang yang heran padanya. Ia tahu jika ada beberapa murid perempuan yang melirik padanya lalu berbisik pada teman di sampingnya sambil memberikan tatapan yang entah apa maksud mereka. Kini dia jadi semakin paham maksud dari perkataan Julius, jika bukan hanya gayanya dalam fashion, tetapi faktor utama adalah wajahnya.
Merasa semakin banyak yang menghentikan aktivitas mereka, Viole mempercepat langkahnya, hampir seperti berlari lalu dia menuju ruangan kepala sekolah karena dia harus berbicara dengan kepala sekolah terlebih dahulu, ia juga akan menemui wali kelas yang mengurus penempatan kelasnya di sekolah ini. Menuju ruangan guru dan kepala sekolah yang berada di lantai dua, ternyata di koridor ini cukup sepi, jadi ia bisa tenang sesaat dari tatapan-tatapan yang mengganggu kedamaiannya. Sungguh kini dia berpikir jika wajahnya menjadi kutukan seperti halnya Medusa yang dikutuk oleh Dewi Athena.
Memasuki ruangan kepala sekolah, Viole melepaskan earphone-nya karena dia tahu jika tak sopan menggunakan benda itu ketika menghadap pada yang lebih tua. Suara ketukan pintu terdengar, seorang wanita membuka pintu tersebut, jadi Viole segera masuk yang ternyata kepala sekolah sedang berbicara dengan wanita lain dengan rambut hitam dan mengenakan kacamata. Setelah menyapa dan memberi salam, Viole mulai mendengarkan penjelasan dari kepala sekolah serta sambutan kecilnya, lalu wanita di samping kepala sekolah itu ternyata wali kelasnya jadi Viole tidak perlu bersusah payah untuk mencari wanita itu lagi. Hampir setengah jam pembicaraan antara Viole dengan kepala sekolah itu, setelah pembicaraan mereka selesai, Mrs. Deborah Ivanna selaku guru yang mengajar di bidang Biologi dan wali kelas Viole memperkenalkan dirinya lalu membawa Viole keluar untuk diantarkan ke kelasnya.
"Sebenarnya sekolah ini tidak menerima murid pindahan terlebih pembelajaran sudah berlangsung selama dua Minggu. Minimal kami menerima murid pindahan setelah Ujian Tengah Semester, tapi untukmu sepertinya ada perlakuan khusus," ujar Mrs. Ivanna. Entah ini berupa sindiran terlebih pada kata perlakuan khusus atau bukan, Viole merasa biasa saja karena dia memang diperlakukan begitu, meskipun hanya sekadar masuk ke sekolah baru.
"Harusnya Anda maupun Bapak Kepala Sekolah, Mr. Gilberto Rasmussen tidak perlu menerimaku jika itu terpaksa," sahut Viole.
Mrs. Ivanna tersenyum tipis, ia menilik lelaki berwajah cantik ini dari balik kacamatanya. "Kurasa itu tidak bisa dilakukan, bagaimana pun akhirnya, kau akan tetap di sekolah ini."
"Anda benar," balas Viole lalu langkahnya dan Mrs. Ivanna menjadi pelan ketika melihat seorang perempuan dengan rambut sebahu dan berwarna cokelat sedang berbicara dengan guru pelajaran matematika kemudian dia menyapa Mrs. Ivanna.
"Halo Mrs. Ivanna, aku mau bilang kalau tugas Biologi sudah aku kumpulkan ke meja Anda, lalu untuk pelajaran hari ini, aku sudah menyiapkan proyektor yang digunakan jadi anak-anak di kelas menunggu Anda," ujar perempuan rambut sebahu itu dengan suaranya yang lembut. Ia lalu menatap pada Viole kemudian disapanya singkat. "Halo, apa kau anak baru di sekolah ini?"
Sesaat Viole memperhatikan perempuan yang punya manik mata hijau itu, ia tersenyum begitu hangat seperti suasana musim gugur. Sayangnya, Viole tidak menyapa balik, hanya memalingkan wajahnya. Hal itu membuat si perempuan bermata hijau jadi terkekeh. "Maaf ya jika aku membuatmu jadi canggung."
"Tidak sama sekali Nona Walter," sahut Mrs. Ivanna sedikit melotot pada Viole karena bisa-bisanya menghiraukan sapaan dari gadis baik ini! "Sebelumnya terima kasih sudah mau mengantarkan tugas dan menyiapkan proyektornya, tapi aku akan terlambat masuk kelas, jadi suruh teman-teman kamu untuk membaca materi dulu."
"Baiklah aku akan menghubungi mereka." Perempuan itu masih melirik pada Viole. Ia cukup kagum dengan wajah lelaki itu yang putih dan cantik? Bisa-bisanya mengalahkan dirinya.
"Bagus, lalu aku hendak meminta tolong padamu Nona Walter, selagi aku yang mengajar di jam pertama jadi kau tak masalah telat masuk kelas." Mrs. Ivanna menarik lengan baju Viole agar lelaki itu mau menatap perempuan yang dipanggil Walter itu. "Anak ini adalah murid pindahan, dia baru masuk hari ini jadi aku mau kaumembantunya berkeliling sebentar dan memperkenalkan apa saja yang ada di sekolah ini."
"Semacam tur kecil keliling sekolah?" sahut perempuan itu dengan mata berbinar.
"Ya, semacam itu," balas Mrs. Ivanna, "lalu kalau sudah selesai, tolong bawa dia ke kelas 1-5 karena dia berada di kelas itu."
"Wah sekelas dengan Louie, dia pasti senang mendapat teman baru! Baiklah dengan senang hati kulakukan." Lalu perempuan itu meraih tangan Viole begitu saja. "Kami pamit dulu, Mrs. Ivanna!"
Perempuan itu membawa Viole pergi, Mrs. Ivanna hanya menatap sesaat kemudian menghela napas. "Kuharap Anda betah di sini, tuan Viole." Lalu lekas dia melangkah pergi dari sana dan menuju ruangan guru karena ada hal yang perlu dia urus terlebih dahulu sebelum mengajar ke kelasnya.
****
Melepaskan tangan adalah hal yang pertama kali dilakukan oleh Viole karena ia tak menyangka perempuan asing ini langsung menyentuhnya begitu saja. Perempuan itu sadar jika Viole menarik tangannya dengan agak kasar jadi dia menatap Viole kemudian meminta maaf.
"Maaf aku tiba-tiba menarikmu! Aku sangat bersemangat ketika ada murid baru, tak kusangka sekolah ini menerima murid baru padahal pelajaran sudah berlangsung selama hampir tiga minggu, hampir sebulan malah. Intinya aku sangat bersemangat, terutama kau satu kelas dengan Louie, kuyakin dia senang juga punya teman baru!" Terus saja perempuan itu mengoceh sementara Viole hanya menatap saja. Suasana koridor yang sepi karena semua kelas sedang melangsungkan pembelajaran membuat euforia canggung terasa menusuk kulit, tetapi perempuan itu sepertinya tidak terusik dengan dengan sikap Viole yang terlihat sekali jika lelaki itu enggan berbicara padanya.
"Oh ya, aku lupa memperkenalkan nama," ujar perempuan itu seraya mengulurkan tangannya hendak berjabat tangan. "Namaku Emma, Emma Walter. Aku dari kelas 1-7, salam kenal ... bagaimana denganmu, setidaknya aku harus tahu namamu."
Viole mengeratkan tasnya. "Violetta Beauvoir, tolong panggil aku Viole." Ia sama sekali tak mau jika ada yang memanggil nama lengkapnya yang terkesan feminin itu.
"Baiklah Viole, salam kenal ya." Ada senyuman yang sulit Viole mengerti terpancar dari wajah Emma. Seolah-olah Emma menahan tawa karena mendengar namanya itu. "Lalu jujur, namamu sangat cocok dengan wajahmu. Kau cantik."
Lekas Viole beranjak pergi, sontak Emma mengejarnya dan meminta maaf lagi. "Maaf, aku hanya bercanda, ah maksudku yang tadi itu pujian bukan hinaan. Maaf jika kau tersinggung."
Viole selalu mendengar perkataan itu dari banyak orang. Namun, kebanyakan dari mereka berbohong karena ada isi pikiran yang berbeda dengan yang mereka ucapkan. Beruntungnya Viole tidak terlalu peduli meski terkadang ia lelah dan jengkel karena hinaan yang sama diberikan padanya. "Bisakah kita mulai berkeliling sekolahnya?"
"Tentu saja! Syukurlah kau tidak marah atau mengusirku." Emma terkekeh. "Kebetulan kita di sini jadi aku akan mulai memperkenalkan kelas-kelas di sekolah ini."
Viole mulai mengikuti Emma yang berjalan seraya menjelaskan seperti dia adalah pemandu wisata versi sekolah. Jadi berdasarkan perkataan Emma, sekolah ini ada sekitar sepuluh kelas untuk satu angkatannya dikarenakan ada tiga angkatan jadi ada 30 kelas. Kemudian sekolah ini ada dua lantai. Kelas angkatan tahun pertama berada di lantai satu sementara kelas dua dan tiganya berada di lantai dua. Sengaja dipisah agar mempermudah para guru mengorganisir murid-muridnya terutama biar para murid yang beda angkatan tidak terlalu campur aduk.
"Jadi kelas seperti khusus seperti kelas kesenian, lalu kelas orkestra, laboratorium biologi, kimia, maupun fisika berada di lantai bawah karena lantai atas sudah penuh oleh kelas dua dan tiga, termasuk kantor guru dan kepala sekolah. Awalnya kantor di bawah, tapi setelah renovasi jadi dipindah ke atas. Lalu di lantai dua juga ada beberapa ruangan kelas lain semisal ruangan untuk ekstrakurikuler, meski tidak terlalu banyak."
"Jadi kita hanya di kelas dan ruangan yang sama sampai tahun depan?" ujar Viole.
"Tentu saja! Sekolah ini bukan sistem pindah kelas sesuai mata pelajaran, ayolah, ini bukan Hogwarts atau perkuliahan yang sering pindah kelas," balas Emma sedikit bercanda supaya percakapan ini tidak canggung.
"Baiklah dapat dimengerti," sahut Viole agak tersinggung dengan kata Hogwarts seolah ia ingin dibawa ke sekolah sihir itu dibandingkan hidup di dunia manusia ini.
"Baguslah jika kau paham, aku senang mendengarnya, oh ya, biasanya dalam satu kelas terdiri dari 25 murid," tambah Emma, "selanjutnya ayo pergi ke kantin!"
Emma menyeret Viole menyusuri koridor sekolah ini dan menuju kantin yang terletak di sebelah Utara gedung sekolah. Kantinya dipisah dengan pintu hitam besar, biasanya akan dibiarkan dibuka ketika jam istirahat tiba agar tidak mempersulit pada murid.
Di kantin ini, meja-meja berbentuk persegi panjang, ada banyak yang kemungkinan para murid pasti mendapatkan tempat duduknya jika hendak makan di sini, tetapi jika benar-benar penuh dan menyesakkan, para murid biasanya pergi menuju taman sekolah atau lapangan hijau kemudian makan di sana. Menu makanan di kantin sekolah cukup beragam dan para murid bisa meminta susu kotak jika mereka mau.
"Aku sarankan kau coba spageti kemudian dicampur bakso, rasanya sangat enak. Lalu berhati-hatilah dengan susu kotaknya karena pernah ada yang mendapatkan susu basi terutama yang rasa stroberi," jelas Emma seraya Viole mengedarkan pandangannya ke seluruh kantin, ia melihat beberapa murid sedang makan, entah karena tidak ada kelas atau mereka bolos.
"Lalu sekali-kali kau mungkin boleh bolos untuk makan di sini saat pelajaran dimulai, tapi jangan terlalu sering apalagi kalau sampai tertangkap Mrs. Quinton Aguilar, dia orang asal Spanyol yang sangat mengerikan jika marah," bisik Emma seolah tak mau orang lain mendengar percakapan mereka, padahal mereka hanya berdua saja.
Viole hanya menaikkan satu alisnya lalu mengangguk. Kemungkinan Mrs. Aguilar semengerikan tokoh jahat yang ada di film atau buku. "Apa yang akan terjadi jika kita tertangkap?"
Emma tersenyum tipis mendengar Viole bertanya. Entah mengapa suara lelaki itu secantik wajahnya. Ah, tak Emma sangka jika ia bisa kalah dari segi kecantikan dengan seorang lelaki. "Dia biasa memberi ceramah panjang, memarahi kita sampai telinga kita panas. Kalau sudah sering melanggar aturan, dia bisa menghukum kita dengan membersihkan toilet atau memotong rumput."
"Kau pernah dimarahi olehnya?"
Perempuan itu mengetuk-ngetuk dagunya dengan telunjuk. "Sebenarnya pernah padahal itu ketidaksengajaan dan bukan salah kami! Jadi aku dan teman-temanku habis pelajaran olahraga dan kami diberi waktu istirahat lebih cepat, jadi kami ke kantin sebelum waktunya. Saat makan, Mr. Aguilar datang ke kantin lalu mengira kami bolos dan memarahi kami. Sungguh, dia sangat mengerikan, tidak bisa mengerem mulutnya, kuyakin jika dia Vampir pasti kedua taringnya akan muncul saat itu!"
Perlahan Viole memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong jaketnya. Mereka kembali menyusuri koridor setelah dari kantin sekolah. "Apa ada Werewolf-nya?"
"Huh?" Emma menoleh cepat padahal dia tadi berpikir hendak membawa Viole ke mana lagi. "Maksudmu?"
"Kau bilang Vampir tadi, jadi kemungkinan ada Werewolf-nya," balas Viole dengan raut wajahnya yang serius. Sesaat Emma sulit memahami candaan itu karena wajah serius Viole, tetapi ketika paham maksudnya, ia tertawa.
"Kaupikir ini film Twilight? Ada Edward Cullen yang seorang Vampir lalu Jacob si manusia serigala, kemudian ada Bella Swan. Ternyata kau bisa membuat candaan juga ya." Semakin saja Emma bersemangat menanggapi lelaki cantik ini.
"Sejujurnya aku tak suka tokoh Bella di film Twilight." Viole menyahut dan teringat akan novel Twilight juga, ia benci tokoh Bella baik di novel dan film.
"Benarkah? Wow, tak kusangka kau benci Bella Swan yang cantik itu, padahal dia tokoh favoritku." Emma sampai berpikir, alasan apa yang membuat seseorang membenci Bella Swan? Apakah karena Bella memiliki kekasih seperti Edward yang sangat tampan itu. Padahal jika melihat Viole, lelaki itu bisa bersanding dengan Edward Cullen meski Viole versi cantiknya. "Kenapa kau benci dia, boleh aku tahu alasannya?"
"Entahlah menurutku dia perempuan yang labil, dia sulit memilih antara Edward atau Jacob, dan dia benar-benar gila ketika Edward meninggalkannya. Seperti maksudku, oh ayolah, kenapa dia harus menangis dan hampir bunuh diri dengan terjun ke jurang karena terpisah dengan Edward." Viole menjelaskan seolah dia sudah membaca berulang-ulang novel dan menonton filmnya.
Sementara Emma dengan mulut menganga lebar menatap Viole. "Kau sungguh tak bisa memahami perasaan wanita."
"Apa hubungannya?" balas Viole.
"Semua akan jadi Bella pada waktunya ketika sangat jatuh cinta dengan seorang Edward Cullen, percayalah padaku!" Emma membawa Viole menuju koridor lain.
"Maksudmu menggila karena ditinggalkan meski hanya semenit?" balas Viole yang kembali lagi Emma menatap Viole dengan mata melebar.
"Kau ternyata menyebalkan ya! Aku jadi penasaran tokoh perempuan seperti apa yang kausukai jika seperti Bella Swan saja kau benci!" balas Emma.
Viole menjawab, "Ginny Weasley, Katniss Everdeen, Annabeth Chase, Tris Prior, dan Carrie White."
Emma terheran ketika nama-nama perempuan kuat dan menakjubkan itu meluncur dari mulut Viole. Baiklah tidak masalah dengan empat tokoh di awal karena banyak kaum laki-laki maupun perempuan yang mengagumi mereka. Namun, nama tokoh terakhir itu bukankah sedikit mengerikan. "Kau menyukai Carrie White."
"Kenapa?" Viole tersenyum tipis.
"Sungguh aku hanya berani sekali menonton film yang diadaptasi dari novel karya Stephen King itu! Itu film benar-benar gila terutama adegan darahnya. Lalu kau menyukai perempuan seperti Carrie White? Apa kau serius?"
"Ya, aku senang dengan adegan terakhir filmnya ketika Carrie membunuh semua orang. Mereka pantas mendapatkannya terutama atas perundungan yang mereka lakukan terhadap Carrie. Lagi pula Carrie hanya menggunakan dengan benar kekuatan telekinesis yang dia miliki."
"Mengerikan," balas Emma, tetapi dia malah semakin penasaran dengan Viole. "Kau suka perempuan seperti itu?"
"Itu adalah tokoh yang kusukai," balas Viole.
Emma mengibaskan tangannya. "Biasanya sesuatu yang kita sukai atau tokoh yang kita sukai juga dapat mencerminkan apa yang kita cintai di dunia nyata."
"Nasihat yang bagus," balas Viole yang kini mereka berada di koridor tempat ruangan kelas khusus.
Emma mulai menjelaskan lagi. Di koridor ini, ada ruangan khusus seperti ruangan kesenian, ruangan orkestra dan musik, ada pula kelas-kelas untuk ekstrakurikuler seperti jurnalistik, fotografer, serta masih banyak lagi. Ia juga mengajak Viole ke klinik sekolah. Kemudian dikarenakan sekolah ini cukup besar jadi ada dua klinik sekolah yakni yang di sebelah timur dan barat sekolah, supaya murid yang sakit tidak perlu berjalan jauh. Teruntuk toilet, ada banyak di sekolah ini, tentunya juga dibedakan antara toilet laki-laki dan perempuan.
"Mari keluar," ujar Emma mengajak Viole keluar gedung sekolah untuk menunjukkan gedung-gedung lainnya yang ada di sini. Ia menunjuk pada salah satu gedung yang termasuk baru. "Di sana ada tempat pelajaran olahraga, maksudku untuk basket, voli, atau semacamnya."
Berada di sini ada beberapa gedung baru untuk sarana olahraga, lalu di belakang gedung utama ada bangunan yang menjadi kolam renang dalam ruangan jadi ketika pelajaran renang dapat dilakukan di sana. Kolam renang itu juga digunakan ekstrakurikuler renang untuk berlatih. "Banyak piala yang dibawa oleh tim renang sekolah ini, lalu tim basket juga banyak membawa kemenangan."
Sesaat Viole melirik pada beberapa murid dengan baju kaos dengan warna seragam, mereka sedang berbicara dengan salah satu guru. Terlihat percakapan mereka sangat intens, tetapi guru itu seperti tak mau berlama-lama berbicara dengan murid-murid itu. "Apa mereka ekstrakurikuler juga?"
Emma menoleh ke arah mana tatapan Viole tertuju, ia perhatian warna baju dan logo di kaos mereka. "Ah, kau tahu Dnd? Dragon and Dungeon, jadi ada ekskul itu di sekolah ini. Sebenarnya ekskul itu sudah tamat karena tak ada peminatnya, jadi vacuum selama empat bulan, tapi setelah penerimaan murid baru. Kurasa para kakak kelas meminta mereka bergabung, tapi masih kurang anggota, mereka kemungkinan ingin mengaktifkan kembali ekskul Dnd itu."
Dnd sangat membosankan, sejak dulu Viole tak suka permainan seperti itu. Ia menghabiskan waktu dengan membaca dan sesekali bermain basket. Lalu Viole pikir hanya di film saja ada ekskul seperti itu, ternyata kehidupan nyata juga ada. Baru hendak Viole berucap, Emma sudah lebih dulu berujar, "ekskul itu payah dan hanya berisi pecundang."
Sesaat Viole terdiam, ia pikir ia yang jahat di sini, ternyata Emma jahat juga. "Kau sendiri ekskul apa?"
Emma menoleh dengan senyuman sumringah. "Aku ikut ekskul renang! Namun, belum bergabung secara resmi, mereka akan melakukan seleksi terlebih dahulu untuk anggota barunya sebelum bergabung. Aku berharap bisa lulus dan menjadi salah satunya."
"Maka berdoalah," balas Viole.
"Kau membuatku terkejut, ternyata kau cukup religius," sahut Emma dengan kekehan. "Kalau begitu, bagaimana kalau kausaja yang berdoa untukku?"
Viole agak risi dengan sifat Emma yang sangat mudah akrab dengan seseorang padahal mereka baru bertemu beberapa menit lalu, tetapi Emma seperti sudah menjadi teman Viole semenjak embrio. "Kau mirip Anne dari series Anne With an E."
"Serius? Apa yang mirip dariku dengannya?" balas Emma.
"Sama-sama banyak oceh dan terlalu hiperaktif," balas Viole yang kemudian berbalik hendak menuju ke dalam sekolah. "Tur-nya selesai, bawa aku ke kelas 1-5."
Emma tidak bisa menyembunyikan wajahnya yang penuh kebahagiaan. "Baiklah, ayo ikut aku dan kuperkenalkan pada Louie, dia temanku dan satu kelas denganmu."
Lekas perempuan itu melangkah dengan riang, ia bahkan melompat-lompat kecil seperti seekor kelinci. Sementara Viole menggeleng pelan dan mengikutinya dari belakang.
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
Hallo, bagaimana kabar kalian^^ Gue update karena ada draft ceritanya:)
Gimana pendapat kalian tentang Emma? Nanti kalian juga akan bertemu dengan Louie^^
Jangan lupa loh kalau cerita ini genre utamanya thriller. Kira-kira bakal bagaimana ya alur cerita ini berjalan ....
Prins Llumière
Selasa, 18 Juli 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top