Chapter 6 • Jasmine Maxwell
Selamat datang di chapter 6
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen
Tandai jika ada typo
Thanks
Happy reading everyone
Hope you like it
❤❤❤
_______________________________________________
Kadang, ayah bisa sangat benar dalam mengambil tindakan
—Jasmine Maxwell
______________________________________________
Michigan, 24 April
18.15 p.m.
Mobil yang kami tumpangi berhenti di sebuah pekarangan rumah yang dikelilingi pohon rindang atas petunjuk Lee. Bangunannya berlantai dua tapi sangat kecil. Mungkin ukurannya hanya seluas ruang belajarku.
Terlalu serius mengamati sekitar, aku menoleh pada suara Sebastien yang sedang membuka pintu mobil. Lee keluar lebih dulu dan berdiri tidak jauh dari sana serta menungguku. Sementara aku melirik supir pribadiku itu sejenak.
“Tidak apa-apa Nona aku bisa menjaga rahasia,” katanya.
“Sudah semestinya begitu, Seb.”
Aku mengembuskan napas singkat sebelum meluncur turun dari mobil. Telah berdiri di sampingnya sambil melipat kedua tangan di dada, laki-laki berambut hitam itu bertanya padaku.
“Apa kau yakin?”
“Kenapa? Kau takut ketahuan kalau membohongiku?” tantangku.
“Tidak, aku tidak berbohong padamu,” jawabnya yakin tapi sikapnya meragukan.
Aku semakin memicingkan mataku selaras dengan alisku. “Lalu?”
Lee mengusap tengkuknya sebentar dan membenarkan letak kacamatanya menggunakan jari telunjuk. “Maksudku, rumahnya tidak sebanding dengan tempat tinggalmu, aku hanya—”
“Tidak perlu malu karena kau miskin Devoughn. Aku bisa lihat itu. Malulah saat kau ketahuan berbohong! Kau tidak mengarang cerita kan? Jangan katakan ini bukan tempat tinggalmu! Jangan katakan kau hanya kebetulan menemukan tempat ini secara dadakan! Atau jangan-jangan kau mau menculikku? Lalu mengambil keuntungan dariku?”
Lee melotot lalu mengembuskan napas beratnya sesaat. Mungkin karena kalimatnya yang kupotong. “Apa tampangku seperti penculik? Dan aku tidak ingin mengambil keuntungan apapun darimu. Selain, aku memang butuh uang dan tentu saja dari hasil kerjaku menjadi guru private-mu.”
“Kalau begitu buktikan padaku kalau kau tidak berbohong.”
“Aku tidak berbohong padamu. Sungguh, hanya saja—” Laki-laki itu menghentikan kalimatnya untuk berpikir sejanak. Namun sepertinya tidak menemukan suatu titik terang atas apa yang akan diucapkannya. Aku malah jadi semakin curiga sebelum ia menambahkan, ”Baiklah. Ayo.”
Memutar bola mata malas, aku mengikutinya berjalan beberapa langkah dan berhenti di bawah undakan yang terbuat dari kayu lumayan lapuk. Bunyi decit terdengar begitu kaki panjang Lee menginjaknya.
“Mau kubantu?” tawar Lee yang sudah berada di undakan paling atas. Tangannya terulur. Tanpa pikir panjang, aku langsung menyambutnya. Saat permukaan kulit itu menyentuh telapak tanganku, rasanya ada aliran listrik statis yang membanjiri seluruh tubuhku. Tidak terasa sakit, tapi sesuatu yang dapat membuat perutku serasa diaduk.
Tangan besar nan hangat Lee membungkus tanganku yang kurus. Walau harga diriku berteriak, aku tidak bisa membohongi diriku sendiri bahwa aku begitu menyukai hal itu. Beberapa saat mengamati tangan kami, aku tersadar oleh tarikannya yang membawaku melangkah pelan, berhati-hati supaya anak tangga itu tidak patah atau mengalami kerusakan lain.
Ngomong-ngomong di sini anginnya sejuk. Floral dress yang kukenakan bawahnya berkibar-kibar sedikit. Menari mengikuti alunan angin yang ramah. Namun tidak sampai membuat rambutku yang ditata Lee berantakan. Aku menyukainya.
“Apa kau yakin ingin masuk?” tanyanya meyakinkan diriku sekali lagi, yang sekarang sudah melepaskan diri dari genggaman tangan kami. Sejenak aku meras tidak rela.
“Aku sudah sampai di sini, kenapa harus ragu?”
Embusan napas yang keluar dari hidung laki-laki culun itu terdengar olehku. Dipegangnya kenop pintu. Bersamaan dengan gerakan memutar, ia mendorong penutup kayu tersebut. Suara berderat lumanyan kencang seketika timbul sampai-sampai aku khawatir pintu itu akan patah.
“Aku pulang ...,” ucapnya sambil melepas ransel hitam kumalnya. Berikutnya blazer marun yang ditelakkan di penggantung dekat pintu masuk yang di bawahnya terdapat tempat payung. Aku masih berdiri di teras mengamati semua gerak-gerik itu.
Ini merupakan suatu hal yang baru untukku. Maksudku, aku tidak pernah berkata ‘aku pulang’ kalau tiba di rumah. Biasanya ayah, ibu dan adik laki-lakiku sudah tahu dari Sebastien atau maid lain karena mereka mengabarkan tentang kepulanganku.
“Lee kau sudah pulang?” tanya seseorang yang setengah berteriak. Dari suaranya terdengar seperti wanita yang sudah berumur.
Sebagai permulaan, setidaknya aku sedikit lega sebab seseorang itu memanggil namanya. Jelas mengenal Lee. Namun aku tidak boleh cepat puas diri karena belum tentu ini merupakan bagian akhir dari penggalian informasiku tentang laki-laki berkacamata tebal itu.
“Masuklah.” Suara Lee memecah lamunanku. Aku melihat kemeja putih panjangnya sudah digulung hingga siku. Ia jadi terlihat semakin menarik. Aku membayangkan bagaimana kalau seandainya itu ditambah wajah tanpa kacamatanya. Pasti Lee sangat menawan.
Astaga, aku pasti sudah gila.
“Miss Maxwell?” panggilanya. Sekali lagi memecah lamunanku. Suaranya yang pelan membawa tubuhku masuk.
Ruangan sempit itu segera menyambutku. Selangkah demi selangkah tanpa sadar aku mengamati rumah mungil ini. Lantainya terbuat dari kayu. Dindingnya dilapisi wallpaper putih tulang berukiran tribal abu-abu muda dan abu-abu tua. Langit-langitnya rendah. Lampunya sedikit kuning sehingga terkesan hangat. Tidak ada penyekat antara ruang tamu, keluarga dan dapur serta perapian. Barang-barangnya juga tidak banyak. Ada beberapa pintu yang mengarah pada ruangan itu dan ada juga tangga yang terletak di sebelah dapur. Aroma masakan yang enak juga membelai indra pembauku. Perutku jadi lapar, mengingat tadi belum sempat makan malam dengan menu dietku. Tenggorokanku juga kering.
“Di mana Lea dan Helena? Biasanya mereka membantu Grandma.”
”Aku meminta mereka pergi ke Mrs. Brighton untuk memberinya sup labu. Mungkin sebentar lagi akan pulang kalau tidak jalan-jalan lebih dulu.”
Sup labu, kedengarannya enak. Aku benar-benar merasa lapar sekarang.
“Tunggu, Lee ... kau membawa teman?” Suara itu kembali bertanya. Membuatku yang akhirnya mau tak mau harus menatapnya.
Seorang nenek memakai sarung tangan plastik tengah sibuk mengaduk sesuatu dalam panci di pantry dapur yang kecil. Asap yang menari di atas panci itu segera memasuki indra pembauku lebih dalam. Perutku pun mulai mengajukan protes.
Setelah melihatku, beliau menghentikan kegiatannya dan melepas sarung tangan plastik tersebut untuk menghampiriku. Mengamati tubuh gemuk itu dari dekat, wanita paruh baya tersebut tersenyum ramah. Pasti nenek itu mengenaliku. Jadi aku harus memasang sikap antisipasi sebab baru kali ini mengunjungi rumah seseorang selain sanak saudara dan Lexter. Ini merupakan tindakan ternekat sekaligus berbahaya yang pernah kulakukan. Demi membuktikan omongan Lee. Namun aku tidak takut karena ada Sebastien.
“Dia Miss Jasmine Maxwell, aku yang jadi guru private-nya.” Lee pun berdiri di antara kami. “Miss Maxwell, ini Grandma Rose, yang kuceritakan tadi. Maksudku, aku tinggal di sini, di rumah Grandma.”
“Benar, beberapa bulan lalu Lee mulai tinggal di sini. Oh ya senang bertemu denganmu Miss Maxwell. Kau sangat cantik.”
Aku dikejutkan oleh tangan keriput yang terulur lengkap dengan senyum cemerlang. Pandanganku pun berpindah-pindah. Dari tangan keriput itu kemudian ke wajah beliau dan berakhir menatap Lee. Berpikir apa yang sesungguhnya direncanakan nenek ini sehingga harus beramah-tamah denganku?
“Tangan Grandma bau bumbu, Miss Maxwell pasti kurang nyaman berjabat tangan.”
Nenek itu menepuk jidatnya pelan. “Astaga, kau benar Lee. Kalau begitu silahkan duduk Miss Maxwell. Aku akan membuatkanmu teh min.”
Ini yang lebih membuatku terkejut. Nenek itu mempersilahkanku duduk di kursi dapur. Sesuatu yang baru kualami juga. Jasmine Maxwell sang model remaja terkenal dipersilahkan duduk di kursi dapur pada rumah mungil. Aku harus menandai kejadian ini sebagai peristiwa langka.
Aku ingin menolak dengan tegas, tapi teh min itu terdengar menggiurkan, kebetulan aku juga sedang haus. Akan tetapi menerima minuman dari orang asing miskin tentu sangat berbahaya. Jadi aku sebaiknya menolaknya. Saat mulutku hendak terbuka, Lee mendahuluiku.
“Grandma, Miss Maxwell sedang terburu-buru, dia hanya mampir untuk mengambil buku yang akan kupinjamkan.” Lee mencoba menghentikan nenek itu saat membuka laci dapur. Lalu kepalanya berputar untuk menoleh padaku. “Bukankah begitu Miss Maxwell?” tanyanya kemudian.
Mau tidak mau, aku menyetujui kebohongan Lee yang ini. “Iya benar,” jawabku singkat. Tanpa jeda, laki-laki itu menarik tanganku menjauh dari nenek yang kebingungan. Ia baru melepasnya sewaktu sampai di lantai dua yang sempit. Aku menoleh untuk melihat sekeliling tapi Lee menyita perhatianku kembali.
“Miss Maxwell,” ucapnya. “Kau tidak perlu memaksakan diri seperti ini.”
“Apa maksudmu?”
“Aku melihatmu tidak nyaman berada di sini atau bertemu Grandma Rose.” Laki-laki itu menyebut nama Grandma Rose dengan pelan.
Aku terdiam cukup lama sambil memandangi Lee. Tepat pada sepasang mata hitam teduh di balik kacatamatanya. Berpikir, bagaimana bisa ia tahu apa yang kurasakan? Apa ia bisa membaca pikiranku? Apa karena itu ia pintar?
“Itu wajar karena kau baru berkunjung ke tempat asing. Tapi, apa kau selalu melakukan ini terhadap orang yang baru saja kau temui?” tanya Lee.
“Melakukan apa?”
“Berkunjung ke rumah orang asing untuk memastikan?”
“Tidak, kau yang pertama dan kuharap yang terakhir.”
Pemuda berkacamata itu mengangguk serta membenarkan letak alat optik tersebut.
“Lalu, apa sekarang, apa kau sudah percaya padaku?” Aku tidak langsung menjawab sehingga gelagatku di baca olehnya. Ia lantas mengacungkan tangan. “Akan kutunjukkan kamarku.”
“K-kamarmu?”
“Iya, agar kau percaya kalau aku tidak berbohong. Sebelah sini, ini dia kamarku. Kebetulan aku akan mengambil buku untuk alasan grandma.” Lee menunjuk pintu di sebelah ia berdiri. Saat akan memutar kenop dan mendorongnya, aku mencegahnya.
“T-tunggu! Aku tidak mau! Kau sendiri saja! Aku di sini! Dan cepatlah Devoughn!” kataku sembari melipat tangan di dada.
Mengangkat bahu ringan, Lee masuk ke kamar dan keluar dengan cepat membawa sebuah buku.
“Aku akan mengantarmu ke mobil sekarang,” kata laki-laki itu. “Hanya kalau kau mau,” tambahnya.
Beberapa detik terlewati dengan keheningan. Pada akhirnya aku menegakkan tubuhku. “Ya, aku ingin pulang.”
Lee mempersilahkan aku untuk turun terlebih dahulu. Sikapnya seperti seorang gantleman.
Memutar tubuh hendak turun, aku melihat ke bawah. Tangganya juga terbuat dari kayu. Tidak berderat, tapi kelihatan curam. Tadi sewaktu naik, Lee memegangi tanganku sehingga aku merasa aman, tapi sekarang?
“Apa kau takut?” tanyanya. “Aku akan memegangimu.”
Harga diriku yang tinggi seharusnya berkata tidak. Namun ada sesuatu dalam diriku yang berbisik, bahwa aku tidak perlu takut karena Lee akan menggenggam tanganku. Sesuatu yang kuinginkan. Aku pun meremas pinggiran dress yang kukenakan. Entahlah. Hanya dengan memikirkannya saja jantungku berdebar keras.
Astaga kurasa aku benar-benar sudah gila.
“Jangan khawatir, aku tidak akan mengatakannya pada orang lain,” tambahnya sambil berjalan melewatiku dan menuruni satu anak tangga. Tangan kirinya yang bebas terulur.
Lima detik aku menghitung, mataku tertuju pada nenek itu yang masuk ke ruang kecil di sebelah dapur. Melalui celah yang sempat kulihat, itu merupakan kamar mandi. Lee mengikuti arah pandanganku dan menambahkan kalimatnya. “Tentu saja, aku akan meminta grandma Rose untuk merahasiakan kedatanganmu kemari dari orang-orang. Jangan khawatir.”
Dari iris hitam Lee, pandanganku berindah ke tangannya yang masih terulur. Saat menyambutnya rasa hangat segera menyerbuku. Dengan jantung berdebar lebih kencang, aku menuruni anak tangga secara perlahan dan hati-hati.
Lee melepaskan genggaman tangan kami setelah berteriak izin pada nenek bahwa aku akan pulang. Kemudian dia meraih tanganku lagi kala aku harus menuruni undakat berderat untuk mencapai mobil.
“Sampai jumpa,” katanya sambil tersenyum. Jika boleh kuartikan itu termasuk senyum lega. Aku pun hanya bergumam lantas pulang bersama Sebastien.
Musim semi
Chicago, 26 April
09.21 a.m.
“Kita ganti spot foto,” ujar fotografer padaku dan Lexter usai menurunkan kameranya. Lantas kami bergerak menuju karavan untuk ganti baju dan membenahi tampilan.
Seperti yang sudah dikatakan asistenku beberapa hari lalu, jika hari ini aku ada pemotertan bersama Lexter di luar kota. Karena ini merupakan koleksi brand terkenal Dorothea yang mengusung tema musim panas, jadi pemotretan di lakukan di danau Crystal. Salah satu tempat wisata alam yang menampilkan danau dengan air yang jernih. Begitu jernih hingga berwarna biru sebening kristal. Oleh karena itu juga danau ini disebut sebagai danau Crystal.
Kami berangat subuh dan menempuh perjalanan selama hampir dua jam setengah tanpa terjebak macet. Biasanya ibu akan ikut mengantar dan melihat pemotretanku. Nakun karena beliau harus menemani ayah pergi ke Jerman untuk urusan bisnis nanti malam—yang tentunya membaea Sebastien—jadi aku terpaksa ikut bersama Lexter dan semua tim naik karavan.
Semua karavan berjumlah tiga. Karavan pertama berisi tim fotografer, manager, bersama model dan seorang supir. Karavan kedua berisi supir, penata rias, penata rambut dan beberapa asisten. Sedangkan karavan yang ketiga khusus berisi supir dan asisten serta baju-baju, juga mekap yang akan kami kenakan untuk pemotrtan.
“Kau belum menceritakannya padaku,” desak Lexter saat ini kami sedang duduk di depan cermin rias dengan penata rias dan rambut yang sedang bekerja pada bagian masing-masing. “Biasanya kau langsung berkoar padaku.”
“Tentang apa?” Aku kembali bertanya sambil memejamkan mata karena perias itu sedang membubuhkan eye shadow pada kelopak mataku.
“Guru private barumu. Biasanya kau selalu meneleponku kalau sudah berhasil memecatnya. Apa sekarang kau belum berhasil?”
Sapuan kuas pada mataku berhenti, aku pun membuka mata dan memutar kepala menghadap Lexter yang sedang dibenahi rambutnya.
“Entahlah,” jawabku sambil mengendikkan bahu ringan.
“Kau belum berhasil memecatnya?” tanya Lexter tampak melotot sembari berusaha menegakkan tubuh. Penata rambutnya jadi sedikit berdecak. Lalu ia membenarkan posisi duduknya kembali.
“Aku tidak bisa memecatnya,” jawabku yang sekarang sudah berdiri menuju bagian sandal brand Dorothea yang harus kukenakan berikutnya. Selama beberapa menit, Lexter menyusul. Ia mengenakan celana pendek putih tulang bermotif tanaman serta kaus longgar kuning.
“Kenapa kau tidak bisa memecatnya? Apa karena ayahmu?”
“Benar.”
“Aku akan membantumu, Jassy. Jangan cemas.”
“Apa?! Tidak! Jangan! Sudah kuputuaskan, aku akan mematuhi perintah ayah kali ini, Lex.”
Kadang, ayah bisa sangat tepat mengambil tindakan.
_____________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah vote dan komen
See you next chapter teman temin
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
Repost : 28 Desember 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top