2

Aku sudah mengubah pasar menjadi ajang lelang!

Pedagang dari kios sebelah merangsek. "700 mun! Bagaimana?"

Saera menengok ke arah penawar terakhirnya dengan raut bingung, hendak menjawab, tetapi sudah disela dengan penawaran yang lain. Satu lagi. Satu lagi. Melampaui 1000 mun, orang-orang tidak lagi ganas menaikkan penawaran dan mulai jengkel pada dara plin-plan di tengah mereka.

"Mau kaunaikkan berapa lagi harga kain itu?!" protes para calon pembeli. "1200 mun sudah kemahalan, tahu! Dasar rakus!"

"Ah, ma-maafkan saya!" Sekali lagi Saera menggigil. "Kalau begitu, akan saya jual—"

"Jangan."

Tahu-tahu, seseorang membelah kerumunan. Langkahnya lambat, berat, dan tenang ketika melintasi warga-warga kelas menengah yang bergegas memberi jalan, terlihat segan. Pejabat seniorkah?

Jantung Saera seakan lupa berdegup begitu orang ini berdiri cukup dekat dengannya. Terngiang petunjuk yang kemarin disampaikan seorang pelayannya.

"Orang-orang menduga umurnya antara dua puluh hingga tiga puluh tahun—dan ia 'sangat tampan'."

Pria yang mendekati Saera berusia sekitar dua puluhan awal, dengan alis tebal, mata elang, tulang pipi tinggi, dan rahang yang kokoh. Ia tidak tersenyum, tatapannya tajam mengintimidasi, tetapi daripada menakutkan, sikap ini justru memicu rasa penasaran. Jubah harum si pria tidak menyembunyikan bahu bidang dan perawakan tegapnya. Perut pria ini rata, tidak seperti kebanyakan pejabat uzur, mungkin otot-ototnya akan terpampang jelas jika jubah itu disibak. Tingginya juga melebihi rata-rata. Sulit dipercaya pria ini mengenakan jubah biasa alih-alih seragam petugas militer kiriman semenanjung.

"Nona, perkenalkan," si lelaki memberi salam sopan, "namaku Heo Ryeon. Aku memperdagangkan kain dari dan ke Tamra. Siapa namamu dan dari mana asalmu?"

Dari luar tampak termangu, sebenarnya kepala Saera sedang diterjang badai sumpah serapah.

Kurang ajar! Tidak ada yang bilang kalau Heo Ryeon tampannya dapat mengguncang bumi begini! Apa yang harus kukatakan, lidahku beku! Nona Saeshinbu, tolong aku!

Yang dimintai tolong malah sibuk terbahak-bahak.

"Nona?" panggil Ryeon sekali lagi, menyentak Saera dari ketakjubannya dan membuat perempuan itu membungkuk.

"Saya Yoo Saera dari Hutan Mungangsa, Tuan."

Bagaimana Ryeon tidak lekas menyambung percakapan membuat benak Saera berkecamuk. Apa ia salah mengucapkan sesuatu? Ada yang keliru dengan identitas samarannya? Dengan apa ia harus meneruskan pembicaraan?

"Ada sebuah kuil Buddha di Mungangsa. Kau tinggal di sana?"

"Tidak, Tuan. Saya tinggal bersama mendiang Ibu di sebuah gubuk yang jauh dari kuil."

"'Mendiang'? Dengan siapa sekarang kau tinggal?"

"Sendirian, Tuan."

Ryeon sejenak diam lagi. "Apa yang biasanya kaulakukan untuk mendapatkan uang?"

Ini pertanyaan krusial yang menentukan apakah Saera dapat melangkah lebih jauh dalam kehidupan calon mangsanya. Biarpun kelihatan tak berperasaan, Ryeon tetaplah pria biasa yang sifat dasarnya sama dengan suami-suami Saera dahulu. Lelaki mana saja akan tersentil oleh perempuan cantik yang lemah dan butuh pertolongan, maka Saera melengkungkan garis wajah dan memeras air mata. Diutarakannya nukilan naskah sandiwara yang dikarang semalam bersama Saeshinbu.

"Saya dan Ibu biasanya menenun, tetapi baru beberapa hari lalu, Ibu tergelincir di lereng hingga meninggal saat hendak memanen batang rami .... Saya terus terkenang bagaimana beliau jatuh dan terbentur batu besar. Melintasi lereng itu lagi sangat menakutkan, jadi saya tak lagi mencari rami dan mengandalkan sutra laba-laba ini." 

Tak ada tanggapan. Saera tidak menengadah untuk mencari tahu bagaimana ekspresi Ryeon karena masih harus bermain peran sebagai gadis yang berduka. Apakah sang pedagang sedemikian tersentuhnya hingga tak sanggup mengatakan apa pun?

"Lalu, bagaimana kau mendapatkan sutra laba-laba itu?"

Kasihani aku, kek!, batin Saera dongkol. Sia-sia saja isaknya kalau respons Ryeon begini datar!

"S-Saya tidak bisa mengatakannya .... Saya takut kutukan akan menimpa saya."

"Kutukan, ya? Berarti sutra yang kauperoleh bukanlah sembarang sutra, kautenun seorang diri saat masih berduka kehilangan ibu, dan kauantarkan jauh-jauh dari Mungangsa hanya untuk 500 mun."

Anak mata Ryeon sempat bergeser pada pedagang yang mengomel-omel pertama kali, seolah mengadilinya. Wah, si lelaki salju ternyata pengertian juga?

"Yoo Saera, jika kau bersedia menenun untukku, aku akan membayarmu 4000 mun untuk setiap sutra. Aku juga akan memberimu kamar yang layak di asrama pekerjaku; tak perlu memikirkan biaya hidup di sana. Kau boleh menolak tawaranku, tetapi mohon pertimbangkanlah."

Dada Saera berdentam-dentam ketika Ryeon kembali memotong jarak di antara mereka, nyaris meniadakannya. Sial. Sekian lama menguasai teknik merayu, calon korban yang sejenis titisan dewa begini baru Saera temui sekarang. Bagaimana tidak gugup?!

"Aku telah jatuh cinta ...."

Pasar mendadak riuh layaknya jiwa Saera yang tiba-tiba diledaki puluhan kembang api. Darahnya berdesir memerahkan pipi. Kepalanya terasa mengambang. 

Dia menyatakan cinta pada pertemuan pertama! Siapa sangka menundukkan Heo Ryeon akan semudah ini? Aku harus bagaimana, Nona Sae--

"... pada kain tenunanmu."

Eh?

Andai Saeshinbu dapat berguling-guling kegelian, ia akan melakukannya di antara serat otot punggung Saera saat itu juga.

"Percaya diri boleh, tetapi jangan berlebihan, Bocah! Kainmu yang dia cintai, kainmu!"

Betapa kesalnya Saera mendengar kekehan keras Saeshinbu. Mengapa juga si muka topeng ini memilih kata-kata yang rawan disalahartikan?

"Aku tidak memiliki banyak waktu," tegur Ryeon, membuyarkan lamunan Saera. "Jika masih bingung, kau dapat menemuiku di rumah pekerjaku setelah tengah hari, kapan pun kau siap."

"Tidak, Tuan! Saya tidak layak untuk menolak kemurahan hati Tuan!" Kontan Saera bersujud penuh terima kasih di hadapan Ryeon, dahinya lekat dengan tanah. "Saya bersedia untuk bekerja pada Tuan, tetapi izinkanlah saya mengambil sutra laba-laba sendirian ke Mungangsa pada hari-hari tertentu."

"Mengapa harus sendirian?"

"Mohon ampun, Tuan, saya tidak bisa mengatakan alasannya."

Ryeon tampak menimbang-nimbang. "Kalau memang hanya itu caramu mendapatkan benangnya, baiklah. Setiap kau pergi, seorang pekerjaku akan mengantarmu sampai depan Hutan Mungangsa, memastikan tidak ada yang membahayakanmu sebelum sampai di sana, dan kau akan melanjutkan perjalanan sendiri. Apa kau setuju?" Saera mengiyakan, maka Ryeon kembali bertanya. "Ada syarat lagi yang harus kupenuhi?"

"Selama memintal, bolehkah saya bekerja seorang diri dalam ruang tertutup yang tak bisa diintip sedikit pun?"

"Tentu. Aku akan mengatur agar kau memiliki ruang pemintal yang demikian. Apa lagi?"

Saera akhirnya menidakkan.

"Kalau begitu, berdirilah." Ryeon melipat tangan di belakang punggung, bersiap untuk beranjak. "Ikuti aku, akan kuperkenalkan kau kepada para pekerjaku. Setelah itu, kau bisa kembali ke rumah untuk berkemas."

"Terima kasih banyak, Tuan! Semoga Tuan diberikan keseha—"

"Jangan banyak bicara," potong Ryeon dingin beberapa langkah di depan Saera; dia bahkan tidak menunggu calon pekerjanya mulai berjalan. "Kau lambat dan terlalu banyak berterima kasih. Cepat kemari!"

Hei, padahal tadi dia menyanjungku—kainku, sih—dan memohon agar aku mau bekerja padanya, tetapi begitu aku bilang mau, dia langsung cuek! Tak pernah ada laki-laki dalam hidupku yang sebatu dia; mereka pasti akan cepat menggilaiku, sekumal apa pun aku!

Omelan Saera hanya Saeshinbu yang bisa mendengar, sayang si laba-laba janda malah menjadikan kekesalan inangnya bahan guyonan. Mendidih sampai ubun-ubun, perempuan itu menendang pasir di jalan, secara samar pastinya, ke jubah panjang si pedagang kain. Tanggapannya? Ryeon hanya menoleh, membuatnya tak sengaja bertemu tatap dengan Saera yang langsung meminta maaf karena 'tak sengaja tersandung'.

"Hati-hati."

Dan, perjalanan dilanjutkan lagi.

"Apa ini, dia tidak mengulurkan tangan untuk si cantik Yoo Saera yang hampir terjatuh?" gelak Saeshinbu puas. "Kau kelihatannya harus memastikan penglihatan pria incaranmu."

Tidak perlu!, geram Saera. Andai pria itu buta pun, aku akan menaklukkannya tanpa perlu menggunakan parasku. Dia tetap akan terperangkap seperti lalat di sarangmu dulu, Saeshinbu!

***

Pada hari yang sama, Saera dibawa Ryeon ke rumah tenunnya untuk diperkenalkan di hadapan puluhan wanita perajin, lalu ke kantor sebelahnya yang diisi para pegawai administrasi. Seorang dari mereka mengantarkan Saera hingga mulut Hutan Mungangsa. Di sanalah, ia menghilang menuju sarang dengan cermin sihir hitam untuk mengemasi barang-barang yang menunjang penyamaran. Selanjutnya, ia diantarkan ke asrama pekerja wanita. Oleh kepala asrama, ia ditunjukkan kamar dan diberi kunci serta kartu untuk mengambil uang di kantor sebelah. Belum apa-apa, ia sudah mengantongi 4000 mun, hasil penjualan sutra laba-laba pertamanya yang konon akan dipajang besok di galeri rumah tenun. Saera akan ternganga karena terkesima jika saja tindakan tersebut pantas dilakukan di depan umum.

Pembayaran tunai tanpa mencicil!  Dia sekaya apa, sih, sampai bisa menggelontorkan sekian mun dengan enteng, juga menggaji sangat banyak pekerja?! Dia cuma pedagang, bukan pejabat atau tentara!

Saeshinbu menyatakan ketidaksabarannya meraup untung seraya memuji pelayan yang mengarahkan mereka pada Ryeon, tetapi Saera merasa lancarnya jalannya hingga titik ini sedikit ganjil.

Belum muncul masalah, aku tidak boleh lengah dulu!

Benar saja. Tiga hari setelah diseret ke sana kemari oleh kepala asrama dan kepala pekerja untuk pengenalan kompleks usaha Ryeon, Saera menerima tiga pesanan pertamanya. Nyonya Cha yang mengawasi para penenun mengatakan sutra laba-labanya sudah dipesan oleh istri pejabat Jocheon, bangsawan asal Sinheung, dan sebuah desa dekat Sinheung.

"'Sebuah desa'? Maksud Nyonya, semua penduduk desa itu patungan untuk membeli selembar kain?" Saera mendelik.

"Karena kau mengajukan beberapa syarat terkait pemanenan dan proses menenun, Tuan Ryeon menyangka benang itu merupakan semacam 'hadiah dari surga' atas kesabaranmu. Banyak orang sependapat dengannya, termasuk kami dan para calon pembeli. Penduduk desa itu pasti sangat tersanjung sehingga mengeramatkan kainmu. Kudengar mereka akan membentang kain itu di balai desa setiap ada ritual besar."

Bulu roma Saera meremang. Ia tidak menyangka larangan kecil-kecil yang ia sampaikan kemarin dapat membuat sebuah benda disakralkan, juga terjual dengan harga begitu tinggi hingga satu desa harus bergotong royong membelinya. Yang mengejutkan lagi, bagaimana Ryeon memperoleh pemesan dalam waktu kurang dari seminggu? Seluas apa jejaring berita yang lelaki itu tebar di seantero Jocheon—tidak, Tamra?

"Mengenai rincian pesanannya," segulung kertas Nyonya Cha keluarkan dari lengan baju, "ini adalah rancangan yang diinginkan masing-masing pemesan."

Gulungan kertas Saera buka dan tampaklah tiga gambar berbeda pada perkamen panjang. Ia tetap menanyakan ukuran kain untuk masing-masing pemesan walaupun mampu membaca pola; ia yang sekarang adalah gadis buta huruf. Nyonya Cha mendiktekan lambat-lambat setiap ukuran agar Saera mengingat.

"Berapa lama waktu yang saya miliki untuk menyelesaikan ketiganya?"

"Kain-kain ini harus sudah dikirim sebelum dua bulan."

Sinting!

Beruntung, Saera mampu mengendalikan mimik terkejutnya dan tidak sampai menyemprot atasannya dengan umpatan. Menurut perhitungannya, seorang penenun biasa harus bekerja dari pagi hingga senja tanpa henti selama 50 hari jika ingin menyelesaikan pesanan itu tepat waktu. Dengan istirahat, waktu pulangnya bisa mundur hingga jam anjing (1). Waktu menyamar menjadi wanita penghibur, ia bekerja lebih lama dari itu, tetapi waktunya kan dihabiskan untuk minum, bermusik, dan bersolek saja?

"Bagaimana? Terlalu berat untukmu, ya?" tanya Nyonya Cha begitu Saera membeliak mendengar jatuh tempo pekerjaannya.

"Tidak, Nyonya Cha," geleng Saera ragu.

"Kamu orang baru, mungkin kaget dengan laju kerja kami. Saat berkeliling rumah tenun kemarin, kamu sudah melihat bahwa kebanyakan kami baru pulang pada jam kelinci (2), bahkan ada yang lebih malam lagi. Kalau kamu belum sanggup bekerja selama itu, aku akan menyampaikannya pada Tuan Ryeon."

"Saya mohon jangan, Nyonya Cha. Tuan Ryeon telah memercayakan pekerjaan ini kepada saya seorang. Saya tidak ingin mengecewakannya!" ujar Saera menggebu, padahal dalam hati menggerutu. Bagaimana orang-orang ini bisa bertahan dengan jam kerja segitu panjang?

Melihat semangat muda Saera, Nyonya Cha tersenyum hangat.

"Kain-kain yang kami tenun laku keras karena Tuan Ryeon juga menjual kecepatan kerja dan kemampuan kami bersamanya. Dengan cara itu, Tuan telah menyuapi banyak mulut di Jocheon tanpa membahayakan nyawa kami di laut. Kami malah harus berterima kasih kepadanya atas jam kerja kami yang panjang."

Orang-orang miskin ini pasti sangat putus asa untuk mendapatkan uang, cibir Saera yang masih heran bagaimana pekerja-pekerja Ryeon menganggap perintah kerja rodi ini sebentuk derma. Namun, mengingat bagaimana sang pedagang menghargai kainnya dengan semestinya membuat Saera sedikit banyak paham perasaan para pegawai ini.

Lagi pula, Heo Ryeon tampan, jadi layak dimaafkan.

Memosisikan diri sebagai sesama pekerja yang merasa terselamatkan, Saera tersenyum bersama Nyonya Cha.

"Tuan Ryeon juga telah menolong saya, maka sekarang, saya akan membalas kebaikannya!" []

Catatan kaki:

(1) jam anjing pada era Joseon setara pukul 7-9 malam.

(2) jam kelinci pada era Joseon setara pukul 5-7 petang.

.

.

.

Kalau kalian tertarik dengan novel berlatar Joseon, sila ikuti akun Instagramku: @lianadewintasari karena aku juga menerbitkan fiksi semacam ini di platform lain ^^


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top