22

"Ayah?"

Hanya dengkur lembut Sook yang menjawab Saera; anak itu telah menyeberang ke alam mimpi selagi ibunya dihantam rindu. Saera perlahan meletakkan sisi mukanya ke atas bantal dan mendesah gemetar, merasa dicurangi meskipun tidak keberatan jika Sook yang mencuranginya.

Mengapa Ryeon selalu mampir ke mimpi indah Sook, tetapi tidak ke mimpi indahku? Mengapa aku hanya bisa melihat suamiku sekarat, penuh darah, dan mengutukiku di ambang kematiannya, bahkan dalam tidur? Sook tidak pernah tahu bagaimana wajah Ryeon, sebaik apa dia, dan aku juga jarang menceritakannya, tetapi mengapa mereka berdua sangat akrab?

Saera menggeleng, melarang dirinya larut dalam kesedihan. Dialihkannya pikiran dengan membereskan nampan makanan dan mencuci pocinya sendiri—kendati para pelayan sudah kembali entah dari mana. Setelah itu, ia pun kembali ke kamar dengan terburu-buru. Baju baru Sook masih belum dikelim, padahal ia harus bangun lebih awal besok karena banyak tugas menanti: menata altar sembahyang pagi, mempersiapkan hidangan ulang tahun, dan menyetrika baju baru Sook.

Besok hari istimewa. Saera ingin melibatkan sesedikit mungkin pelayan dan menuangkan sebanyak-banyak cintanya sebagai seorang ibu. Tiga tahun berturut-turut, ia berhasil membuat perayaan kecil dengan sedikit saja pertolongan, jadi dia tidak akan menggagalkan yang ini dengan merenungkan igauan Sook secara berlebihan.

Selesai mengelim, Saera menyimpan peranti menjahitnya dalam kotak sebelum melipat hasil karyanya rapi-rapi. Sook pasti akan kelihatan sangat tampan memakai setelan itu. Aku tidak sabar, batinnya, sangat bersemangat walaupun sekarang sedang menguap. Ia hampir memadamkan lentera pendampingnya bekerja ketika menyadari sang putra sejak tadi berbaring di tengah-tengah alas tidur.

Sook diapit dua ruang kosong, alih-alih satu seperti biasanya. Lentera menjahit Saera mati, menyisakan satu lampu saja yang masih menyala agar kamar tak terlalu gelap. Ia masuk ke bawah selimut, membenahi posisi kain kompres Sook, dan berbaring miring. Ditelusurinya paras si anak dengan teliti. Alis tebal, bulu mata lentik, hidung mancung, bibir ranum, semua adalah salinan manis rupa kekasih Saera yang kini telah tiada.

Ryeon tidak menyisakan sedikitpun bagian untukku hadir di wajah anaknya. Dasar, kan aku jadi seperti melihat dia setiap hari. Saera menghela napas dalam, menahan air mata agar tidak jatuh saat mengusap telapak tangan Sook. Upayanya gagal begitu Sook menggenggam jarinya. Oh, Sayangku sedang menggenggam tangan Ayah dalam mimpi, ya?

Tanpa diantisipasi, satu isakan menyelip keluar dari mulut Saera yang tak terkatup sempurna. Rasa kangennya memuncak di luar kendali, apalagi usai melihat ruang hampa di sebelah Sook ... yang bisa saja ditempati Ryeon andai pria itu masih hidup. Benar juga, akan manis sekali andai Saera, Sook, dan Ryeon bisa tidur bersama, berbagi kehangatan di akhir malam yang panjang. Mengapa Ryeon harus pergi sebelum Sook sempat merasakan rengkuhannya yang aman?

Karena aku. Sadar akan kesalahannya di masa lampau, Saera menjawab sendiri pertanyaan tersebut. Namun, Saera yang sekarang tak ingin seterpuruk dahulu; ada Sook yang menggantungkan hidup kepadanya. Kalau ia melemah, siapa lagi yang dapat putranya andalkan?

Lagi pula, aku tidak menghendaki kematian Ryeon. Semua gara-gara Saeshinbu dan anak buahnya! Terbakar dendam, Saera tak sengaja mengeratkan genggamannya pada tangan Sook, membuat anak itu merengek dalam tidur.

"Astaga, maafkan Ibu, Nak," bisik Saera penuh sesal sembari melepaskan telapak itu. Agar Sook lebih tenang lagi, Saera mengelus perut si anak. Di luar dugaan, Sook tersenyum. Lengannya dibentangkan ke udara seakan hendak memeluk sesuatu—atau seseorang, lalu terkulai kembali ke sisi badan.

"Kelihatannya senang sekali anak Ibu. Mimpi apa, hm?" Nada riang Saera begitu kontras dengan suaranya yang sengau. Sook tidak menanggapi, kembali terlelap setelah berguling menghadap sang ibu sampai saputangan di keningnya tergelincir. Saera membelai punggung Sook, berharap dirinya bisa berhenti memikirkan Ryeon, tetapi tak bisa. Ia bahkan bisa merasakan satu tangan lagi menangkup telapaknya di punggung Sook, padahal tak ada siapa-siapa.

Lagi-lagi aku berkhayal tentang Ryeon.

Saera menyambar satu-satunya tusuk sanggul yang ia miliki setelah ruang perhiasannya dibersihkan. Tusuk sanggul perak itu lebih sederhana dari perhiasan-perhiasan yang ia peroleh setelah menikah: lurus tak berlekuk dengan bunga mutiara kecil di salah satu ujung. Saera mendapatkan tusuk sanggul tersebut sebagai hadiah 'selamat datang' dari seorang seniornya di rumah bordil, segera setelah ia lulus pelatihan dan siap melayani tamu. Perhiasan pertamanya yang sakral tentu terlarang meninggalkan sarang Gunung Halla.

Seusai mengambil tusuk sanggul, Saera mengendap menuju istana balok yang dibelinya dari Sook. Ia 'memetik' karangan bunga anggrek dan bakung dari 'taman' dalam istana, mengikatkan batang bunga-bunga tersebut ke tusuk sanggul, kemudian perhiasan diarahkan ke depan lentera agar perubahannya dapat terlihat.

"Bangunlah keluarga bersamaku untuk menggantikan yang telah kauhancurkan."

Mengapa tak pernah terpikirkan? Bakung lelabah dan anggrek putih serupa dengan anggrek merah di tusuk sanggul yang Ryeon gunakan melamar Saera. Sook memang cerdas. Berkat idenya, Saera jadi bisa sedikit menghidupi impian untuk memiliki keluarga yang utuh. Lihatlah betapa cerah paras wanita itu ketika bercermin dekat lentera. Tusuk sanggul 'anggrek merah' tersemat di sela gelungan rambutnya, seakan-akan Ryeon akan hadir jika ia memasang tusuk sanggul yang serupa dengan pemberian pria itu.

"Apa yang kulakukan?" Saera mencabut tusuk sanggul dan membiarkan kepangannya kembali terurai. Satu lagi bantal diambil dan diletakkan di samping kiri Sook. Sehabis menyimpan tusuk sanggulnya di bawah bantal tersebut, barulah Saera berlindung ke balik selimut; laranya telah terlipur.

"Selamat malam, Sook," lalu netranya berpindah pada bantal tak bertuan. "Selamat malam, Tuan Ryeon."

Air mata terakhir Saera menitik dan ia terpejam sesudahnya dengan senyum yang damai. Tak ia ketahui bahwa seseorang di kamar itu masih terjaga, masih menjaganya serta Sook dalam diam. Orang ini menyusuri takzim sisi wajah Saera, turun ke leher dan bahu si perempuan, lalu berhenti di lengan atasnya. Percuma; Saera dan Sook sangat nyata, tetapi keberadaannya menabrak batas maut sehingga sentuhannya tak akan terasa.

Biarlah. Ryeon menengok ke bantal yang Saera siapkan untuknya. Meskipun tidak terasa, meskipun tidak dapat terdengar, aku ingin bersamamu. Bersama kalian, istri dan anakku yang luar biasa. Semoga Dewi Jacheongbi dan Dewi Samshin senantiasa melindungi kalian.

Tiba-tiba, bunyi puluhan kaki kecil merayapi dinding luar kamar menyapa telinga Ryeon, beberapa saat kemudian berhenti. Terdengar lagi. Berhenti. Jeda di antara pergerakan kaki-kaki kecil itu semakin sempit, tetapi jarak mereka dengan pintu kamar semakin dekat. Berikutnya, Ryeon menerima peringatan gaib dari pengutusnya bahwa 'waktunya sudah tiba'.

"Selamat malam, Kekasihku." Ryeon membelai paras ayu Saera sekali lagi sebelum mengusap ubun-ubun putranya. "Tidurlah yang nyenyak. Ada pekerjaan besar menunggumu setelah ini, Sook." 

***

Seorang anak perempuan terdengar memanggil-manggil ibunya, tetapi Saera tidak menemukan siapa-siapa dalam limpahan cahaya ini—selain seorang wanita kurus berpakaian putih bersih yang berdiri membelakangi. Saera merasa tubuhnya digerakkan dengan cepat menuju perempuan itu. Semakin dekat, sadarlah Saera bahwa perempuan itu lebih tinggi darinya, padahal Saera bisa dibilang cukup jangkung dibanding wanita dewasa rata-rata. Saat mengangkat tangan, ia terkejut melihat telapak itu berubah seukuran milik Sook, lebih mungil dari tangan wanita yang ia gandeng.

Pada kedipan mata berikut, Saera menemukan satu senyum melegakan yang memenuhi masa kecilnya.

"Ibu?"

Tidak, tunggu. Limpahan cahaya ini membutakan sekaligus mengacaukan pikiran Saera. Tadinya mengira melihat mendiang ibunya, ia menjadi bingung ketika perempuan kurus tadi berubah menjadi seorang lelaki yang sedang menggendong anak. Netranya dan laki-laki itu hampir setingkat, jadi senyum si pria sangat jelas terlihat. Sementara itu, bocah yang digendong si lelaki menoleh dan tertawa lebar melihat Saera, tangannya meraih-raih ke depan.

"Ibu!"

Namun, tatkala Saera berkedip, ia sudah kembali ke kamar yang gelap karena lenteranya padam, kehabisan minyak. Jemarinya teracung seakan hendak menggapai langit-langit.

Duh, semoga saja aku tidak mengigau, pikir Saera malu saat menurunkan tangan; tidak biasanya ia terbawa mimpi begini. Apa boleh buat? Jarang ada bunga tidur yang dapat membangunkan indra perabanya dan mengaburkan realitanya seperti barusan.

Lagi pula, buat apa aku menggapai-gapai ke atas? Sook kan ada di si—

Jantung Saera melewatkan satu degup begitu tak merasakan kehadiran seseorang di sebelahnya. Serta-merta ia menengok dan terbelalak. Selimut di sisi itu tersibak, bantal-bantal selain milik Saera bergeser, sedangkan tusuk sanggul yang Saera simpan di bawah salah satu bantal telah menghilang. Cermin di seberang tempat tidur retak di tengah.

"Sook!" Saera menyingkap selimutnya dan langsung diserang embusan angin dingin. Kamarnya terbuka lebar. Cahaya bulan yang menyisip dari jendela di selasar menerangi ambang kamar itu, menunjukkan tirai dari jaring laba-laba yang dikoyak tak beraturan. Ia tak pernah memasang tirai apa pun di depan kamar, maka Saera dapat menduga apa yang terjadi.

"Saeshinbu!" Tepat setelah jerit itu merobek tenggorokannya, Saera dihunjam nyeri di punggung, juga amukan melengking Saeshinbu.

"Anak sialan itu pasti masih hidup!"

'Anak'?!

"Apa yang kaulakukan pada Sook?!" Melawan sakit, Saera berlari ke arah pintu hanya untuk dihentikan sensasi lengket dan lunak di bawah kakinya. Saeshinbu semakin histeris ketika Saera menunduk. Di lantai, berceceran bangkai laba-laba yang tidak semuanya utuh—dan Saera baru menginjak salah satunya.

"AKU HARUS MEMBUNUH ANAK ITU!!!"

Tiga lengan besar Saeshinbu yang tersisa akhirnya menerobos kulit, membuat Saera berteriak kesakitan. Lengan-lengan itu menyeret inangnya keluar. Koridor yang sunyi senyap seluruhnya terselimuti benang sutra putih yang terputus-putus, juga beberapa bangkai yang mirip seperti dalam kamar. Pasti laba-laba yang mati ini adalah para pelayan. Saera mengatupkan rahang, masih berjuang mengendalikan Saeshinbu; andai anak buahnya tidak mati, rencana apa yang akan Saeshinbu jalankan terhadap Sook?

"Ah, baunya ada di sekitar sini." Saeshinbu terkekeh, satu lengannya merusak kosen pintu depan hingga jalan keluarnya melebar. Ia dan inangnya kini berada di muka sarang. "Kemari, Anak Manis."

"Sook! Kalau kamu dengar, bersembunyilah dari Ibu!" seru Saera parau. Saeshinbu menggunakan penghidunya untuk mencium bau Sook, jadi ia juga tahu Sook masih belum jauh. Namun, ia tidak melihat bocah itu di mana-mana. Saera berharap seruannya cukup sebagai peringatan sehingga Sook bisa kabur.

Bulan cekung di angkasa menjadi satu-satunya penerang. Saeshinbu menarik Saera ke dekat sungai, begitu kuat hingga nyaris terpeleset di tanah yang miring itu. Saat berhasil berpegang ke pokok oak, ia menemukan jejak-jejak kaki kecil sepanjang tepian sungai, mengarah ke hilir.

"Begitu rupanya. Ingin main petak umpet? Akan kuladeni!"

"Berhenti!"

Saeshinbu sudah sejauh ini, mustahil akan menyerah. Laba-laba pelayan yang ia persiapkan di luar kamar untuk melumpuhkan Sook seluruhnya tewas, membuktikan bahwa anak itu memiliki kekuatan yang lebih dari sebelumnya. Kemungkinan keduanya adalah Sook dilindungi kekuatan lain di luar dirinya—yang hampir pasti berasal dari Ryeon.

Tertatih-tatih, Saera melangkah menembus kegelapan hutan. Selama berjalan, ia merasakan anyir darah dalam mulutnya. Segumpal daging seakan menyangkuti lehernya yang kosong. Jantung dan bola mata yang lebih kecil akan kembali ia telan jika ia tak berusaha cukup keras untuk menghentikan Saeshinbu.

Kau tidak boleh kalah oleh makhluk ini, Yoo Saera! Kau sudah kehilangan terlalu banyak cinta dalam hidupmu, jangan sampai Saeshinbu merebut Sook pula! Saera meronta, membentur-benturkan punggungnya, bahkan sampai bergelut dengan kedua lengan Saeshinbu yang terus merangkak mengikuti jejak kaki Sook. Tubuh dan pakaian Saera berlumur tanah serta rerumputan, tetapi setiap terkenang Ryeon, tenaganya pasti akan meningkat pesat.

Sayang sekali, keberuntungan tidak sepenuhnya berpihak pada Saera. Setelah beberapa kali jatuh bangun, takdir tetap mengantarkannya ke ujung jalur jejak mungil itu. Saera kini berdiri beberapa jengkal dari bendungan berang-berang yang tempo hari dilihatnya. Satu sosok bertubuh pendek berdiri tegak di samping bendungan ranting dengan tatapan kosong. Tangan anak itu menggenggam tusuk sanggul anggrek-bakung yang berlumur cairan tubuh laba-laba.

"Akhirnya!" Saeshinbu merentangkan lengan-lengannya, bersiap menerkam Sook. Tak disangka, Saera sanggup menekuk lengan itu menggunakan kedua tangannya yang asli. Pembuluh kebiruan bermunculan di lengan bawah Saera, saking besarnya tenaga yang ia kerahkan. Ini sekaligus mengganggu keseimbangannya hingga ia terguling ke samping.

"Jangan hentikan aku, Bocah! Aku sudah menghabisi Heo Ryeon dan aku akan menghabisi putranya pula!"

Tidak selama aku hidup, erang Saera. "Sook, lari!" []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top