9

[trigger warning: rape attempt!]

Apa yang merasuki Heo Ryeon sampai mau merendah di hadapan bawahannya begini?!

Para asisten bergegas membungkuk dan meminta maaf balik, termasuk Saera. Suara mereka bercampur kabur bagai kepak sayap serangga musim panas. Ryeon menegakkan tubuh, berniat membuat permohonan maafnya lebih pribadi. Ia mengakui bahwa sikap kerasnya terhadap Asisten Moon--yang belum sepenuhnya beradaptasi--agak keterlaluan; bahwa tak pantas baginya menghina Asisten Kang--yang sangat tekun--di hadapan banyak pegawai; bahwa ia harusnya lebih menghormati Asisten Seok yang sudah sepuh. Terenyuh, ketiga asisten malah 'membenarkan' amukan Ryeon sebelum ini. Asisten Moon merasa bisa banyak belajar setelah ditegur, Asisten Kang memaparkan kesalahannya yang memang perlu Ryeon benahi, sementara Asisten Seok dengan rendah hati menyebut pengetahuan berbisnisnya masih lebih dangkal dari sang atasan muda. Ryeon tersenyum saat berterima kasih kepada rekan-rekannya dan berharap kerjasama antara mereka tetap terjalin baik.

Pancaran mata yang hangat. Kalimat-kalimat penuh pengertian. Semakin hari, semakin Saera mengerti apa yang mengikat para pegawai kepada Ryeon. Pria itu tidak sering mengumbar keramahan karena tidak ingin mengurangi nilai kebersamaan mereka. Hubungan mereka jauh lebih dalam dari satu-dua sapaan penyemangat yang sekadar dijadikan syarat melewati hari. Dengar saja permohonan maaf Ryeon yang teratur lagi menyentuh. Saera tak akan bisa bilang tidak untuk siapa pun yang begini memuliakannya. Tidak di 107 pernikahannya terdahulu maupun puluhan identitasnya sebagai seorang pekerja, Saera pernah memperoleh perlakuan yang demikian. Puja-puji hanya ditujukan untuk kemolekan tubuhnya, bukan seluruh dirinya.

Saera mengisi kembali cangkir-cangkir yang kosong. Saat itulah, Ryeon teringat sesuatu yang krusial. Dipanggilnya Saera yang dengan gugup menghadapnya.

"Aku," suara Ryeon mendadak sumbang; dia berdeham untuk membersihkan tenggorokannya, "harusnya lebih dulu minta maaf padamu. Aku menyalahkanmu karena tidak segera kembali menenun, padahal kau sedang menyeduh teh untukku—untuk kami. Kau membantu kami rehat sejenak di tengah kesibukan yang membuat lalai mengurus diri. Sekali lagi, terima kasih dan maaf karena telah meninggikan suara di depanmu."

Pipi Saera memerah gembira. Ryeon ternyata tidak melewatkannya. "Saya pun minta maaf karena tidak segera melanjutkan pekerjaan saya, tetapi saya senang kalau teh racikan saya meringankan beban tuan-tuan semua."

"Benar, Saera, minuman ini sangat menyegarkan. Bagaimana kau membuatnya dengan bahan yang terbatas di dapur?" komentar Asisten Kang.

"Dapur memiliki semua yang saya butuhkan: kurma merah, kayu manis, jahe, dan air. Saya menyayat-nyayat kurma sebelum memasukkannya dalam rebusan jahe-kayu manis, lalu memanaskannya dengan api kecil sampai warna air cukup gelap dan harumnya menguar."

"Pelayan Tuan Ryeon mungkin harus diajarkan untuk membuat teh ini sebaik dirimu. Beliau akan membutuhkannya." Ada keisengan orang tua dalam kalimat Asisten Seok ini. Saera dan Ryeon bukan tidak paham maksudnya. Sesuai peran, Saera cuma tersenyum jengah, sedangkan Ryeon menanggapi dengan lebih blak-blakan.

"Aku mengingatnya. Kurma merah, kayu manis, jahe, dan air." Jeda; Ryeon lantas menghirup tehnya canggung. "Itu tidak sulit."

"Tentu tidak sulit." Asisten Seok mengulang. "Saera, apakah masih ada sisa rebusan kurma merah ini di dapur?"

"Masih, Tuan."

"Tampunglah sisanya agar Tuan Ryeon bisa membawanya pulang."

Paras Saera langsung berseri dan dengan bersemangat undur diri untuk mengambilkan sisa teh. Di sisi lain, Ryeon masih duduk tenang untuk menandaskan minumannya, tetapi di balik cangkir, semu wajahnya mengintip. Semu wajah itu masih bertahan hingga Saera menyerahkan tabung bambu berisi rebusan kurma merah kepadanya.

"Ah, Asisten Seok, bukankah kau ingin membicarakan soal sutra denganku dan Saera?"

Benar juga! Hampir saja terlupa, itu kan alasan utamaku datang kemari!, batin Saera. Ia memosisikan duduknya menghadap Asisten Seok dan memusatkan perhatian.

Jawaban yang diberikan Asisten Seok sungguh tak terduga.

"Sebenarnya, saya tidak memiliki apa pun untuk dibicarakan. Saya hanya merasa Saera mesti dihadirkan di kantor agar suasana hati Anda membaik. Untunglah, cara ini berhasil."

Kedua asisten lain mati-matian menahan gelak, sedangkan rahang Saera nyaris terjatuh ke lantai. Aku diisengi kakek-kakek ini!, pekiknya nelangsa, teringat tenunannya yang belum selesai.

"Bukannya malah bagus?" ujar Saeshinbu. "Setidaknya, kau jadi punya kesempatan untuk mendekati Ryeon. Perhatikan wajahnya baik-baik!"

Benar saja. Ryeon mematung dengan wajah merah padam dan manik membola seperti orang bodoh. Ia akan menyembur asisten keriputnya itu kalau tidak ingat sebelumnya meminta maaf dengan penuh perasaan. Diliriknya Saera, sebentar saja lantaran sang penenun langsung menunduk. Laki-laki itu lantas bergeser tak nyaman di atas alas duduk.

"Itu gagasan yang menarik, Asisten Seok," tapi ada rasa malu berpadu sebal di bawah ucapannya, "walaupun lebih baik jika efisiensi kerja diutamakan di atas segala hal. Terima kasih telah menghabiskan waktu istirahat bersamaku; sekarang, kalian bisa kembali ke pos masing-masing."

Asisten Seok dan Asisten Kang yang pengertian segera pamit, sementara Asisten Moon yang sungkan melihat Saera membersihkan segalanya sendiri menawarkan bantuan. Yang lucu, Asisten Kang menyeretnya pergi, meninggalkan Ryeon dan Saera berdua dalam ruangan itu.

Ryeon meletakkan cangkir dan poci teh yang telah kosong ke atas nampan. Ia akan mengangkat nampan itu pula andai Saera tidak mendahuluinya, membuat tangan mereka bersinggungan. Rikuh, Saera menjauhkan tangannya dari Ryeon dan mengangkat nampan.

"Biar saya saja, Tuan. Permisi."

Segera setelah membersihkan piranti minum teh, Saera memberi salam pada para asisten yang ia temui di serambi dan meminta izin kembali ke ruang tenun. Akan tetapi, baru berapa langkah ia meninggalkan kantor, Ryeon keluar, tergesa-gesa mengekorinya.

"Yoo Saera!"

"Ya, Tuan Ryeon—ah, maaf telah membuat Anda berlari!"

"Tidak apa-apa." Ryeon berusaha mengatur napas. "Bisa ulurkan pergelangan tanganmu?"

Saera melakukan apa yang diminta. Ryeon mengamati keduanya dengan teliti sebelum memandang Saera.

"Kau tidak merasa sakit lagi di pergelangan? Atau punggung dan bahumu?"

Saera menidakkan. Ia hampir mengernyit bingung menemui kekecewaan di wajah Ryeon. Untuk apa?

"Kalau kau membutuhkan sesuatu, tolong bilang saja padaku," ucap sang saudagar, tatapannya seakan bisa melubangi kepala Saera saking intensnya. "Aku juga ingin melakukan sesuatu untuk menolongmu."

Oh. Seandainya mampu, Saera akan menyimpan kalimat ini dalam peti baja yang kuncinya dipegang dia seorang, jadi ketika dibuka kembali, kalimat itu akan bergema tanpa berubah satu aksara pun. Sebernilai itu.

"T-Tuan tidak perlu melakukan apa-apa! Justru saya yang harus membalas budi karena Tuan sudah mau mempekerjakan perempuan kumal dengan asal usul tidak jelas ini!"

"Jangan berkata buruk tentang dirimu sendiri," tegas Ryeon. "Kau ... lebih berarti bagi kami dari yang selama ini kaupikir."

Darah Saera berdesir, napasnya tersita, dan tepi matanya ngilu ketika Ryeon mengatakan itu, persis seperti saat ia menyadari Ryeon menjaga baik-baik saputangan bersulam karyanya. Kalimat Ryeon kurang puitis dibanding rayuan pria-pria tua yang pernah Saera jerat, tetapi kesungguhan lelaki itu langka. Tak ada berahi mencorengnya dan bahkan jikapun ada, Saera akan memuaskannya tanpa merasa jijik. Hitung-hitung bayaran karena sudah melambungkan perasaannya.

Namun, mata Ryeon hanya memantulkan sosok seorang dara lugu nan pemalu. Sebuah topeng. Sebagaimana korban-korban Saeshinbu terdahulu, Ryeon akan mencintai seseorang yang tidak nyata. Kebenaran ini memantik cemburu, padahal Saera biasanya menjadi pihak yang menyalakannya di hati orang lain.

Memangnya siapa aku yang berhak cemburu atas pria ini? Aku toh tidak lebih dari seorang penipu.

"Tak cukup rasa terima kasih saya untuk Tuan Ryeon. Jika ada sesuatu yang saya butuhkan, pasti akan saya sampaikan." Saera menarik diri; nadanya merendah hingga beku. "Saya akan segera meneruskan tenunan. Permisi."

Bagaimana raut Ryeon ketika dia pergi, Saera tak sempat mengamati. Tahu-tahu, ia telah menutup pintu ruang menenun dari dalam dan bersandar di sana cukup lama sampai Saeshinbu menyapa.

"Ada apa denganmu? Tidak enak badan?"

Ya. Aku tak cocok dengan teh kurma merah, karang Saera, menyangka Saeshinbu akan terpuaskan dengan jawaban itu. Ia meregangkan kedua lengan sebelum menekuk sendi-sendinya di atas kursi menenun, siap melanjutkan kain.

"Aku memiliki satu permintaan yang harus kauwujudkan."

Apa lagi? Desisan Saera menelusup di antara bunyi berisik perapat benang. Belakangan, hewan yang menumpangi badannya serewel bayi baru lahir.

"Sebelum menghabisi Ryeon, mangsalah satu pria dewasa untuk mengganjal perutku. Aku ingin kau membuktikan kesungguhanmu berburu."

***

Malam berikutnya, setelah bekerja, Saera tak langsung pulang ke asrama. Ia mengenakan tudung bepergian dan berbelok menjauhi rumah tenun. Tujuannya satu: kawasan kedai minum, di mana pria-pria lajang yang bisa dikudap Saeshinbu memuaskan dahaga. Si calon mangsa mungkin ditemuinya di jalan menuju kedai atau dalam kedai. Menempuh jalan yang mana saja, Saera mesti menggunakan pesona polos yang sesuai dengan identitasnya sekarang. Biarpun menggoda pria dengan taktik ini merupakan hal baru baginya, peluang gagalnya sangat kecil; semuanya kan sudah ia perhitungkan masak-masak?

Kegelapan tidak mencegah kumbang menemukan bunga. Saera memancarkan wangi segar buah yuja (1) yang bercampur bau serat kain. Satu tiupan aroma ini ke dalam hidung lelaki yang peka akan menimbulkan gambaran gadis rumahan yang rajin lagi terlindung, bahkan tanpa melihat. Adakah pejantan liar yang tak tergoda?

Sebelum memasuki halaman kedai, lengan Saera sudah digaet satu orang. Ini isyarat baginya untuk berpura-pura terkesiap. Refleks ia menarik lengan, dengan ketakutan meneruskan perjalanan, tetapi sekali lagi tangannya dihela.

"Hei, hei, Gadis Kecil, kau tahu tempat apa yang akan kaumasuki?"

Seorang petani, kah?, tebak Saera. Pria ini berada di ambang masa mudanya, pendek tapi liat, berkulit gelap, dan ada noda lumpur lama pada bajunya. Cengkeramannya kuat, jelas karena terbiasa mencangkul. Saera bertanya-tanya apakah Ryeon yang sehari-hari menilai kain dan menghitung mun hasil berdagang akan mampu melawan lelaki ini.

"Tentu saya tahu. Ini kedai minuman." Jawaban yang sesungguhnya tak berguna, tetapi Saera perlukan untuk menekankan keluguannya.

Si petani tertawa. Napasnya asam dan giginya menghitam beberapa. "Memangnya kau tidak tahu orang macam apa yang masuk kedai minuman?" tanyanya, lalu pura-pura bergidik ngeri. "Pelanggan-pelanggan di dalam sangat jahat dan kuat, apalagi kebanyakan dari mereka mabuk. Siapa yang tahu akan berbuat apa mereka pada gadis lemah lembut macam kau?"

"Tolong lepaskan saya," mohon Saera lirih. Ia tidak buang-buang waktu memberontak jika pria di hadapannya dapat 'disentil' dengan sikap menyerah. "Saya harus segera membeli sopi manis untuk orang rumah ...."

"Betapa malang!" Si petani membawa teman, rupanya. Saeshinbu akan kekenyangan. "Keluargamu menyuruhmu keluar seorang diri malam-malam begini? Apakah mereka tidak tahu putri mereka bisa diterkam serigala jika tidak waspada?"

Kalianlah serigalanya, cibir Saera yang air matanya mulai berlinangan. Demi dewa, hasratnya membungkus orang-orang ini dalam sutra laba-laba membeludak.

"Di mana rumahmu, Gadis Muda?" Petani pertama maju seraya mengulas senyum menjijikkan. Tangannya belum lepas dari lengan Saera. "Kami bisa mengantarkanmu pulang supaya selamat."

"S-Saya bisa pulang sendiri .... Tolong lepaskan!" Saera menggerak-gerakkan lengannya, terkesan lemah lantaran digenggam kelewat kencang. Kedua petani terbahak-bahak melihat keadaannya.

"Melepaskanmu? Seperti ini?"

Mendadak, petani pertama membuka telapaknya sehingga Saera terjengkang. Segera Saera bangun dan lari, sengaja tak cepat-cepat, jadi seorang dari penyerangnya masih sempat menarik atasannya dari belakang. Lapisan kain tipis itu pun robeklah. Saera lantas diimpit dan dibekap oleh petani kedua. Ceruk di bawah hidung dan mulutnya tertutup sempurna; tak ada celah sama sekali untuk masuknya udara.

A-Aku tidak bisa bernapas!

Kedua telapak Saera kini berusaha sungguh-sungguh untuk membebaskan diri dari bekapan, tetapi tenaganya sebagai manusia tidak cukup besar. Selagi ia berjuang, petani pertama membuka simpul pakaiannya dengan satu kaitan telunjuk. Manik kedua pria menyala oleh gairah.

"Menarik. Kau berpakaian untuk dilepaskan atau apa?"

Saat Saera meronta, kerah pakaiannya direnggut hingga kain yang membebat dadanya terdedah. Payudaranya yang menyembul membuat pria-pria ini makin beringas. Punggung Saera gatal; apakah sekarang waktu yang tepat untuk mengeluarkan lengan-lengan Saeshinbu? Kulit marmernya sudah tersuguh cuma-cuma buat dua lelaki miskin mesum, padahal pejabat pulau biasanya membayar pemandangan itu dengan perhiasan-perhiasan mahal dari Ming!

Tak dinyana, satu bayangan kabur berwarna pucat mendekati mereka dari arah kedai. Para petani menjerit; rambut mereka dijambak pada simpul atasnya. Selain sakit dan mengganggu keseimbangan, cara ini juga melukai harga diri seorang pria, terlebih setelahnya, kedua petani itu dijatuhkan bersamaan.

"KURANG AJAR!"

Badan Saera tahu-tahu tertutupi tudungnya yang berdebu. Tudung itu ditahan oleh satu tangan penyelamatnya, sementara tangan lain menyeretnya menjauh. Masih tersengal karena baru dibekap, Saera nyaris tak bernapas ketika berlari ke arah yang berlawanan dengan derap sandal jerami para petani.

"PENCURI!"

Saera terbelalak. Suara ini!

Orang-orang yang semula sibuk sendiri langsung tumpah dari tepian jalan desa, menghadang dua calon korban Saera begitu seruan ini dilantangkan. Entah pengadilan macam apa yang menunggu orang-orang binal tersebut. Yang jelas, atap kantor keuangan telah tertangkap netra Saera; ia aman.

Ya, mungkin tidak sepenuhnya.

Sepasang tungkai linu dan paru-paru mengerut membuat Saera nyaris tumbang andai satu telapak tangan tidak meraih pinggangnya. Raga ringan sang dara ditegakkan, tudungnya dirapatkan, menyisakan wajahnya yang tak tertutup. Usai menjepit tudung di bawah dagu, Saera mendongak.

"Tuan Ryeon ...." []

---

Catatan kaki:

(1) yuja: Citrus junos, dikenal juga dengan jeruk yuzu di Jepang. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top