-Lima-
"Gimana Pak Yoga, bisa?"
"Yeah, boleh. Toh saya juga sudah dapet perintah dari atasan kalau Bang Satrio diperbolehkan keluar sesukanya."
Aku tersenyum, tapi tetap sesuai janji di awal, aku akan memberikan sejumlah uang untuk Pak Yoga dan jajarannya. Bang Satrio bilang padaku kalau orang-orang di sini baik semua.
"Makasi banyak Pak Yoga, saya jemput Bang Satrio ya?" Kataku, lalu Pak Yoga sendiri yang mengantarkanku ke sel tahanan Bang Satrio.
Banyak para napi yang melepas Bang Satrio, tapi entah di mana otaknya bosku ini, ia malah berjanji kalau ia akan kembali? Kan, sinting kan? Udah dibebasin malah mau balik lagi. Heran.
"Yuk Bang, mau ke mana nih?" Tanyaku saat kami sudah ada di mobil.
"Urus visa dong, gue mau ke Belgia."
"Hah? Serius?"
"Iyaa serius, gue ada urusan di sana."
Akhirnya aku mengangguk, seaneh apapun permintaan bosku ini, ya tetep aja harus diturutin kan?
"Terus ini mau ke rumah item atau putih?"
"Item aja, ketemu orang-orang dulu, kangen gue." Jawab Bang Satrio, pak Giyanto juga mendengar jawaban itu jadi mobil langsung di arahkan ke rumah tempat aku selama ini tinggal.
***
Bang Satrio sudah bebas, tapi gak sepenuhnya karena tiap minggu aku harus melapor ke pak Yoga soal aktivitas bang Satrio, dan menjaga bosku ini untuk tetap berada di bawah bayang-bayang itu lumayan susah, karena yaa... Dia lagi jatuh cinta.
"Gue gak bunuh bokapnya, kok gue yang dituduh sih?" Bang Satrio sedang mengomel, aku sendiri bingung, ia belum cerita sepenuhnya padaku jadi aku gak tahu harus ambil tindakan apa.
"Gak tau lah, Bang."
"Ke rumahnya gih, jemput dia. Sial, Calissta bilang kalau dia deket lagi sama mantannya, udah susah-susah gue bikin mereka putus."
"Gimana sih Bang, bingung gue." Kataku jujur.
"Jemput aja ke rumahnya."
"Terus bilang mau apa?"
"Bilang aja gue kangen, mau ketemu gitu."
"Alesan lo kaya cewe banget dah, Bang."
"Yaudah berangkat aja lu, bawel, nanti gue telefon dia."
Aku mengangguk lalu meninggalkan Bang Satrio sendirian di rumah. Gak sendirian sih, rumah ini banyak yang jaga, ada 5 ART juga yang kerja, jadi gak bakal kosong.
Meminta Pak Giyanto mengantar, kuberitahukan alamat tujuan kami malam ini. Pak Giyanto langsung menyetir dengan kecepatan standar.
Sekitar 35 menit di jalan, kami sampai. Tapi rumah ceweknya Bang Satrio ini gak bisa masuk mobil, jadi aku harus meneruskan dengan berjalan kaki.
Sesampainya di rumah yang dimaksud, aku mengetuk pintu sambil menyerukan salam.
Seorang wanita muda membuka pintu tersebut, dan tiba-tiba saja tubuhku menegang, kurasakan aliran darahku mengalir deras dan tubuhku memanas sampai pelipis ku mengeluarkan sedikit keringat.
"Mas? Ada perlu apaan?"
Aku diam, memandang perempuan cantik di hadapanku ini.
"Mas? Woy? Nyari siapa? Ada perlu apa?"
Aku menelan ludah, mencoba mengendalikan diri agar tidak seperti ini.
"Mbak Dwika, ada di rumah?" Hanya itu yang keluar dari mulutku.
"Mbakkk, ada yang cari nih!" Si wanita cantik ini berseru.
"Tunggu ya mas, sebentar." Aku mengangguk, memperhatikannya berbalik lalu duduk di lantai kemudian fokus dengan laptop yang ada di hadapannya.
Aku lega ketika Dwika setuju ikut denganku. Di perjalanan kami diam tak banyak bicara, tapi pikiranku sibuk sekali. Otakku memikirkan perempuan tadi.
Mungkinkah itu Trinity Kescandra? Adiknya Dwika Kencana yang saat ini sedang berkuliah di jurusan ilmu komunikasi?
Yeah, mungkin saja. Aku sudah tahu tentang Trinity karena aku berhasil mendapatkan infonya ketika mencari tahu soal Dwika. Tapi baru kali ini aku melihatnya secara langsung, dan ia sukses membuatku menjadi patung.
Kami sampai di rumah yang Bang Satrio tempati, rumah hitam yang menjadi markas kami semua.
"Bang Satrio ada di belakang, Mbak. Dan oh iya, ponsel mbak boleh saya simpan? Bang Sat gak mau ada alat elektronik di sekitarnya." Kataku saat kami masuk ke bagian dalam rumah.
Sebenarnya ini bohong, aku ingin menggunakan momen ini untuk menyadap ponsel mbak Dwika, karena ia bekerja untuk musuhnya bosku, selain mata-mata, aku juga harus punya informasi tambahan.
Ponsel ini sudah berhasil kususupi, Bang Satrio dan Mbak Dwika masih asik ngobrol di samping, jadi aku hanya duduk di ruang tengah sambil menonton TV. Dalam hati, ingin sekali aku membuka ponsel mbak Dwika untuk bisa mendapatkan nomor Trinity, tapi tidak... Itu tidak sopan dan aku tidak akan melakukan itu.
Ponsel yang sedari tadi kulirik ini tiba-tiba berbunyi, aku melihatnya dan muncul panggilan dari Trinity.
Gosh. Angkat gak ya??
Ehh, udah deh diemin aja.
Ponsel itu berdering sampai 3 kali sebelum akhirnya Bang Satrio dan Mbak Dwika berjalan memasuki rumah.
"Mbak, ponselnya tadi bunyi, ada telefon dari Trinity." Kataku.
Mbak Dwika langsung melirik sinis Bang Satrio, dan yang dilirik itu malah senyum-senyum jijik, lalu memintaku mengantarkan wanitanya ini kembali.
Sepanjang perjalanan Mbak Dwika banyak bertanya padaku dan tidak ada yang kujawab karena ia bertanya soal privasi bosku, dan lagi ia bekerja dengan orang yang salah, takut nanti ada info yang bocor tanpa sengaja, jadi aku lebih memilih menahan diri.
"Dah sampe sini aja gak usah anter sampe rumah." Kata Mbak Dwika, lalu ia pun turun dari mobil.
"Bye Mbak, Terima kasih." Ucapku tulus dan Mbak Dwika hanya melambaikan tangannya saja.
*****
"Waah gila ini sih!" Aku sudah terbiasa ketika Bang Satrio tiba-tiba ngomong atau ngedumel.
"Kenapa Bang?" Tanyaku.
"Ini hasil yang lo bawa tadi, jelasin kalau bokapnya Dwika itu lebih ke keracunan arsenik daripada jantung, dan jalur masuknya oral loh, kayanya ada yang sengaja nyampur makanannya pake arsenik, zat ini kan gak berbau, jadi orang bisa aja gak sadar."
"Waah? Mbak Dwika udah lo kasih tau?"
"Ini mau gue telefon, lo siap-siap gih jemput dia, penting ini gue harus ketemu langsung!"
"Beneran penting apa lo cuma mau modus ketemu dia aja? Inget Bang, pacar orang ituh."
"Penting, brengsek! Yaa kalo ketemu kan emang mau juga sih hehehe, tapi ini penting, gue ngeri kalau adeknya juga di racun."
Seketika tubuhku menegang mendengar itu, tapi aku berusaha sesantai mungkin, tak ingin Bang Satrio curiga.
"Yaudah gue berangkat."
"Berangkat ke mana? Kan gue belom ngasih tau lo tujuannya."
"Oh iya, yaudah, gimana nih? Gue siap-siap gak jadinya?"
"Iya dah, lo siap-siap aja berangkat. Nanti gue kabarin."
**
Aku berhasil menjemput Mbak Dwika, bonus... Aku juga membawa Trinity bertemu dengan Bang Satrio.
Tapi, Trinity nih beda sama yang pertama ketemu. Waktu itu dia ramah, manis banget, eh sekarang jadi nyebelin.
"Bran, anter mereka, biar Trinity diperiksa!" Titah Bang Satrio.
Aku mengangguk mantap.
"Loh? Bang Satrionya gak ikut?" Tanya Trinity polos. Well, dia mungkin gak tahu kalau Bang Satrio itu tahanan yang dihukum seumur hidup penjara.
"Ayok mbak!" Aku mempersilahkan Mbak Dwika dengan adiknya ini.
Di perjalanan, sama seperti tadi, Trinity banyak melontarkan pertanyaan, dia gak jauh beda ternyata sama kakaknya, tapi gak ngerti deh, dia bisa bikin aku keringetan terus.
Sesampainya kami di rumah sakit yang dituju, aku langsung membawa Trinity dan Mbak Dwika ke bagian patologi.
"Baru lagi dateng ke sini, Bran." Ucap Dokter Maureen yang sedang mengambil sampel darah Trinity.
"Yeah, sibuk dok." Kataku.
"Libur dulu ngurus Satrio, liburan sana."
"Nanti mungkin, sekarang-sekarang sih gak bisa."
"Dia masih kekeuh tuh sama rencananya?" Tanyanya santai, aku langsung melihat sekitar. Well, tempat ini memang kosong sih, hanya ada kami. Tapi... Trinity dan Mbak Dwika itungannya masih orang asing.
"Jangan sekarang, dok." Hanya itu yang keluar dari mulutmu.
Setelah mengambil darah Trinity, dokter Maureen kini mengambil darah Dwika juga untuk diuji.
"Ini kita nunggu dok?" Tanyaku.
"Yaa boleh, tapi agak lama, kamu mau nemenin?"
Aku tersenyum. Salah kayanya aku nih pernah godain dokter ini, kok dia sekarang jadi begini? Padahal dulu godain cuma biar bisa dapet akses doang.
"Kita tunggu di luar aja paling ya dok?"
Dokter Maureen mengangguk, lalu kami bertiga pun keluar.
"Trinity mau makan? Tadi kan gak jadi makan." Tawarku.
"Gak usah Bang, sebelumnya aku udah makan kok."
"Ajak makan aja itu dokter di dalem Bran, kayanya dia suka sama kamu."
Aku melirik syok ke arah Dwika yang tiba-tiba bicara seperti itu. Kenapa ya? Dwika ini kalau sama yang lain santai tapi kalo sama Bang Satrio marah-marah terus?
Cinta juga kali ya? Tapi gengsi, jadi aja marah-marah gara-rara gak tersalurkan rasa cintanya.
Huh dasar anak muda!!
Entah sudah berapa jam yang kami habiskan di lorong rumah sakit sambil menunggu sampai akhirnya dokter Maureen memanggil kami kembali.
"Gimana dok?" Tanyaku.
"Kalau punya Nona Dwika sih hasilnya bagus, jadi aman yaa. Tapi kalau punya dek Trinity nih sesuai dugaan, ada kandungan arsenik dalam darahnya, mumpung belum kenapa-kenapa sih mending kita cuci darah aja ya? Soalnya arsenik tuh karsinogenik, bisa menyebabkan kanker, jadi mumpung belum parah langsung kita tangani aja." Jelas dokter Maureen singkat.
Aku langsung melirik prihatin kepada Trinity. Sayang sekali, ia masih muda tapi sudah mempunyai tumpukan racun dalam darahnya.
"Harus dilakukan kapan dok?" Tanya Dwika.
"Ya secepatnya, itu lebih baik, semakin lama menumpuk akan menjadi bom waktu di dalam tubuh nona Trinity, bahaya."
"Oke dok, terima kasih. Tapi kayanya gak sekarang."
Aku syok mendengar ucapan Dwika tadi, waah parah, dia gak mikir nyawa adeknya apa gimana sih?
Dwika lalu pamit, ia mengajak Trinity. Sebelum mengejar mereka aku berterimakasih terlebih dahulu pada dokter Maureen, lalu keluar mencari kakak beradik sengklek itu.
"Mbak Dwika? Kenapa gak langsung ditangani?" Tanyaku.
"Aku mau cari second opinion. Gak mau langsung percaya sama orangnya Satrio."
"Mbak, ituloh yang ngomong dokter profesional, ibarat kata patologist tuh udah kaya detektif penyakit, mereka tahu apa-apa yang jadi penyebab dan paham juga pengobatannya gimana."
"Yaudah, iya, aku percaya, tapi aku tetep mau cari second opinion."
Aku melirik Trinity, berharap ia buka suara dan menentang keinginan kakaknya tersebut, tapi ia malah diam saja.
"Yaudah ayo, mbak. Saya anter." Kataku pasrah.
Tapi sungguh... Aku gak akan melepaskan pengawasanku begitu saja dari Trinity sampai bisa kupastikan kalau ia sudah sembuh.
Ya, Trinity harus sembuh.
****
TBC
Thanks for reading, don't forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxo
****
Yes, ini Trinity
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top