10

"Tuan Ryeon ...."

Rahang si saudagar kain terkatup rapat. Sepasang alis tebalnya menukik tajam ke tengah dan ia berdecak, kentara benar sedang mengekang umpatan yang mendesak mau keluar. Dicengkeramnya pergelangan tangan Saera sebelum mengganjur langkah menuju asrama pegawai wanita. Ia mengetuk pintu asrama agak keras selagi Asisten Ha—yang pergi bersamanya—mengumumkan kedatangan. Kepala Asrama Bang membuka pintu, terkejut mendapati Saera dan tudungnya yang berlumur debu.

"Tolong rawat lukanya dan carikan baju ganti untuknya," perintah Ryeon pada kepala asrama sebelum perempuan itu sempat menggali mengenai apa yang terjadi. "Setelah itu, aku ingin bicara berdua dengannya."

Kepala asrama membimbing Saera ke kamar terdekat, berhati-hati agar ia tidak menyakiti Saera lebih jauh. 'Siapa yang menyerangmu?' dan 'dari mana saja kau?' yang dibisikkan wanita itu terkesan khawatir sekaligus jengkel, khas perhatian seorang ibu. Saera tak menjawab berhubung masih berusaha menghentikan tangisnya, sedangkan Saeshinbu yang gagal mengudap marah-marah.

"Andai Ryeon tidak datang, aku pasti sudah kenyang sekarang!"

Saking murkanya, Saeshinbu tak sengaja menancapkan kaki-kakinya lebih dalam ke punggung Saera, menimbulkan pekik nyeri sang inang. Lepaslah pegangannya pada tudung bepergian sehingga kain yang kotor itu melorot, menampakkan atasan yang terobek membujur, juga punggung telanjangnya. Kaget, Saera bergegas menaikkan tudung. 

"Tunggu!" Ryeon yang terperanjat, entah karena apa, berdiri tiba-tiba dari tempat duduknya di ruang tamu. "Aku akan panggilkan tabib wanita!"

"Sebaiknya, kami memeriksa Saera terlebih dahulu," usul kepala asrama. "Bila lukanya ringan, kami akan merawatnya sendiri agar Tuan tidak kerepotan."

Ryeon mengernyit, kembali duduk dengan kebingungan tergambar jelas di wajahnya. Saera bertanya-tanya apakah dirinya bernilai sebegitu tinggi bagi sang saudagar sampai untuk beberapa lecet saja, lelaki itu berniat memanggil penyembuh profesional.

Usai mendapat perawatan sederhana, Saera diantarkan kepala asrama ke ruangan khusus di mana Ryeon menunggu. Kepala asrama melaporkan adanya beberapa goresan dan pekerja termuda mereka sudah lebih baik dengan racikan pereda nyeri.

"Betulkah tak ada luka yang panjang dan menghitam di punggungnya?" selidik Ryeon. Kepala asrama menyangkal dan Saera jadi heran.

Mengapa dia secemas itu, sih? Tadi aku kesakitan cuma karena gigitan Saeshinbu, bukan karena luka. Kalau lukaku memang separah itu, aku pasti masih mengeluh kesakitan.

Ryeon meminta kepala asrama meninggalkan ruangan. Tinggallah Saera yang ciut nyali di seberangnya.

"Pandang lawan bicaramu." Saera mengangkat muka hanya untuk disambut Ryeon yang memicing mengerikan. Kemarahan yang dipendam kadang lebih mengancam ketimbang yang diungkap. "Kurang jelaskah bagimu aturan yang kutetapkan untuk pegawai wanita? Dilarang keluar asrama setelah waktu ayam jantan(1), kecuali untuk urusan mendesak, diantar setidaknya seorang pegawai pria dan seorang pegawai wanita, serta atas persetujuan kepala asrama. Apa kepala asrama mengizinkanmu pergi? Jika benar, akan kupecat Kepala Asrama Bang besok pagi."

Dia mengintimidasiku dengan memanfaatkan posisi orang lain. Cerdas sekaligus keji, batin Saera saat mengucapkan 'tidak'.

"Lantas mengapa kau tetap keluar?" 

"Saya, saya ingin keluar karena," terbata Saera menjawab selagi menjalin alasan yang 'cantik', "hanya ini waktu bebas yang saya miliki."

Kerut di dahi Ryeon bertambah, tak puas dengan jawaban tersebut.

"Jatah libur saya masih jauh. Sepanjang hari, saya terus menenun, tak bisa bertemu orang lain karena itulah aturan yang ditetapkan 'pemilik benang sutra'. Saya ingin, sedikit saja, menghirup udara yang tak tercium seperti kain atau pewarna benang di luar hari libur. Saya juga ingin mengunjungi tempat-tempat menyenangkan yang pernah diceritakan para penenun. Entah iblis apa yang merasuki, keinginan itu mendadak tak tertahankan hari ini hingga saya berani melanggar peraturan." Tersedak isakan, Saera saling mengusapkan kedua belah tangannya berulang-ulang. "S-Saya tidak akan mengulanginya lagi .... Ampuni saya, Tuan ...."

Berhasil!, seru Saera dalam hati tatkala menemukan secerat rasa bersalah di wajah Ryeon.

"Bukankah aku sudah mengatakan akan memberikan apa pun yang kaubutuhkan? Jika kau ingin waktu beristirahat yang lebih panjang, aku bisa meminta seseorang untuk mengantarkanmu berkeliling Hamdeok." Sejemang kemudian, Ryeon kembali menjadi sekaku tiang. "Aku bisa saja menyuruhmu berhenti bekerja padaku sebagai hukuman."

"T-Tolong jangan usir saya, Tuan Ryeon!" pinta Saera dengan nada paling menyayat. "Pukullah saya dalam tikar jerami, tambahlah beban pekerjaan saya, tetapi tolong jangan keluarkan saya dari rumah tenun! Saya mohon, saya mohon ...."

Tentu Saera paham bahwa Ryeon akan memaafkannya alih-alih memberinya pelajaran. Pria batu itu lebih pengasih dari yang terlihat.

"Peristiwa hari ini cukup untuk menegurmu, jadi aku tak akan melakukan apa pun." Lihat? Ampunan Ryeon sangat murah harganya. "Namun, ada satu hal yang harus kaupelajari sebagai perempuan, Saera."

"Hal yang harus saya pelajari?"

Ryeon mengangguk. "Aku tidak mengharapkan kejadian ini menimpamu lagi, tetapi kau harus bisa mempertahankan diri andai terjebak dalam situasi seperti tadi."

"Pakai bersikap sok pahlawan, pula! Situasi seperti itu kugunakan untuk 'menjebak', tahu!", protes Saeshinbu. Di sisi lain, Saera sebenarnya senang Ryeon mementingkan keselamatannya, tetapi ia tak mengungkapkan kepada si laba-laba supaya prasangka Saeshinbu tak semakin tersulut.

"Setiap bicara dengan pria, kau selalu menundukkan wajah. Suaramu kelewat lirih dan ragu-ragu. Orang yang sakit pikirannya akan menganggap itu godaan, jadi berubahlah untuk menolong diri sendiri. Tidak setiap malam aku pergi minum dengan rekan bisnis seperti hari ini, kau tahu. Berdirilah."

Saera menurut. Begitu ia berdiri, Ryeon berjalan melingkari meja rendah, menghampiri pekerjanya. Jarak antara mereka terus terpangkas dan berdasarkan refleksnya yang terkondisi, Saera kontan menunduk.

"Sikap demikianlah yang kumaksud dapat memancing orang berpikiran sakit." Suhu udara di sekitar Saera menghangat; satu tubuh lagi mengisi ruang pribadinya. "Angkat wajahmu selama bicara. Tolaklah apa pun yang orang-orang jahat itu tawarkan, lalu abaikan mereka sepenuhnya. Jika mereka mencoba menyerangmu, tak usah takut untuk memberontak sekuat tenaga dan berteriak minta tolong. Kau mengerti?"

Ingin membuktikan bahwa ia memahami instruksi, Saera menatap Ryeon dengan sorot mata yang digarang-garangkan.

"Saya mengerti, Tuan."

Ryeon sejenak diam. Ia mendekat selangkah lagi, memaksa Saera mundur pula selangkah, tetapi tatapan mereka masih saling terkunci.

"Tuan, t-tolong berhenti," ujar Saera; setengah kerikuhannya jujur. Tak pernah Ryeon meruntuhkan batas kesantunan sebelumnya, terlebih dengan aura semenekan ini. Namun, Ryeon justru mengimpitkan punggung pekerja termudanya ke dinding dan memerangkap raga langsing Saera di antara kedua lengannya yang kokoh. Selaput pelangi Ryeon menggelap. Embusan napasnya begitu lambat dan panas, menerpa kening Saera yang sejenak menjadi hilang akal.

"Mengapa diam?" tanya Ryeon hampa. "Jika seorang pria yang berniat jahat melakukan ini padamu, apa kau juga akan tertegun seperti sekarang?"

Degup jantung Saera bergema sampai telinga, seiring dengan kian cepatnya napas Ryeon. Selama ini, sikap sang saudagar sedingin abu bekas berdiang, tetapi Saera lupa api itu masih bisa dinyalakan. Berbeda dengan bara-bara tua yang dulu pernah menyundutnya, api Ryeon sangat mungkin melahapnya hidup-hidup. Membakarnya dari dalam. Wajah Ryeon terus merendah, tatapannya berubah sayu, dan Saera bergelantung di kawah dengan lahar mendidih mengalir dekat kakinya.

"Anak bodoh, jangan melacurkan dirimu begitu! Ingat peranmu!"

Peringatan Saeshinbu mengguncang Saera keras dari mimpi berkabut. Saat sadar dalam situasi apa dirinya terkungkung, Saera segera menepis kedua lengan Ryeon.

"Tolong hentikan, Tuan!" jeritnya sebelum berlari ke sudut lain ruangan, lalu duduk bergelung di sana.

Gelegak asing yang menguasai Ryeon lesap seketika. Napasnya putus-putus seolah baru saja melakukan kerja fisik yang menguras tenaga. Darahnya berdebur dalam pembuluh. Ketika kepala asrama membuka pintu dengan panik untuk menjawab panggilan distres Saera, Ryeon mengepalkan tangannya, masih menghadap dinding.

"Seperti itulah harusnya kau bersikap," gumam Ryeon. Ia lantas berbalik menghadap Saera dengan paras gersangnya yang biasa. "Bunga yang harum mesti menumbuhkan duri agar ia tak cepat mati."

Lidah yang kelu memaksa Saera mengangguk bisu.

"Istirahatlah sebelum malam semakin larut," perintah Ryeon sebelum bicara dengan kepala asrama. "Saera telah mengalami sebuah pengalaman yang mencekam. Hindarkan dia dari pertanyaan-pertanyaan para pegawai yang ingin tahu. Bicarakan hal-hal baik saja yang membantunya pulih dari ketakutan."

"Baik, Tuan Ryeon."

Sekali lagi, Ryeon memandang Saera, sebentar saja lantaran merasa berdosa hampir menodai gadis itu. Selanjutnya, Ryeon meninggalkan ruangan dan hati Saera mencelus.

Mata-mata yang dulu menelanjangiku, sekilas kutemukan pada Ryeon. Dia bisa saja kehilangan kendali. Namun, dia tak meneruskan setelah aku menolaknya dan malah memintaku beristirahat. Priakah dia? Bukankah seorang pria dalam situasi semacam itu akan langsung merenggut mahkota bunga dalam jangkauannya?

Malam itu, Saera tak kunjung terlelap. Kerisik selimutnya yang terus bergerak membangunkan Kepala Asrama Bang yang tidur di sebelahnya. Si wanita paruh baya mengucek mata beberapa kali dan tersenyum letih.

"Ada apa, Nak? Bermimpi buruk?"

"Tidak, Nyonya Bang, maaf membangunkan Anda. Saya hanya gelisah." Ketika ditanya mengapa, Saera menghela napas dalam. "Meskipun beberapa kali Tuan Ryeon menakuti saya, baru sekarang ketakutan itu membuat tubuh saya gemetar dan dingin. Sebelum berteriak tadi, saya seolah melihat sosok Tuan yang lain ...."

Sosok yang dikuasai hasrat.

Kepala asrama manggut-manggut mafhum, sudah mendengar cerita Saera soal apa yang terjadi sebelum Ryeon pergi. "Tuan hanya sedikit lebih tua darimu. Keberadaan seorang gadis muda nan cantik merupakan ujian tersendiri bagi pria dewasa sepertinya. Kendati begitu, Tuan adalah orang yang berprinsip teguh. Sudah bertahun-tahun ia menghormati kami, wanita-wanita berkasta rendah dari desa; tentulah ia akan jauh lebih berhati-hati denganmu."

Saera mengangguk dan berterima kasih, sambil tersenyum mengatakan dirinya telah yakin Ryeon tidak akan pernah berniat menyakitinya.

Ya, setelah semua kejadian yang telah kulalui, aku tahu Ryeon adalah seorang penyayang dengan nafsu yang amat terkendali. Mungkin usahanya menahan diri lebih besar dari yang tampak. Sebaiknya, aku tak menjadi pihak yang meruntuhkan benteng itu ....

Menyadari sesuatu, Saera membuka kembali kelopak matanya yang telah tertutup separuh.

Tapi, jika demikian, bagaimana aku akan menjerat Ryeon? Mengapa pula aku peduli jika dia terbenam dalam hasratnya kepadaku? Bukankah itu memang tujuan awalku?

Sekonyong-konyong, Saera teringat ucapan lirih seorang perempuan yang raganya penuh bilur, suatu malam di mana isak yang teredam menyesaki bilik sempit tempatnya tidur.

"Cinta itu lebih kuat dari tulang-tulangmu sendiri, Saera. Ia akan menyanggamu bahkan ketika tubuhmu memilih untuk menyerah."

Mengepallah tangan Saera, dalam prosesnya memilin sebagian selimut dalam genggaman.

Tidak. Semua laki-laki adalah mangsa atau pemangsa, Saera. Tanpa kecuali.

***

Selang tiga hari setelah gagal berburu, Saera bangun pagi lebih awal. Selain karena tugas mencuci pakaian, semalaman Saeshinbu mengusiknya dengan sebuah peringatan yang mulai terdengar bermakna.

"Kau ingat pertanyaan Ryeon soal luka menghitam, padahal si nenek tua tidak menemukan sesuatu yang serupa di punggungmu? Ryeon mungkin bisa melihat bekas luka dari masa kecilmu, Saera."

Sebelum mandi hari ini, Saera sudah bercermin. Punggungnya hanya dihiasi beberapa baret yang mengeropeng kecil-kecil. Tidak ada luka seperti yang Ryeon sebutkan, tetapi itu menegaskan bahwa kekhawatiran Saeshinbu barangkali benar adanya. Hari itu, Ryeon bisa jadi menggambarkan luka yang pernah Saera miliki saat kecil, padahal dengan kekuatan Saeshinbu, parut yang diakibatkannya mestinya sudah tersamarkan. Orang yang dapat melihatnya patut untuk diwaspadai; penglihatannya mungkin 'terberkati' atau--yang lebih buruk--ia bakal menjadi penghabisan Saera dan Saeshinbu.

Satu demi satu pakaian terjemur. Seiring dengan meningginya matahari, dapur mulai riuh rendah karena waktu sarapan makin dekat.

"Wah, harumnya. Sarapan hari ini sepertinya sup kacang merah dan dadar sayur, ya?" tanya seorang pegawai yang memeras selimut bersama Saera.

"Benar, Nyonya Yeon. Tiba-tiba, saya jadi lapar sekali, padahal saat bangun tidak seberapa," kekeh Saera sebelum menyampirkan jemuran ke tali.

"Makanlah yang banyak. Itu salah satu kunci agar hati senang. Sejak peristiwa kemarin, makanmu yang sudah sedikit jadi tambah sedikit lagi." Peristiwa yang dimaksud adalah penyerangan Saera di dekat kedai minum. Sebagian besar rekan kerja Saera memaklumi pelanggaran ini sebab mereka berpikir Ryeon kadang terlalu disiplin, wajarlah ada yang melawan. Biarpun begitu, karena peristiwa ini juga, para pegawai untuk kesekian kalinya memuji kepedulian sang majikan terhadap keselamatan mereka.

"Baik, Nyonya Yeon. Saya suka sup kacang merah, bisa-bisa saya menghabiskan sepanci penuh!" canda Saera, berbasa-basi. Nyonya Yeon tertawa dan menowel pinggang rampingnya.

"Begitu, dong, biar aku ada teman menggemuk," katanya tatkala mengangkat ember kayu yang telah kosong. "Mari segera membersihkan diri agar bisa lekas makan."

Saera mengangguk. Ia menumpuk dua ember dan hendak menyusul Nyonya Yeon ke samping sumur andai kemunculan Ryeon tidak mengalihkan perhatiannya. Pria itu sedang berbicara dengan kepala asrama seraya membawa tiga bungkusan berukuran sedang yang diikat bersama. Saat ia dan Saera tak sengaja bertemu pandang, Saera membungkuk di kejauhan, dibalas anggukan singkat oleh Ryeon, tetapi bahkan setelah Saera beranjak, ia masih merasakan pandangan Ryeon mengikutinya. []

(1) waktu ayam jantan: setara pukul 5-7 petang

im back *ngos2an* aku sdh menulis the binding bride sampe lumayan deket sama ending tapi itu stlh re-re-re-rewrite (seberkali2 itu rewrite outline sama chapternya ><) dan kyknya bakal ngedit itu lagi sblm diunggah dimari. capek 😭 aku ga ngerti knp aku mengambil jalan ini *weleh* anyways, aku ngepoin (ga main) otome game yg ada chara ceonya macem mystic messenger sama mr love dan ... sadar ga sih klo ceo yg dingin2 perhatian dan lebih mengutamakan logic over feelings itu lebih panas ketimbang yg mesum atau flirty? >< btw the binding bride adlh pertama kalinya aku bikin cerita ceo yg bener2 fokus ke romens lho hahaha *bangga* aku ga ngerti knp warga watty sgt gampang nulis ceo!fic (i never really read them tho) while me bilaik:

"tugas ceo apaan se?"

"keputusan bisnis apa yg bakal diambil ryeon biar untung?" (lalu konsul anak marketing)

"gmn cara ceo mbangun relasi eksterna dan interna?"

"KEBIJAKAN DAGANG DAN TRANSAKSI JAMAN JOSEON KEK MANA?!"

"AKU DI MANA DENGAN SIAPA SEMALAM BERBUAT APA?!"

and ends up frustrated.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top