4
"Nona Muda, Andakah yang menenun kain ini untuk kami?”
Sehari sebelum malam bulan purnama kedua, sekelompok perwakilan dari desa yang memesan kain Saera mendatangi rumah tenun. Mereka mendapat kabar bahwa kain keramat mereka sudah selesai. Tidak seperti dua kain lainnya yang diantarkan ke rumah pemesan, mereka yang berasal dari kalangan rendah sadar diri untuk mengambil pesanan itu sendiri. Saera, dengan wajah bangga dan telapak tangan yang terasa mengambang saking seringnya menganyam benang, menyerahkan kain tersebut kepada kepala desa. Si pria tua sangat terkejut ketika mengetahui bahwa pekerja Ryeon yang menyelesaikan kain sebelum tenggat ternyata masih belia.
“Benar, Tuan. Saya Yoo Saera, penenun baru Tuan Ryeon.” Saera membungkuk hormat, tetapi para perwakilan desa malah bersujud, yang membuat Saera ikut bersujud pula ‘karena sungkan’.
Situasi ini sungguh konyol, keluh Saera yang entah sudah berapa kali mesti mengotori dahinya selama bermain peran.
“Nona, tolong jangan merendah lebih dari kami. Nona telah menenun kain suci untuk kami para petani yang hina, maka kamilah yang harus memberikan Nona penghormatan. Kami akan jaga kain ini baik-baik. Semoga Nona diberikan umur panjang dan kebahagiaan!” doa kepala desa yang diulang oleh perwakilan desa lainnya.
Wah, disembah-sembah begini rasanya lucu juga, batin Saera geli.
“Tuan-tuan, saya mohon jangan seperti ini. Sebelum Tuan Ryeon mempekerjakan saya, saya hanya gadis miskin yang terlunta-lunta di hutan. Posisi saya lebih rendah dari Tuan sekalian. Tolong bangkitlah!”
Meyakinkan para perwakilan desa yang bersikap berlebihan itu lumayan susah, tetapi akhirnya mereka kembali pulang dengan kepuasan yang nyata. Nyonya Cha memuji Saera, mengingatkan betapa berharganya sutra laba-laba buatannya, dan dengan baik hatinya memberikan segulung kertas perkamen berisi dua pesanan kain lagi.
Segala umpatan Saera bendung di balik bibirnya.
“Oh, jangan kerjakan itu hari ini. Kau belum mengambil jatah libur pertamamu, jadi Tuan Ryeon menyuruhmu untuk beristirahat empat hari sebelum mulai menenun lagi.”
“Eh? Empat hari?” Terlalu singkat! Harusnya aku mendapatkan libur yang lebih panjang setelah bekerja dua bulan! “Apa tidak terlalu panjang, Nyonya Cha? Pesanan yang sekarang tenggatnya pasti sama dengan sebelumnya, kan?”
“Memang benar, tetapi ada edaran dari Tuan Ryeon untukmu. Biar kubacakan." Nyonya Cha mengeluarkan segulung surat dari sela baju luarnya. "'Penenun Yoo Saera diwajibkan berlibur dari hari ke-15 hingga hari ke-18 bulan domba, kecuali terdapat perubahan lain yang diumumkan sebelum hari tersebut. Pelanggaran dari peraturan ini akan dikenakan pemotongan upah dan pemendekan tenggat pesanan. Harap peringatan ini diperhatikan dengan saksama.’ Kau dengar?”
“Ancamannya pemendekan tenggat! Dasar tidak waras! Tenggatnya yang sekarang saja sudah bikin pegal!” omel Saeshinbu. “Sudahlah, Saera, kita pulang sesuai apa yang dia mau!”
“Jika itu perintah Tuan Ryeon, saya tak bisa apa-apa selain mematuhinya.” Saera memasang tampang kecewa-tidak-bisa-bekerja. “Kalau begitu, saya akan membereskan barang saya di ruang belakang dan pulang ke asrama.”
“Langsung? Ambillah sedikit dari simpananmu yang banyak itu di kantor sebelah. Kau tidak mau membeli baju atau ikat rambut baru dengan hasil jerih payahmu?”
Dengan mengatakan itu, Nyonya Cha menjentik sisi peka Saera dan Saeshinbu sekaligus.
Uangku!
“Ah, iya, tentu saya mau .... Saya hanya perlu menunjukkan kartu saya, kan?”
“Benar, dan kau bisa berbelanja apa pun yang kausuka!”
Berpura-pura antusias, Saera sebenarnya tak tertarik berkeliling pasar karena pada beberapa penyamaran sebelum ini, ia tinggal membayar orang untuk menjahitkan pakaiannya. Penjual hiasan rambut dan wewangian pun silih berganti mengunjungi rumah bordil, jadi ia tak perlu berpanas-panas sekadar untuk berdandan. Lagi pula, dia juga sudah cantik.
Nyonya Cha memberitahu Saera soal kios-kios barang murah yang bagus di pasar terdekat sebelum mengucapkan ‘selamat berlibur’ dan berpesan untuk berhati-hati selama perjalanan. Seberlalunya wanita itu, Saera tersenyum lebar, kemudian masuk asrama buat menyimpan perkamen pesanan dan mengambil kartu upah. Angka enam belas ribu mun yang telah masuk ke pundi-pundinya cukup fantastis, tetapi agar aman, petugas administrasi membatasi pengambilannya hingga seribu mun per hari. Meski cuma mengambil delapan ratus, Saera tak bisa menutupi kegembiraan setibanya di pasar.
“Nona Saeshinbu, Heo Ryeon ini sungguh sialan kayanya!” bisik Saera riang. “Tanpa kurayu atau kuajak minum, dia sudah memenuhi simpananku! Patron pejabat di rumah bordil hanya memberi paling besar setengah dari jumlah itu dalam dua bulan pendekatan!”
“Ya, tetapi tanganku dan tanganmu kesemutan jadinya. Selain itu, hubunganmu dengannya tidak berkembang sama sekali: jauh lebih lambat dari biasanya!” erang Saeshinbu.
Sabar dulu. Kau ingat bagaimana wajah Ryeon memerah saat kita makan malam dengannya? Sedingin apa juga, dia masihlah lelaki yang gampang dibangkitkan hasratnya. Saera berbelok ke satu kios pakaian. Wah, warnanya bagus-bagus! Pilih yang merah-kuning atau yang biru langit, ya?
Saeshinbu tidak menjawab, jadi Saera mencocok-cocokkan sendiri kedua setelan itu dengan warna kulitnya.
“Kau harus memperhitungkan setiap langkah mendekati lelaki itu dengan cermat.”
Ini cuma masalah pejantan. Jenis mereka adalah mainanmu sejak bertahun-tahun silam. Mengapa begitu tegang? Saera akhirnya mengangsurkan setelan merah-kuning untuk dibungkus dan membayarnya sekali.
“Heo Ryeon bisa balik menjebakmu, Saera.”
Tawa yang dicegat membuat Saera tersedak cukup keras hingga si pemilik kios bertanya apakah dia baik-baik saja.
Dan, bagaimana tepatnya manusia biasa sepertinya akan menjebak siluman seganas kita?
“Dengan membuatmu jatuh cinta.”
Saera termenung. Kepalanya mendadak kosong dan lengkung bibirnya perlahan-lahan mendatar.
Cinta, ya? Kau tahu perasaan itu terenggut dariku dalam keadaan perawan bersama nyawa Ibu.
“Selama ini, kau berlagak manis kepada mangsa-mangsamu hanya karena menginginkan harta mereka. Sekarang, kau tidak mengejar Heo Ryeon semata untuk kekayaannya. Dia adalah lelaki yang kauinginkan karena keseluruhan dirinya.”
Hanya tubuh dan hartanya, sangkal Saera sembari menerima bungkusan belanjaannya dan beranjak ke kios lain. Dia memang muda, tampan, bugar, dan banyak uang, tetapi sifatnya sekaku tiang. Membosankan! Dia mungkin juga licik. Seorang pedagang sukses pasti memainkan trik yang cerdik dalam bisnisnya.
“Tapi, jika Ryeon mencintaimu, maka itu akan menjadi pengalaman cinta pertamanya. Dia akan memujamu seorang, bahkan bisa saja sampai berjanji tidak akan mengambil selir. Lebih buruk kalau cintanya ternyata bukan berahi belaka dan kau ganti menggilainya sehingga tak tega menghabisinya.”
Omong kosong! Saera menjepit kuat sehelai pita rambut dari kios perhiasan. Memercayai hal seperti itu akan membunuhku. Kalau kita tak lekas mengunyah mereka, mereka yang akan menginjak-injak kita duluan. Tidak, Nona Saeshinbu. Mau seliat apa pun ototnya, sekeras apa pun tulangnya, aku akan memakan semua laki-laki berengsek itu, tidak terkecuali Heo Ryeon!
“Kakek, bisakah kaupilihkan jepit yang cocok dengan pita ini untukku?” Demi meredam amarah, Saera mengulas senyum pemikatnya dan bermain sedikit dengan pria paruh baya penjual perhiasan. Lihat raut kesengsem itu. Menjijikkan, padahal gigi saja tak lengkap.
Kekeh Saeshinbu menggema dalam benak Saera.
“Aku jadi lega sekarang. Bersumpahlah akan memangsa Heo Ryeon atau aku akan membuat hidupmu lebih buruk dari kematian!”
Ya, ya, aku bersumpah, jawab Saera cuek. Ia berterima kasih santun kepada penjual perhiasan dan langsung menyematkan jepit pilihan si kakek sebagai penutup aksi. Pria keriput itu kelihatannya senang.
Ah, gara-gara si peyot tadi, aku jadi ingin bertemu—Heo Ryeon!
Saera tak tahu mengapa refleks menariknya bersembunyi dan mengintai. Laki-laki berperawakan tinggi ramping berjubah biru tua itu, tidak salah lagi! Saera menajamkan pendengaran demi mencari tahu apa yang Ryeon dan salah satu asistennya lakukan di depan sebuah kios sambe (1) siang bolong begini.
“Ini bukan sekali-dua kali Anda terlambat membayar cicilan pinjaman, tetapi melihat kondisi usaha Anda, saya maklum.”
Rupanya, Ryeon sedang menagih utang usaha.
“Maafkan saya, Tuan Ryeon.” Seorang wanita renta bersujud sambil terisak-isak di depan Ryeon, takut dihukum. “Sambe akhir-akhir ini semakin tergusur oleh katun dan rami. Tidak banyak lagi yang membelinya.”
“Tolong berdirilah.” Ryeon meraih selembar sambe, merasakan ketebalan dan teksturnya. “Memang kain ini tak terlalu nyaman untuk pakaian sehari-hari, tetapi bisa dipasarkan sebagai bahan pakaian berkabung.”
“Benar, Tuan, tetapi sesering apa pun upacara berkabung dilaksanakan, pembeli kain ini masih sedikit.”
Ryeon lantas mundur selangkah, mempelajari kios si perempuan tua sebelum berteduh kembali.
“Di antara penenun sambe, nama Anda tidak terlalu sering saya dengar. Saya ragu orang-orang bahkan tahu kios ini; tempatnya tertutupi kios lain.”
Walaupun aku setuju dengannya, bukankah itu terlalu kejam diucapkan kepada nenek-nenek sebatang kara? Dasar dingin!, seru Saera tak terima.
“Saya tidak punya tenaga lagi untuk berebut tempat dengan pedagang lainnya, Tuan.” Si nenek memelas.
“Itu bukan satu-satunya cara untuk memajukan usaha. Anda bisa bergabung dengan kelompok penenun sambe di Hamdeok. Salah seorang kawan saya mengumpulkan para penenun sambe untuk melestarikan kain mereka. Keuntungannya, selain bisa bekerja berkelompok, para penenun dijembatani untuk memasarkan barang. Teman saya tadi juga memiliki cukup banyak gagasan untuk mengembangkan potensi kain tersebut.”
Oh, lagi-lagi Saera kecele. Bagaimana tidak? Ryeon selalu menabiri itikad baiknya dengan wajah datar dan ucapannya yang tak kenal basa-basi, sih. Saera akui ide Ryeon cukup bagus; ia bahkan tidak tahu ada komunitas penenun sambe di Hamdeok.
Pembicaraan Ryeon dan si perempuan tua berakhir dengan penundaan pelunasan utang untuk kesekian kalinya. Sang penenun sambe setuju untuk mengikuti komunitas penenun itu, jadi Ryeon akan menunggu hingga si nenek sanggup membayar utangnya.
Nuraninya masih lumayan bekerja, puji Saera dalam hati. Mutu yang langka dari seorang hartawan di Tamra.
Saat Ryeon dan asistennya berpindah, Saera pun mengendap-endap mengikuti mereka. Ryeon sempat mampir ke beberapa kios yang tak kesulitan mengembalikan pinjaman, tetapi tak ada kejadian menarik lagi. Saera jadi bertanya-tanya mengapa ia menguntit Ryeon jika yang dilakukan pria itu cuma bicara sebentar sebelum menerima pelunasan utang dan melompat ke kios lain.
“Hari yang gerah, bukan, Tuan?”
Semula hendak kembali berbelanja, Saera urung beranjak begitu menyadari kilap di wajah Ryeon yang dibanjiri peluh. Menanggapi asistennya, sang pedagang mendengus lelah dan membuka kipas lipat. Masuk akal kalau suhu tubuhnya naik pesat; dia telah berjalan cukup jauh di tengah hawa kering dan matahari yang menyengat.
Pipi Saera memerah. Entah bagaimana, alur-alur basah yang menuruni pelipis dan leher kokoh Ryeon membangkitkan sesuatu dalam dirinya. Netra Saera menelusuri gerak bulir bening di permukaan kulit Ryeon, terus hingga turun ke balik kerah.
Apakah karena suami-suamiku terdahulu cuma berkeringat di rumah bordil atau tempat tidur, aku jadi membayangkan hal lain saat melihat Ryeon berkeringat? Aku tidak tahu mengincar seorang pria muda dapat memunculkan khayalan mesum begitu!
“Hari ini Jocheon seperti neraka saja. Aku haus sekali. Bagaimana denganmu, Asisten Min?”
“Saya pun demikian, Tuan,” jawab sang asisten sembari mengulurkan kantong air dan saputangan. Terhapuslah peluh laknat yang menguyupkan wajah dan leher Ryeon, tetapi perhatian Saera jadi teralih pada saputangan katun dalam genggaman si lelaki. Mengapa seseorang sekaya Ryeon warna saputangannya pudar begitu?
“Masih ada berapa kios lagi yang belum kita datangi?”
“Dua kios, Tuan.”
“Syukurlah. Kita bisa segera beristirahat di kantor.” Ryeon menyimpan rapi saputangan katun putih keabuannya dalam jubah, membuat Saera tergelitik ingin mengomentari.
Aduh, aku sih akan membuang saputangan yang warnanya sudah tak jelas begitu! Walaupun pasti baru dicuci, saputangan seperti itu tidak pantas digenggam seorang pedagang kain semacam dia! Apakah secuek itu Ryeon pada urusan di luar bisnisnya? Atau hari ini, dia memang kurang hati-hati sehingga mengambil saputangan usang untuk dibawanya bepergian?
Hm? Nona Saeshinbu, tiba-tiba aku punya ide!
Asyik dengan pikirannya sendiri, Saera lupa bahwa ia harusnya menjaga diri tetap tersembunyi. Ryeon melewati sebuah kios kosmetik dengan cermin di meja dagang; dari sanalah, ia menemukan bayangan pekerja belianya.
“Tuan Ryeon?” Asisten Min tampak bingung ketika majikannya mendadak berhenti di depan kios yang tak tercantum dalam daftar piutang.
Ryeon menarik napas dalam sebelum memanggil dengan suara berat.
“YOO SAERA!”
“WAH!”
Kaget setengah mati, Saera tersandung dan jatuh menggelosor sampai ditertawakan orang-orang. Asisten Min membeliak, tidak sadar dari tadi dibuntuti penenun terbaru tuannya. Laki-laki itu segera membantu Saera berdiri, sementara Ryeon memandangi perempuan itu dengan nanar, bersilang lengan.
“Sejak kapan kau mengikuti kami?” []
Catatan kaki:
(1) Sambe: kain tradisional Korea yang terbuat dari serat hasis (hemp).
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top