20
"Peri?" Tidak terlintas sedikitpun dalam benak Saera bahwa putranya akan memiliki teman khayalan. "Itukah rahasiamu?"
Kepala Sook bergerak pelan, antara mengangguk dan menggeleng. Saera jadi merasa berdosa 'mengurung' Sook di gunung yang tak terjamah ketika anak seusia itu harusnya mempunyai teman sebaya. Sook pasti sangat kesepian sehingga 'membuat' teman bermain sendiri dalam kepalanya.
"Ibu ingin memberi salam pada teman perimu. Nanti tunjukkan di mana dia berada, ya?"
Saera menuruni tanah landai sesuai arahan Sook, sementara Ryeon merasakan degup yang asing. Arwah tak memiliki jantung, lalu apa yang berdenyut-denyut nyeri dalam dadanya ini? Ia mengangkat tangan, ragu hendak menyentuh Saera, tetapi roda gigi pertimbangan Ryeon tak lagi berputar begitu Saera berdiri kurang dari selangkah di depannya.
Sook membimbing tangan Saera, mempertemukannya dengan telapak Ryeon. "Peri, ini ibuku!"
Akan sangat menyenangkan andai suatu hari, aku dapat berkenalan dengan sahabat Sook yang nyata, tetapi teman khayalan juga tak apalah, ujar Saera dalam hati. Disapanya angin seramah mungkin, tidak menyadari bahwa ia sesungguhnya sedang menyapa arwah suaminya.
"Salam kenal, Nona Peri. Terima kasih sudah berkawan dengan Sook. Hati-hati dalam perjalanan pulang!"
Yang dicerap indra Saera hanya embusan angin. Yang sebenarnya terjadi, Ryeon menautkan jemari dengan Saera dan mencium kening perempuan itu: hangat terasa di bibir, tetapi pedih dalam kalbu.
Terima kasih pula telah berjuang untuk Sook meski aku tidak ada di sampingmu, Saera.
***
Keesokan harinya, setelah mandi dan sarapan, Sook menyandang tas sambe yang berisi satu pedang kayu kecil, selembar saputangan, dan kantong air, siap berpetualang. Saera sendiri tidak membawa apa-apa, yakin mereka akan berhenti sebelum benar-benar tiba di muara. Sook tak pernah keluar rumah, mestinya tak akan kuat berjalan demikian jauh.
Rupanya, di luar dugaan, energi Sook melimpah akibat keingintahuannya yang besar akan alam liar. Baru berapa langkah saja, ia sudah menemukan banyak hal untuk memperkaya kosakatanya: kupu-kupu, kumbang koksi, beri liar, sampai ilalang sapu-sapu. Girang, Sook meloncat ke sana kemari setiap ada tanaman atau hewan yang baru pertama kali dilihatnya.
Kutarik kata-kataku. Daripada Sook, akulah yang bakal tumbang duluan! Saera terengah-engah, kedua tangan menumpu ke atas lutut. Apa semua anak sebenarnya selincah ini, bahkan yang paling lemah di antara mereka?
"Bu, lihat, lihat!"
"Ya, Sook?" Saera segera menegakkan tubuh, menutupi kelelahannya, dan menghampiri batu lahar yang menarik perhatian Sook. Penemuan sang putra berhasil membuatnya takjub kali ini.
"Bunga di saputanganku!" ujar Sook, mengeluarkan saputangan bersulamnya untuk mencocokkan dengan bunga bersulur yang tumbuh di batu lahar. Anggrek liar itu berwarna putih dengan bercak-bercak ungu di sebelah dalam mahkotanya, persis sulaman Saera. Cantik dan nostalgik. Saera teringat bagaimana sulaman yang sama menyapa pipinya yang becek, suatu malam di atas punggung kuda.
"Kau punya ini juga?"
Sook menoleh pada Ryeon yang baru saja bicara. Menyebelahi si bocah, Ryeon mengatakan bahwa Saera dulu menyulamkan saputangan yang serupa dan menekankan makna dari sulaman itu buat ibunya.
"Anggrek tanda sayang?"
Mengira Sook berbicara dengan peri lagi, Saera terheran mengapa pikirannya dapat tercermin begitu persis dalam percakapan mereka. "Benar, ini bunga tanda sayang," katanya, "jadi Ibu menyulamkan bunga ini pada saputangan Sook."
"Berarti Ibu sayang padaku?"
Duh, siapa yang tidak? Dada Saera begitu penuh oleh kasih hingga luber menyesakkan; tak ada kata yang bisa mewakili. Ia mengiakan pertanyaan Sook dan bocah itu langsung merangkulnya erat, membisikkan kata cinta yang senada. Tanpa sepengetahuan Saera, putra dan suaminya bertukar pandang hangat di balik bahunya.
"Terima kasih sudah mengatakan itu untuk Ayah," kata Ryeon. Diam-diam, Sook mengangguk padanya, senang dapat menjembatani perasaan lelaki pendiam itu kepada sang ibu.
"Ada bunga lain!"
Bunga bermahkota ramping melengkung-lengkung di sebelah batu lahar punya cerita berbeda. Sutra laba-laba yang Saera jual pada Ryeon pertama kali bergambar bunga ini dan ketika Sook lahir, bunga ini pula yang beterbangan dalam badai awal musim. Sering dijadikan perlambang kutukan karena legendanya, Saera sendiri tidak betul-betul mengacuhkan hal itu hingga kisah cintanya dengan Ryeon berakhir mengenaskan. Siapa sangka pola tenunan dapat meramalkan sebuah prahara?
"Ini bakung lelabah. Dia bunga jahat dengan umbi beracun, serangga saja tidak berani memakannya."
Penggambaran Saera yang seram tidak mencegah Sook memetik anggrek liar dan bakung lelabah berbarengan. Dipilinnya kedua tangkai bunga sehingga mereka tampak sebatang, lalu rangkaian bunga itu diacungkan dengan puas.
"Ayah dan Ibu!" celetuk Sook. Melihat orang tuanya bingung, ia lantas menerangkan. "Bunga bakung tidak mau digigit serangga karena sakit, jadi dia membuat racun. Seperti Ibu; kalau ada nyamuk nakal menggigitku, Ibu tepuk. Kalau Kakak Pelayan nakal kepadaku, Ibu memarahi. Memang menakutkan kadang-kadang ... tetapi Ibu kan melindungiku, maka aku tetap sayang!"
Pengakuan Sook membuat hati Saera mencelus.
"Ibu akan berusaha agar tidak sering marah-marah lagi, kalau begitu. Maaf, ya, sudah menakuti Sook."
Kesedihan yang menggores lengkung bibir Saera mendorong Sook merengkuh ibunya dan meminta maaf. "Ta-Tapi, bunga bakung itu c-cantik, kok, Bu! Cantik dan bersinar, seperti Ibu!" ralatnya tergesa-gesa, tidak mau Saera muram lebih lama. Begini saja, Saera sudah luluh dan akhirnya menerima kemiripannya dengan bakung terkutuk.
"Perayu." Saera menutul hidung Sook, senyumnya lebih ceria. "Bagaimana dengan anggreknya?"
"Anggrek adalah Ayah karena suka duduk di batu!" Maksudnya, Ryeon sering duduk di batu setelah ia dan Sook berdoa pada Jacheongbi, mirip bunga anggrek yang menempeli batu lahar. Saera yang tak mengerti tersedak tawanya sendiri, sementara Ryeon menggeleng-geleng heran. Sederhana sekali arti bunganya kalau dibandingkan milik Saera!
"Di mimpimu, Ayah suka menduduki batu, ya?" Saera memetik satu lagi anggrek, lebih kecil dari yang pertama, dan menyatukan batangnya dengan dua bunga lain. "Kalau begitu, anggrek yang ini adalah Sook karena kamu mirip Ayah! Lihat, Ayah, Ibu, dan Sook bersama-sama!"
Leher Saera tercekat, mengumpati diri sendiri yang tak sengaja membawa-bawa Ryeon. Lihatlah kilau asa di mata Sook tatkala memandangi (dan kemudian memeluk) rangkaian bunga barunya.
Bodoh, keluargaku bukan tiga tangkai bunga yang bisa bersama hanya dengan dililitkan. Kenyataannya, Ryeon sudah tiada, aku hanyalah siluman pemangsa, dan Sook mungkin harus tumbuh dewasa seorang diri.
Sesering apa juga kemurungan menyambangi, sesering itu pula ia disisihkan karena hati Saera enggan merapuh. Diajaknya Sook untuk melanjutkan petualangan mereka, menyamarkan perasaannya yang masih dapat dibaca oleh Ryeon. Si lelaki membelai sekilas pipi Saera, berharap istrinya dapat bertahan sedikit lagi.
Tugas dari Dewi Jacheongbi akan segera tuntas dan kau akan tertolong saat itu. Tunggu aku.
Selanjutnya, Saera, Sook, dan Ryeon melewati sebuah bendungan berang-berang. Tidak seperti Ryeon yang pada masa kecilnya keluar-masuk hutan mencari jalur dagang yang aman, Saera dan Sook sangat antusias sebab baru pertama kali menemukan struktur alami ini. Saera hanya pernah mendengar soal bangunan ranting kayu buatan berang-berang dari cerita ibunya, lalu menuturkan kembali kisah tersebut kepada Sook. Siapa sangka dari dekat sebegini mengagumkannya?
"Bu, mana berang-berang?" tanya Sook kecewa; bendungan itu tidak berpenghuni, ternyata. Tumben sekali, Saera ikut murung karena alasan yang sama dengan putranya.
"Mungkin keluarga berang-berang sudah pindah rumah. Sedihnya, padahal Ibu ingin bertemu juga."
Kau cemberut karena tidak bertemu berang-berang? Ryeon tersenyum layaknya orang kasmaran; tunggu, dia memang. Manis sekali. Apa yang harus kulakukan tentangmu, Yoo Saera ....
Bendungan berang-berang berada di salah satu anak sungai. Karena tujuan petualangan ini adalah mencari muara, maka Saera menggendong Sook, mengangkat sedikit roknya, dan menyeberang ke sisi lain untuk melanjutkan penelusuran. Ryeon sendiri masih berada dekat bendungan, mengamati tabung-tabung bambu yang hampir menutupi seluruh permukaan kolam di balik tumpukan ranting. Tabung-tabung itu adalah persembahan yang saban hari dihantarkannya bersama Sook untuk Jacheongbi. Tanpa campur tangan sang dewi, mustahil mereka bisa terkumpul begitu rapinya di permukaan kolam, membentuk jebakan yang sedang menanti buruan.
Berat langkah Ryeon menyusul Saera dan Sook ke seberang sungai. Jika satu-satunya hal yang menanti mereka adalah perpisahan, lalu apa makna pertemuan yang mengawali semua ini?
Tidak. Langit mengadili manusia, bukan sebaliknya. Lagi pula, segala ketetapan Langit senantiasa bermakna, tinggal bagaimana yang menjalaninya menerjemahkan.
Kian jauh dari hulu, sungai semakin melebar hingga seakan memakan daratan. Dasarnya miring curam, membentuk air terjun setinggi betis dengan tiga tingkatan. Pada titik ini, jika Saera dan Sook ingin mencapai muara, mereka harus memutar jauh. Pilihan lain adalah melintasi air dangkal yang entah di mana akan berakhir atau bertambah dalam, tinggi risikonya. Selain itu, kaki Saera terasa mau patah.
"Tampaknya kita belum bisa melihat muara hari ini. Ibu lelah sekali, menyeberang juga berbahaya buatmu." Saera memegangi dadanya, mengatur napas. "Maafkan Ibu, Sayang."
Sook menggeleng cepat, khawatir sekali pada Saera yang tersengal-sengal. "Ibu duduk sini!" Tangan mungilnya menepuk-nepuk batu besar di pinggir sungai. Saera mengikuti perintah anaknya, mencelupkan kaki telanjangnya ke air dingin, dan tautan-tautan tegang di otot betisnya seakan teruraikan arus. Ia berterima kasih karena Sook juga memijat-mijat punggungnya.
"Sudah cukup, Sook. Kalau kamu capek, letakkanlah tasmu dan masukkan kakimu ke air. Sini, sepatunya Ibu lepas."
Tak lama berselang, kaki Sook sudah terendam. Ia menarik napas kaget merasakan terpaan air sungai.
"Bu, dingin! Dingin!" gelaknya. Saera mengikat bagian bawah rok dan menyelipkan tangan di ketiak Sook, memantapkan posisi anaknya selama menapak perlahan-lahan menuju tengah sungai. Saat Saera perlahan-lahan melepaskan tangan, Sook tidak goyah; aliran yang harus dilawan kaki-kaki pendek itu tak seberapa deras.
Sook melongok ke bawah air, tertarik oleh lingkaran gelombang yang terbentuk mengelilingi tungkai. Diinjaknya dasar sungai yang berkerikil untuk menimbulkan percikan; lingkaran gelombang yang lebih besar memecah bayangan langit berawan. Lagi dan lagi. Untuk kesekian kalinya, Sook tertawa lepas hari itu, enggan berhenti bahkan ketika Ryeon memperingatkannya untuk tidak membasahi baju.
"Sook, lihat kemari!"
Yang dipanggil menoleh dan langsung diserang cipratan air di perut. Sook terkesiap, sejenak memancing kecemasan Saera yang barusan mengisenginya. Apakah Sook tak sengaja menghirup air sungai yang Saera percikkan?
"Ibu! Terimalah kekuatan naga air!"
Saera tergeragap melindungi diri dari Sook yang menggunakan dua tangan untuk menciptakan ombak. Sepasang anak-beranak itu pun saling berbalas gelombang, serangan Saera selalu lebih kecil dari Sook agar anak itu tidak terluka atau menyedot air ke hidungnya. Percuma menggulung baju; kini sekujur tubuh mereka basah oleh peluh dan air sungai. Dalam keadaan biasa, Saera mungkin akan menegur Sook jika bermain sampai kuyup begini, tetapi Sook kelihatan sangat menikmatinya sehingga permainan berlanjut sangat lama.
"Sudah, kalian berdua!" Teguran Ryeon tidak digubris satu-satunya orang yang dapat mendengarnya. Ia memanggil lagi, kali ini sukses membuat Sook menelengkan kepala. Sebentar kemudian, tubuh Ryeon yang setipis tirai terguyur air sungai, berulang-ulang. Anaknya terpingkal-pingkal sampai jatuh terduduk, tercelup sebatas pusar.
Eh, mengapa batu itu diserang pula? Saera bingung. Beruntung, khayalannya yang terasah karena keseringan bermain dengan Sook membantu menjawab. Jangan-jangan 'musuh baru'?
Ujungnya, Ryeon dihajar dari dua penjuru. Semula mendesah malas karena permainan itu tidak berpengaruh padanya sama sekali, mimik Ayah-tak-mau-main-? yang disuguhkan Sook membuatnya merasa bersalah. Berpura-puralah ia melindungi diri dengan mengangkat kedua tangan dan memejamkan mata, seakan benar-benar terhantam cipratan, padahal tetes-tetes air itu selalu menembus badan. Wajah Sook kembali cerah dan serangannya menguat.
Saera tak mau kalah. Meski tak benar-benar paham sampai kapan ia harus menyiram batu yang tak berdosa, energi Sook terlanjur menularinya.
Pertarungan seru dihentikan setelah Saera dan Sook sama-sama kelelahan, entah siapa yang menang. Begitu mentas, kepala Sook terkulai ke dada Saera, masih sempat-sempatnya meminta bertualang lagi biarpun suaranya lirih karena kehabisan tenaga.
"Kapan-kapan, Sayang. Butuh waktu sangat lama buat mengisi ulang tenaga kita," kekeh Saera sembari memiringkan lehernya yang pegal ke kanan dan kiri. Tas sambe Sook yang tersampir di bahu kirinya dalam sekejap ikut basah. Penghuni tas itu bertambah satu saat pulang, yaitu rangkaian bakung lelabah dan anggrek putih.
Angin musim gugur sudah mulai kencang bertiupnya. Semoga saja tahun ini tidak ada badai, doa Saera. Ryeon membelai pundak sang istri, melunturkan rasa letihnya sedikit demi sedikit sehingga tubuh yang remuk redam itu sanggup menuntaskan perjalanan ke rumah. []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top