-Tiga-

"Bawa dia ke sini, kalo gak gue bakal telefon Pak Andreas buat ngeluarin statement dari gue pribadi kalau semua karyawan termasuk lo gaji-nya gue potong 50% selama tiga bulan."

"Hah? Jangan ngadi-ngadi lu, Bang! Urusan orang banyak itu." Seruku kesal, lagian nih yaa, cem-cemannya Bang Satrio itu udah punya pacar, ini kalau aku bantuin sama aja aku mendukung tikung menikung atau per-pelakoran duniawi.

"Ya makanya bawa dia ke sini!"

"Iya-iya ini gue kelarin rapat dulu!"

"Kalo dia gak makan siang bareng gue---"

Bang Satrio sengaja tidak melanjutkan ucapannya tapi aku tahu, ancaman mengerikan pasti akan dia berikan.

Tidak menanggapi ucapan tersebut, aku mematikan sambungan telefon itu lalu masuk kembali ke ruang rapat.

"Siska? Saya keluar duluan, kamu tolong bikin alesan apa aja yang kiranya bisa dimengerti, oke? Sorry, thank you!"

Aku langsung keluar, menghampiri pak Giyanto yang seperti biasa menunggu di mobil.

"Kemana nih mas Bran?"

"Ikutin maps ini aja Pak." Aku mengulurkan ponselku, di peta sudah tertera alamat kantor Mbak Dwika Kencana, cewek idaman Bang Satrio. Awas aja kalo ini cewek gak ada di kantor. Kesel-kesel, aku bom kantornya.

****

Aku menemukan kesamaan antara Bang Satrio dengan cewek incarannya, yaitu sama-sama nyebelin.

Dan bossku itu, yang setahuku ke cewek nyari cuma kalo butuh doang, eh tiba-tiba posting foto si Dwika Kencana ini di sosmednya, mati gak sih? Dia lagi di penjara ehh malah bikin ulah begini.

"Mas Bran, tadi ada yang telefon, katanya deal, udah gitu doang." Ujar Siska ketika aku kembali dari toilet.

"Okeee, saya ngerti kok Mbak, bilang Bu Lana transfer kesini yaa," Kuberikan selembar kertas berisi nominal dan nomor rekening tujuan.

Yak, gara-gara Bang Satrio posting di sosmed, lagi-lagi aku harus membungkam media agar aktivitas bosku itu tidak menjadi sorotan.

"Siap Mas Bran."

"Oh iya Mbak, siang ini saya gak ada rapat atau acara lain kan? Ada berkas yang urgent di tanda tangan gak?" Tanyaku.

"Mas Bran seharian ini kosong, cuma tadi pagi aja. Kalau berkas gak ada yang mendesak, tapi sudah saya taruh di mejanya Mas Bran ya?"

"Oke, Mbak. Makasi."

Aku masuk ke ruangan, mengambil berkas-berkas yang dibilang Siska lalu membacanya perlahan sebelum membubuhkan tanda tanganku. Setelah semua berkas selesai, aku keluar, memberikan berkas tersebut ke Siska.

"Mbak, ini udah semua yaa, saya pamit keluar gak balik ke sini. Kalau ada yang nyari tanya aja penting apa engga, kalau penting langsung atur jadwal buat besok, kalo yang gak penting-penting amat, suruh email aja ya?"

"Siap Mas Bran. Kalau ada yang tanya Mas Bran kemana, saya jawab apa?"

"Bilang aja keluar."

"Siap Mas!"

Aku berjalan keluar, lalu menuju ruangan khusus untuk supir yang menunggu, mencari Pak Giyanto.

"Mas Bran? Mau kemana nih?" Tanya Pak Giyanto ketika aku masuk.

"Mau minta kunci, saya ada urusan sendiri, Pak Giyanto pulang bisa numpang yang lain ya?"

"Oke Mas, besok seperti biasa?"

"Besok saya nyetir sendiri aja, Pak Giyanto libur aja."

"Waah asik yaaa jadi supirnya Boss Bran, sering libur, Mas Bran gak manja hehehehe." Ucap salah satu supir yang ada di ruangan ini, aku gak hafal namanya.

"Hehe bisa aja, udah ya saya pamit." Aku keluar setelah menerima kunci dan surat kendaraan.

Langsung melaju ke sebuah pusat perbelanjaan. Sesampainya di sana, aku langsung menuju ke supermarketnya, membeli bahan-bahan pokok dan makanan kaleng. Selain itu, aku juga membeli buah dan sayuran segar.

Troli yang kudorong sudah menggunung jadi langsung saja aku ke kasir untuk membayar semua ini.

Mendorong troli ke parkiran, memasukan semua belanjaanku ke dalam bagasi, lalu masuk lagi ke mall, kali ini ke toko mainan.

"Mbak, yang educational toys aja tolong dipilih untuk anak umur 1 sampai 6 tahun." Pintaku kepada salah satu pelayan.

"Ini Pak, ada macam-macam." Si mbak pelayan ini memberikan banyak pilihan, aku sampe bingung sendiri.

"Emm, semuanya aja, masing-masing tiga deh yaa."

"Mau dibungkus kado, Pak?"

"Gak usah."

Menunggu mbak tadi, aku mengitari store, mencari mainan untuk anak-anak usia 7-11 tahun.

"Terima kasih Pak!" Ucap si kasir setelah aku membayar semua mainan ini.

Setelah itu aku menuju toko alat olahraga. Membeli 4 buah raket badminton, 4 buah hulla-hop, tali skipping, juga bola basket, soccer dan voli.

"Mas, boleh minta tolong bawain ke parkiran?" Tanyaku mengingat aku tidak bisa mengangkut semuanya sendiri.

"Boleh Pak!" Sahutnya.

Aku tersenyum sambil mengucap terima kasih, meskipun kurang suka dipanggil Pak, tapi yaudah lah.

"Sudah ya Pak?" Ucap Mas ini ketika ia selesai memasukkan barang-barang ke mobil.

"Iya, ini Mas, makasi ya!" Aku menyelipkan sedikit tip ke tangannya sambil berjabat tangan.

"Eh iya, makasi banyak Pak!"

Setelah semua kebutuhan terbeli, aku langsung menuju tempat yang sangat kuhafal sedari kecil, tempat yang menjadi saksi perjalanan hidupku hingga saat ini. Tempat yang tidak akan kulupa.

Ketika memasuki rumah berhalaman luas ini, aku langsung tersenyum melihat anak-anak yang aktif bermain di luar, bahkan ada yang sedang mencoba menerbangkan layangan di halaman samping.

Parkir tepat di depan rumah, aku langsung masuk, mencari sosok yang kuanggap sebagai ibuku.

"Brannn! Ya ampun kok gak bilang kalau mau dateng?" Seru Bu Vero, ketua pengurus panti asuhan ini.

"Yaaa masa dateng aja harus bilang? Ya kan?"

"Iya sihh! Sehat kamu? Ibu liat beberapa bulan lalu bos-mu itu masuk berita, gak bagus beritanya, kamu gak macam-macam kan?"

"Engga Bu, buktinya Bran di sini."

"Yaudah iyaa, mau apa? Udah makan siang?"

"Belum, laper sihh Bu."

"Yaudah ayok!"

Bu Veronica selalu ramah, usianya sudah tidak muda tapi beliau masih sangat aktif. Aku ingat betul ketika aku berumur 5 tahun, Ibu kandungku mengantarku ke tempat ini, Bu Vero menerimaku dengan sebuah pelukan hangat, lalu memberiku sebuah susu dan biskuit untuk menenangkan aku yang menangis selepas Ibu kandungku pergi.

"Mas Opal sama Kardi di mana? Mau minta tolong angkutan barang-barang dari mobil, Bu."

"Udah gampang, kamu makan aja, sini mana kuncinya? Biar Ibu ke belakang cari Kardi, terus bisa minta tolong anak-anak juga bantu."

"Mobilnya gak Bran kunci kok, Bu."

"Duhh gusti! Kamu tuh yaa, sembrono banget."

"Ya kan di dalem halaman Bu parkirnya, di depan rumah banget."

"Gitu deh, tiap dikasih tau, ada aja balesannya."

Aku nyengir, di hadapan Bu Veronica aku selalu bisa menjadi diriku sendiri, beliau paham betul aku ini seperti apa.

Ditinggal sendiri, aku makan dalam diam, nambah bahkan karena masakan Bu Vero itu gak bisa kalau cuma dinikmati satu piring, harus lebih.

"Hay Bang Bran!" Aku menoleh, ada Jelita, anak panti sini yang sudah kelas 2 SMA, mungkin dia akan bernasib sepertiku, sampai legal age dan tidak diadopsi.

Jelita duduk di sampingku, mengarahkan kursinya kepadaku.

"Mas! Kamu tau Je aku gak suka dipanggil Bang, kudu berapa kali coba aku ngomong?"

"Aku baca koran, katanya kamu udah jadi CEO ya? Gantiin bos-mu itu?"

"Iyaa, makanya sana cepet lulus SMA, biar aku bisa kuliahin kamu terus kerja bareng aku."

"Wooow, gak ah, kamu kok betah Mas, kerja bareng pembunuh?"

"Dia pembunuh tapi dia gak jahat, Je. Aku tahu dia gimana."

"Gimana?" Tanya Jelita.

"Ya gak bisa aku jelasin."

"Berarti kamu harus terima kalau orang bilang bos kamu itu orang jahat."

"Yaudah iyaa."

"Mas? Waktu mas Bran di sini, ada gak niat buat kabur?"

Aku langsung melotot mendengar itu. Jelita udah gila kali ya bertanya seperti itu?

"Kenapa kamu bisa sampe mikir kaya gitu?" Tanyaku marah, yaa... Tempat ini memang tidak sempurna, tapi bisa disebut rumah. Bu Vero pun gak selamanya baik, aku pernah dipukul pakai sapu kalau bandel. Tapi untuk pergi? Gak, gak pernah.

Aku bahkan masih tinggal di sini saat berumur 18 tahun, dan ketika aku bertemu Bang Satrio lalu ia menawarkan tempat tinggal, barulah aku pergi.

"Emmm, aku punya pacar, dia keterima kuliah di kota lain, pulau lain bahkan, dan dia ngajak aku ikut."

"Sekolah kamu?" Tanyaku.

"Ya gak tau!"

"Kalau dia gak bisa ngejamin pendidikan kamu, dan ngajak kamu pindah cuma buat keuntungan dia doang, tinggalin!"

"Tapi kan Mas----"

"Apa? Kamu sayang?? Kamu baru umur 16 Je, akan ada banyak cinta yang datang dan pergi sampe kamu ketemu jodoh, gak usah ikut cowok gak jelas yang gak bisa tanggung jawab sama hidup kamu!"

"Mas Bran gitu banget!"

Well, mungkin di matanya aku jahat, tapi aku hanya ingin melindunginya. Kadang kita memang harus bertindak jahat demi kebaikan.

Sama seperti yang dilakukan Bang Satrio. Dan sialnya, tak banyak orang yang memahami itu.

"Mas Bran gak pernah pacaran sih, jadi gak tau rasanya!" Seru Jelita sebelum ia meninggalkanku.

Aku tersenyum pahit, lalu menyuap kembali makananku yang tinggal sedikit.

Yeah, Jelita benar, aku belum pernah pacaran, dan mungkin aku gak ngerti apa yang dirasakannya. Tapi jelas, aku tahu mana yang baik dan mana yang tidak.

********

TBC

Thanks for reading, don't forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxo

*****

Bran yang sedang tidak bersahabat

****

Siapa hayo?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top