Spoiler Alert!

Hanya berupa adegan atau percakapan yang tidak lengkap.

______________________________________________

“Oh really? You doing this to me Devoughn? Aku tidak mengerti apa salahku. Tapi kenapa kau memperlakukanku seolah aku batang busuk yang harus dihindari? Kau tahu betapa tersiksanya aku memikirkan itu? Aku benar-benar minta maaf kalau aku salah. Jadi jangan seperti ini. Kumohon ....”

“Jangan minta maaf kalau kau tidak tahu letak kesalahanmu.”

“Apa kau tidak tahu, kalau aku menyukaimu? Kurasa, bukan hanya sekadar suka. Tapi cinta. Kau juga mencintaiku kan, Devoughn? Bagaimana kalau meresmikan hubungan kita?”

“Begini Jasmine, aku tidak berniat menjalin hubungan denganmu.”

“A-apa? Kenapa? Aku Jasmine Maxwell. K-kau tidak bisa menolakku. Seharusnya kau menerimaku. Bukankah kau juga mencintaiku? Pikirkanlah lagi Devoughn. Yang mengajakmu menjalin hubungan itu aku. Model remaja terkenal Jasmine Maxwell. Perempuan paling cantik dan kaya raya sejak lahir. Jadi kau tidak bisa menolakku.”

“Selama ini kau salah paham.”

“Salah paham?”

“Ya, semua yang aku lakukan padamu.”

“Maksudmu bagian kau mengajakku ke pasar malam? Kita berkemah bersama? Berpelukan? Berciuman? Dan ... dan—” Jasmine menghentikan kalimatnya untuk mengambil napas yang terdengar sengal. “Dan bagian kau menyentuhku sebagai wanita lalu berteriak memanggil namamu saat mencapai klimaks? Itukah yang kau sebut aku salah paham sebab mengira kau juga mencintaiku?”

“Jasmine, aku berbohong padamu.”

“Berbohong?”

“Aku hanya memaanfaatkamu untuk kepentinganku sendiri.”

Senyum sumbang itu terbit di bibirnya yang penuh. “You must be kidding me Devoughn,” ucapnya sambil menggeleng samar, “setelah kau mengatakan aku salah paham dengan sikapmu padaku, sekarang kau mengatakan memanfaatkanku?”

Kulepas satu genggaman itu untuk merogoh kantung setelan dan mengambil ponsel. “Kau benar, kau seharusnya curiga padaku sejak awal menginjakkan kakiku di estatmu. Dan ponsel ini, aku tidak membelinya. Tapi mendapatkannya dari ayahmu. Aku memanfaatkan keluargamu untuk kepentinganku sendiri Jasmine. Aku juga sengaja mengontrol sikapmu lalu memanfaatkan perasaanmu. Jadi setelah aku mendapatkan semua kemauanku, sudah waktunya aku meninggalkanmu sekarang. Sampai jumpa.”

Saat aku berbalik lagi dan berjalan pergi, samar-samar kudengar satu isakan lolos dari bibir gadis itu. Kemudian ia berbisik lalu mulai histeris. “What?! I can’t believe you’re doing this to me! I trust you, Lee Devoughn! Kau berengsek! Aku bersumpah akan membencimu seumur hidup! Sialan!”

“Kau berengsek! Aku percaya padamu dasar sialan! Dasar miskin dan tidak tahu terima kasih! Aku membencimu berengsek!”

***

“Apa yang sebenarnya terjadi padamu? Kau membuatku khawatir, Jass.” Suara Lexter membentur daun telingaku.

Selama bermenit-menit, aku baru bisa membuka mulutku untuk menjawabnya. “Setelah kupikir-pikir, kau benar Lex.” Suaraku bahkan bindeng saat digunakan mengutarakan kalimat tersebut. Namun aku yakin Lexter bisa menerjemahkannya dengan baik.

“Tentang apa?” Ia kembali bertanya. Melalui ekor mata, Lexter terlihat beberapa kali menoleh padaku sebelum fokus ke jalanan lagi.

“Soal dia,” bisikku yang mulai berkaca-kaca. Napasku mulai memberat dan ingusku sudah mulai berproduksi. Aku tidak tahu kenapa, hanya karena lelaki itu aku bisa berubah menjadi cengeng seperti ini.

 “Dia berengsek Lex! Kau benar soal itu. Seharusnya aku tidak percaya begitu saja padanya,” lanjutku setelah sekian detik menjedanya.

Pada detik berikutnya, aku tidak bisa mencegah air mata yang sedari tadi sudah mengumpul di pelupuk, kini mengalir dan tumpah ruah di pipiku. Jadi kubenamkan wajah kacauku di lutut dan meneruskan acara menangis. Lalu kurasakan Lexter mengelus punggungku untuk menenangkanku.

“Jass, kau terlalu bagus untuk si Pecundang itu. Sudahlah, tidak perlu dipikirkan lagi. Kau masih memiliki aku yang peduli padamu,” ucap laki-laki itu lembut.

***

“Aku baru tahu kalau ada orang yang tidak tahu malu sepertimu,” ucapnya ketika kami tidak sengaja bertemu di ruang mesin fotokopi dan sedang menyalin laporan penjualan bulanan.

“Mr. Trax Maxwell, apa kabar?” sapaku berusaha ramah serta menghiraukan kalimat ketusnya.

“Don’t you dare to calling my name, asshole!” Tidak memekik, tetapi laki-laki berambut rapi itu mengatakannya dengan nada rendah dan penuh penekanan. Khususnya pada bagian akhir.

“Wow.” Aku sedikit terhenyak dan membuka mulut tanpa suara. “Kupikir kita bisa profesional di tempat kerja. Ngomong-ngomong, aku senang melihatmu.”

“Sama seperti Jassy, aku juga benci melihatmu dan ingin sekali menghajar parasit sepertimu tapi aku tidak mau mempermalukan diriku sendiri. Kusarankan kau enyah!”

***

Lee, percuma aku cantik dan kaya kalau kau tidak tertarik padaku. Apakah harusnya aku berlapang dada saja dan menerimamu memanfaatkanku agar bisa terus bersamamu?

Aku benar-benar membencimu Lee!

***

“Are you serius Jass, kau akan kencan dengan orang itu?!”

“Memangnya kenapa?” Bukannya menjawab, aku malah kembali bertanya. Karena aku sendiri tidak yakin dengan jawaban yang akan kuberikan.

“Dia play boy kelas kakap Jass!”

Oh ... no no no ....” Makoto langsung menyahut. “Akira-san orangnya sangat ramah pada semua orang, jadi memang kelihatannya seperti play boy. Tapi sebenarnya tidak.”

“Kalian saja yang belum tahu kebusukannya.”

“Trax, bisakah kita hanya menikmati festival ini dan tidak membahas itu sekarang? Jangan merusak mood-ku.”

“Aku hanya mencoba menyadarkanmu Jass.”

“Apa mom tidak bicara sesuatu padamu? Soal pria maksudku.”

Well, ya ... lumayan sering, aku sampai bosan,” jawabku pada akhirnya.

“Kusarankan kau dengarkan apa kata mom Jass. Nomong-ngomong tidak akan ada satu pun pria yang cocok denganmu kecuali—”

“Lexter?” sahutku.

“Apa?! Tidak. Memangnya kau masih berhubungan dengannya?!” Trax kembali menegakkan tubuhnya ketika menanyakan hal tersebut.

“Begitulah, beberapa kali dia juga ke sini. Tanyakan saja pada mereka berdua.”

“Iya, itu yang membuat Akira sempat mundur mendekati Jassy. Pesona Lexter memang tidak bisa dikalahkan ...,” kata Makoto sembari mengeratkan tangannya yang salah satunya memegangi kipas dengan pandangan menerawang, mungkin membayangkan Lexter adalah pangerannya.

“Biarkan dia, semua pria yang dia temui dia anggap tampan, sama sepertimu Trax.”

“Ngomong-ngomong, itu pria yang sangat cocok denganmu Jass.”

Trax menunjuk ke arah belakang Makoto. Tampaklah seorang pria bercambang agak lebat dengan yukata hitam berjalan sendirian ke arah penjual takoyaki. Anehnya, gerakannya yang tenang sanggup menyita perhatianku. Kupikir, bukan hanya aku, tetapi seluruh jajaran wanita yang memadati festival kembang api musim panas Sumidagawa ini.

“Oh Tuhan! Apakah aku sudah berada di surga? Aku seperti sedang melihat malaikat,” pekik Makoto. Biasanya Leadsey langsung memukul wanita itu, tetapi kali ini tidak. Sebab ia juga sedang terpana.

“Ini dia es serutnya.” Kalimat Akira membuat kami berempat kompak melihat ke arahnya.

Sedetik aku melirik ke arah penjual takoyaki, aku terkejut. Yakin pria tadi kedapatan mencuri pandang ke arahku sebelum aku menemukannya dan ia berpaling. Atau hanya perasaanku saja?

***

Plak!

“Be-berani—” Jasmine menutupi bibirnya sambil mengatur napas berat. Sementara aku memegangi pipi bekas tamparannya tadi. “Berani-beraninya kau melakukan itu padaku! Apa kau sudah gila?!” lanjutnya. Kemudian beranjak dari tempat ia duduk tetapi tanganku meraih pergelangannya dengan cepat.

“Jasmine ... tunggu sebentar.”

“Lepaskan aku dasar berengsek!” Ia mencoba menyentak-nyentak tanganku.

“Jasmine. Ini aku.”

I don’t know you, Bastard! Let me go!”

***

“Diamlah dan temani aku minum. Aku ingin mabuk malam ini.”

“Tapi ini pertama kalinya kau minum,” tanggap Makoto.

“Makoto benar Jassy, jadi katakan pada kami apa yang sebenarnya terjadi tanpa perlu minum,” pinta Leadsey. Namun Jasmine belum menjawab pertanyaan tersebut sebab sedang mengangkat tangan untuk memanggil bartender berkuncir.

“Long Island Tea.” Ucapannya jelas membuatku, Makoto dan Leadsey tercengang.

“Jangan gila Jassy! Pesan sesuatu yang ringan dulu. Bir misalnya.” Leadsey mewakiliku untuk mencegahnya.

“Kubilang, aku ingin mabuk! Yang ringan tidak akan membuatku mabuk!” pekik Jasmine dan kembali menghadap sang bartender yang bingung. Lalu dengan ragu mulai meracik minuman pesanannya.

“Ada apa sebenarnya?!” tanya Leadsey. Makoto mengangguk.

“Jangan banyak tanya. Aku pusing.”

“Jassy, kau tidak akan kubiarkan mabuk kalau tidak menceritakannya pada kami.” Leadsey bersikeras dan lagi-lagi mendapat anggukan dari Makoto.

Minuman pesanan Jasmine sudah diletakkan di meja. Leadsey lantaran buru-buru mengamankannya sebelum berhasil diraih Jasmine.

“Berikan padaku Lead!” Wanita itu memekik sambil bersaha meraih gelas di tangan Leadsey.

“Ceritakan pada kami dulu!”

“Berikan padaku! Aku butuh minuman itu untuk meluruskan pikiranku!”

“Bukan begini caranya meluruskan pikiran!”

***

“Hei! Kau orang gila! Turunkan aku!”
Aku sungguh ingin mengontrol omongan. Namun, sesuatu dalam diriku tidak bisa mencegahnya. Angin musim panas bertiup membawa hawa gerah ketika kurasakan tubuhku sudah berayun-ayun meninggalkan gedung kelab malam dengan suara musik yang memekakan telinga. Suasana itu jugalah yang membuatku merasa semakin mual. “Dasar berengsek! Turunkan aku! Aku mual dan pusing!”

“Kau ingin muntah?”

“Aku membencimu. Aku benar-benar membencimu!” gumamku sambil sesenggukan, “semua jadi berantakan gara-gara kau!”

“Sekarang kau boleh membenciku. Tapi setelah ini, kau harus mulai mencintaiku lagi Jasmine. Aku akan membantumu jika kau tidak bisa melakukannya sendiri,” kata pria itu seolah benar namanya Lee Devoughn.

Demi Neptunus ia bukan Lee. Namun kenapa selama minum segelas Long Island Tea sehingga membuatku mabuk, aku selalu menganggapnya Lee dan ia membenarkannya? Apakah mabuk memang sekacau ini?
“Kenapa harus?” todongku.

“Karena aku calon suamimu. Kau harus mencintai calon suamimu ‘kan?”

Aku mendorong pria itu keras sekali. Namun tidak cukup membuat tubuh tegap tersebut terjungkang ke belakang. “Apa kau gila?! Dan apa katamu? Lagi?! Memangnya aku pernah mencintaimu sebelumnya?! Jangan bicara seolah-olah kau Lee Devoughn! Aku muak mendengarnya!”

“Aku memang Lee Devoughn,” katanya santai mirip membaca ramalan cuaca, “dan benar. Aku memang sudah gila.”

“You’re not him, Mr. Anonymous! Jangan coba-coba mengaku sebagai Lee Devoughn! Jangan coba-coba!” Aku memekik setengah putus asa sambil menunjuk-nunjuk dada bidang pria itu yang masih berdiri kukuh tepat di hadapanku. Membuat tubuhku selalu terkesiap oleh sikap antisipasi.

“Baiklah, sekarang ayo kita pulang.”

“I’m not going anywhere with you!”

“You have to, Baby.”

“Aku tidak ingin pulang! Dan jangan memaksaku, Devoughn gadungan!”

***

“It such a fucking bullshit! Lalu bagaimana denganku?! Apa aku akan jadi lebih baik setelah mendengar pengakuan dan permintaan maafmu padaku?! Bagaimana dengan semuanya yang sudah kualami?! You have to responsible! You know what? Go to hell and burning fucking your demon soul there! Asshole!”

***

“Just because of me, don’t ruin your self anymore. I give you a freedom.”

______________________________________________

Gimana? Sudah makin penasaran buat baca sampe tamat?

Total chapter dalam novel ini sebanyak 42. Yang terditi dari : prolog, Chapter 1-40, dan epilog.

Gimana endingnya ya? Happy ending? Sad Ending? Atau ending menggantung?

Yuk nabung dulu dan temukan jawabannya di versi cetak nanti.  mumpung masih ada waktu sebelum pre order loooohhhh

Terus kapan pre ordernya?

Nah, itu entar bakalan saya kasih tau di postingan berikutnya. Atau  dollow ig : @chachaprima03 dan @penerbitprospec buat liat jadwalnya 😉

Well see you at mu another work teman temin

With Love
Chacha Prima
👻👻👻

4 Maret 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top