15
[PERINGATAN: KONTEN SEKSUAL EKSPLISIT!]
***
"Darah .... Darah .... Darah!"
Saeshinbu mengangakan mulut Saera, memanjangkan taring di dalamnya sekaligus melontarkan benang lengket yang memerangkap Ryeon. Sutra laba-laba disemburkan dengan tenaga yang besarnya di luar dugaan, bahkan mampu mendorong seorang lelaki dewasa ke tanah dan menahannya di tempat. Belati yang digunakan Ryeon tergelincir dari tangannya segera setelah ia terlempar, praktis melucutinya dari satu-satunya senjata untuk melindungi diri.
Kuda di belakang Saera meringkik dan lari menjauh begitu punggung perempuan di dekatnya dikoyak delapan lengan hitam yang dilengketi cairan merah. Tak seperti biasanya, kali ini Saeshinbu merusak tubuh Saera karena menjebol paksa serat otot sang inang tanpa terkendali. Dengan lengan-lengan yang sangat kuat itu, Saera serupa laba-laba raksasa yang merayap cepat mendekati sang saudagar.
Mata Saera nyaris meloncat keluar soket. Ryeon masih bergumul dengan jaring Saeshinbu, belum ada tanda-tanda akan dapat membebaskan diri. Kematian sudah membayangi laki-laki itu. Takdir Ryeon tinggal dua sekarang: tercabik-cabik atau terlumatkan dalam mulut, keduanya sekaligus akan memupuskan seluruh impian Saera.
Jatuh cinta pada Ryeon merupakan titik tanpa arah balik.
"Hentikan, hentikan, hentikan! Tolong hentikan!" mohon Saera pada Saeshinbu.
Ryeon membelalak. Kuku-kuku tajam Saeshinbu berjarak sejengkal saja dari kepalanya.
"Sialan, Heo Ryeon!"
Punggung Saera kebas, sesaat berikutnya dijalari gelitikan. Raganya terempas ke atas Ryeon lantaran Saeshinbu mendadak kehilangan keseimbangan. Delapan lengan si laba-laba menggeliat-geliat, dirambati retak rambut yang terus membesar. Begitu retakan itu cukup lebar, anggota gerak Saeshinbu terpotong menjadi serpihan-serpihan, dari ujung hingga mendekati punggung Saera. Perempuan yang dilekati parasit itu menghela napas tak percaya.
"Ini—"
"Perisai iblisnya bekerja dengan sangat baik," sahut Ryeon. Saera yang kaget dengan pengungkapan ini langsung mengedarkan pandangan. Ternyata, mereka berdua terkepung lingkaran api. Bukan menyala begitu saja, Saera menemukan sebuah karakter yang tercetak di atas tanah, di bawah salah satu nyala api yang terdekat.
"'Fu' .... Ini jimat pendeta Tao untuk mengusir iblis!"
Rupanya, Ryeon hanya berpura-pura tersudut untuk memancing makhluk itu memasuki jebakannya. Sengaja ia mempertaruhkan nyawa sendirian karena tak ingin mengorbankan seorang pun pemilik jimat pemusnah dalam pertarungan mematikan ini. Saeshinbu adalah urusannya, maka jika harus mati di tengah perlawanan, jangan sampai orang lain terseret dalam takdir yang sama.
"Tak tahu balas budi! Aku sudah menyelamatkanmu dan kau bersikap seperti ini padaku?! Yoo Saera, kau bajingan! Aku akan membunuh Heo Ryeon di depanmu! Aku akan membunuhnya!"
Yang tersisa dari ancaman-ancaman beracun Saeshinbu hanyalah sepotong kecil kaki serangga yang terlempar ke dalam api. Seakan memiliki kesadaran sendiri, seluruh api di lingkaran itu mengecil setelah kaki Saeshinbu mengabu.
"Selesai." Ucapan Ryeon memaksa Saera untuk bangkit, tetapi punggung yang tiba-tiba meringan membuat Saera jatuh miring. Saeshinbu cukup lama membebani inangnya sehingga perempuan itu tidak terbiasa bergerak tanpa segumpal massa padat menyelipi serat otot. Pandangannya berputar akibat kehilangan darah dan ia meraih-raih ke depan, meminta tolong. Ryeon menangkup tangannya menggunakan telapak yang terluka.
"Tuan," Saera akhirnya sanggup bangun, "darah Anda—"
"Tidak apa-apa, hanya sayatan dangkal." Ryeon mengerang; kepalanya berdenyut-denyut karena rasa takut dan ketegangan. "Aku akan membawamu kembali sebentar lagi."
Gemetar Saera melepaskan ikat rambut dan membalutkan secarik kain itu ke tangan Ryeon, berhati-hati agar tak terlalu erat. Selama menghentikan perdarahan di tangan Ryeon, kepangan Saera terurai sedikit demi sedikit sebelum tergerai seluruhnya, tak ia acuhkan. Nyeri yang mencengkeram dari punggung pun diabaikannya. Saeshinbu sudah mati, jadi ia hanya perlu memikirkan Ryeon sekarang.
Begitu darah dari sayatan Ryeon berhenti mengalir, Saera kembali ambruk. Darah seakan tidak mengisi tengkoraknya, memicu mual dan pusing yang untungnya membaik saat rebah. Matanya bersirobok dengan sang penolong. Mukjizat. Saeshinbu mati, tetapi Ryeon masih di sisinya, utuh dan hidup.
Nyatakah ini? Aku dan Ryeon—tanpa Saeshinbu?
"Mengapa? Kau sudah tampak buruk dengan rambut berantakan begitu, pakai menangis pula."
"Siapa peduli?!" bentak Saera yang netranya berlinang-linang, menegaskan betapa penyamarannya telah luluh lantak, menyisakan perempuan tak tahu malu yang jujur akan emosinya. "Bodoh! Tuan Ryeon bisa terbunuh! Kenekatan Anda membuat saya gila!"
Ryeon tersenyum letih. Suara keras Saera justru membuncahkan kedamaian dalam dadanya. Tujuan wanita itu, yang semula hendak merenggut nyawanya, justru berbalik ingin melindungi. Apa yang lebih menenangkan ketimbang mengetahui bahwa hidupnya kini bermakna bagi Saera?
"Jangan gila. Kau harus menebus dosamu dalam keadaan waras."
Saera merasa lidahnya terbelit ketika ditodong dengan setangkai tusuk sanggul perak. Tusuk sanggul itu berhias bunga anggrek merah di ujung kait: indah, tetapi tidak bisa menyaingi dalamnya niat sang pemberi. Cuping hidung Saera kembang kempis, bibirnya mencebik, dan tangisnya pecah kemudian.
"Dosamu adalah menghancurkan ratusan keluarga sebelum bertemu denganku, maka bukan nyawamu yang bisa menebusnya." Ryeon menyimpankan tusuk sanggul itu dalam genggaman Saera. "Kenakan ini—dan bangunlah keluarga bersamaku untuk menggantikan yang telah kauhancurkan."
Saera terisak-isak dengan wajah yang kusut masai. Mengapa ia tergoda untuk menerima tawaran Ryeon meskipun merasa tak layak diampuni?
"Yoo Saera, kau suka sekali membuatku menunggu. Kau bukan gadis peragu yang pertama kutemui, jadi aku yakin kau bisa lebih cepat memberikan jawaban."
Laki-laki ini memang harus ditampar karena menggoda terus, sayang Saera terlalu mencintainya. Masih tersedu, ia merangkak dan menjatuhkan diri ke dada Ryeon. Alangkah baik refleks lelaki itu yang langsung merangkulnya.
"LamaranAnda payah sekali, dasar lajang," hina Saera. "Saya bersumpah takakan membiarkan perempuan lain mendengarnya."
***
Dalam satu abad belakangan, entah berapa gelar istri pernah tersemat di nama Saera. Namun, puncak kebahagiaannya justru berada dalam genggaman pria berkelas sosial rendah, lebih-lebih seorang pedagang yang sering dihina akibat 'tidak mulianya' kegiatan mencari laba.
Pernikahan Ryeon dan Saera dilaksanakan secara sederhana, disaksikan para pekerja, dengan Asisten Seok dan Nyonya Cha sebagai wali kedua belah pihak. Selepas upacara, sepasang pengantin baru mengganti jubah mereka dengan pakaian yang ringan, lantas bergabung dengan para pekerja dan pelayan yang mempersiapkan perayaan sekaligus menjadi tamu undangan. Mereka selalu jadi sasaran godaan di jamuan tersebut, tetapi Saera mengejutkan banyak orang karena jauh lebih ceplas-ceplos hari ini ('Tuan memang sering hadir dalam mimpi indah saya', 'mana mungkin saya mampu menolak pesona Tuan?', 'saya bersedia hamil sebanyak Tuan menginginkan').
Di lain pihak, Ryeon bersikap seolah-olah tak ada yang berbeda dari istrinya. Inti dari keberadaan Saera toh masih sama: seorang perempuan tangguh dengan cinta yang teguh untuknya.
Berakhirnya pesta pernikahan kecil tapi meriah itu menandai dimulainya sebuah ritual suci lain. Begitu tamu undangan pulang dan kediaman Heo dibereskan, kedua pengantin dibimbing ke bagian rumah yang berbeda. Sejak menginjak bagian tempat tinggal Ryeon yang kini khusus diperuntukkan baginya, jantung Saera bertalu-talu resah.
Ini bukan ritual malam pertama yang pertama, tetapi mengapa aku gugup? Ketegangannya bahkan tak dapat dibandingkan dengan kali pertamaku yang sesungguhnya. Inikah yang harusnya kurasakan ketika dinikahi seseorang?
Selama kedua pengantin mandi dan berganti pakaian tidur, para pelayan mengatur agar keduanya tidak bertemu hingga memasuki kamar pengantin. Mereka baru undur diri setelah persiapan kamar pengantin lengkap. Ryeon berterima kasih pada pelayan-pelayannya, lalu duduk di seberang meja anggur, menghadap Saera yang menunduk seakan masih kurang pengalaman.
"Terima kasih pula untukmu, Istriku."
"Ah, ya, terima kasih kembali, Tuan," jawab Saera; panggilan istri membuatnya merinding girang. "Biar saya tuangkan anggur untuk Anda."
Kedua cawan diisi dengan anggun oleh Saera. Ryeon berterima kasih lagi dan mengajak istrinya menyantap kue beras serta buah-buahan di atas meja anggur.
Seperti biasa, dia mengagumkan, termasuk ketika makan, puji Saera ketika Ryeon menyuapkan kue beras manis, disusul sepotong persik. Kudapan kenyal dalam mulut Saera semakin menggugah gara-gara suaminya ini. Ia jadi teringat; hal pertama yang membuatnya jatuh cinta pada Ryeon adalah cara makannya, hanya saja waktu itu ia masih tidak mengaku. Topik inilah yang Saera lemparkan kepada Ryeon untuk mencairkan suasana makan malam mereka.
Saking cairnya suasana, Ryeon yang kaku itu menyuapkan sepotong persik pada Saera buat memanjakannya—yang dibalas perbuatan serupa. Jadilah mereka saling menyuapi. Saera terkikik; melakukan hal kekanakan begini ternyata sanggup memercikkan rasa aman jika bersama orang yang betul-betul dicinta.
Piring telah kosong. Dua cawan sopi manis diacungkan, milik Saera diangkat sesudah Ryeon.
"Untuk bersatunya pikiran, hati, dan tubuh kita. Semoga ikatan ini senantiasa terberkati."
Doa Ryeon diamini. Keduanya menyesap takzim minuman yang menyimbolkan cinta mereka itu. Setiap secawan anggur tandas, Saera segera mengisinya, terutama bila cawan Ryeon yang kosong. Baru Saera tahu pria itu punya ambang mabuk setinggi dirinya, yang mana bagus sebab Saera tidak ingin indra pria itu ditumpulkan minuman keras dulu.
Akhirnya, bersihlah semua wadah di meja anggur. Saera menyisihkan meja ke sudut ruangan selagi Ryeon membentang sekat lipat di belakang pintu kamar. Setelahnya, ia menyalakan sebatang lilin menggunakan api lentera besar sebelum mematikan lentera itu.
Kamar meremang, begitu pula bulu roma Saera. Netra elang Ryeon memandangnya sunyi, tetapi wanita itu tidak butuh perintah tersurat untuk mendekat ke tempat tidur. Ryeon bergeser, menyentuh sisi wajah Saera syahdu, menghayati setiap lekuk dan memuji mulus kulitnya menggunakan punggung tangan. Terhanyut, Saera menggesekkan wajah mendamba ke telapak Ryeon bagai seekor kucing.
"Jika ini mimpi akibat arak beras, saya ingin mabuk selamanya," bisik Saera, pelupuknya dilinangi keharuan dan hasrat. "Boleh saya memeluk Tuan?"
Cukup dengan membukanya dekapan Ryeon, Saera tahu bahwa dia selalu diterima. Dekapannya yang erat di sekeliling Ryeon memancing tawa merdu laki-laki itu.
"Kau pasti sangat mencintaiku."
"Siapa yang tidak? Tolong, jangan mengatakannya seakan saya saja yang tergila-gila."
"Sebaliknya, Saera," Ryeon menarik lambat ujung pita atasan Saera; matanya berkilap-kilap, "sebaliknya."
Mengawali puncak ritual malam pertama, Ryeon melepaskan kaus kaki Saera (juga menggelitik tapaknya iseng hingga Saera memekik genit), sementara Saera membuka simpul atasan Ryeon dan ikat kepalanya. Setelahnya, mereka melepaskan pakaian sendiri-sendiri, menyisakan celana tidur Ryeon, bebat dada, dan rok Saera menempel di badan.
Seluruh tubuh Saera kesemutan disajikan pemandangan ini. Otot-otot pejal suaminya berbayang karena lilin, dikilaukan selapis tipis peluh. Dada Ryeon bidang, perutnya rata, dan bayangan yang membingkai pusarnya membentuk garis membujur di kedua sisi. Tubuh yang sangat, sangat indah.
Sayang, sebelum Saera dapat memuja Ryeon, pria itu lebih dulu menangkup kedua pipinya, lalu mempertemukan bibir mereka. Lembut mengharap keintiman, tetapi masih buta mengenainya. Ryeon bergeming, tangannya melembap cemas.
Saera mengerti bahwa Ryeon butuh diajari, jadi menelenglah kepalanya untuk mengunci bibir mereka. Ia cicip bibir bawah lakinya yang penuh, mengulumnya, berpindah ke atas, ulangi. Selama itu, Saera bernapas pelan-pelan dari hidung, mengajak Ryeon untuk melakukan yang sama, sesekali menarik diri untuk memberi si pria kelonggaran.
Cepat belajar, ciuman berikutnya diawali oleh Ryeon. Baru sebentar, geligi Saera ikut bermain dan lengannya mengalung pada Ryeon. Tak sengaja, ia mengeluarkan suara nikmat nan halus.
"Tunggu."
Ryeon meraih simpul bebat dada Saera, mengisyaratkan keinginan dan rasa ingin tahu. Nyaris Saera urai simpul itu andai sebuah pemikiran tidak mengusik dan menghentikannya.
"Saera?"
Ryeon maju, hendak melucuti bebat dada itu sendiri, tetapi Saera menarik diri dan menangkupkan tangan di depan payudara yang belum terdedah. Kendati menginginkan kontak ini sejak lama, Saera malah meragu setelah Ryeon benar-benar menyatakan niat untuk menelanjanginya. Bayangan-bayangan malam pertamanya terdahulu menghantam keras bagai hukuman, malam-malam penuh godaan palsu yang dilaluinya demi harta benda.
"Mengapa aku melakukan itu semua?" Gumaman Saera menarik Ryeon mendekat, berhati-hati menanyakan maksudnya.
"Mengapa saya tidak bertemu Tuan lebih awal? Mengapa saya baru jatuh cinta sekarang?" Air mata Saera menitik satu, menyesal. "Tubuh ini sudah dijamahi ratusan pria sebelumnya, tidak lagi suci, padahal Anda adalah lelaki paling mulia yang hadir dalam hidup saya. Mengapa harus mendapatkan saya dalam keadaan rusak?"
"Siapa yang 'rusak', Saera?" Sekali lagi, Ryeon menangkup wajah istrinya, berbisik begitu dekat hingga dahi mereka hampir melekat. "Kau seorang wanita, bukan barang dengan masa usang. Kita semua tidak sempurna, tetapi bukan berarti tidak bisa saling mencinta, kan?"
Dahulu, cinta Saera kepada pesonanya sendiri memang amat besar, tetapi begitu jatuh betulan ke pangkuan seorang pria, ia justru menganggap dirinya tak berharga. Saeshinbu bisa memulihkannya sebagai seorang dara kembali ketika memulai pernikahan baru; masalahnya, laba-laba iblis itu sudah mati. Tinggallah dirinya, sebuah prasasti tak berukir yang mencatat sejarah rayuan serta perselingkuhan di permukaan kulit.
"Tapi, Tuan, perempuan yang menikah dalam keadaan tak perawan—"
"Nilaimu untukku jauh lebih dari sekadar keutuhan selaput daramu." Ryeon menyelipkan seikal rambut Saera ke belakang telinga. "Akan kuhilangkan kenangan-kenangan buruk itu dari benak, tubuh, dan hatimu. Jangan pikirkan apa-apa yang bukan kita, kumohon." Pucuk hidung Saera dicium sekilas. "Bimbing aku pada kebahagiaanmu."
Saera melebur, terenyuh. Ia mengangguk dan memberikan Ryeon kecupan-kecupan terima kasih di wajah serta leher. Benar, dia kini adalah seorang pecinta, istri, bukan pemangsa maupun dagangan rumah bordil. Ada tanggung jawab baru yang mesti ditanggungnya, yang paling dekat adalah mengajari Ryeon tentang hasrat mereka.
Bebat dada tanggal. Rok dan celana tidur tersingkir bersama pakaian dalam. Ryeon membaringkan Saera ke alas tidur dan melumat bibirnya. Saera sendiri melukis di dada Ryeon, melingkar menuju puting, dan menekan kuncup sensitif itu dengan mantap untuk mengisyaratkan maunya.
Lidah Ryeon melesak tergesa. Ketika Saera turun dari tulang dada untuk menusuk pusar Ryeon, pria itu sejenak berhenti bernapas, menarik bibirnya, dan membulatkan celah bibir yang telah bengkak. Erangan pertamanya pun lepas.
"Sekarang, saya baru yakin," Saera menelusuri tulang pipi Ryeon, "bahwa saya adalah milik Anda." []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top