12

"Saera, ada apa?!"

Dengan buta, Saera meraih-raih ke depan, mencoba meminta tolong karena sulit bersuara di tengah dera nyeri. Ryeon segera meraih tangannya yang dingin dan lembap. Menyadari bahwa tatapan Saera mulai kehilangan fokus, pria itu membuka pintu ruangan dan bergegas membopong penenunnya keluar.

"Panggilkan tabib wanita, cepat!" perintah Ryeon pada pekerja pertama yang ditemuinya. "Saera, buka matamu. Bertahanlah!"

Mengapa Ryeon terdengar begitu panik, padahal bukan nyawanya sendiri yang terancam? Orang-orang dari masa kecil Saera saja tak pernah mengacuhkannya, sekeras apa pun dia berteriak mohon bantuan.

Kau orangnya, Heo Ryeon. Kau adalah cinta pertama yang selamanya tak akan pernah kusesali. 

Hingga kesadarannya mencapai titik terendah, hanya kata-kata inilah yang Saera gemakan terus-menerus dalam hati. 

***

Berangkat, berangkat, aku berangkat

Dengan kekasihku, aku berangkat

Tanpa suara, pintu terbuka

Kekasihkukah? Kutengok saja.

Pegawai-pegawai wanita di rumah tenun bukan penyanyi, tetapi senandung riang mereka serasi melaju bersama alat tenun. Setiap mendengarkan mereka, Saera selalu dilanda perasaan aneh. Dibilang haru, terlalu pahit. Dibilang marah, terlalu manis. Perasaan ini mencerminkan bagaimana Saera menyikapi masa lalunya, tetapi dalam keadaan serapuh sekarang, dampak lagu itu terhadap jiwanya menguat.

Putraku, putraku, jangan menangis

Jika kau beruntung, maka kau akan hidup dengan baik.

Suara merdu Saera mengiringi kedua tangannya merapatkan benang. Lirik lagunya memuat doa yang tak ditujukan untuk siapa-siapa. Dulu, ibunya menyenandungkan lagu ini untuk mendoakannya, tetapi dengan siksaan saban hari yang Saeshinbu timpakan, Saera ragu akan hidup cukup lama untuk melahirkan seorang anak, kepada siapa lagu itu dipersembahkan.

Memang, beberapa hari setelah mengakui perasaannya, Saera disiksa Saeshinbu setiap hari. Tabib wanita berganti-ganti memeriksanya atas permintaan Ryeon, tak satu pun mampu menghilangkan sakitnya sepenuhnya. Walaupun demikian, Saera belum berhenti berharap. Ryeon bilang segala keinginannya akan terwujud, bukan?

Sejak kecil, Saera sudah menenun dan menyanyi. Ibunya bukan yang terbaik dalam keduanya, tetapi perempuan itu berhasil membuatnya mencintai kedua pekerjaan tersebut. Berkat Ryeon, kasih sayang dan sesal Saera kepada sang ibu bangkit bersama dengan kenangan yang indah-indah lagi menyembuhkan. Karena ini pulalah, Saera bersikeras tetap bekerja walaupun badannya remuk redam.

Ibu, jika aku bercermin saat sedang menenun, mungkin aku akan menemukan sosokmu. Aku memiliki bibirmu yang terus mengagungkan cinta, lengkung senyum merindumu, dan tangan mengapalmu yang tak henti bekerja dalam penantian. Perasaan ini begitu dahsyat menghantamku dan mengubahku.

"Hentikan omong kosongmu, bocah! Ryeon adalah mangsaku! Kau harus mendapatkannya untukku!"

Lagu Saera tersela oleh erang kesakitannya. Gadis itu menghela napas panjang kemudian, tangannya rehat sejenak. Diambilnya sebutir obat dari dalam kantong herba dan menelannya bersama air. Setelah itu, sekali lagi dihadapinya kerangka bambu yang diselipi benang berjajar-jajar, melanjutkan tenunan dan lagu dengan suara bergetar. Begitu seterusnya hingga matahari terbenam.

"Saera, ini aku, Heo Ryeon."

Secepat kilat Saera berbalik, bukan karena melihat kesempatan untuk menggoda seperti dahulu, melainkan murni karena kedatangan orang yang ia sayangi. Beberapa kali ia berpikir, pernahkah ibunya yang seorang pecinta itu segembira dirinya saat menyambut kekasih?

"Suaramu merdu. Senang mendengarnya."

Di depan pintu ruang tenun, Ryeon tersenyum memuji dan Saera tersipu. Sang pedagang datang menjenguk jika waktunya senggang, yang jarang terjadi, tetapi ia menunjukkan perhatian lewat cara yang lain. Diutusnya para pegawai mengawasi makan dan istirahat Saera, juga memastikan gadis itu baik-baik saja setiap dua jam. Waktu kerja Saera dikurangi dan ia diberi waktu untuk bersenang-senang di luar rumah tenun bersama pegawai yang libur. Dari semua itu, tak ada yang lebih menyenangkan dibanding kunjungan Ryeon sendiri, apalagi jika beriring senyum dan pujian.

"Terima kasih, Tuan. Saya harap suara saya bisa mengangkat lelah Tuan barang sedikit."

"Tidak ada suara yang lebih baik dari milikmu dalam hal itu." Sikap Ryeon makin melembut setelah Saera sakit, tetapi apakah perubahannya dikarenakan rasa iba atau cinta, tidak ada yang tahu. "Mari turun. Setelah kau berobat, kita makan malam bersama pegawai yang lain. Jangan takut-takut minta tambah."

Saera terkekeh. Keduanya melintasi lorong ke bagian depan bangunan; tabib wanita sedang menunggu di ruang sebelah toko. "Tuan juga. Apakah hanya saya atau Tuan Ryeon memang bertambah kurus?"

"Aku memang kurus dari dulu."

Saera menggeleng cepat, nadanya berubah menyelidik. "Pasti Tuan sibuk, jadi jarang makan malam, kan?"

Ryeon mendecih. "Cemaskanlah dirimu sendiri. Orang waras mana yang memaksakan diri bekerja ketika sakit parah dan sempat-sempatnya mengurusi jadwal bersantap orang lain?"

Sepanjang lorong, Saera dan Ryeon bertukar omelan yang berujung kelakar. Pemandangan yang mulai biasa tersuguh ini menimbulkan reaksi yang campur-aduk dari para pegawai sebab keceriaan di wajah keduanya amat kontras dengan fisik yang pucat lagi susut. Ryeon tahu Saera sakit, tetapi Saera tidak tahu Ryeon hampir jatuh dalam keadaan yang sama bukan karena pekerjaan.

Selama tabib wanita melakukan pemeriksaan, Ryeon menunggu di luar sembari menghirup teh kurma merah seduhan pelayannya. Rasanya nikmat, tetapi kurang harum, hari lain kurang manis, hari lain kurang pedas, padahal Saera sudah mengajarkan si pelayan bagaimana cara menjerangnya. 'Si bandel itu' kerap mengingatkan pelayan Ryeon agar menyeduh teh kurma merah lantaran pria itu tampak kurang sehat, sayangnya sekali lagi, Saera salah menduga.

Satu-satunya obat bagi Ryeon adalah kesembuhan Saera.

"Saya menambahkan candu Ming dalam obat Nona Yoo Saera, juga menaikkan dosis obatnya. Jika ada masalah selama meminum obat tersebut, mohon langsung berhenti meminumnya," ujar si tabib wanita usai mengemasi peralatan terapinya. Saera dapat menerobos topeng kesantunan perempuan paruh baya ini dan menemukan pesimisme di sana.

Tidak apa-apa. Memang begitulah seharusnya perasaan tabib ketika pasiennya tak kunjung sembuh, bahkan dengan obat paling manjur.

"Apakah Anda berhasil menemukan sumber rasa sakitnya kali ini, Nyonya Song?" tanya Ryeon dengan sinar asa di matanya. Sang hartawan cerdik jadi tampak selugu anak-anak dengan manik membulat begitu.

Tabib wanita menghindari tatapan Ryeon dan saat itu, Saera tahu sang saudagar akan dikecewakan.

"Maafkan saya, tetapi saya tidak menemukannya pula hari ini."

"Begitukah?" desah Ryeon muram. "Tapi, keadaan Saera semakin baik, bukan?"

Sekarang, si tabib tak sanggup lagi berpura-pura abai. Ia duduk tegak dan menatap Ryeon lurus-lurus. 

"Saya akan menyampaikan kenyataan yang mungkin sulit Anda berdua terima. Rasa nyeri Nona makin berat sehingga obat-obatnya terus saya tingkatkan, tetapi tidak ada tanda-tanda akan berkurang. Sumbernya kabur, tubuh Nona kian hari juga kian lemah. Pada titik ini, dengan berat hati saya katakan, Nona Yoo Saera bisa meninggal sewaktu-waktu, Tuan."

Segala warna langsung luntur dari paras Ryeon. "Meninggal sewaktu-waktu?"

Meski menyakitkan, ucapan si tabib wanita tidak terlalu mengejutkan Saera. Ia mengerti tubuhnya dirusak Saeshinbu dari hari ke hari. Sedikit banyak, ia telah mengantisipasi kematiannya dan merasa lega. Setidaknya, ada sang majikan yang menutup riwayatnya dengan indah.

Sebaliknya, Ryeon yang buta akan kehadiran Saeshinbu tampak terguncang mendengar kemungkinan ini. Betapa Saera ingin menggali perasaan sesungguhnya di balik mimik itu. Mustahil Ryeon kelihatan begitu terkejut jika baginya, Saera hanyalah 'salah satu penenun'.

Tabib wanita tidak menjawab pertanyaan Ryeon sebab bukan jawaban yang lelaki itu butuhkan. Kembali sang penyembuh sibuk sendiri, entah membenahi roknya atau sanggulnya, hingga Saera memecah keheningan.

"Terima kasih telah memberitahukan hal ini kepada kami. Akhirnya, saya dapat mengetahui dengan jelas seberapa jauh penyakit ini telah berkembang dan kemungkinan apa yang menunggu saya di depan. Terima kasih pula atas perawatan Anda yang penuh kesabaran, Nyonya Song."

Ketulusan dan penerimaan Saera sangat kental hingga si tabib wanita tercekik. Garis alisnya seakan melengkung turun. "Tentu Nona tidak boleh patah semangat," hiburnya asal; pikirannya tak bekerja baik di depan gadis malang ini. "Menurut para pekerja, Anda adalah penenun yang patut diteladani, maka tetaplah demikian hingga akhir."

Saera mengangguk meyakinkan, tak sedikitpun tampak berduka. Ia sibuk membungkam tawa maniakal Saeshinbu yang bergaung dari punggung ke dadanya.

"Apakah ada yang harus Anda sampaikan lagi, Nyonya Song?" sela Ryeon gusar. "Jika tidak, Anda bisa pergi. Pembayarannya sudah diterima di muka, bukan?"

Mafhum akan kondisi Ryeon, tabib wanita mohon pamit. Saera mengencangkan tali yang menyatukan bungkusan obat, bersiap pergi, tetapi suara Ryeon mencegahnya.

"Kau tidak apa-apa, Saera?" Biasanya, seterbaca apa pun perasaannya, Ryeon pasti masih berusaha untuk menutupi. Detik itu, sang saudagar tidak repot-repot menabiri emosinya. Saera lebih bersedih akibat kemuraman Ryeon ketimbang dekatnya kematian.

"Saya baik-baik saja. Sejak sakit, tidak, bahkan sejak pertama kali bekerja pada Tuan, saya telah mencicipi macam-macam kebahagiaan. Belakangan, saya semakin senang karena merasakan kehangatan Tuan Ryeon, seakan-akan kita sudah berteman baik." Saera lantas terkekeh lirih. "Jika saya mati, maka saya tak akan memendam penyesalan—sebab saya telah memiliki seorang sahabat yang berhati mulia."

Ryeon terpaku. Tak punya sesuatu lagi untuk dikatakan, Saera mohon diri dengan membawa bungkusan obat.

"Kebahagiaan, kebahagiaan, pembual! Kau cuma jalang pengejar harta dan pemangsa lelaki! Satu-satunya kebahagiaan hanyalah kekayaan yang kaudapat dari korban-korbanmu! "

Sudah beratus-ratus tahun aku menjadi kaya sendirian, tetapi tak benar-benar mengerti betapa bahagianya jatuh cinta, Nona Saeshinbu, tegas Saera seraya menggeser pintu membuka. Heo Ryeon adalah orang yang tepat untukku. Keberadaannya lebih berarti dibanding harta yang kutimbun selama ini.

"Kau akan mati mengenaskan seperti ibumu! Bersiap-siaplah untuk kecewa!"

Baru beberapa langkah keluar ruang depan, Saera terpaksa mundur kembali untuk membenturkan punggungnya ke tembok. Cara itu efektif meredam nyeri jika Saeshinbu mulai berulah dalam otot punggungnya. Tentunya, Saera tidak ingin ada banyak saksi, maka ia memilih kembali ke ruang depan dan membiarkan Ryeon, yang sudah pernah menyaksikan sikap anehnya untuk menghilangkan sakit, melihatnya melakukan itu lagi.

Badan Saera merosot begitu Saeshinbu berhenti menyerang. Pelan-pelan, dengan mata terpejam, ia mengatur napas. Didengarnya langkah kaki Ryeon mendekat, maka dipaksanya kelopak mata membuka. Anehnya, setelah terbuka, lapang pandang Saera berkurang separuh. Dirinya tertarik ke samping, menyandari lembutnya jubah luar berbahan katun Ming yang samar-samar beraroma minyak pinus.

Sepasang lengan telah membenamkan Saera dalam dekapan hingga ia tak bisa melihat dengan baik, apalagi sisi wajahnya ditahan sedemikian sehingga tidak bisa ditengadahkan.

Seseorang melesit hidung, meneguk ludah, dan mendesah lemah sebentar-sebentar di atas kepala Saera.

"Tuan—"

"Jangan bergerak," sergah Ryeon; Saera mendelik menyadari betapa sengau dan parau suara itu. "Jangan coba-coba menatapku."

Suhu tubuh Ryeon meningkat, menyelimuti Saera tanpa menyisakan ruang selain untuk bernapas. Sejak pelukan yang pertama dimintanya dulu, Saera tak pernah lagi merasakan dekapan Ryeon sampai sekarang. Sayang sekali, dekapan kali ini terasa menyakitkan, bukan karena eratnya rengkuhan Ryeon, melainkan karena mengalirnya air mata yang bukan milik Saera. Air mata yang membasahi ubun-ubun gadis itu seakan dapat meresap masuk, langsung ke bagian terpeka nuraninya.

"Mengapa Tuan menangis?" Melawan ganjalan di tenggorokannya, Saera tertawa getir. "Bukankah saya sudah mengatakan akan menerima nasib saya? Lagi pula, tidak ada yang perlu disedihkan mengenai kematian jika segala mimpi yang ingin dicapai di dunia sudah terwujud."

"'Segala mimpi sudah terwujud', katamu?" dengus Ryeon, sumbang dan frustrasi. "Kau mestinya bermimpi lebih banyak. Meminta dengan serakah. Kau begitu muda, Saera, belum belajar banyak hal sehingga tak memiliki mimpi .... Takdir ini begitu tidak adil ...."

Tidak, Ryeon. Aku sudah mendapatkan apa saja yang dulu kuimpikan saat masih miskin, kecuali kasih sayang. Itu juga sudah kudapatkan melaluimu, jadi jangan kira aku dicurangi oleh takdir.

Kata-kata ini Saera pendam sendiri. Ia takut akan pecah berkeping-keping jika menyampaikannya. Sebenarnya, ia ingin lebih lama lagi bertahan. Mengapa Langit mengizinkannya bertahun-tahun hidup bergelimang harta, tetapi melarangnya meneruskan setahun saja untuk merasakan cinta? Jawabannya jelas: karma. Setiap teringat wanita-wanita yang dulu ia pupuskan cintanya, kerakusan Saera akan umur panjang berganti kelegaan dari penebusan dosa.

"Saya kira sesuatu yang buruk bagi kita bisa jadi merupakan jalan terbaik dari Yang Kuasa." Saera mengusap-usap pelan lengan Ryeon. "Dulu, saya sering berpikir betapa tak enaknya hidup di hutan, tak punya teman, dan miskin. Sekarang, baru saya mengerti tinggal dalam hutan menyelamatkan saya dari orang jahat, yang pada gilirannya menggembirakan Ibu. Saya belajar menenun dan menyulam dengan cantik juga darinya, mungkin tak akan bisa begitu jika saya menghabiskan waktu dengan bermain bersama-sama anak lain. Karena kemampuan ini pula, saya bertemu dengan Tuan ...."

"Lalu," sahut Ryeon, "apa yang baik dari kepergianmu?"

Apa? Saera berkeringat karena kebingungan menjawab Ryeon, tetapi rasa sakit di punggung memberinya gagasan.

"Mungkin, kematian akan membebaskan saya dari rasa sakit?"

Tangis Ryeon yang tersumpal berubah menjadi gigil yang merambati kulit Saera. Dekapnya seerat anak-anak yang enggan berpisah dari sang ibu ... atau pria yang tak ingin berpisah dari seorang kekasih. Saera kemudian merasakan setitik kehangatan di puncak kepalanya yang menjalarkan sengatan melumpuhkan ke sekujur tubuh. Sentuhan lembut itu menetap di sana selama beberapa saat.

Ryeon baru saja mencium puncak kepala Saera.

"Kau benar. Jangan menderita lagi," bisiknya sendu. "Jangan tinggal jika pergi membuatmu bahagia. Kami tak akan membelenggumu."

edisi tidak kuat ngedit krn feels. hopefully it will hit you too in the same way. maaf klo misalnya banyak kata yg diulang2 *kemudian pingsan dengan elegan di sofa ala2 cewek2 invalid zaman victoria

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top