16

[PERINGATAN: KONTEN SEKSUAL EKSPLISIT!]

***

"Sekarang, saya baru yakin," Saera menelusuri tulang pipi Ryeon, "bahwa saya adalah milik Anda."

"Mengapa begitu?" Parau Ryeon bertanya.

Senyum Saera riang meski pipinya merona jingga tertimpa cahaya lilin. "Karena hanya saya yang bisa mengacaukan Anda seperti ini."

"Angkuhnya."

Sebagai 'hukuman' atas keangkuhan istrinya, Ryeon menggigit titik sambung bahu dan leher Saera, memaksa Saera mendesah. Perempuan itu mengarahkan Ryeon ke titik-titik yang tepat, memekik nyeri jika salah dan mengerang lirih jika benar. Gelenyar-gelenyar nikmat berkumpul ke selatan, melelehkan cairan cinta di liang yang berdenyut menanti, tetapi Saera putuskan sekarang belum waktunya penetrasi.

"Ahn ... ya, di situ, Tuan, terima kasih ...."

Dada Saera membusung, hidungnya kembang-kempis oleh dengusan. Bagaimana tidak? Ryeon mengulum putingnya sembari menggeram rendah seperti yang dituntunkan. Puncak lainnya diisap juga, kian lama kian kuat; Saera yakin bukan cuma dirinya yang terangsang saat ini. Selain lipatan kewanitaannya yang melengas, ia merasakan sesuatu yang amat keras menutul paha kirinya.

Mendadak Ryeon mengangkat tubuh dan menekuk punggung ke dalam. Wajahnya berkerut-kerut tersiksa, tetapi setelah mampu (sedikit) menguasai diri, ia bernapas lewat hidung, mengembuskannya lewat mulut perlahan-lahan. Saera melirik ke bawah, terkesiap mendapati kelamin si pria telah tegang. Cairan bening menetes dari ujungnya, padahal belum ada semburan. Batas Ryeon tinggal sedikit lagi.

"Tuan, Anda pasti telah merasakan tekanan yang sangat kuat di bawah sana."

"Hah—uh?" tanya Ryeon linglung. "Bagaimana—ngh—kau mengetahuinya?"

Saera menggigit tepian bibir. Seseorang selurus Ryeon pun telah dibuatnya mabuk berahi. Tak ingin prianya putus asa, Saera menyibak bibir kewanitaannya yang bengkak licin. Liang sanggamanya tersuguh sempurna, berkedut-kedut malu ditampakkan, tetapi Saera dengan abai menusukkan jari tengahnya ke sana. Sensasi yang akut ini membuatnya menggelinjang.

"Hampir selesai," mulai Saera dengan suara goyah. Seluruh warna merah jambu di kulitnya menggelap. "Saya menginginkan Tuan sebanyak ini, jadi mari mendekat."

Ryeon yang pening menurut saja. Ia menyangga tubuh menggunakan kedua lengan selagi Saera menyambutnya di bawah. Liang itu mengisap Ryeon, geriginya memijat-mijat, dan Ryeon mengerang panjang sembari memejam kewalahan. Saera sendiri begitu teregang. Ryeon berdenyut-denyut dalam dirinya, lalu berayun, dituntun nafsu yang mendengingkan telinga.

"Ah—Tuan Ryeon—Tuan—" Panik Saera meraih-raih. Ryeon mendekatkan wajahnya pada sang istri dan melambatkan hunjaman.

"Sakit?"

Saera menggeleng sambil tersenyum, senang ada yang menganggap penting kenikmatannya setelah sekian lama. Bisikannya kemudian mendesirkan darah mereka berdua.

"Mari berciuman sebentar, lalu mendoronglah sekuat, secepat, dan sekacau yang Tuan mau ... sampai saripati menyembur dalam rahim ini .... Milikilah saya sepenuhnya."

Terputuslah semua tali yang mengekang gairah Ryeon. Ia memagut bibir Saera, menggumuli lidahnya, lalu menggerakkan pinggulnya kencang-kencang. Saera mencengkeram lengan atas Ryeon, tubuh rampingnya terentak-entak dengan kaki terbuka lebar. Kamar disesaki keresak selimut, kecipak lendir, dan dengus-desah. Tubuh mereka dikepung kehangatan sisa napas yang dipompa terus-menerus bagai puputan.

"Wanitaku, wanitaku ...."

Wanitamu, ulang Saera dalam hati, air mata bahagianya bercucuran. Ryeon menumbuk satu titik paling peka dan melesatkannya menuju kenikmatan terbesar. Nama Ryeon bergulir bagai mantra, membuatnya tampak memesona dalam ketidakberdayaan. Menyaksikan ini melipatgandakan kecepatan Ryeon yang berusaha menyusul Saera ke puncak. Di titik terdalam, ujungnya Ryeon menggeram dan menitikkan sebutir air mata pula akibat intensnya rasa.

Pinggul Saera dicengkeram. Ryeon mendorong pinggulnya sendiri, menanamkan benihnya di setiap hunjaman dalam semburan-semburan yang dahsyat, meresapi puncak pertamanya baik-baik. Saera menautkan jemari mereka, bersama menikmati sengatan-sengatan yang menutupi pandangan dengan kunang-kunang.

Sesudah puncak, Ryeon berguling ke samping, mematikan lilin dengan ibu jari, dan berbaring miring di sebelah Saera. Persanggamaan ini melumpuhkan, mendamaikan, juga mengeringkan pernapasan. Tenggorokan yang dikuras memicu batuk Ryeon, sedangkan Saera bersin gara-gara klimaks yang menggelitik sekujur tubuh, termasuk hidung. Keduanya tertawa tatkala menaikkan selimut tinggi-tinggi.

"Oh, Saera." Ryeon menggesekkan hidung ke rambut Saera. "Kau menghancurkanku."

Dia terdengar lebih mabuk dari orang mabuk sungguhan.

"Tuan pun. Ini merupakan pengalaman yang tak akan saya lupakan." Saera mencium jakun Ryeon dan merabai denyut jantung lakinya yang menenangkan itu. "Tuan, Anda adalah anugerah terindah dalam hidup saya. Terima kasih, sekali lagi terima kasih ...."

Ryeon menyandarkan Saera ke dadanya, menyirami wanita itu dengan lebih banyak rasa aman dibanding seratus tahun lebih kehidupannya sebelum ini. Pria itu menggumamkan 'kekasihku' dengan setengah mengigau, barangkali kelelahan dan mengantuk hebat—ia harus segera terlelap. Saera tak masalah jika Ryeon begitu saja kehilangan kesadaran, tetapi rupanya, pria itu ingin menutup malam semanis membukanya.

"Terima kasih kembali, Saera. Aku mencintaimu."

Saera menghadiahi Ryeon usapan keibuan di kepala belakang. Dengkur halusnya menghantarkan Saera ke alam mimpi, tetapi bahkan dalam bunga tidur, mereka berkasih-kasihan sampai pagi.

***

Esoknya, Saera dibopong ke kamar mandi dalam keadaan terbalut selimut saja. Yang membopongnya terlihat sama kacau: Ryeon cuma mengenakan celana dan jubah luar yang diikat sekenanya, mendedahkan dada bidang nan lembap. Masih bagus kepangan Saera bertahan walau beberapa helai mencuat liar; rambut ikal Ryeon malah sudah tergerai ke bahu.

Aku membuat Heo Ryeon tampak sekacau—dan semenggairahkan—ini? Yoo Saera, kau luar biasa.

Masalahnya, mereka bertemu pelayan-pelayan sekeluarnya dari kamar, beberapa diperintah Ryeon untuk menyiapkan ini-itu. Semua pelayan itu pasti tahu apa yang mereka lakukan semalam dalam sekejap mata! Maksud Saera, apa lagi yang membuat para pelayan begitu semringah ketika mencuri pandang pada Ryeon dan dirinya?

"Saya akan menyiapkan baskom air dan lap bersih untuk kita lain kali. Setidaknya, kita mesti langsung membasuh diri setelah berhubungan." Saera menunduk. "Malu sekali dilihat orang ...."

Ryeon tertawa sebelum menggesekkan ujung hidung mancungnya ke kening Saera. "Kukira istriku yang kemarin bilang akan mengandung sebanyak mauku tidak akan malu karenanya."

"Tuan!" Itu memang benar, tetapi setelah bercinta dengan Ryeon, Saera jadi enggan mengumbar keintiman mereka. Orang lain cukup tahu mereka sepasang suami-istri; sisanya hanya Ryeon dan Saera yang berhak mengetahui.

"Bercanda. Kita kemarin memang kurang persiapan. Masih banyak hal yang harus kupelajari darimu," aku Ryeon, "jadi bimbinglah aku."

Sungguh curang. Bagaimana Saera mengerjakan tugas rumah tangga setelah mandi jika Ryeon menghasutnya untuk terus bermanja-manja begini?

"Maaf, tetapi saya seorang guru yang lambat, jadi kelas Anda mungkin akan berlangsung selamanya, Sarjana Heo."

***

Saera tak perlu banyak beradaptasi dengan kehidupan wanita kelas bawah, sekaya apa pun suaminya saat ini. Bedanya, ia sekarang betul-betul menghidupi jati dirinya, putri terlantar seorang penenun dan pemabuk miskin, yang menjadi wanita nomor satu di kediaman Heo semata berkat kasih sayang Ryeon. Dibangunnya kedekatan dengan para pelayan, tanpa risih membantu mereka mengerjakan tugas harian, dan mencurahkan segala buah pikirnya untuk mengurus rumah dan menyenangkan suami. Ini, bersama dengan meleburnya kebekuan Ryeon setiap kali bersamanya, berhasil mencerahkan hari-hari mereka sebagai pasangan baru.

"Ada apa?" tanya Ryeon pada Saera, malam itu di tempat tidur gara-gara sang istri terus menerus mengurut pinggul.

"Mari tidak bercinta dengan posisi tadi lagi, Tuan. Sungguh pegal melakukannya dengan lelaki seumur Anda."

Menangkap kelakar nakal ini, Ryeon terkekeh. Beberapa persanggamaan mereka membuktikan bahwa Saera tak bisa membanggakan ketahanannya seperti dulu, ketika lawannya adalah pria-pria yang bernapas saja sulit akibat gelambir daging. Lupa ia bahwa sekilas berahi di mata Ryeon pun sanggup meremangkan bulu roma. Bisa dibayangkan bagaimana Saera berakhir pada malam-malam panas itu: terentak-entak pasrah dalam kurungan lengan Ryeon, kehabisan daya, tetapi tiada henti mendamba.

"Miringlah. Aku akan memijatmu."

Saera melakukan yang diminta, tetapi menolak untuk dipijat.

"Saya mestinya tidak menambah lelah Tuan, jadi tolong beristirahat sajalah. Nyeri pinggul ini pasti akan hilang dalam sekejap. Lagi pula," lengan Ryeon dituntun untuk melingkari pinggang semut Saera, "sentuhan Tuan Ryeon sudah cukup menyembuhkan."

Tertarik mengetahui semanjur apa belainya melunturkan pegal, Ryeon melukis lingkaran-lingkaran kecil di perut bawah Saera, lalu mengecupi ubun-ubunnya. Wanita mata rubah itu mencicit—kulitnya masih terlalu peka—dan memohon agar diizinkan rehat.

"Maafkan aku. Tidurlah."

Sejenak, ruang sempit antara Saera dan Ryeon diisi napas masing-masing, pelan berirama. Saera menyukai keheningan ini; tidak pernah ketenteraman, ketulusan, dan keinginan mengabdi sebagai pendamping seorang pria menyambangi ranjangnya seperti sekarang. Karena semua perasaan itu pulalah, untuk pertama kali, Saera menantikan segumpal kehidupan bertumbuh dalam rahimnya: seorang Heo muda.

Bolehkah aku mengharapkan sesuatu semacam itu? Dengan kekuatan Saeshinbu, aku telah membunuh banyak janin di masa lalu sebelum mereka sempat menghirup udara. Bagaimana jika aku mandul? Bagaimana jika Ryeon tidak beroleh keturunan dariku? Akankah dia membuangku layaknya beberapa istri pertama mangsaku dulu?

"Apa yang kaucemaskan?"

Saera terkesiap. "Saya kira Tuan sudah tidur."

"Hampir, tetapi jantungmu mendadak berdetak begitu kencang. Sesuatu jelas mengusikmu."

Ryeon sudah pernah mendengar bagaimana Saera membiarkan Saeshinbu membunuh calon anaknya semata karena 'terganggu'. Berat memang menceritakannya kembali, tetapi dalam ikatan pernikahan, rahasia bisa menjelma duri, maka Saera membeberkan segala ketakutannya. Sepanjang cerita, sang suami menyimak tanpa jeda.

"Hingga detik ini, saya kadang masih mencium anyir darah pria-pria yang saya bunuh, juga jiwa-jiwa suci yang saya gugurkan. Bukankah tak adil bagi mereka jika saya berbahagia tanpa kehilangan sesuatu yang berharga pula? Suatu hari, saya akan mengorbankan sesuatu untuk menebus—"

"Berhenti di situ." Telunjuk Ryeon membungkam bibir Saera sebelum mengusapnya dengan lembut. "Berapa kali lagi aku harus mengingatkan bahwa kau pantas berbahagia dan memperoleh pengampunan? Masa lalumu yang pahit sudah berakhir. Hanya ada kita di masa kini."

"Tapi—"

Sadar bahwa telunjuknya tak cukup, Ryeon melekatkan bibirnya, mencegat pesimisme Saera. Kecupan, lumatan, dan pagutan berganti-ganti mengguyurkan puja. Merasa sangat dicintai, egoisme Saera kembali mengambil alih. Lentik jemarinya menelusuri rahang Ryeon sebelum mencium balik pria itu, terlebih seusai Ryeon 'memantrainya' berulang-ulang di sela keintiman mereka.

"Berbahagialah, Kekasihku." 

Demikian mantranya.

Tangan Ryeon naik dari pinggul Saera dan menemukan parut-parut memanjang yang tak lagi berpenghuni di punggung. Pemiliknya menarik diri dengan enggan; bekas-bekas luka itu masih dianggapnya sebagai aib.

"Tolong jangan menyentuh parut-parut yang kotor itu, Tuan ...."

"Tidak ada yang kotor darimu, Saera. Semua garis penyusun tubuh ini menunjukkan kekuatanmu. Jatuh dan bangunmu. Tidak sembarang gadis dapat tumbuh dewasa dan tetap memercayai cinta setelah melalui masa kecil semenyakitkan milikmu."

Rasanya air mata Saera akan menitik. Lagi dan lagi, selalu saja Ryeon yang memberi. Saera kira sudah waktunya ia membalas kebaikan itu dengan setimpal, tetapi apa yang belum Ryeon miliki dalam hidup? Kekayaan, posisi tinggi di masyarakat, kasih sayang ... semua sudah berada dalam genggaman. Apa yang bisa Saera berikan lagi?

Kemudian, Saera teringat pemikirannya soal putra.

"Saya ingin," telapak tangan Ryeon kembali dituntun ke perut bawah istrinya, "Tuan Ryeon menamai putra kita kelak dengan nama yang paling bagus."

Memberi nama adalah hak yang hampir mutlak dimiliki seorang ayah pada zaman ini; ibu yang menamai anaknya bisa dihitung dengan jari. Namun, Ryeon memandang Saera sebagai wanita penabrak tradisi yang akan mengambil hak itu. Wajarlah ia termangu ketika Saera mengatakan akan menyerahkan hak menamai kepadanya.

"Akan lebih adil jika ibu yang sudah susah payah mengandungnya yang menamai bayi itu."

Saera menggeleng. "Kalau mungkin, saya juga ingin dinamai lagi oleh Tuan," candanya. "Sayangnya, nama 'Saera' terlanjur melekati kenangan kita berdua. Karena mustahil mengganti nama saya, setidaknya tolong namailah putra kita. Bukankah dia akan menjadi pewaris nama Heo yang pertama dari garis keturunan Anda?"

Ryeon menghela napas haru. Dilekatkannya kening mereka berdua untuk meredam antusiasmenya yang luar biasa akan kehadiran seorang putra.

"Aku tak menyangka akan datang hari aku memiliki keluarga lagi. Sejak kepergian orang tuaku, sulit sekali menemukan kebahagiaan seperti yang kurasakan denganmu. Kedatanganmu yang ajaib benar-benar mengubahku." Satu kecupan lagi ditanam di dahi Saera. "Meski aku belum tahu kapan kita akan dikaruniai anak, aku memiliki satu nama untuknya."

Paras ayu Saera berseri ingin tahu.

"Laki-laki atau perempuan, sulungku kelak akan bernama Sook."

Belum-belum, Saera sudah menyukai nama itu. 'Sook' bisa ditulis dalam beberapa karakter, semua memiliki arti yang baik. Bagaimana cara menulis nama pemberian Ryeon ini?

"Dengan karakter 'murni'," jawab sang saudagar, "karena kelahirannya akan membilas dosa-dosa dan menunjukkan kesucian cinta ibunya." [] 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top