24
Sook tidak langsung melek saat bangun pagi ini. Sendi-sendinya ngilu, badannya serasa terbakar, dan napasnya berat, tetapi tubuhnya diliputi kelembutan yang begitu nyaman hingga membuat malas bergerak. Harum melati. Cicit burung yang teredam dinding. Secuil cahaya mentari dari jendela.
Suara orang tuanya.
"Tuan, air hangatnya sudah siap."
"Baik. Aku akan menyekanya sebentar lagi."
Ini pertama kali Sook mendengar Saera dan Ryeon bercakap-cakap. Di luar dugaan, pembicaraan sederhana ini sangat menggembirakannya sehingga ia jadi semakin enggan bangun, ingin terus menyimak mereka dari tempat tidur. Sayang sekali, Ryeon memergokinya tersenyum tanpa sadar dan ia harus beranjak dari pembaringan karena itu.
"Dasar, kau pura-pura masih tidur, ya?" bisik Ryeon tepat di telinga Sook seraya menggelitiki perut si gembul. "Ayo, segera bangun dan mandi."
Sook terkekeh lemah dan kelopak matanya berangsur membuka. Yang pertama kali dilihatnya adalah langit-langit kamar dengan kerangka lebih rapat dibanding langit-langit kamar di istana Gunung Halla. Namun, begitu mendapati sosok ayahnya, Sook mengabaikan langit-langit yang 'asing' tadi karena selama Ryeon ada, berarti ini betul rumahnya.
Tumben sekali, Ryeon mengenakan baju tidur alih-alih jubah panjangnya yang terkesan formal. Pakaian itu menyiratkan bahwa Ryeon semalam tidur dengan Sook dan nanti malam akan kembali bersamanya pula, bukan datang-dan-pergi begitu saja seperti sebelum-sebelumnya.
"Ayah." Sook menggelayut manja, tetapi ia tersentak begitu menyadari sesuatu. Keheranan, disentuh-sentuhnya badan Ryeon sebelum mengutarakan pemikirannya dengan heboh. "Kok bisa dipegang?! Ajaib!"
Benar, tubuh pejal itu lain dari tirai yang biasa menyapa kulit Sook jika berusaha menyentuh ayahnya. Lebih jauh membangkitkan kekaguman Sook, Ryeon menggendongnya, dan Sook yang gelagapan melihat sekeliling dari ketinggian itu berteriak kegirangan.
"Aku digendong Ayah! Bu, aku digendooong!"
"Sst, sakit telinga Ayah," tegur Ryeon, heran mengapa anak sakit masih sanggup bersuara demikian nyaring. Apa cuma putranya?
Tidak pernah dimandikan Ryeon, Sook sedikit kaget karena pria itu melakukan segalanya nyaris tanpa bicara. Sungguh lain dari Saera yang akan mengobrolkan apa saja bersamanya selama menggosokkan biji pembersih ke tubuhnya. Sentuhan Ryeon lebih mantap, tetapi tetap lembut walaupun kadang tekanannya terlalu kuat.
Begitu keluar dari bak air, Sook langsung dibalut handuk dan dikeringkan. Ganti pakaian pun dilakukan tanpa betul-betul menanggalkan handuk, jadi Sook tidak menggigil sama sekali sampai ia digendong balik ke kamar. Itu juga masih 'diselimuti' kehangatan lengan besar Ryeon.
"Ayah sudah mandi?"
"Sebelummu." Memang walaupun mengenakan pakaian tidur, Ryeon telah tercium sesegar bahan-bahan biji pembersih dan minyak pohon pinus.
"Kalau Ibu?"
"Bersama Ayah, tadi." Ryeon bingung karena anaknya merengut. "Mengapa?"
"Aku tidak diajak .... Biasanya, habis bersembahyang, aku juga mandi dengan Ibu."
Oh, cemburu rupanya. Sudut-sudut bibir Ryeon terangkat sebelum membelai belakang kepala Sook dan balik meminta maaf, mengatakan bahwa Sook terlihat sangat lelah sehingga ia dan Saera tidak tega membangunkan. Ini saja cukup untuk memancing senyum Sook, seakan ia tak pernah mempermasalahkan perihal mandi bersama.
"Lain kali, Ayah juga mandi denganku, ya?"
Daripada mengangguk, menggeleng, ataupun menjawab dengan kata-kata, Ryeon menenggelamkan kepala Sook perlahan ke ceruk lehernya. Sebuah janji dia kurung dalam mulut karena keluarga ini, tanpa sepengetahuan Sook, tidak memiliki 'hari esok'.
***
Selagi digendong kembali ke kamar tidur, Sook baru sadar bahwa jalan menuju kamar mandi tampak berbeda dari biasanya. Bagian dalam kamar tidurnya juga benar-benar berubah. Rak-rak di kamar lamanya ada di sebelah kiri, ini di kanan. Cermin menyatu dengan meja rias alih-alih berseberangan dengan tempat digelarnya alas tidur. Kamar yang baru ini juga lebih sempit, tetapi jendelanya lebih lebar sehingga saat pagi dan siang menjadi terang benderang.
Saera baru selesai menata altar ketika Sook turun dari gendongan Ryeon dan mendekapnya dari belakang.
"Astaga! Ibu pikir hantu, ternyata lelaki tampan!" Saera menangkup pipi Sook, memasang wajah riang biarpun dalam hati khawatir; pipi itu masih terasa panas. "Wah, bajunya pantas sekali. Ibu yang jahit, lho! Sook suka?"
"Eung. Bajunya bagus!" Lagi pula, memangnya Sook pernah membenci karya Saera? "Ibu, apakah kita akan berdoa?"
"Ya. Ibu menunggu kalian supaya kita bisa berdoa bersama. Kamu duduk dulu agar tidak capek; Ibu akan membantu Ayah berpakaian."
"Saera, aku bisa berpakaian sendiri."
Namun, Ryeon urung mengambil jubah luarnya karena Saera mendesaknya melalui tatapan, sama seperti bocah pendek di belakang. Pria itu terpaksa membuka kedua lengan untuk memenuhi permintaan mereka.
"Mohon bantuannya."
Muka Saera berseri-seri. Segera diambilnya jubah luar berlengan lebar, dibentangkan sejenak untuk dihaluskan garis lipatannya. Ia pakaikan jubah tersebut kepada Ryeon, lalu menyimpul pita untuk merapatkan bagian depannya. Wajah mereka menjadi begitu dekat, membangkitkan kembali memori yang telah lama ditinggalkan. Sengaja Saera menengadah agar dapat menikmati keindahan manik gelap Ryeon sejenak.
"Bu." Sook mengangkat seutas tali tipis. Saera memuji ketanggapannya dan mengikatkan tali tersebut ke bawah dada Ryeon sebagai sentuhan terakhir, lalu mohon izin merapikan rambut pria itu. Sook memerhatikan bagaimana Saera membenahi sedikit ikatan rambut Ryeon dan menyisipkan beberapa helai liar ke dalam manggeon. Si bocah lantas memegang kepalanya sendiri.
"Oh, hampir lupa. Rambut Sook belum ditata."
Mengira akan mendapat cepol kecil di puncak kepala dan kening yang diikat, rambut Sook rupanya cuma disisir dan disatukan dalam kunciran mungil yang tidak memuaskan. Padahal warna baju mereka sudah mirip, wajah pun mirip, mengapa tidak sekalian rambutnya ditata dengan cara yang sama?
"Tidak seperti Ayah."
Saera tertawa; Sook yang manyun malah bertambah imut. "Rambutmu kan masih pendek. Kalau sudah besar, nanti baru bisa mengikat rambut seperti Ayah. Sekarang, Sook pakai ini dulu, ya?" hiburnya, lalu memasangkan hogeon pada Sook. "Setelah ini, kita berdoa kepada Dewi Jacheongbi dan Dewi Samshin. Mintalah agar kamu cepat besar, jadi bisa meniru Ayah."
Sook yang lugu memperoleh harapan dari kata-kata ibunya dan mengangguk setuju. Saera mencubit pipi anak itu sebelum melangkah ke depan altar; sebagai perempuan, Saera-lah yang memimpin persembahyangan kepada dewi-dewi. Ia sudah berpesan pada Sook agar mencontoh cara ayahnya berdoa sebab kalau mengikutinya, energi Sook yang sedang sakit pasti akan langsung terkuras.
Lilin dinyalakan. Di depan altar pertama, Saera memutar mangkuk sesaji berisi biji-bijian.
"Segala puji kepada penguasa cinta dan pelindung tanah Tamra, Yang Mulia Dewi Jacheongbi. Terima kasih telah menyatukan dan memberkati keluarga kami dengan kasih yang melampaui segala rintangan. Jagalah perasaan indah ini dalam hati kami, suburkanlah sebagaimana Engkau menyuburkan sawah-ladang para petani di tanah ini."
Selanjutnya, Saera berdiri dan bersujud beberapa kali, sedangkan Ryeon menyilangkan tangan di depan pangkuan dan mempertahankan sujudnya selama Saera bersembahyang. Sook melirik ayahnya dan meniru, baru menegakkan badan setelah Saera menyalakan lilin di altar kedua. Cawan beras diputar bergantian dengan cawan anggur.
"Segala puji bagi pelindung ibu dan anak-anak, penolong kelahiran, Yang Mulia Samshin. Terima kasih telah menguatkanku selama bersalin dan melindungi Sook sampai berusia enam tahun hari ini. Tolong berkatilah jalan putra kami menuju kedewasaan dan jagalah kemurnian perasaannya senantiasa."
Sekali lagi, Saera berdiri dan bersujud. Sook merasa ada yang janggal dalam doa barusan; bukankah usianya baru lima tahun? Mengapa Saera mengatakan enam?
Persembahyangan selesai. Altar disisihkan agar meja rendah bertudung bisa digeser ke tengah. Sook mencium aroma sedap dari sela tudung kain. Di sisi lain, Saera mengedip-ngedip kepada Ryeon sebagai isyarat untuk kejutan berikutnya. Ryeon menarik napas, tidak terbiasa melakukan 'ini', tetapi Saera memohon dan ia tidak bisa melawan.
Jadi, Ryeon mengikuti Saera mencium pipi Sook. Anak itu memejam dengan wajah merona; orang tuanya mengecupnya bersamaan di kedua sisi! Apakah ia sedang bermimpi?
"Selamat ulang tahun yang keenam, Sook!"
Tudung meja rendah dibuka. Tampaklah berbagai hidangan yang sebelumnya diminta Sook sebagai bayaran istana baloknya. Bubur rumput laut, mi ubi, akar teratai, dan macam-macam kudapan dihidangkan dalam porsi kecil yang pas untuk perutnya. Sepoci teh kurma merah dan air juga tersedia di meja rendah itu, lengkap dengan cangkir kecilnya sendiri.
Sook yang lupa bahwa ia berulang tahun amat terpukau. Kegembiraannya meletup sampai rahangnya jatuh, kakinya pun melemas hingga dia terduduk di pangkuan Saera. Beberapa saat setelahnya, dia hanya bisa mengatakan 'wah!' sambil menunjuk-nunjuk makanan, bingung mau mengatakan apa.
"Bilang terima kasih dulu pada Ibu." Ryeon mengajari. Patuh, Sook bersimpuh, wajahnya tenggelam dalam lipatan rok ibunya tatkala mengucapkan terima kasih yang teredam. Saera sekali lagi tertawa.
"Terima kasih kembali, Sayang. Semoga jalanmu menuju kebahagiaan terbuka lebar. Doa Ayah dan Ibu selalu menyertaimu," ucapnya saat mengelus punggung Sook. "Nah, sekarang, masa ke Ibu saja berterimakasihnya?"
Ryeon yang merasa tidak tahu apa-apa soal perayaan ulang tahun jadi sungkan menerima penghormatan yang sama dari Sook. Dibalasnya canggung ucapan terima kasih Sook dengan usapan di kepala, tetapi hatinya menjadi penuh setelah satu usapan. Harapan tulusnya pun terungkaplah.
"Tumbuhlah menjadi pria yang baik," pesannya singkat, tahu Sook tidak sabar menuju inti perayaan. "Nah, kau bisa makan sekarang."
Benar, kan? Begitu diizinkan makan, Sook langsung ambil posisi di depan meja rendah. Saera membimbingnya berdoa sebelum mengarahkannya ke depan sajian utama ulang tahun, bubur rumput laut. Tidak seperti orang sakit, nafsu makan Sook amat baik; ia memegang sendok dengan mantap dan menyuapkan bubur gurih itu ke dalam mulut tanpa tercecer. Ryeon yang takjub mencondongkan tubuhnya pada Saera.
"Dia sudah bisa makan sendiri?"
"Tentu saja, Tuan. Dia sudah berumur enam tahun." Saera tersenyum santun, merasa terhibur oleh raut kagum suaminya. "Mengapa?"
Malu, Ryeon mengalihkan anak matanya ke arah Sook. "Yah, aku tidak selalu mendampinginya, jadi aku jarang melihatnya makan. Paling-paling hanya tahu dia kausuapi saat sakit."
Aku bahkan tidak pernah melihatmu.
Kalau Ryeon iri pada Saera yang selalu bisa menghabiskan waktu dengan Sook, Saera iri pada Sook yang mampu merasakan keberadaan Ryeon sebelum dia bisa. Siapa sangka 'Nona Peri' ternyata adalah suaminya yang gagah dan tampan?
Mumpung Ryeon sedang memandangi Sook makan, Saera jadi tergoda untuk mengecup pipi pria yang lengah itu. Sudah lama sekali mereka tidak saling menyentuh, wajar kan kalau dia jadi gemas?
"Ayah, enak!"
Bibir Saera hampir menempel ke pipi Ryeon ketika Sook tiba-tiba mengangkat sendoknya yang penuh bubur. Saera sontak mundur seraya menutupkan punggung tangan ke bibir, sedangkan Ryeon segera menerima suapan itu supaya buburnya tidak sampai tumpah ke meja. Sook yang bangga lantaran berhasil menyuapi ayahnya menawarkan suapan ketiganya untuk Saera, lalu kembali menekuri mangkuk untuk mengambil suapan berikutnya. Saat Sook tak menyaksikan itulah, Ryeon menanam kecupan di pipi Saera dan tersenyum jahil.
Orang ini! Saera memelototi Ryeon sembari memegangi pipinya yang memanas.
Merasa 'sudah besar', setiap satu suapan, Sook selalu menyuapi ayah dan ibunya pula, maka orang tuanya tak punya pilihan selain mengikuti maunya. Sejumlah kecil bubur itu pun habis dalam sekejap, jadi Sook bergeser mendekati mi ubi, tetapi keriangannya menghilang setelah satu sumpitan.
"Sook? Ada apa, Nak?" tanya Saera saat Sook mencebik dan merengek pelan.
"Bu, sakit .... Tanganku, kakiku, semuanya ...."
Paham bahwa gejala demam yang satu ini akan berkurang dengan pijatan, Ryeon lekas memangku Sook, tetapi tangannya yang masih kikuk tak tahu harus mulai dari mana. Beruntung, Saera yang pengertian memberikannya arahan.
"Kalau begitu, Sook Ibu suapi saja, ya. Kepalamu juga sakit?"
Memperoleh anggukan, Saera membuat gerakan memutar di pelipis dengan telunjuk dan jari tengah saat menatap Ryeon. Laki-laki itu mengerti. Karena jarinya besar, ia hanya menggunakan telunjuk untuk menekan sisi kepala Sook.
"Tuan bisa melakukan seperti ini juga untuk tungkainya," tambah Saera.
"Begini?" Ryeon mengulangi apa yang Saera tunjukkan, tetapi langsung membeku karena Sook mengerang.
"Betul, tidak apa-apa." Saera menjepit mi ubi, bersiap menyuapi Sook. "Mengapa, Sayang? Terlalu kuatkah?"
"Sedikit ...."
Atensi Ryeon selanjutnya dipusatkan untuk menemukan tekanan yang tepat, baru lega ketika Sook menyandarinya dan tampak lebih santai. Anak yang berulang tahun itu cukup kuat untuk berceloteh lagi di sela mengunyah. Menggunakan cerita-ceritanya, Saera menjaga nafsu makan Sook sampai seluruh mangkuknya bersih, sementara Ryeon hanya memijat dan menanggapi sesekali. Kamar menjadi begitu hidup. Kebersamaan mereka saat ini membuat perpisahan seakan jauh, tetapi kuapan Sook menyentak Saera dan Ryeon kembali pada realita.
"Bu,bolehkah lanjutkan ceritanya nanti sore?" []
manggeon: ikat kepala pria yang melingkari kening
hogeon: tutup kepala untuk anak laki-laki yang berpuncak dan panjang di bagian belakang
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top