[0] - Prelude
02 June 2023
Completed
____
Jerman, januari 1975.
"Vinch! Ayo berteman!" Di bawah rindangnya ranting dan dedaunan kering yang melayang-layang dan meluruh di atas rumput pegunungan hari itu agaknya membawa kesuntukan siang hari dan rasa kantuk tak berkesudahan. Namun, alih-alih paripurna mereguk kantuk dan jatuh terlelap dalam buai imajiner mimpi, Vinch yang masih berusia tujuh tahun harus terganggu dengan kedatangan sesosok gadis cilik antah berantah yang melengking antusias menusuk habis genangan yang 'kan terbentuk di sudut mulutnya sebentar lagi.
Si gadis tersenyum lebar seperti seorang badut sirkus tontonannya di bawah pohon, bertaut kening anak lelaki itu. Heran.
Beralih netra kelabu dan sejernih zamrud memandang lekat-lekat penampilan si pelaku atas terganggunya tidur siang indahnya. Gaun merah muda khas anak perempuan dan rambut coklat bergelombang diikat tinggi-tinggi di kepala, energik seperti anak-anak pada umumnya, tidak kurang juga tidak lebih. Vinch lantas merogoh saku celana, mencari-cari sesuatu yang diberi ibunya beberapa hari lalu. Ah, setahunya ia menyimpan coklat itu di saku celana, ke mana perginya sekarang?
"Apa yang kau cari?" tanya si anak gadis masih menengadahkan kepalanya menatap Vinch dari bawah pohon, ia terkikik geli melihat gaya duduk anak lelaki heterochromia itu yang terlihat sangat santai di atas pohon lebat dengan dahan kukuh. Sepertinya dia tidak takut jatuh? pikirnya.
Vinch sibuk merogoh-rogoh kantung celananya sebelum melirik ke bawah dan berkata, "Hei, bisakah kau lemparkan tasku di bawah sana?" Jari Vinch menunjuk sebuah tas berwarna biru laut yang tergeletak di samping kaki gadis tersebut.
"Ini?" Tergesa-gesa Vinch mengangguk ketika tasnya ditenteng oleh anak itu.
"Lemparkan saja ke atas sini, aku akan menangkapnya." Dengan begitu, saat dilemparkan, Vinch sigap menangkap tasnya. Kemudian mengobrak-abrik isinya yang dipenuhi buku-buku pelajaran. Ia jadi teringat rencananya hari ini setelah pulang sekolah, seharusnya ia hanya tinggal sebentar untuk menikmati semilir di pegunungan belakang sekolahnya.
Namun, karena tiba-tiba teringat wajah teplek Aefar—ayahnya, yang pasti akan memintanya menggosok otak hingga mengalami gegar dengan buku-buku selepas sekolah membuatnya ditampar rasa malas untuk kembali ke rumah. Kalau ia bilang lelah belajar, lelaki itu pasti akan tergopoh-gopoh mencekoki habis dirinya dengan permainan catur atau apapun yang memaksa otak karatannya berputar lebih keras menyusun strategi. Kalau kata-kata makian yang ia dapat dari teman sebangku asal Belandanya yang selalu menggerutu perihal orang tua, ia pasti mengatakan 'achterlijk' yang artinya cacat mental.
Pernah suatu kali, entah kesanggupan dan keberanian apa yang melonjak begitu tinggi sampai berani menuliskan kata tersebut di jidat Aefar saat lelaki itu terlelap nyenyak usai begadang larut-larut untuk menangani kepentingan pekerjaannya dari rumah.
Vinch menyelinap diam-diam ke ruang kerja Aefar, memaksa kaki-kaki mungilnya untuk tidak menimbulkan pijak suara. Berbekal senjata tempur berupa pena tinta permanen hadiah ayahnya di ulang tahunnya yang ke-enam, Vinch menulis achterlijk di jidat Aefar besar-besar seraya tersenyum nakal. Tidak berlangsung lama setelah menuliskan kata itu, Aefar yang rasa terjaga dan waspadanya di atas rata-rata meski sedang tidur sekalipun, membuka mata merahnya, seperti monster di pekarangan laut yang sering didongengkan sang ibu.
Aefar menangkap tangan Vinch yang lantas membuat anak itu menjerit gila-gilaan, beringsut mundur dan tidak sengaja melempar pena mengenai mata Aefar, lalu lari terbirit-birit. Alhasil, yang didapati keesokan hari adalah setumpuk buku sejarah yang membuatnya ingin menangis siang malam demi menghapal lembar perlembarnya. Kendati demikian, ia tetap puas membuat ayahnya harus dengan sangat terpaksa meminta bedak ibu untuk menutupi tulisan permanen di jidatnya saat pergi bekerja.
"Hei, tadahkan tanganmu!" seloroh Vinch, meski dilanda kebingungan, gadis kecil itu tetap menurutinya tanpa bertanya apa-apa lagi. Satu detik setelah ia sadar, tangan putih lembutnya sudah dipenuhi bungkus-bungkus permen saja.
"Mengapa memberiku permen?" tanyanya mengernyit bingung sembari menghitung jumlah permen yang dijatuhkan Vinch.
"Kau bahkan tahu namaku, padahal aku tidak pernah memberi tahunya, aku juga tidak pernah melihatmu. Mama bilang, berilah sesuatu yang bisa membuat orang asing yang ingin mendekatimu pergi. Jadi, kuberi tiga permen padamu. Satu untuk aku tidak mengenalmu. Permen kedua, aku tidak ingin berteman denganmu. Permen terakhir, maafkan aku. Sekarang pergilah." tandas Vinch menjatuhkan kembali tasnya ke atas rerumputan, sejurus kemudian bersandar dan memejamkan matanya.
Posisi itu tidak bertahan lama, karena Vinch yang mengintip dari sedikit matanya yang dibiarkan terbuka masih melihat gaun merah muda gadis itu berkibar digoda genitnya angin, berdiri tidak bergerak di sana dan menatapnya keras kepala. Baiklah, pura-pura saja tutup mata lagi, batinnya mengerang kesal.
Meskipun Vinch adalah anak yang periang dan mudah bergaul dengan siapapun, pemikirannya yang teliti dan hati-hati tetap saja mirip dengan sang ayah. Jelas gadis itu bukan salah satu teman sekolahnya, kedatangan yang terlalu mendadak menimbulkan sekelumit praduga dan curiga di kepala kecil Vinch. Atau hanya karena didikan yang mengajarinya senantiasa waspada membuatnya menjadi terlalu berlebihan terhadap sesuatu, padahal mungkin ia memang ingin berteman saja. Lagipula apa yang dapat dipikirkan oleh anak kecil?
Lama tidak mendengar apapun, Vinch akhirnya membuka kelopak matanya dan dibuat kaget setengah mati dengan penampakan di hadapan. Gadis kecil tadi sudah duduk bersamanya di atas dahan pohon!
Bagaimana dia naik? Vinch mengalihkan pandangan bolak-balik dari si gadis dan ke bawah pohon, barangkali ia memang sedang berhalusinasi. "Kau—"
"Satu untuk kita bisa berkenalan dulu," ujar gadis itu seraya memasukkan satu permen yang sudah dibuka bungkusnya ke dalam mulut Vinch yang hendak mengeluarkan patah kata. Memotong kesempatan anak lelaki tersebut.
"Apa—"
"Dua, kamu harus mau berteman denganku." Memasukkan permen selanjutnya, yang lagi-lagi membungkam Vinch.
Dahi Vinch berkedut kesal, ia membuka mulutnya yang sudah dipenuhi permen untuk protes, "Eh—"
"Tiga, aku tidak mau pergi. Maafkan aku." Permen terakhir disumpalkan ke dalam mulut Vinch hingga anak lelaki itu kehilangan kesabaran. Karena gadis itu telah menyenggol titik sakitnya, Vinch dengan ceroboh beranjak dari duduknya yang naas membuat kakinya justru tergelincir, lupa jika ia tidak sedang berpijak di tanah. Matanya membelalak panik tak mampu berteriak disebabkan kepenuhan mulutnya.
Mati aku, mati aku!
Hap!
"Aku menangkapmu!" Vinch mengintip kakinya yang menggelantung dan tidak menyentuh permukaan tanah, lalu mendongak menatap sebelah tangannya yang dipegang kuat oleh orang yang membuatnya kesal sejak tadi. Orang itu berkata dengan wajah setengah memerah kesusahan karena berusaha menahan beban tubuh Vinch agar tidak jatuh, "Sekarang, kenalkan, namaku ...."
"Riley."
Lalu, lepas. Erangan teredam Vinch menyuarakan rasa sakit yang datang menyalaknya, ia jelas-jelas tidak jadi jatuh tadinya. Namun, gadis kurang ajar itu berubah pikiran dan mendadak melepaskan genggaman, membuat nasib Vinch berakhir menikmati kerasnya permukaan datar itu.
"Senang bertemu denganmu, Vinch." Lagi, di bawah sorot terik menyengat matahari bertajuk hawa kantuk, tawa gembira dengan kedua mata cerah yang berselimut keceriaan justru terdengar menggelayuti dan beriring bersama kicauan burung. Kaki yang berayun-ayun di dahan pohon seolah mencemooh Vinch yang terduduk dengan seluruh wajah berkerut masam bersama kram menjalari bokongnya.
Ah, tidur siangnya, lenyap sudah.
Continue
____
Aiyaa, haloo. Setelah hibernasi berabad-abad, akhirnya saya memutuskan kembali dengan membawa kisah absurd.
Mempersembahkan tokoh utama-Vinch von Dille, seorang duda setengah gila dengan 6 orang anak rebel yang hidupnya selalu ditimpa kesialan.
The Black Cat and Guzheng Girl berlatar fantasi china ini memiliki alur maju-mundur, akan ada banyak flashback yang menyokong jalannya alur. Inspirasi dan semangat terbesar saya saat menulis cerita ini adalah seri drama chinese 少年歌行 (Shao Nian Ge Xing), jadi jangan heran jika menemukan soundtrack-soundtracknya di bab-bab mendatang. Itu dikarenakan kecintaan saya padanya, haha.
Oh ya, jangan lupa mengunjungi kisah-kisah dan dunia yang dijelajahi keluarga von Dille yang lain. Saya bisa menjamin, kamu tidak akan menyesal mengunjunginya satu-persatu, bahkan mungkin akan meneteskan liur karenanya. Haha.
Mari nikmati petualangan kami!
Tertanda,
von Dille-Crocodile.
Keluarga Suaka Margasatwa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top