Chapter 9 • Lee Devoughn
Selamat datang di chapter 9
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen
Tandai jika ada typo
Thanks
Happy reading everyone
Hope you like it
❤❤❤
______________________________________________
Aku pasti sudah gila kalau benar-bemar membiarkan Jasmine tidur di kamarku
—Lee Devoughn
_______________________________________________
Musim semi
Michigan, 29 April
23.00 p.m.
Helena marah. Terhitung sejak makan malam, sampai pukul sebelas malam ini, ia terus menghindar. Sama sekali tidak memberiku kesempatan untuk berbicara dengannya.
Hal tersebut lantas membuatku risau hingga kala sedang membaca buku bacaan ringan tentang bisnis di kasurku. Beberapa menit kemudian samar-samar terdengar suara deru halus mesin mobil. Berdiri untuk mengintip dari balik jendela, betapa terkejutnya diriku mendapati seseorang yang kuyakini Jasmine sedang turun dari mobil.
Mungkin aku terlalu banyak memikirkannya sejak tadi pagi sampai-sampai membuat sebuah ilusi tentang sosoknya. Aku pun lantas melepas kacamata, mengusap lensanya menggunakan kausku lalu memakainya lagi. Kulongokkan kepala ke arah jendela sekali lagi. Jasmine berjalan menuju undakan tangga. Aku pun menepuk pipiku agak keras untuk memastikan itu bukan hanya sekadar ilusiku belaka. Jasmine menjelma nyata.
Tidak lantas mempercayai saraf motorikku yang baru saja kurangsang, aku segera menuruni tangga tanpa menyalakan lampu utama. Hanya lampu kuning lima Watt yang menerangi lantai bawah sehingga pencahayaannya remang-remang. Rumah grandma sendiri sudah sepi. Mungkin semuanya sudah tidur, karena itulah aku berusaha seminimal mungkin tidak membuat suara langkah kakiku terdengar sewaktu meneruskan jalanku menuju pintu depan.
Sekali lagi untuk memastikan bahwa tidak sedang berhalusinasi dan berharap suara derat pintu tidak mengusik lalu membangunkan seisi rumah, aku membukanya. Meski terlihat lamat-lamat karena pantulan rembulan hanya menampilkan sebagian sisi wajah cantiknya, aku yakin mendapati Jasmine tengah berdiri di depanku. Tangan gadis itu mengepal seperti hendak mengetuk pintu. Namun begitu melihatku, ia bergumam, “Devoughn ....”
Pada detik yang lain keterkejutan lanjutan kontan menyusup ke dalam diriku oleh serbuan tubuh gadis itu yang menumbukku dengan pelukan. Kacamataku hampir jatuh kalau aku tidak membenarkannya dan aku yakin seribu persen sekarang kalau sedang berhalusinasi. Tidak mungkin Jasmine memelukku. Bahkan deru napas terengahnya nyata terbentuk dalam ilusiku.
Namun ketika kulingkarkan seluruh lengan-lenganku pada tubuhnya, semuanya terasa nyata, benar, hangat dan tepat. Pikiranku tentang Helena yang marah padaku pun berangsur hilang. Efek pelukan ini menenangkan. Berlainan dengan jantungku yang kontan berdebar keras. Darahku bergemuruh layaknya desiran ombak pantai yang menghantam batu besar di tepiannya ketika indra pembauku menangkap aroma parfum campuran antara raspberry dan bergamot yang membuai. Aku refleks menghidunya dalam-dalam. Sungguh-sungguh menenangkan.
“Devoughn, aku ingin tidur di sini.” Suara tegas tersebut terhalang dekapanku sehingga terdengar berdengung. Aku belum begitu menangkap maksud dari ucapannya karena tiba-tiba otakku lambat untuk diajak bekerja akibat kenyamanan yang membungkusku ini.
“Ya Tuhan, aku pasti sedang berhalusinasi,” gumamku sembari menunduk, meneggelamkan diri pada wangi rambut bergelombang pantai milik gadis itu.
Sejujurnya baru pertama kali ini aku berpelukan yang benar-benar bisa dikategorikan sebagai pelukan dengan lawan jenis, bersama perasaan aneh yang bercokol dalam hati. Perasaan itu kenyataannya tidak buruk. Malah sebaliknya. Lalu kurasakan pergerakan tubuh itu dalam pelukanku. Aku pun sedikit melonggarkannya.
Masih sambil melingkarkan lengan-lengannya pada tubuhku, Jasmine mendongak untuk menatapku. “Aku bukan halusinasimu,” protesnya dengan nada kesal. “Dan Devoughn, aku ingin tidur di sini.”
Aku mengerjab beberapa kali. Mungkin saja kalimat mustahil Jasmine yang sudah kudengar beberapa kali telah mengelabuhi indra pendengaranku. Sehingga aku salah menangkap maksud gadis itu yang kupikir hanya ilusi belaka.
“Devoughn!” desisnya sembari menepuk dadaku karena kesal.
Efkeknya membuatku terkejut lagi dan lagi lalu mulai mengurai pelukan itu hingga lepas sepenuhnya. Mundur selangkah untuk menatap wajah cantiknya sembari membenarkan letak kacamata, aku bertanya, “M-Miss Maxwell? Apa yang kau lakukan di sini?” Aku gelagapan sambil celingukan memastikan keberadaan mobilnya yang ternyata sudah melaju meninggalkan pekarangan rumah grandma. “Ke-kenapa Mr. Sebastien Doughlash pergi?”
Aku benar-benar tidak berhalusinasi. Jasmine ada di sini. Di depanku dan baru saja memelukku dengan wajah kacau. Tunggu sebentar kenapa wajahnya kacau seperti itu?
“Apa yang terjadi?” tanyaku.
“Aku yang menyuruh Sebastien pulang. Karena aku ingin tidur di sini,” ulangnya. Tidak menjawab pertanyaanku yang terakhir.
“K-kau ingin tidur di sini?” Rupanya otakku masih lelet.
“Iya.”
“B-bagaimana mungkin kau akan tidur di sini?” Aku berani bersumpah saat ini Lee Devoughn—yang kata orang-orang cerdas—seperti orang tolol yang mengulang-ngulang pertanyaan.
“Kenapa tidak mungkin?” Jasmine kembali bertanya.
“Sebenarnya, apa yang terjadi padamu?”
“Aku tidak ingin membahasnya. Bisa kita ke kamarmu sekarang? Aku ingin tidur.” Jasmine tidak memberiku kesempatan untuk menjawab sebab sudah masuk rumah terlebih dahulu. Berjalan cepat hingga mencapai depan tangga. Sementara aku masih berusaha mengumpulkan sisa-sisa kesadaran sambil tergesa menutup pintu utama dengan hati-hati dan tidak lupa menguncinya lalu menghampiri gadis itu.
“Bantu aku naik. Tangganya masih terlihat curam dari yang terakhir kali kulihat.”
Karena otakku masih belum berfungsi secara maksimal layaknya Lee yang biasanya, aku menuruti Jasmine. Menuntunnya naik ke lantai dua dan membuka kamarku dengan sukarela.
Aku melihatnya mengamati sekitar dan memberhentikan pandangannya di tempat tidurku yang hanya muat untuk satu orang. “Aku akan tidur di kasurmu.”
Kala ia membuka kancing kardigan pastel yang ia kenakan saat ini, kesadaran dan otakku baru mulai bekerja maksimal. Aku meneguk ludah dengan susah payah sebelum menghampirinya lalu mencegahnya membuka lapisan baju itu. “Tu-tunggu Miss Maxwell. Kenapa kau harus melepasnya?”
Tanganku bergerak sendiri untuk membenarkan kardigan itu. Jasmine yang terkejut mendongak untuk menatapku. “Aku tidak bisa tidur dengan kardigan ini. Swarovski di ujungnya membuatnya tidak nyaman.”
Aku melihat ujung kardigan itu yang dipenuhi permata lalu menatapnya kembali. “P-pakai saja kausku. Kau pasti juga tidak akan nyaman tidur dengan mengenakan dress seperti itu.”
Jasmine mendesah keras. “Baiklah, mana kausmu?” todongnya.
“Begini, tunggu sebentar. Bisa kita bicara lebih dulu tentang semua yang terjadi? Agar aku bisa tidur nyenyak dan tidak menerka-nerka lalu besok paginya akan dihajar Mr. Maxwell—kurasa tidak hanya ayahmu, tapi juga grandma, semua penghuni di rumah ini dan semua orang, terutama penggemarmu—ketika mendapati kau tidur di kamarku bukan?”
Jasmine Maxwell menunduk lalu tertawa.
“Sssttt ... bisakah kau memelankan suaramu? Kita tentu tidak ingin membangunkan seisi rumah bukan?” Aku berkata sambil mencoba mempekerjakan otakku dengan keras ketika melihat wajah tertawanya. Aku bersumpah melihat bidadari saat ini. She’s gorgeous. Apalagi ketika tertawa sembari menutupi mulut menggunkan tangan seperti itu. Setelah kupikir-pikir, semenjak pertama kali bertemu dengan gadis itu, ini merupakan pertama kalinya aku melihatnya tertawa. Aku harus memuji diriku sendiri dengan kontrol yang kumiliki karena tidak histeris dengan pemandangan indah yang tersaji di depanku dan hanya diperuntukkan bagiku.
“Baiklah ... Devoughn ... baiklah ...,” katanya sambil menjatuhkan diri, duduk di kasurku sementara aku yang masih gugup dan hampir salah tingkah, duduk di kursi belajarku dengan memosisikan diri menghadapnya.
“Jadi, katakan alasanmu ingin tidur di sini. Apa ada kaitannya dengan wajah kacau yang sempat kau tampilkan tadi?” Aku mendengarnya menghela napas. “Apa pemotretannya tidak berjalan lancar?”
“Nope. Pemotretannya berjalan lancar. Selebihnya aku tidak ingin menceritakannya. Dan Devoughn, kau tidak akan dihajar ayahku karena dia sedang pergi ke Jerman. Atau siapa pun. Jangan takut. Aku sudah mengantisipasinya.”
Jawaban itu tidak lantaran membuatku lega. “Bagaimana kalau Mr. Doughlas melaporkannya pada Mr. Maxwell? Sekarang aku yakin akan dihajar massa.” Aku bertanya sembari membenarkan letak kacamataku.
Jasmine kembali mengumbar tawa, yang kuyakini sudah berhasil merusak mentalku. “Tenang saja. Sebastien berada di pihakku. Sekarang mana kausmu?” todongnya. Aku masih bergeming di tempatku duduk sambil berpikir. Aku pasti sudah benar-benar gila kalau membiarkan Jasmine tidur di kamarku.
“Devoughn ...,” panggilnya.
“Kau tahu, kamar dan kasurku sangat sempit.” Aku menjelaskan sambil menjelajahi kamarku dengan pandangan.
“Aku tidak berkomentar,” balasnya cepat dan tanpa ragu.
“Aku yakin kau tidak akan nyaman tidur di sini. Kasurnya keras. Sebaiknya kau menelepon Mr. Doughlash—”
“Kalau belum dicoba mana tahu?!” sergahnya.
”Tapi kau—”
“Devoughn ...,” desisnya.
“Baiklah.” Aku beranjak dari kursi lalu berjalan ke arah lemariku. Namun ketika tiba di depan pintu gandanya, aku kembali menoleh ke arah Jasmine yang ternyata sedang melihatku. “Tapi kausku tidak bermerek.”
Gadis itu berdecak sebal. “Memangnya aku mempermasalahkan merek? Kau yang menawariku Devoughn. Kenapa sekarang kau yang ragu?!”
Sebenarnya terbersit adikku dalam benakku. Namun aku yakin itu ide yang jauh lebih buruk seandainya meminjam baju darinya. Pasti Lea yang rasa penasarannya tinggi akan menanyaiku macam-macam lalu aku yang terdesak tidak yakin bisa mempertahankan ‘rahasia menyelundupkan Jasmine di kamarku.’ Jadi, aku menarik kaus lengan panjang bertudung dan celana olahraga kemudian mengulurkannya pada gadis bermata hijau safir tersebut.
“Aku akan tidur di sofa depan TV. Jadi kalau kau butuh apa-apa, turun saja.”
“Tidak, kau tidur di sini. Aku tidak yakin bisa turun sendiri. Tangganya masih terlihat curam.”
Aku membenarkan letak kacamataku. “Dan di mana aku akan tidur kalau kasurku kau tempati?”
Jasmine menunjuk bawah. “Di karpet ini.”
Aku kontan menepuk jidatku. “Itu buruk.”
“Ayolah Devoughn. Itu tidak buruk.”
“Kalau tidak. Kenapa bukan kau saja yang tidur di sana?”
Jasmine ternganga. “Kau tega? Aku ini Jasmine Maxwell. Bagaimana mungkin aku tidur di sana? Kau seharusnya bersyukur Devoughn. Belum pernah ada laki-laki yang akan tidur sekamar denganku. Kau tidak akan membuang kesempatan ini bukan? Aku ini Jasmine Maxwell.”
Sekarang gantian aku yang ternganga lalu tertawa sumbang walau tidak keras sebab masih takut penghuni rumah akan mendengar dan akan bangun. “Hahahah ... benar. Kau Jasmine Maxwell.” Sesaat kemudian aku langsung menghentikan tawaku. “Ini mengerikan.”
“Apa?!” Aku melihat Jasmine terperanjat. Suaranya pelan dan wajahnya sangat terlihat sedih.
“Maksudku, menakjubkan,” koreksiku.
“Kenapa kau pikir tidur sekamar denganku itu mengerikan?” tanyanya dengan suara sendu. Entah kenapa langsung menyayat hatiku. Pasalnya, selama ini ia selalu terlihat dan terdengar tegas. Tidak pernah menggunakan nada seperti itu. Apa aku keterlaluan? Aku hanya implusif. Kau tahu kan? Bagaimana rasanya aku hampir gila karena mendapatinya ada ‘di kamarku?’ Aku hanya berusaha menjadi waras sekarang. Namun kenapa ia sama sekali tidak ingin membantu?
“Sebaiknya, aku menelepon Sebastien.”
“Apa? Tu-tunggu ... Miss Maxwell.” Aku segera melangkah dan duduk di sebelahnya. “Maafkan aku. Aku hanya bingung. Oke? Ini juga pertama kalinya ada perempuan selain adikku yang akan tidur di kamarku. Dan baiklah. Aku akan tidur di karpet.” Aku melihatnya tersenyum lalu mengatubkan bibirnya rapat-rapat sampai bergetar. “Ya ... ya ... akan tidur sekamar dengan Jasmine Maxwell sangat menakjubkan,” tambahku.
“Sebaiknya kau tunggu di luar sebentar. Aku akan mengganti bajuku.”
Apa ia baru saja menjebakku? Suaranya sudah terdengar normal. Tidak sendu seperti yang baru saja ia keluarkan dari pita suaranya. Namun anehnya lagi kenapa aku juga tidak rela ia akan menelepon Sebastien dan langsung menyetujui tidur di karpet kamarku?
Benar. Aku sudah sinting.
Musim semi
Michigan, 29 April
23.10 p.m.
Sekitar dua menit kemudian, Jasmine membukakan pintu kamar dan mempersilahkanku masuk. Ia lalu menata rambutnya untuk merebahkan diri di kasur menghadap dinding berlapis wallpaper putih tulang. “Devoughn. Matikan lampunya.”
Kau tahu apa yang kulakukan? Aku malah gagal fokus pada yang yang ia kenakan saat ini. Maksudku, kaus lengan panjangku tampak sangat kebesaran di tubuhnya yang kurus dengan celana olahraga yang tampak sangat longgar. Harus kuakui Jasmine malah terlihat jauh lebih cantik mengenakan semua pakaian tersebut daripada mengenakan dress serta kardigan mahalnya yang ia sampirkan di punggung kursi belajarku.
Tidak hanya itu. Ia juga menyiapkan bed cover sebagai alas di karpet yang akan kutiduri. Lengkap dengan bantalnya.
Sebenarnya Jasmine Maxwell itu apa? Maksudku, tampilan luarnya cantik luar biasa, aku dan semua orang setuju menilai etitutnya sangat minus. Namun sekarang?
“Devoughn ...,” panggilnya lagi. Secara praktis menyentak lamunanku. Aku pun memindah berat tubuh menuju saklar lampu dekat pintu lalu mematikannya.
Meski demikian, tidak lantas membuat kamarku jadi gelap gulita. Cahaya bulan yang menerjang masuk melalui jendela atas meja belajar memberi penerangan yang akrab dengan mata.
Aku berjalan menuju meja belajar untuk meletakkan kacamata lalu meringkuk di atas bed cover yang telah disiapkan Jasmine. “Apa kau tidak kedinginan?”
“Tidak, kaus dan celana olahragamu lumayan hangat.”
“Baguslah kalau begitu.”
“Dan Devoughn, rahasiakan ini pada orang lain.”
“Em. Well, ekhm. Good night.”
Jasmine tidak menjawab. Aku juga tidak menuntut jawaban. Meski sudah mengucapkan selamat tidur dan berusaha memejamkan mata, tapi nyatanya pikiranku lari ke sana kemari. Sebagian dalam otakku masih berpikir ini halusinasi.
Melihat jam dinding depanku yang menunjukkan pukul dua belas, itu berarti aku sudah berada di posisi ini sejak hampir lima belas menit yang lalu. Kemudian samar-samar kudengar Jasmine memanggilku. Sangat pelan, sehingga aku selalu menganggap apa yang dilakukannya merupakan imajinasiku belaka.
“Devoughn ... apa kau sudah tidur?” Aku baru akan berniat menjawab tetapi Jasmine mendahuluiku. “Baguslah kalau sudah. Sebenarnya aku sangat susah menceritakan apa yang kualami pada orang lain. Jadi lebih mudah mengatakannya saat kau sudah tidur seperti ini.” Ia menjeda kalimatnya. “Aku kesusahan bersosialisasi. Aku juga susah memercayai siapa pun,terutama orang-orang yang baru kukenal.”
Jasmine mengambil jeda dalam kalimatnya lagi. Aku tidak menanggapi, cukup mendengarkan. Karena kupikir, itulah yang ia butuhkan sekarang.
“Aku tadi mengalami hal yang buruk. Lexter mempermalukanku di depan crew dan asistenku bilang, aku menanggapinya secara berlebihan. Aku kesal. Mereka tidak mengerti perasaanku. Tapi lebih kesal lagi karena aku tidak bisa mengungkapkannya dengan benar. Lalu, entah kenapa kau tiba-tiba muncul dalam ingatanku. Dan aku senang Sebastien mengantarku ke sini. Jangan khawatir. Aku sudah memperhitungkan semuanya untuk menginap di sini.”
Sekali lagi Jasmine menjeda kalimatnya lalu terdengar suara seperti ia bergerak dalam posisinya. “Aku pikir jarang—mungkin hampir tidak pernah—mengatakannya pada siapa pun. Well, terima kasih karena sudah membukakan pintu untukku, terima kasih sudah meminjamkan baju, kasur, kamar, merahasiakan soal perundungan, lalu ini dan ... yang paling penting, terima kasih karena membalas pelukanku. Selamat tidur juga Devoughn.”
Di akhir sesi curahan hatinya yang bersuara merdu itu, aku merasakan sesuatu menghangat di dalam rongga dadaku serta jantungku yang berpacu cepat.
Tuhan, ia benar-benar membuatku gila.
____________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah vote dan komen
See you next chapter teman temin
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
Repost : 31 Desember 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top