18
"Mengapa kau membunuh Ryeon-ku, Janda Jalang?!"
Pertanyaan terakhir Saera mendadak ditanggapi tanya-tanya senada dalam benaknya, gaung dari pernikahan-pernikahan terdahulu. Bayang-bayang 107 mangsa, 107 pembunuhan, dan 107 istri pertama kini beramai-ramai merundungnya.
"Jangan bunuh dia, ambil saja nyawaku sebagai gantinya!"
"Kalau bukan karena kau, kami akan hidup bahagia selamanya! Priaku tidak akan berkhianat, lalu dia akan menimang anak yang kulahirkan!"
"Terkutuk kau, Siluman Laba-laba! Suatu saat, kau akan menebus dosamu dengan rasa sakit yang sama sepertiku! Seluruh 108 dosamu! Karma akan menghancurkanmu!"
Benar. Semua perempuan yang suaminya Saera rebut pasti akan murka bila Langit meloloskan Saera dari hukuman. Bagaimanapun Ryeon menekankan bahwa ia berhak bergerak maju, dosa-dosa itu akan menggelayutinya hingga ditebus. Para penguasa takdir melihat dan mendengar, tetapi masih menunggu waktu yang tepat. Sekaranglah waktu yang tepat itu.
Berhubung ratu mereka mematung, para laba-laba pelayan merasa bebas dan jadi kurang ajar. Mereka melubangi badan Ryeon yang sudah sulit dikenali, lalu merayap masuk untuk mencari bagian lain yang lebih lezat dari kulit-otot. Saeshinbu membentak mereka, menyuruh agar setidaknya menyisakan jantung Ryeon untuk Saera. Tidak didengarkan, Saeshinbu menyeret inangnya kepada tubuh yang nyaris menjadi kerangka telanjang itu. Satu cakarnya mencabut jantung dan mata si korban.
Bola mata yang sebelumnya malu-malu melirik, lama-lama tak ragu lagi memandang penuh kekaguman. Jantung yang sebelumnya berdenyut tak berteman, lama-lama seirama dengan denyut jantung seorang wanita. Pemilik mereka adalah pria yang tak mengumbar janji, menjaga lisannya untuk kalimat-kalimat bermakna, dan pada penghujung hari selalu pulang pada Saera seorang.
"Dengan ketabahan yang demikian, Saera, kau berhak bahagia."
"Kenakan ini—dan bangunlah keluarga bersamaku untuk menggantikan yang telah kauhancurkan."
"Kau 'Sae Ra', wanita tangguh berhati beledu. Kau tak ternilai dan aku mencintaimu."
Bibir Saera menggeletar, terancam menganga walaupun sudah diupayakan untuk tetap mengatup selama ia menangis. Sementara itu, tanpa mengacuhkan perasaan si inang, Saeshinbu terus berusaha membuka mulut Saera menggunakan gumpalan jantung dan bola mata di tangannya.
"Nona Saeshinbu, bagaimana rasanya jadi istri pertama?"
Pertanyaan sederhana tersebut mengawali kisah cinta Saera dengan Ryeon, terjawab sudah melalui tragedi ini. Saeshinbu berhasil menjejalkan jantung dan mata Ryeon ke sela taring Saera, memaksanya melumat tubuh orang yang ia kasihi, untuk pertama kalinya menjadi pemangsa sekaligus korban. Itulah makna menjadi istri pertama bagi Saera.
Usai semalaman para laba-laba berpesta, di lantai sarang Gunung Halla kini tersisa tulang-belulang. Tak ada gaung salam perpisahan yang layak dari mendiang suami kepada istrinya. Kenangan indah pun berbalik melukai, maka Saera memilih untuk menghapus semuanya dari benak. Perempuan itu terbaring kaku di tengah ruangan, meniru raga-raga nirjiwa para istri pertama yang dulu dihabisinya sesudah suami mereka.
Seluruh 108 pembunuhan yang kulakukan akhirnya dibalas dengan setimpal. Mata Saera perlahan memejam. Selamat tinggal, Ryeon. Terima kasih ... dan maafkan aku karena mencintaimu.
***
Salju mulai turun di luar sarang Gunung Halla. Pada musim ini, biasanya Saera tak pernah benar-benar kedinginan. Ia akan menyusun taktik menaklukkan mangsa berikutnya selagi merayakan kemenangan terbarunya, atau sibuk menjalani perannya yang terus berganti, atau melumpuhkan seorang pria di atas ranjang. Intinya tidak diam, tidak pula sendirian.
Setelah dicekoki pedihnya ditinggalkan, hari-hari bersalju Saera dilewatkan di bawah selimut. Ia keluar hanya untuk minum (ya, makan pun dia jarang) dan membersihkan diri. Berat badannya merosot. Sinar matanya yang cerah dan kadang jahil lenyap sudah. Saeshinbu awalnya mengamuk, mengintimidasi Saera untuk segera melupakan Ryeon, menganggap Saera hanya sedih karena cinta pertama yang tamat tak memuaskan. Keliru besar.
Bersama melemahnya Saera, Saeshinbu dan para pelayannya ikut kehilangan daya. Sadarlah mereka akan asal masing-masing: bahwa mereka hanya laba-laba biasa yang butuh seluruh bagian dari inang mereka untuk bertahan, termasuk perasaannya. Iblis tidak sepenuhnya memberikan mereka kekuatan, melainkan menyuruh mereka mencari sendiri dan menjaganya jika ingin tetap berkuasa. Kebencian Saera terhadap lelaki, juga keinginannya untuk kaya, menjadi energi bagi mereka, tetapi ia kini cuma selongsong kosong tanpa hasrat yang sedang menanti mati.
Bahkan untuk makhluk yang memiliki sepotong kegelapan iblis, menolong orang yang berkehendak bunuh diri berkali-kali lipat lebih sulit ketimbang menghindari kematian alami, misalnya akibat penyakit dan usia tua. Mengingat bagaimana Ryeon tewas, sangat beralasan kalau Saera kemudian menyambar belati dan menusuk jantungnya, atau minum racun, atau menelantarkan diri sampai nyawanya terenggut. Memang Saera akan mati sendiri dan Saeshinbu dapat mencari penggantinya, tetapi siapa berani menjamin Saeshinbu akan memperoleh inang pengganti sebaik Saera?
Desakan dan amarah tidak mempan, maka Saeshinbu—yang tidak lagi mampu membaca batin Saera—terpaksa menggunakan pendekatan yang lembut, merendahkan harga diri demi kesempatan makan berikutnya. Dulu, semua baik-baik saja di antara mereka karena mereka masih bersahabat. Mengapa tidak membenahi ikatan itu agar hubungan inang-penumpang mereka pulih lagi?
"Rasanya sudah lama sekali kau tidak haid."
Semula tak sedang memikirkan apa-apa (seperti biasanya dalam beberapa minggu belakangan), Saera tercengang dan, akhirnya, kembali bersuara.
"Hah?"
"Bukankah sejak kita pulang, kau masih belum dapat? Saat itu masih musim gugur dan sekarang sudah turun salju saja."
Saera beringsut dari tempat tidur dan menyibak selimutnya. Kain tersebut tidak bernoda merah, begitu pula alas tidur dan pakaian yang ia kenakan. Gara-gara ucapan Saeshinbu, Saera jadi teringat bahwa ia sering muntah, bisa saja karena tidak mau makan, tetapi penyebab lain perlu pula dipertimbangkan. Selain itu, saat bermain tebak-tebakan dengan diri sendiri dalam benak, ngilu di payudara Saera berangsur meningkat hingga tidak bisa lagi diabaikan.
"Jangan-jangan ...."
Meski sudah menggunakan meja rendah dan laci untuk menyangga badan, Saera sayangnya harus kembali ambruk. Kaki kurusnya belum-belum menyerah dan kunang-kunang di matanya meliar begitu tubuhnya tegak. Ujungnya, ia menyeret raga ke depan cermin, lalu membuka pakaian. Atasan dijatuhkan, disusul celana panjang di bawah rok dalam. Lapisan rok kemudian diangkat dan bebat dada dilepaskan.
Perutku masih rata, cenderung melengkung ke dalam, malah. Saera mengamati sebelum memijat pelan payudaranya. Sakit sedikit, tetapi tidak seperti menjelang haid. Pasti bukan juga karena hamil ... kan?
Namun, wanita yang sudah berkali-kali mengandung (dan kerap terganggu karenanya) seperti Saera secara naluriah akan mengetahui kehamilannya. Perubahan-perubahan fisik tadi, ditambah instingnya sebagai perempuan, mengatakan bahwa dirinya memang mengandung. Satu-satunya hal yang menghalangi Saera dari mengakui itu adalah perasaannya sendiri. Terakhir kali ia digembirakan, seseorang terbunuh. Jika memiliki putra membangkitkan kegembiraan yang serupa, bisa-bisa anak itu akan dijemput maut terlalu dini.
"Hei, anak itu bisa jadi penyembuhmu!"
Ucapan Saeshinbu kelewat manis sampai memuakkan, tetapi ketika sedang terpuruk, dusta yang dilontarkan musuh dapat berarti lebih. Saera mengusap ragu perut bawahnya. Ia tidak membawa sepotong pun harta benda yang menghubungkannya dengan memori Ryeon, kecuali cincin pernikahan dan pelat namanya; bahkan tusuk sanggul yang digunakan Ryeon melamarnya tertinggal di rumah lama. Jika benar ia mengandung, maka tidak hanya dapat menjadi penyambung kenangan, anak itu—melalui banyak cara—akan 'menghidupkan' Ryeon lagi. Si anak akan menjembatani Ryeon melampaui kemutlakan maut.
"Sulungku kelak akan bernama Sook dengan karakter 'murni'. Kelahirannya akan membilas dosa-dosa ibunya, sekaligus menunjukkan kesucian wanita yang mengandungnya."
Indah sekali; tak pernah perihal mengandung semenyentuh ini dalam bayangan. Air mata yang Saera kira telah habis menitik satu demi satu ke punggung tangan, lekas dihapusnya. Bibir perempuan itu mengembangkan senyum amat tipis, tidak ingin terlalu berharap. Tatkala tatapannya menentang pantulan cermin, rautnya kembali kaku, seolah-olah di hadapannya berdiri Saeshinbu.
"Apa maksudmu? Anak yang menyerupai Ryeon suatu saat akan kaubunuh juga, lalu bagaimana aku akan sembuh?"
"Anak yang menyerupai Ryeon bukan Ryeon." Menakjubkan, kali ini Saeshinbu sanggup berlogika. "Kalau dia tidak mengetahui keberadaanku sampai akhir hayatnya, tentu tak akan ada niatnya membunuhku atau para pelayanku. Dia bisa tumbuh dewasa dan hidup jauh darimu, barulah kita akan berburu lagi. Kedengaran seperti ide bagus?"
Kedengaran seperti penjilat, komentar Saera, sebenarnya tidak memungkiri kebaikan dalam sebagian gagasan tadi. Saera dapat membesarkan anak ini sampai cukup mandiri untuk tinggal di kota selagi ia mematangkan rencana untuk membunuh Saeshinbu. Memang hampir mustahil menghabisi musuh yang sebadan, tetapi bukan berarti tak ada cara sama sekali, barangkali hanya butuh waktu. Dalam selang waktu tersebut, Saera dapat mengejar kebahagiaannya yang sempat tercuri. Lagi pula, dewa tak mungkin sekejam itu meminta tebusan yang lebih atas dosa-dosanya.
"Jadi, kau sungguh," Saera membenci suaranya yang memarau berkalang asa, "akan membiarkan anakku hidup, Nona Saeshinbu?"
"Selama aku merasa aman dengannya, mengapa tidak?"
Semakin lama, semakin kentaralah nada memohon yang melatari keramahan bohongan Saeshinbu. Saera jadi memahami bahwa dirinya punya posisi tawar tinggi, yang bermakna bahwa Saeshinbu bisa dikendalikan sesuai kehendaknya sepanjang ia tidak (secara terang-terangan) melanggar aturan yang mereka tetapkan bersama. Ini mudah. Jiwa mereka tidak lagi saling membaca dengan leluasa, maka berdusta sedikit tidak akan ketahuan.
"Kupegang kata-katamu. Aku tak akan membiarkanmu melangkahi janji ini dengan cara-cara licik."
Walaupun ancamannya menyeramkan, Saera jelas tampak lebih 'bernyawa' ketika memberi perintah pelayan yang Saeshinbu panggilkan untuknya. Satu pelayan diminta menyiapkan makanan yang lumat dan secangkir air minum, sementara pelayan lain disuruh mencari lilin, dupa, dan bebungaan sebanyak-banyaknya.
Saeshinbu tampak tak peduli. Bagus. Ada hal-hal yang ingin Saera lakukan selama mengandung yang sebaiknya tidak direcoki 'janda tua' itu. Pertama, ia ingin berdoa kepada Dewi Kelahiran Samshin—untuk keselamatan anaknya—dan Dewi Cinta Jacheongbi—untuk keabadian kasih sayang dalam keluarganya. Kedua, ia ingin membersihkan harta benda. Seorang ibu tak akan meninggalkan putranya demi pamer kekayaan, jadi 107 kotak perhiasan akan pergi bersama berlemari-lemari koleksi sutranya. Penghuni rumah bordil, desa miskin, atau pihak lain yang membutuhkan boleh memiliki semua itu. Ketiga, ia ingin menjahit pakaian bayi. Ia akan memintal benang dari campuran kapuk dan sutra lelabah, menenun kain terbaik, dan membuat baju-baju mungil dengan bahan tersebut.
Belum tentu juga aku mengandung, tetapi membayangkan diriku memiliki putra dengan Ryeon membuatku sangat bersemangat. Saera menahan senyum selama pelayan menyuapinya. Wahai Langit, andai jiwa Ryeon telah cukup untuk menutup seluruh kejahatanku, tolong berikan aku satu kesempatan lagi ....
Jemari kurus Saera meraih pelat yang terkalung di lehernya.
... untuk menghidupi nama ini sebaik-baiknya.
***
Sembilan bulan kemudian, angin mendesau ganas di luar sarang laba-laba Gunung Halla, menerbangkan bakung-bakung lelabah merah yang bermekaran di awal musim. Dari kejauhan, embusan yang luar biasa ini menyerupai nyala api atau pusaran darah. Orang-orang tua yang melihat pasti akan menyebutnya badai petaka. Bagaimana tidak? Seakan badai tidak cukup buruk, bakung lelabah sendiri memuat segala macam kutukan dalam keberadaannya, yaitu perpisahan, kematian, dan racun.
Namun, Saera tak mau takluk pada perlambang. Ia telah bersiap sedemikian rupa untuk menolong putranya lahir, konyol kalau ia takut pada beberapa tangkai bunga saja.
Tak pernah Saera menjalani persalinan yang begitu berat. Kamar dikunci rapat-rapat meski pinggang Saera sakit dan napasnya tersendat-sendat. Tak ada satu pun yang mendampinginya selain kain-kain bersih dan bertimba-timba air. Para pelayan bisa gila jika mencium bau darah dan daging bayinya, sedangkan hal terbaik yang dapat Saeshinbu lakukan adalah tidak terlibat. Satu lagi; Ryeon tidak ada di sana untuk melindunginya, jadi ia harus bisa melindungi diri sendiri.
Tetes-tetes peluh berebutan menuruni kening saat Saera mendorong lama untuk yang penghabisan. Bayinya telah lahir sepenuhnya, tetapi rahimnya masih meremas-remas, berusaha mengeluarkan ari-ari. Titik-titik hitam menabiri pandangannya.
Tetaplah bangun, Bodoh! Saera menggigit tangannya sendiri, melecut kesadaran. Ari-ari menggelincir keluar, darah menyembur sebentar sebelum berhenti sepenuhnya, dan si bayi merintih lemas dalam posisi terbaring miring.
"Tidak." Menggigil, Saera mengusap dan menepuk-nepuk badan bayi kecil itu dengan kain. Masih merintih-rintih, bayi itu dijungkir sejenak dan ditepuk agak kuat. "Menangislah!"
Seolah memahami perintah ibunya, Heo Sook akhirnya menangis keras, tubuhnya menegang. Segera Saera membersihkan lendir, memotong tali pusar, dan memandikan si bayi dalam air yang kini bersuhu suam kuku; semua dilakukan di ambang pingsan. Anak malang itu baru tenang setelah menyusu, badannya diliputi kain dan kulit ibunya. Saera sendiri masih telanjang, berbau anyir ketuban dan nifas.
"Minum yang banyak, Sook."
Tangan keriput si bayi berkedut seolah dapat menjawab. Saera terkekeh letih, menyebut sekilas nama Ryeon, dan jatuh tertidur. []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top