23
"Sook, lari!"
Di saat seperti ini, Sook justru membangkang, mematung seraya menatap nyalang Saeshinbu. Saera tersentak. Anaknya ternyata tidak sedang melamun—dan tatapan itu, ia tahu milik siapa.
"Tuan Ryeon," Saera terengah; sebanyak apa pun udara di sekitarnya seolah tidak akan cukup, "jika itu benar Anda, tolong tinggalkan saya dan selamatkan putra kita ...."
Yang menjawab permintaan Saera adalah suara kecil Sook yang, ganjilnya, begitu sarat oleh tekad. "Yoo Saera, kebahagiaan akan datang untuk kita bertiga, tanpa kecuali."
"Hentikan omong kosong ini! Aku ingin makan!"
Cakar Saeshinbu menghunjam tanah, menimbulkan derak. Mulut Saera dibuka paksa untuk menyemprotkan jaring sutra, tetapi Sook—atau Ryeon—menghindari terkaman Saeshinbu berkali-kali dengan sangat lincah. Bahkan ketika sebelah tangannya sudah terjerat, ia masih membuat ruang dengan memanfaatkan serangan membabi-buta Saeshinbu untuk memutuskan benangnya. Helaian sutra laba-laba di tangan Sook memperingatkan Saera akan tipisnya peluang anak itu selamat.
"Nona Saeshinbu adalah urusan saya, Tuan! Jangan ikut campur!"
Peringatan ini tidak diindahkan. Ujung tusuk sanggul Saera diangkat tinggi hingga cahaya bulan jatuh menimpanya.
"Aku tidak datang untuk kalah dua kali, Yoo Saera."
Tanpa aba-aba, Ryeon menerjang dan Saeshinbu yang nafsu bertarungnya melonjak melesat ke arah berlawanan. Saeshinbu akan berhasil melukai Ryeon andai laki-laki itu terlambat barang sedetik. Dengan tangkas, Ryeon berpindah ke belakang punggung Saera, tetapi dari pergerakan udara dan perubahan suhu di sekitarnya, Saera tahu di mana tepatnya Ryeon berdiri. Sebagai konsekuensinya, cakar Saeshinbu pun mengetahui ke mana harus menyerang.
"Saera! Kh ... sialan, apa yang kaulakukan?"
Apa menurutmu? Saera menyeringai sejenak sebelum tersedak. Kedua tangannya mencekik leher sendiri dalam usaha melemahkan Saeshinbu. Ia tak ingin mati, tetapi cekikannya cukup kuat karena makhluk yang hendak dikalahkannya itu bergantung pada napas dan nyawanya. Saeshinbu akan lebih mengutamakan keselamatan Saera ketimbang membunuh Ryeon (dan Sook) dalam kondisi ini.
Benar saja, cakar yang tadinya hampir menghabisi lawan kini berbalik memegangi lengan asli Saera.
"Lepaskan!"
Tanpa disuruh pun, Saera sudah melonggarkan cekikannya begitu Saeshinbu teralih dari Ryeon. Wanita itu terduduk dengan leher yang nyeri, kepala berputar, dan badan kesemutan. Sehebat itu rupanya efek tercekik; itu pulakah yang Ryeon rasakan saat sekarat dulu?
"Kaubilang tidak akan membunuh Sook sampai dia beranjak remaja dan sanggup hidup mandiri," ujar Saera rendah. "Mengapa kau melanggar kesepakatan kita?"
"Anak itu dirasuki oleh Heo Ryeon! Aku sudah curiga sejak anakmu mulai sering bicara sendiri. Langit pasti mengirim arwah Heo Ryeon untuk membunuhku, tetapi aku, Saeshinbu, tidak akan semudah itu mati!"
"Jadi, kau sudah mengira kedatangan Ryeon sebelumku? Laba-laba pelayan yang mati di depan kamar, kau jugakah yang memerintahkan?"
"Tentu saja!" Berengsek, umpat Saera. "Tapi, Heo Sook menjadi tak bercelah setelah Heo Ryeon merasukinya sehingga sanggup membunuh anak buahku. Akan kubalaskan kematian mereka semuanya!"
"Coba saja," decih Saera, mencekik lehernya lagi lantaran berbagai jalan menyelamatkan Sook tanpa mengorbankan nyawa telah dibuntu. Mustahil ia dan Sook bertahan bersama-sama, maka satu yang harus mati itu, terpaksa, adalah dirinya.
"Hentikan!" Rahang Ryeon mengatup rapat, seketika memahamkan Saera bahwa langkahnya keliru besar. "Jangan sakiti dirimu sendiri, Yoo Saera!"
Lengan Saera kontan melampai ke sisi badan. Mengapa? Ryeon sudah melihat segala hal dari dirinya yang, jika disaksikan orang lain, akan membuatnya dinilai pantas mati. Dia ditumpangi seekor parasit pemakan manusia. Dia membantai banyak orang di masa lalu. Dia mencintai kemewahan dan kecemburuan para wanita yang ditinggalkan. Sebaik apa juga dirinya 'terlahir kembali' sebagai istri dan ibu, orang yang mendengar sejarahnya pasti akan jijik dan pergi.
Saera jadi teringat: Sook belum pernah mendengar cerita wanita jahat yang mengandungnya. Akan berpalingkah ia jika mengetahui ibunya sama sekali bukan bidadari?
"Nah, Saera, sekarang kau mengerti bahwa bunuh diri bukan cuma menyakitiku, tetapi juga lelaki itu, maka jangan coba-coba mengulangnya." Saeshinbu merasa berada di atas angin, padahal situasi belum sepenuhnya memihaknya. "Heo Ryeon, mari melanjutkan permainan ini dengan adil ... tapi sayang sekali, kelihatannya badan itu sudah tidak sanggup, ya?"
Ryeon dalam badan Sook tampak benar kewalahan. Ia terengah-engah, berdiri pun tak mantap, dan keringatnya deras mengucur. Sook dalam keadaan tersehatnya masih lebih lemah dari rata-rata, sedangkan anak sebayanya yang normal saja tak akan mampu bertahan dalam pertarungan semacam ini. Jangan lupa bahwa Sook sedang demam. Kalbu Saera serasa diremat; masa bodoh dengan arwah yang mendiami badan itu, Sook-nya sudah terlalu lelah.
"Cukup, Tuan Ryeon," mohonnya nyaris tersedu. "Tubuh Sook sudah mencapai batas .... Nona Saeshinbu biar saya yang menangani, tolong bawalah Sook pergi dari sini."
Tatapan Ryeon berubah sendu. "Sook tidak akan meninggalkanmu."
"Tuan-lah yang enggan meninggalkan saya!" tegas Saera. "Sook benci laba-laba, maka saya dalam tubuh ini juga pasti akan dibencinya ...."
Tertunduklah Ryeon kemudian. Saera bersyukur lelaki itu akhirnya sadar bahwa upayanya sia-sia saja. Jika dapat menakar risiko dan memedulikan Sook, Ryeon pasti akan mundur.
"Membunuh mangsa yang diam tidak akan asyik. Mengapa tiba-tiba mematung begitu? Mencoba lari juga tidak masalah; aku ingin pertarungan ini lebih menyenangkan!" Saeshinbu terdengar bosan dan angkuh. Saera mengertakkan gigi; mengapa Ryeon tidak segera kabur?
Tak lama berselang, Ryeon menengadah. Mata bundarnya berkilauan dan berangsur melebar ketika menurutkan ujung lengan-lengan Saeshinbu ke tengah, ke badan asli Saera. Bibir mungil Ryeon bergetar. Kakinya melemas.
"Ibu ...."
Sial, ternyata itu Sook, bukan Ryeon. Orang yang paling tidak Saera inginkan untuk melihat wujud silumannya, sekarang menghadapinya yang sedang menampakkan tiga lengan tambahan bercakar tajam. Reaksinya sangat mudah ditebak. Anak yang rapuh itu menangis lirih dengan mata yang tak sanggup berpindah dari si makhluk seram. Aih, mata jernih yang selalu memancarkan cinta itu. Yang tinggal darinya hanya ketakutan semata.
Sekaranglah kesempatanku. Akan kudorong Sook pergi selagi ia masih sanggup mengendalikan badannya sendiri.
Tak mengacuhkan betapa menyayat kata-katanya untuk diri sendiri, Saera berujar, "Sook, inilah Ibu yang sebenarnya. Ibu sama saja dengan laba-laba yang kautakuti, tetapi Ibu berbohong supaya Sook tidak membenci Ibu. Kalau Sook tidak pergi, Ibu akan," Saera menelan ludah sebelum melontarkan kebohongan terbesar, "akan memakan Sook, jadi larilah, Nak."
"Bu, sakit sekali, ya?" Selaan Sook membuat Saera terpaku. "Kasihan Ibu .... Badan Ibu sakit karena laba-laba jahat .... Laba-laba, ibuku orang yang baik, jangan buat dia sakit ...."
Apa? Mengapa Sook malah mendekat?
"Bu ...." Oh, alangkah melumpuhkan rengekan itu! "Aku harus tolong Ibu ...."
Saera merasakan geliat lengan Saeshinbu di balik punggungnya. Gawat. Sedikit demi sedikit, Sook memasuki jangkauan lengan itu, padahal tak ada ruang untuk mundur. Saera cuma bisa bergerak menyamping, tetapi itu tidak akan betul-betul menjauhkan Sook dari Saeshinbu, sedangkan kalau mundur terus, bisa-bisa ia tercebur ke kolam di belakang.
"Sook!" bentak Saera, memaksa dirinya untuk menakuti Sook biarpun akhirnya menggigil sendiri. Diluncurkannya semua kata-kata pedih yang menurutnya bisa mengusir sang anak. "Pergi, Ibu bilang! Kalau kamu menolong Ibu, kamu akan mati! Ibu ... Ibu sangat membencimu dan akan memakanmu hidup-hidup!"
"Tidak! Ibu adalah ibuku!" teriak Sook kencang. Ia menggenggam tusuk sanggul dengan kedua tangan, ujung lancipnya mengarah pada Saera. "Aku sudah janji pada Ayah, jadi aku akan menyelamatkanmu!"
Usai menyuarakan sumpahnya, Sook berlari, lurus penuh keyakinan memasuki jangkauan lengan Saeshinbu. Refleks, Saera terus berjalan mundur hingga kakinya tidak lagi menapak tanah. Wanita itu tercebur bersama laba-laba benalu ke dalam kolam yang tertutupi tabung bambu.
Sejenak seluruh indra Saera menjadi kacau karena terbenam dalam air. Berat badan mereka berdua menghancurkan tabung-tabung yang tertimpa—dan Saera mencium aroma yang akrab: cuka buah. Segera ia mengangkat wajah, sementara pantatnya melekat dengan dasar; kolam di balik bendungan berang-berang hanya sedalam lehernya dalam keadaan duduk.
Sook berdiri di tepi sungai, tatapannya digantikan milik Ryeon, lamat mengawasi bagaimana lengan-lengan Saeshinbu meleleh setelah diangkat dari kolam.
"AH!!! KURANG AJAR, HEO RYEON!!! SAERA, KELUAR DARI SINI AGAR AKU BISA MENGHABISINYA!!!"
Usai mengetahui mengapa Ryeon membawanya sampai sejauh ini, tentu saja Saera tak akan mentas, seberbahaya apa pun jeritan Saeshinbu untuk gendang telinganya. Sebaliknya, wanita itu mulai mengayunkan tangan sekuat mungkin ke sembarang arah, memecahkan tabung-tabung bambu yang amat rapuh. Isi tabung bertumpahan mengisi kolam di balik bendungan berang-berang dan bau asam merebak bercampur lembap udara dini hari.
Saera menceburkan diri kembali. Hidung dan matanya pedih, tetapi ia tak peduli. Jebakan ini terlalu sempurna untuk membunuh Saeshinbu.
"LENGANKU!!! YOO SAERA, PERGILAH KAU KE NERAKA!!!"
"Ah!" Kepala Saera menyembul lagi dari dalam air, terbatuk-batuk hebat. Ketika menoleh ke belakang, tidak lagi ia temukan tiga lengan raksasa yang menyeretnya ke sana kemari, padahal badan serangga dalam punggungnya masih menggeliat.
Ryeon masuk ke genangan sedalam leher yang berbau asam itu dan menghampiri Saera. "Berpeganglah pada bendungan ranting itu dan berbalik."
Saera ingat apa yang Ryeon gagal lakukan pada pertarungannya terakhir kali melawan Saeshinbu. Ia memicing ngeri, tetapi masih patuh melakukan apa yang Ryeon minta. Tusuk sanggul pun menembus parut-parut menghitam di balik pakaiannya—sekaligus kepala Saeshinbu.
Saera menggigit telunjuknya ketika Ryeon mencongkel tubuh Saeshinbu keluar. Badannya yang tak lagi berlengan masih lebih besar dari telapak tangan manusia dewasa, tetapi begitu tercerabut dari punggung Saera, ukurannya kembali seperti yang semestinya. Ryeon mencengkeramnya kuat-kuat dan membenamkannya ke dalam air. Pria itu baru membuka genggaman saat dirasa tak ada apa-apa lagi di dalamnya.
Selesai. Kali ini, semuanya benar-benar telah berakhir.
***
Dewi Jacheongbi dahulu tidak mendapatkan cintanya dengan mudah, maka ia memberikan ujian cinta kepada siapa saja yang berdoa kepadanya. Saera salah satunya, dan doa itu dikabulkan melalui roh Ryeon. Jacheongbi pun menyusun rencana untuk membunuh Saeshinbu di mana Sook menjadi alat utama.
Pertama, Jacheongbi membangkitkan Ryeon dan meminta lelaki itu menemui putranya. Tugas Ryeon adalah mengajari anak itu membuat cuka dalam jumlah besar. Itulah asal mula 'persembahan' dari kulit buah, air, dan gula yang ditampung dalam batang bambu bertutup, lalu dihanyutkan di sungai belakang sarang Saera. Jika Ryeon dan Sook rajin berdoa kepada Jacheongbi, maka tabung-tabung bambu akan dilayarkan sang dewi menuju kolam di balik bendungan berang-berang. Seiring waktu, cuka akan terbentuk di dalam tabung-tabung tadi tanpa ada yang mengetahui. Terakhir, Saera akan dipancing ke sana setelah 'perangkap asam' mereka siap.
Melalui eksekusi yang menguras tenaga ini, Saeshinbu mati, tidak untuk hidup lagi bahkan dengan kekuatan iblis.
Tubuh Sook keluar bendungan dan akan ambruk andai Saera tak menangkapnya. Anak itu melenguh kesakitan, demam tinggi akibat tenaga yang terkuras, dinginnya dini hari, dan kondisi baru kerasukan.
"Laba-laba pergi .... Jangan ganggu Ibu dan Ayah ...."
Fajar menyingsing. Langit berubah merah di ufuk timur, menandai pagi pertama Saera sebagai wanita biasa untuk kedua kalinya. Yang ganjil, bekas tusukan Ryeon tidak lagi terasa sakit, pakaiannya kering lagi bersih, selaput lendirnya pun tidak pedih oleh cuka. Ia menyadari itu, tetapi tidak terlalu terkejut; Sook adalah fokus utamanya sekarang.
"Laba-labanya sudah Sook kalahkan bersama Ayah. Kalian kesatria yang sangat hebat." Saera mendekap Sook dan menepuk-nepuk lembut pahanya agar si anak tenang. "Terima kasih untuk tidak meninggalkan Ibu ...."
"Terima kasih kembali, Saera."
Semilir angin musim gugur meniup hati-hati helai rambut Saera yang tergerai, juga pakaian serba putih yang menggantikan baju tidurnya sebelum ini. Saat menoleh ke belakang, cahaya kemerahan yang hangat menyilaukannya sejenak hingga ia harus terpejam, tetapi sebuah kejutan memaksanya untuk segera membuka mata.
Seorang pria berpakaian putih bersih berdiri di hadapan Saera, mengulas senyum tipis khasnya yang sudah tujuh tahun tak Saera lihat. Air mata Saera mengalir satu demi satu tanpa terkendali, apalagi setelah pria itu menyentuh pipinya.
"Tuan Ryeon ...."
"Ssh. Sook masih tidur." Ryeon menyilangkan jari di depan bibir. Satu tangannya bertemu dengan milik Saera yang sedang menyangga punggung putranya. "Demamnya tinggi sekali."
Saera mengangguk, keharuannya kontan berganti kekhawatiran. "Kita harus segera pulang dan merawatnya!"
Ryeon mencegah Saera berbalik badan. Bersamaan dengan itu, di sekitar kaki mereka, bermekaran banyak sekali bakung lelabah merah, menutupi rerumputan, pohon, dan sungai di mana Saeshinbu tewas. Selanjutnya, angin berembus menerbangkan bakung-bakung itu, begitu kuatnya sampai Saera mesti memejam. Saat kelopak matanya membuka kembali, ia terbelalak.
"Ini kamar kita yang dulu," ucapnya dengan goyah. "Mengapa kita di sini, Tuan?"
"Tentusaja untuk merawat Sook." Ryeon memandang Saera menuntut. "Ajari akudengan cepat karena waktu kita terbatas." []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top