3
Derak alat di ruang paling belakang rumah tenun Ryeon terdengar nyaris seharian. Tak seorang penenun pun yang benar-benar menyaksikan bagaimana Saera bekerja, tetapi mereka percaya rekan termuda mereka sangat gigih. Perempuan itu beberapa kali menunda makan, beberapa kali pula minta izin pulang terlambat ke asrama, dengan derak alat tenun senantiasa melatarbelakangi suaranya. Para pekerja sering mencemaskan Saera, tetapi ia dengan sopan mengatakan dirinya baik-baik saja.
“Bocah, sampai kapan kau akan menyuruhku kerja banting tulang?!”
Di balik citra baik yang Saera bangun, ternyata ada satu sosok yang paling menderita.
“Diamlah, Nona Saeshinbu. Bukan cuma kau yang capek di sini,” desis Saera sambil mengatur susunan benang pakan. Empat pasang lengan panjang hitam dari punggungnya menggerakkan dua alat tenun sekaligus, tiga dengan yang Saera pegang sendiri. “Satu-satunya cara supaya kita dapat mendekati Ryeon adalah mengikuti aturan mainnya dan membuktikan kesungguhan kita.”
"Kalau itu maumu, kerjakan saja semua pesanannya sendiri!”
“Lalu, kau tinggal menelan Ryeon setelah aku bersusah payah mendapatkannya, begitu? Enak saja! Ketimbang cuma makan, lebih baik gunakan tanganmu yang banyak itu untuk membantuku! Lebih cepat selesai, lebih cepat juga kita bersantai!”
“Bocah kurang ajar!”
Namun, Saeshinbu tahu bahwa Saera melakukan hal yang benar, jadi ia berhenti protes. Dua tangan lemah manusia memang memiliki keterbatasan. Di samping itu, ia tidak suka dikatai ‘benalu pemalas yang tinggal makan’. Saeshinbu cukup tahu diri untuk tidak membiarkan Saera menanggung semua kesulitan menuju si calon mangsa.
Sementara itu, Saera sejenak berhenti, merintih. Bahu dan lengannya yang pegal mengejang di atas perapat benang. Selama menenun, tubuhnya tak kenal pagi, siang, atau malam. Hanya Kepala Pegawai Cha yang menjadi penanda waktu baginya: saat mengantarnya ke ruang tenun dan saat menjemputnya pulang, itu juga kalau dia tidak memilih lembur.
Aku tak tahu kalau merayu seorang pedagang bisa begini melelahkan. Saera merenggangkan lengan ke atas sebelum kembali merapatkan anyaman benang. Tahan! Aku menginginkan Heo Ryeon, maka aku akan mendapatkannya dengan cara apa pun!
Pintu ruangan diketuk tiga kali. Apakah sekarang waktunya makanan diantar?
“Ini aku, Heo Ryeon. Bisakah kau keluar?”
Nama sang majikan sontak menegakkan tubuh Saera. Laki-laki itu menemuinya sekali-sekali saja, tetapi Saera menghargai setiap pertemuan yang tak terduga tersebut sebab Ryeon sangat sibuk. Bergegaslah sang dara merapikan pakaiannya yang kusut karena kebanyakan duduk, juga menyembunyikan helai-helai liar yang mencuat dari kepangan rambutnya.
"Tunggu sebentar, Tuan!”
Nada Saera begitu riang hingga Saeshinbu menyindir, “Tumben bahagia betulan menyambut suami.”
“Ssh!” bisik Saera, lantas meraih kerangka pintu geser. Ia sedikit mengerang ketika menariknya membuka. Sesudah ia menutup pintu dari luar, Ryeon langsung menyisir penampilannya dari ujung kepala hingga kaki.
“Tuan, ada apa?”
“Mengapa kau terdengar kesakitan tadi?” tanya Ryeon, masih dengan ekspresi datarnya yang khas. Ah, sial, coba ia memasang kerut cemas yang tulus. Pastilah Saera akan melambung.
“Kesakitan? Saya baik-baik saja,” tapi, Saera memberi petunjuk samar dengan saling menangkupkan kedua tangannya yang gemetar.
“Aku mendapat laporan bahwa kau jarang makan belakangan. Apa itu benar?”
Takut-takut, Saera mengiyakan dan alis Ryeon bertaut, dalam diam menanyakan alasannya.
“Maaf, Tuan, tetapi kain-kain itu mesti segera diselesaikan. Waktu makan akan memotong—"
“Apa Nyonya Cha tidak memperingatkanmu apa akibatnya tidak makan teratur?” sahut Ryeon.
“Maaf, sudah, Tuan. S-Saya bisa jatuh sakit dan tenunannya bisa tidak selesai ....”
“Selain itu,” tuding Ryeon ke pergelangan Saera, “kau tidak melaporkan kepada Nyonya Cha bahwa tanganmu kaku? Apa kau tidak paham pentingnya tangan itu untukku?”
Aku suka perhatiannya, tetapi benci sekali caranya mengungkapkan hal itu!, dumel Saera dalam hati.
“Maafkan saya, Tuan .... Saya hanya .... Saya hanya ....”
Sebelum Ryeon mengatakan sesuatu lagi, tangis Saera keburu menitik. Ia mengucap maaf berulang-ulang sembari menghapus air matanya kasar. Untuk menambah efek dramatis, ia juga bersimpuh di hadapan Ryeon yang kelihatannya tak mengantisipasi tanggapan ini. Si pria mundur selangkah dan berdecak tak nyaman.
“Bangunlah!”
Saera bangkit perlahan, masih menunduk dan mengusap-usap wajahnya. “Seharusnya saya mengerjakan tenunan itu lebih cepat sehingga saya juga bisa mengurus diri, tetapi ... maafkan saya, Tuan—"
“Berhenti meminta maaf!” Ryeon menahan tegurannya supaya tak berubah menjadi bentakan. Ia lantas berjalan melewati Saera. “Temui Tuan Seok di halaman. Kau akan makan malam di rumahku.”
Mendengar tawaran ini, Saera berbalik amat cepat hingga kibasan roknya terdengar. Keterkejutannya tak dibuat-buat.
“M-Makan malam dengan Tuan Ryeon? Saya?”
“Ya, kau. Kunci ruanganmu dan temui Tuan Seok sekarang.” Bagaimana Ryeon memperdalam suaranya untuk mempertegas perintah menggetarkan Saera dengan cara yang ganjil. “Jangan memintaku mengulang.”
Sayup-sayup, Saera mendengar ‘gadis merepotkan’ didenguskan bersama rasa letih. Seperti biasa, Ryeon tidak menoleh lagi dan tidak menunggu pegawainya menyusul; ia menghilang begitu saja. Sesuai instruksi, Saera menemui pelayan tua Ryeon, Tuan Seok, di halaman rumah tenun.
“Tuan Ryeon memintamu untuk menunggunya di rumah sebab beliau harus mengurus perjalanan ke Aeweol besok.”
Astaga. Bukankah Ryeon baru pulang dari Gujwa dua hari lalu?
Duh, dia kan seorang pedagang, maka pekerjaan akan menuntutnya mengunjungi satu tempat ke tempat lain. Saera merapatkan tudung bepergiannya. Kesempatan seperti malam ini memang langka, tidak boleh aku sia-siakan!
***
Tadinya, semangat Saera melonjak karena melihat peluang untuk mendekati Ryeon pada makan malam ini. Sayang, begitu Ryeon tiba, gadis itu dibungkam berkali-kali. Pertama, oleh hidangan. Kedua, oleh teguran Ryeon—’jangan bicara sampai makananmu habis’—ketika Saera mencoba membuka percakapan di sela mengunyah. Ketiga ...
“Tuan Ryeon, tenaga tambahan telah disewa untuk mengamankan perjalanan ke Aeweol.”
“Bagus. Kita memang akan mengambil jalur alternatif yang lebih aman, tetapi tak ada salahnya berjaga-jaga karena Aeweol sedang rawan. Oh, ya, pedagang dari Hallim sudah membalas suratku, katamu? Mereka bersedia menunggu?”
“Bersedia, Tuan.”
“Aku akan mempersingkat kunjunganku ke Aeweol agar mereka tidak perlu menunggu lama, kalau begitu.”
“Maaf, Tuan, satu lagi. Surat balasan dari kantor pemerintahan Jocheon dan Andeok sudah datang.”
“Ah,” perasaanku saja atau ia terlihat lebih antusias?, Saera mengamati bagaimana mata Ryeon berbinar penuh harap, “mereka menerima penawaranku?”
“Sangat disesalkan, Andeok menolak tawaran Tuan karena mereka ingin memajukan pedagang lokal, tetapi kantor Jocheon setuju untuk menggunakan kain kita sebagai seragam dinas.”
Ryeon terlihat sedikit kecewa. “Sesuai dugaanku. Beruntung, kita masih memenangkan Jocheon. Jika tidak ada lagi yang bisa kausampaikan, kau boleh pergi, Asisten Ha."
“Baik, Tuan.”
“Hampir lupa. Tolong letakkan buku transaksi dan berkas-berkas pinjaman khusus pedagang Aeweol di mejaku. Terima kasih.”
Beberapa kali menikah, Saera tak pernah menjadikan seorang pedagang sebagai suami. Ia selalu mengincar seseorang dari kalangan atas—pejabat, cendekiawan, pangeran—maka serendah-rendahnya posisi mereka, tak mungkin mereka melakukan pekerjaan kelas menengah, salah satunya menjajakan barang. Wajar ia dibuat tercengang dengan kesibukan Ryeon. Walaupun memiliki banyak bawahan, pastilah masih tersisa beribu urusan yang mesti ditangani sendiri sebagai penanggung jawab usaha. Segalanya tak boleh lewat dari perhitungan, maka pengawasannya di setiap aspek usaha mutlak dilakukan. Bagaimana tak sibuk kalau begitu?
Entah bagaimana, sejak hari ini, orang muda seperti Ryeon yang mengerahkan seluruh tenaga dan pikiran untuk memajukan usaha tampak memesona bagi Saera. Setelah melahap Ryeon, mungkin dia tak akan cari suami yang benar-benar kaya. Paling tidak, dia harus segiat pedagang satu ini ....
“Mengapa menatapku begitu? Aku bicara di sela makan jika kurasa penting saja. Apa yang disampaikan Asisten Ha adalah pengecualian dari aturanku.”
“Tidak, Tuan! Ampunilah kelancangan saya!” Saera cepat menunduk dan kembali menyumpit nasi. “Hanya menurut saya, Tuan Ryeon sangat hebat.”
“Hah?” Ryeon mengernyit.
“Tuan bekerja sekeras para pegawai di rumah tenun, padahal saya kira seorang pemimpin tidak akan mengerahkan seluruh tenaga mereka selama bertugas. Bukankah raja dan pejabat hidup nyaman, sedangkan pekerjaan mereka sebagian besar akan dituntaskan bawahan?”
“Siapa yang mengajarimu itu?”
“Um .... I-Ibu. Dia kenal beberapa pejabat yang seharian cuma berjudi, pergi ke rumah bordil, dan berpura-pura bekerja, jadi saya rasa dia tidak bohong soal itu.”
Ryeon memicing ke arah Saera penuh selidik.
Ya, Anak Muda, aku sedang memberimu petunjuk tentang latar belakangku. Penasaranlah!
“Aku tidak ingin menebak-nebak masa muda seperti apa yang ibumu jalani,” orang ini susah betul dipancingnya!, keluh Saera untuk kesekian kali, “tetapi dia tidak sepenuhnya benar soal pemimpin. Sebagian pendapatmu mengenaiku pun salah.”
Saera kehilangan konsentrasi, memerhatikan bagaimana anggunnya Ryeon menghirup sup—dengan bibir yang ranum itu—dan meneguk perlahan. Gerak jakunnya bahkan menghipnotis yang melihat! Suami-suami Saera sebelumnya berasal dari kasta yang lebih tinggi dibanding lelaki ini, tetapi mengapa mereka makan seperti babi dan tak bisa semenawan Ryeon?
“Kerja seorang pemimpin kadang tak dapat dinilai oleh orang luar. Birokrat-birokrat yang menurunkan pajak, melonggarkan jalur dagang, dan menjamin kemakmuran daerah terpencil juga banyak. Sayang sekali, ibumu cuma dipertemukan dengan sampah selama hidupnya.”
Makanan di piring dan mangkuk Ryeon telah tandas. Usai minum, ia melanjutkan, “Aku juga belum mencapai kesempurnaan seorang pemimpin. Sering aku mengutamakan keuntungan di atas kesejahteraan pekerja-pekerjaku, salah satunya kau. Tenggat waktu kerjamu sudah kuperhitungkan, tetapi barangkali pertimbanganku bahwa kau masih muda dan dapat bekerja cepat meleset. Aku bisa menyurati para pemesan tentang sakitmu supaya mereka memaklumi keterlambatan pengiriman.”
Saera jadi malu sudah berburuk sangka pada Ryeon, juga terenyuh akan perhatian sang majikan terhadap hal ‘seremeh’ kesehatan pekerjanya. Seorang pedagang akan melakukan segala cara untuk meningkatkan laba, tetapi Ryeon bukannya tidak menyadari kesalahan ini dan senantiasa berupaya memperbaiki diri. Sungkan meminta tenggat pekerjaannya diundur, Saera tersenyum lemah dan mengatakan dirinya sehat.
“Mana mungkin pergelanganmu ‘sehat’ jika dari pagi sampai malam terus digunakan? Para penenun di ruang depan saja masih sering linu-linu biarpun sudah cukup beristirahat.” Ryeon mundur, memberi ruang bagi pelayan meringkas meja makannya. “Tabib wanita akan tiba sebentar lagi. Tunggulah di sini sampai Tuan Seok memanggilmu ke ruang depan.”
“Tuan Ryeon memanggilkan tabib untuk saya?” Saera, yang meja rendahnya juga sudah dibereskan, buru-buru menyilangkan tangan di depan pangkuan dan membungkuk penuh syukur. “Terima kasih banyak, Tuan! Semoga berkah langit selalu menyertai Tuan!”
“Lagi? Jangan terus berterima kasih padaku,” ucap Ryeon. “Aku orang biasa yang melakukan hal biasa. Kau sakit, maka kubayar tabib untuk memeriksamu supaya kau segera menyelesaikan pesanan itu.”
“Namun, bagi orang-orang yang terpaksa bergantung pada diri sendiri sekian lama, bantuan Anda merupakan sebuah anugerah, Tuan.”
Kebaikan Ryeon merembes lewat kata-katanya yang sengak sehingga Saera, tanpa sepenuhnya bermaksud merayu, melayangkan pujian. Dipandanginya Ryeon dengan kekaguman yang tulus, memancing sebuah respons yang tak disangka-sangka. Pria muda itu mengalihkan anak mata; pipinya diwarnai semburat merah tipis.
Gila, manisnya!
“Ah, Tuan Ryeon akan beristirahat setelah ini?” tanya Saera saat Ryeon tahu-tahu bangkit dari hadapannya.
“Aku harus melakukan pengecekan terakhir sebelum berangkat ke Aeweol. Tak boleh ada berkas dan barang dagangan yang terlupa.”
“Bukankah Tuan besok harus berangkat pagi-pagi buta? Sekarang sudah larut, bisa-bisa Tuan kurang tidur ....” ujar Saera cemas. Ryeon memicing padanya seolah Saera adalah makhluk aneh yang tak pernah ditemuinya.
“Maksudmu aku harus melewatkan pemeriksaan akhir hanya untuk tidur? Tugas itu tak bisa kuwakilkan kepada siapa pun.”
Bibir Saera sedikit mengerucut. “Tuan peduli pada para pekerja Tuan, tetapi tidak mengurusi diri sendiri dengan baik. Kalau Tuan tidak mau beristirahat, saya juga tidak akan mau diperiksa tabib!”
Alis Ryeon terangkat, tak mengantisipasi sisi pembangkang Saera si pemalu. Baru ia membuka mulut untuk membela diri, Saera sudah menyambung lagi.
“Kalau dipikir-pikir, Tuan Ryeon makan lebih malam dibandingkan kami, pasti karena sibuk, kan? Bukankah Tuan mengerti bahwa makan terlampau malam akan membuat perut kembung? Lantas mengapa Tuan menyalahkan saya karena makan tidak teratur?”
“Mengapa kau jadi cerewet begini, Yoo Saera?”
“Karena saya mengkhawatirkan Tuan sebagaimana Tuan mengkhawatirkan saya!”
“Kerja bagus, Saera!” Saeshinbu dan inangnya berseru bebarengan lantaran baru saja melontarkan peluru madu yang dijamin tepat sasaran. Bagaimana reaksi Ryeon kira-kira?
“Kau sungguh gadis yang menyusahkan.” Di ambang pintu, Ryeon berdeham canggung dan suaranya melembut. “Aku akan beristirahat lebih awal hari ini, jadi jangan bertingkah macam-macam. Temui tabib wanita itu; dia sudah kubayar di muka.” []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top