14

Raga mungil Saera diempaskan ke atas meja pendek, menggeser kasar cepuk-cepuk bumbu di atasnya. Saera lantas didera dengan rotan hingga seluruh badannya lumpuh. Gadis kecil itu hanya bisa mengejang menahan sakit; memar-memar panjang di punggungnya dengan segera berubah menjadi lecet yang berubah lagi menjadi robekan. Pakaiannya lambat laun ternoda merah.

Selagi disakiti, Saera tak dapat mengalihkan mata pula dari kondisi mengenaskan jenazah sang ibu di hadapan. Dihaturkannya doa-doa kepada dewa, roh leluhur, apa saja yang mungkin menolongnya dari keadaan ini.

Saeshinbu merayap dari pintu belakang dapur setelah ayah Saera berhenti, bingung mengapa perempuan-perempuan di hadapannya membeku dalam posisi telungkup dan penuh darah. Lelaki itu kembali marah karena tak ada yang beranjak untuk mengambilkannya minum, jadi dia keluar dapur, entah ke mana, setelah menendang-nendang raga beku anak dan istrinya beberapa kali lagi.

Saera merintih. "Nona Saeshinbu ... aku tidak mau mati ...."

"Kau tak akan mati, Nak. Terimalah bantuanku dan kau akan mendapatkan yang jauh lebih baik dari sekadar menyambung nyawa. Sebagai gantinya, kau harus membantuku mencari mangsa."

Pada titik ini, Saera sudah tak peduli berapa harga yang harus dibayarnya untuk dapat bertahan. Penderitaan yang ia terima dalam satu hari itu saja sudah terlalu dahsyat dan ia bahkan tak tahu apa salahnya. Saeshinbu telah tiba dengan pertolongan, bodoh kalau ia menolak. Jadi Saera menerima bantuan itu, tanpa tahu kelak akan menjadi inang si laba-laba betina.

Merasa menang, Saeshinbu masuk ke tubuh Saera melalui luka menganga di punggungnya. Taring Saeshinbu menembus serat otot Saera, begitu pula lengan-lengannya, membuat gadis itu meronta ngilu. Keringat dingin membasahi permukaan kulitnya, tetapi rasa nyeri tersebut berkurang begitu Saeshinbu mematenkan posisi di antara daging inangnya. Ragu-ragu, Saera bangkit, merasa ganjil karena meskipun luka-luka, kakinya ternyata masih cukup kuat menyangga berat sendiri.

Tatapan mata Saera menggelap. Ia tidak lagi berpaling pada mayat ibunya yang mulai menguarkan bau tak sedap. Langkahnya lurus ke arah mana si iblis pergi. Rupanya, gadis itu tak perlu berjalan jauh. Laki-laki yang ia cari tumbang sebelum sempat keluar rumah, kekenyangan arak.

Lengan-lengan Saeshinbu keluar dari luka cambukan di punggung Saera. Alat gerak yang semula ramping kini menjadi setebal lengan manusia dewasa, tetapi lebih lentur dan kuat. Di masing-masing ujung lengan ini, terdapat tangan-tangan yang sekilas mirip manusia, tetapi berkuku tajam panjang seperti cakar hewan dan berwarna hitam.

Tak sedikitpun kegentaran mengusik hati Saera ketika menginjak laki-laki itu sampai bangun. Si iblis berbalik, melempari penginjaknya dengan umpatan, tetapi langsung menjerit ngeri dan berusaha kabur begitu menyaksikan bagaimana putri semata wayangnya berubah menjadi siluman. Seulas senyum terkembang tanpa Saera sadari saat keempat lengan Saeshinbu bergerak sesuai kemauannya, mencengkeram badan si keparat di beberapa bagian sekaligus. Dinikmatinya raut ketakutan yang menjadi bukti betapa keadaan telah berbalik dalam waktu singkat.

Saeshinbu merobek badan mangsanya menjadi dua, mencacahnya, dan Saera tertawa terbahak-bahak sebelum melahap potong demi potong daging segar itu tanpa rasa jijik. Begitu selesai bersantap, wajah kurus Saera, tangan-tangan kecilnya, rok, serta kakinya menjadi merah.

Saera dan laba-laba yang menumpangi raganya berseru puas. 

"Ternyata, begini rasanya daging manusia!"

Walau perutnya terasa penuh, Saera masih ingin makan lagi, maka Saeshinbu membuat sebuah kesepakatan. Mengingat betapa Saera ingin kaya, mereka hanya akan memakan para hartawan setelah ini. Demi mencapai tujuan tersebut, Saera harus menanggalkan identitas aslinya, menjadi seorang penggoda ulung yang akan menaklukkan pejabat-pejabat berkantong tebal. Tak tahu caranya, Saera cilik mengikuti saja perintah Saeshinbu untuk membersihkan diri dan 'meminta tolong' pada wanita-wanita berhati lunak di rumah bordil.

Sekurus dan sekumal apa pun, Saera tetaplah seorang gadis yang cantik, maka para wanita penghibur menyediakannya kamar di rumah bordil dan mendidik remaja misterius ini menjadi salah satu yang terbaik dari mereka. Begitulah Saera melumpuhkan suami pertamanya, menikah, dan makan. Selanjutnya, puluhan laba-laba betina sejenis Saeshinbu tahu-tahu berkumpul di halaman rumah yang penuh darah. Mereka menjelma menjadi manusia yang mengangkuti harta-harta Saera dari dalam rumah lamanya. Satu lengan Saeshinbu kemudian mengusap cermin tangan, membuka gerbang menuju sarang laba-laba di Gunung Halla yang tak pernah Saera tahu telah diratuinya.

Satu, dua, tiga, lama-lama menjadi seratus tujuh. Sarang Gunung Halla pun berangsur penuh dengan harta yang terselimuti sutra laba-laba, sementara Saera menjadi siluman penimbun yang mengira dirinya akan terus serakah dan lapar.

***

"Tuan Ryeon akan menjadi yang keseratus delapan jika tetap berada di dekat saya, tetapi saya tak menghendaki itu." Saera memungkasi kilas baliknya. Kain merah bermotif bakung lelabah di alat tenun yang tengah telah selesai, jadi ia menarik masuk empat pasang lengan lainnya tanpa melihat sejauh apa mereka bekerja. Ia kemudian berdiri menghadap Ryeon yang menatapnya seperti hantu.

"Ini bukan kau."

"Semua yang Tuan ketahui tentang sayalah yang bukan saya," senyum Saera, "tetapi cinta saya jujur. Karena itu, selamatkanlah diri Tuan, bahkan jika nyawa saya yang harus menebusnya."

***

Tidak banyak yang berubah setelah Saera mengungkapkan identitasnya kepada Ryeon. Ia masih pergi ke ruang tenun dan beristirahat di asrama. Tabib wanita masih dipanggil bergiliran, sedangkan para pegawai terus berupaya agar ia setidaknya berbahagia sampai akhir hayat. Pada waktu-waktu ini, Saera jadi mampu melihat berkat lain yang ia miliki selain Ryeon, yaitu teman-teman--tidak--keluarga barunya di rumah tenun.

Sehari-dua hari berpisah dengan Ryeon bukan masalah besar, tetapi hari berganti minggu. Lama-lama Saera merindu, padahal pada awal pendekatan, ia tidak menjumpai Ryeon lebih lama dari itu dan baik-baik saja. Setiap Saeshinbu menikamnya dari dalam, Saera tak bisa tak membayangkan Ryeon: sentuhannya, ketulusannya, sikap blak-blakannya, bahkan wangi jubah yang tercium ketika ia mendekap erat Saera. Kenangan-kenangan tentang sang saudagar melukai sekaligus menyembuhkan.

"Saera."

Ah, suara yang hangat dan indah. Apa aku sedang bermimpi-demam?

"Ini aku, Heo Ryeon. Bisakah kau bangun?"

Kelopak mata Saera sontak membuka begitu menyadari suara ini nyata. Ryeon bersimpuh di sisi tempat tidur, membelai pelipisnya, dengan hati-hati membangunkannya. Senyum Saera terbit hanya untuk dihapus Saeshinbu kemudian. Si laba-laba janda mengganas begitu merasakan kehadiran Ryeon, memaksa untuk menjebol punggung Saera agar bisa mencabik daging pria itu.

"Laba-laba itu sangat bernafsu untuk melahapku," gumam Ryeon ketika Saera mengerang. Lelaki itu tahu apa penyebab kesakitan Saera.

"Saya tidak akan membiarkan Nona Saeshinbu memangsa Tuan."

Ryeon menatap Saera dengan iba, sesaat kemudian berubah penuh determinasi. "Kau tidak pantas menerima segala penderitaan tanpa sedikit saja kesempatan untuk berbahagia, Saera. Hari ini, akan kuakhiri semua rasa sakitmu sekaligus."

"Omong kosong! Aku jadi tidak sabar ingin segera memakannya!"

Saera memicing sembari mencengkeram selimut. Saeshinbu kian lama kian susah dikekang. "Saya adalah sekeji-keji wanita, jadi biarkanlah rasa sakit ini mencuci seluruh dosa saya."

Ryeon menautkan jemarinya dengan milik Saera yang lembap lagi dingin. "Terserah bagaimana pendapatmu, tetapi aku memiliki cara yang lebih baik untuk menebus dosa itu."

Betapa terkejutnya Saera ketika telapaknya dihela ke atas. Lengan kirinya tahu-tahu tersampir ke bahu Ryeon, sementara pria itu sendiri sudah menyelipkan tangan ke bawah punggung dan lututnya. Tak lama berselang, tubuh Saera terangkat dari tempat tidur, membuatnya memekik dan mengalungkan lengan yang sebelah lagi ke sisi lain bahu majikannya.

"Apa ... Apa yang Tuan lakukan?!"

Tampaknya, Saera harus rela jawabannya tertunda. Wajah Ryeon begitu kaku tatkala membopongnya keluar, langkahnya pun terburu-buru seakan berpacu dengan waktu. Saera tidak paham apa yang Ryeon kejar, hanya mengerti bahwa hal tersebut berkaitan dengan dirinya, kemungkinan besar juga Saeshinbu. Namun, kepedulian yang selama ini Ryeon buktikan padanya memancing sebuah harapan.

Apakah akhirnya, aku bisa terselamatkan?

Saera didudukkan ke atas punggung kuda, lalu Ryeon menyusulnya. Tali kekang ditarik dan mereka berbalik arah, melaju menjauhi kompleks usaha. Angin menerpa sebelah wajah Saera saking kencangnya kuda dipicu. Tapal kuda berderak-derak menggebah bumi. Mereka berdua membelah keramaian jalan utama dengan kecepatan tinggi hingga segala suara dan bunyi melebur dalam dengung.

Cuma Ryeon yang bergeming, mata elangnya memandang lurus ke depan. Tak ada tanda-tanda ia akan membeberkan rencana, jadi Saera bungkam, berkonsentrasi menenggelamkan lengan-lengan Saeshinbu dalam serat ototnya.

"Kita sampai."

Sejauh netranya beredar, Saera hanya melihat ilalang yang menguning di bawah kuasa musim gugur. 'Kita sampai'-nya Ryeon justru menyesatkannya kian jauh. Apa yang akan mereka lakukan di tengah padang hampa ini?

Kendati Ryeon sudah membantunya turun dari kuda, kaki Saera masih selemah bayi. Ia menumpukan berat badan ke lengan Ryeon agar tetap bisa berdiri, tetapi tak disangka, Ryeon melepaskan pegangan. Saera pun jatuh terduduk di samping kuda sang majikan. Pria di hadapannya sempat tersentak, hendak mengulurkan tangan, tetapi urung. Alih-alih, ia perlahan berjalan mundur tanpa memindahkan atensinya dari Saera, baru berhenti sekitar sepuluh kaki dari perempuan itu.

"Setelah mengetahui kebenaran tentangmu dan merenungkannya, aku tiba pada suatu kesimpulan yang menyakitkan." Ryeon mengeluarkan sesuatu yang terselubungi sutra putih dari dalam jubahnya. "Selama ratusan tahun, kau hidup bergelimang harta sebagai siluman yang memangsa suamimu sendiri, tetapi begitu bertemu denganku, kau menyadari dosa-dosamu sehingga tersiksa oleh rasa bersalah. Andai kau tidak bertemu denganku, tentu kau akan melanjutkan kebahagiaanmu dengan cara yang sama seperti sebelumnya."

Biarpun seluruh ucapan Ryeon adalah fakta, sesuatu tetap terasa keliru. Ryeon berkali-kali menekankan akan membantu Saera memperoleh kebahagiaan, tetapi kalimat pamungkasnya menyiratkan bahwa dialah halangan Saera untuk berbahagia. Perempuan itu tak menyukai ke mana perbincangan ini mengarah—terlebih saat sutra putih dalam genggaman Ryeon diangkat, menampakkan belati tipis di baliknya.

"Saera," Ryeon tersenyum pedih, "jangan pernah mencintaiku."

"Mana mungkin saya memenuhi perintah itu?!" teriak Saera putus asa. "Tuan Ryeon telah memberi saya pekerjaan dan membayar saya dengan layak ketika orang lain membuang saya. Tuan selalu menemukan kelebihan di balik semua kekurangan saya. Tuan adalah pria terbaik yang pernah saya kenal ... cinta pertama saya!"

Bukannya tersinggung akan nada tinggi yang tak pernah Saera gunakan, Ryeon malah tertawa.

"Aku tak mengira pengakuan cinta pertama yang kuperoleh disampaikan bersama amukan. Mana gadis pengecut yang cuma bisa menangis dan meminta maaf?" Usai meredakan gelaknya, Ryeon menelengkan kepala. "Aku akhirnya berhadapan dengan dirimu yang asli, Yoo Saera."

Mengapa Ryeon kelihatan puas sekali melihat sosok Saera yang sesungguhnya? Dari tahun ke tahun, Saera belajar bahwa perempuan menjadi paling cantik ketika menipu: menutupi perasaan, bersolek hingga warna asli kulit tersamarkan, dan merangkai kata-kata manis yang palsu. Gila, dia sekarang marah pada Ryeon, tetapi laki-laki itu justru lega karenanya?

Belati di tangan Ryeon terhunus dari selongsong tembaganya. Saera mendelik.

"Aku bersyukur Nirwana mengizinkanku mendengar kata cintamu sebelum mati. Mari akhiri kisah ini dengan cepat supaya kau bisa membawa segudang hartaku ke sarangmu." 

Jelaslah sekarang apa rencana Ryeon. Saera menutup mulutnya dengan kedua belah tangan. Otot-otot punggungnya terasa makin nyeri.

"Tidak, Tuan!" Berdiri tiba-tiba dengan kaki yang masih lemah membuat Saera terjerembap. "Nona Saeshinbu akan segera keluar, tolong larilah dan selamatkan diri Anda!"

"Dan membiarkan makhluk itu menyakitimu lebih lama?" Raut Ryeon mendingin. "Kau bilang akan menyelamatkanku bahkan jika nyawamu bayarannya. Mengapa aku tidak bisa melakukan hal yang sama untukmu?"

"Tolong jangan bertindak bodoh!" sembur Saera bersama sejumlah besar air mata. "Tuan kira hanya hidup saya tolok ukur untuk 'keselamatan' itu? Apakah Tuan tega meninggalkan saya dengan rasa bersalah yang lebih besar? Saya lebih baik mati ketimbang membunuh Tuan!"

Ryeon termangu, sedangkan Saeshinbu menjerit kelaparan.

"Berhenti bicara cinta, Bangsat! Aku ingin makan!"

"Dia bukan milikmu, Laba-laba Tua!" Saera berseru di puncak napasnya, tak malu-malu meliar di hadapan pria yang ia kasihi. "Aku yang bersusah payah mendapatkan hatinya, jadi Heo Ryeon adalah milikku, milikku, milikku!"

Penegasan yang berujung parau itu menguras tenaga Saera, tetapi ia belum mau menyerah. Kedua tulang belikatnya nyaris bertemu saking kerasnya upayanya untuk mencegah Saeshinbu keluar. Sialnya, penciuman Saera menangkap aroma yang membangkitkan nafsu makan Saeshinbu berkali-kali lipat.

"Biarkan laba-laba itu." Ryeon mempersembahkan telapak tangannya yang mengucurkan darah segar dari sebuah sayatan. "Kau benar, maka sesudah mati pun, aku tetaplah milikmu." []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top