Chapter 21 • Lee Devoughn

Selamat datang di chapter 21

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tandai jika ada typo

Thanks

Happy reading everyone

Hope you like it

❤️❤️❤️

_____________________________________


Aku tahu, boleh saja aku bermimpi bisa bersama dengannya dalam jangka waktu yang lama. Namun, cepat atau lambat kenyataan akan segera mendobrak serta menarikku untuk kembali
Lee Devoughn

___________________________________

Musim panas
Redwood, 10 Juni
20.08 p.m.

Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Itulah yang kulakukan untuk menyelamatkan Jasmine dari beberapa pemuda serta pria yang tengah duduk-duduk melingkari api unggun mereka dan menatapnya terang-terangan. Aku tadi sempat bergabung dengan mereka, lalu kembali duduk di batang kayu depan api unggun depan tenda kami kemudian segera menghampiri gadis tersebut yang ternyata sudah dalam kondisi seperti itu.

Menghiraukan pekikan dan masih setia memunggunginya, aku meminta Jasmine mematikan lampu baterai bercahaya kuning yang menerangi tenda kami.

“Tapi, aku masih belum selesai ...,” cicitnya.

Tanpa pikir panjang kulepas jamper—menyisakan kaus abu terang polos—lalu kuulurkan itu padanya. “Ini mudah dipakai walau dalam gelap. Jadi, matikan lampunya lalu ganti baju dan aku akan keluar.”

Usai Jasmine menerima jamperku, cepat-cepat kubawa tubuhku keluar tenda dan duduk di batang kayu dekat api unggun lagi untuk meluruskan pikiran yang tadi sempat melihatnya dalam keadaan seperti itu.

Malam ini langit memang gelap. Meski lamat-lamat, cahaya bulan dan bintang menjadikannya lebih terang. Angin yang ramah pada musim panas terasa dingin. Menjadikan kobaran kecil api unggun yang menjadi penghangat tubuhku menari-nari. Beberapa percikannya terlihat berhamburan disekitarnya. Suara yang dihasilkan bertimpang tindih dengan suara gulungan ombak pantai Gold Bluffs Redwood.

Sembari menggosok-gosok tangan untuk membentuk kehangatan, kutatap sekeliling dan melihat orang-orang tadi masih melingkari api unggun mereka. Ada beberapa juga yang minum bir sambil bercanda dan tertawa.

Saat mengambil sebatang ranting dan memainkan arang yang sudah terbentuk, terdengar zipper tenda kami dibuka. Kuputar kepala menghadap Jasmine yang keluar dan berjalan ke arahku. Sedetik kemudian duduk di sampingku.

“Apa kau kedinginan?” Aku refleks bertanya sebab mendapati seluruh tubuh gadis itu dililit selimut rajut cokelat gelap bermotif hitam seperti indian. Bukankah, ia sudah mengenakan jamper hitamku?

“Bukankah seharusnya aku yang menanyakan itu padamu?” Ia kembali bertanya padaku.

“Ini mirip suasana rumahku dulu. Jadi aku sudah terbiasa,” kilahku tanpa melihatnya dan masih asyik memandangi serta memainkan api unggun. Sesekali kubenarkan letak kacamata di pangkal hidung.

“Apa yang ada di pigura itu?” Aku hanya bergumam sambil mengangguk sebagai jawaban. “Di mana tempat tinggalmu dulu?”

“Carmel by the Sea.”

“Sepertinya pantai itu sangat bagus. Kapan-kapan kau harus mengajakku ke sana, Devoughn. Kita juga harus mengajak Lea.”

Aku refleks melihat gadis itu yang sedang menyematkan anak rambut di belakang telinga karena tiupan angin. “Memang sangat bagus. Tapi, entahlah. Aku tidak tahu kapan bisa kembali ke sana. Kau tahu, di sana tempat tinggalku seumur hidup, banyak kenangan bersama mendiang orangtuaku.”

Rasa kejut tiba-tiba melingkupi diriku saat Jasmine menyandarkan kepala di pundakku. “Maafkan aku, Devoughn. Aku tidak bermaksud membuatmu sedih.”

It’s oke. Sudah lama kejadiannya. Sudah beberapa bulan.”

Jasmine menarik diri. Sejenak ada perasaan tidak rela. Namun, pada detik yang lain aku merasakan ia melilitkan selimut di tubuhku   bersamanya lalu menyandarkan kepala pada pundakku lagi. “Hangat kan?” tanyanya. Aku pun refleks melingkarkan lenganku pada tubuhnya yang terbalut jamperku yang panjangnya mencapai paha. Baru kusadari ia tidak mengenakan bahawan.

Aku meneguk ludah dengan susah payah. Pikiran tentang bagaimana kondisinya tadi ditambah pemandangan ini membuat pikiranku yang sudah berhasil kuluruskan jadi kusut lagi. Untuk itu kurapikan selimut ini agar menutupi seluruh pahanya.

Entah sudah berapa lama kami dalam posisi diam seperti ini. Aku pun mencoba memecah keheningan di antara kami. “Apa kau tidak mengant—”

Ucapanku terpotong kala kulihat Jasmine ternyata sudah tidur. Napasnya terdengar teratur, beberapa anak rambut yang menutupi wajahnya kualihkan. Usai mematikan api unggun, tubuh kurus itu kugendong ala bridal style masuk tenda dan meletakkannya dengan sangat hati-hati. Kubenahi lagi selimut dan rambutnya hingga ia merasa nyaman.

Jasmine memang menjadwal tidurnya delapan jam setiap malam. Oleh karena itu, sering kali ia memilih tidur lebih awal. Namun, aku juga tidak tahu bahwa ia bisa terlelap secepat ini.

Kutatap wajah itu selama kurang lebih sepuluh menit. Masih tidak memercayai semua ini adalah kenyataan. Aku dan Jasmine, maksudku.

Karena tidak kunjung bisa tidur, aku ikut masuk selimut, duduk setengah berbaring di sebelahnya lalu membaca buku yang kubawa usai mengenakan jamper cadanganku. Beberapa menit kemudian rasa kantuk mulai menyerang. Jadi kuletakkan kacamata di wadahnya dan ikut merebahkan diri. Sebelum lampu baterai kumatikan, aku membenahi selimut Jasmine yang melorot lagi.

Pada cahaya yang minim, aku menyangga kepala menggunakan sebelah tangan untuk sekali lagi kupandangi wajah itu dalam jarak dekat. Aku merasa ada keinginan untuk bisa selalu melihat pemandangan ini setiap saat dan selama yang kubisa. Aku tak akan keberatan bila itu dalam waktu selamanya. Aku berjanji pada diriku sendiri kalau itu menjadi kenyataan, aku tak akan pernah bosan.

Lalu entah mendapat dorongan dari mana, perlahan wajahku mendekat. Mendengarkan serta merasakan embusan napasnya yang teratur kemudian membubuhkan bibir pada keningnya. Kala hendak menarik diri perlahan ia membuka mata setengah.

“Devoughn,” panggilnya lirih dengan suara serak khas orang mengantuk.

Aku pun kaget sekaligus malu karena kedapatan menciuri cium gadis itu. Dengan gelagapan, berusaha merangkai kata membentuk kalimat yang kugunakan sebagai alasan. “Ma-maaf sudah membangunkanmu a-aku hanya—”

Jantungku berdebar keras tanpa bisa merampungkan kalimat sebab Jasmine menyusupkan dirinya dalam pelukanku. Aroma campuran antara raspberry dan bergamot kontan menyergap seluruh udara di sekelilingku. Kedua lenganku praktis ikut melingkarkan pada tubuhnya.

“Devoughn, kau akan mengajakku ke prom night kan?” gumamnya. Aku mencoba memberi jarak untuk bisa melihat wajahnya dan ternyata ia sudah terpejam kembali. Untuk sementara, kusimpulkan itu sebagai igauan. Meski demikian aku merasa senang sekaligus terbebani.

Bagaimana bisa aku mengajaknya ke prom night? Walaupun ia sudah tidak keberatan dengan kebersamaan kami di depan semua orang, tetapi bagaimana nanti tanggapan mereka jika aku mengajaknya ke acara itu?

Dulu ia yang berpikir tentang reputasinya. Sekarang di saat ia tidak peduli—di luar konteks reputasi pun—sebenarnya aku mengkhawatirkannya. Alasannya cukup sederhana, karena aku menyukainya.

Tidak. Kurasa itu bukan hanya sekadar suka, melainkan cinta. Benar. Aku mencintai Jasmine Maxwell. Gagasan itu terasa lebih tepat.

Aku tahu, boleh saja aku bermimpi bisa bersama dengannya dalam jangka waktu yang lama. Namun, cepat atau lambat kenyataan akan segera mendobrak serta menarikku untuk kembali dan itu sudah terjadi. Berupa kepingan dari benakku yang selalu meneriakkan tentang seberapa pantas aku bisa bersanding dengannya.

Meski demikian, saat ini aku selalu bersikap mengikuti situasi. Terutama menuruti kemauan Jasmine. Layaknya sebuah perahu yang berlayar mengikuti arus sungai dari hulu ke hilir lalu berhenti di muara, tanpa berpikir apa yang akan kuhadapi ke depannya.

Embusan napas berat yang panjang keluar dari paru-paruku. Pikiran-pikiran serta mimpi-mimpi itu berusaha kutepikan sejenak, untuk menikmati waktuku bersama Jasmine. Kueratkan pelukanku dan kububuhkan bibir serta hidungku di puncak kepalanya berkali-kali lalu berusaha ikut memejamkan mata dan tidur.

Musim panas
Redwood, 12 Juni
06.20 a.m.

“Selamat pagi, rambutmu berantakan Devoughn.” Suara sayup-sayup itulah yang pertama kali kudengar. Dengan tidak rela, aku membuka kedua netraku yang masih lengkel seolah diberi lem perekat super kuat. Menjelajah sekitar yang sudah dipenuhi cahaya. Namun, begitu mendapati Jasmine yang berbaring di sebelahku sedang menatapku dengan senyum cerahnya, netraku membulat sempurna.

Aku yakin sedang bermimpi. Otakku memproses dengan lambat saat Jasmine merapikan rambutku. Takut mimpi indah ini akan hilang, aku  membawa tubuhnya dalam pelukanku.

Tuhan, pemandangan yang kujuampai saat pertama kali kubuka mata dan perlakuan seperti inilah yang sungguh kuinginkah seumur hidup.

“Devoughn, jangan erat-erat, aku kesulitan bernapas,” ucapnya yang terdengar berdengung sebab terhalang oleh pelukanku. Maka kurenggangkan sedikit agar bisa menatap wajahnya yang jelita.

Jasmine tersenyum manis. Tangan lentik itu hinggap di pipiku kemudian diusapnya pelan. Aku meneguk ludah dengan susah payah ketika merasakan jari telunjuknya menelusuri hidung dan daguku. Seperti sedang merangkum wajahku.

“Cambangnya mulai tumbuh,” gumamnya sambil menggosok bagian tersebut dengan lembut. Entah kenapa aku malah memajukan wajah dan gadis itu menyambutku ketika aku menciumnya.

Kala Jasmine memejamkan mata dan membuka mulutnya, aku tahu aku akan bersikap egois detik ini. Jadi, aku mengambil kesempatan itu untuk menjelajah dalam kelebapannya. Semula pelan, teratur dan terkendali. Lalu seperti biasa. Intensitas itu berubah menjadi lebih cepat dan liar. Posisiku yang semula menyamping kini sudah menjulang di atasnya dan mulai memperdalam ciuman.

Jasmine berusaha mengimbangiku walau agak kesusahan. Tangannya pun tidak tinggal diam. Semula masih berada di daguku, kini melingkari leherku dan merayap menuju bagian belakang kepalaku, kemudian mengusap rambutku dengan lembut.

Aku mulai bertindak semakin egois dan semakin jauh. Kuturunkan ciuman itu ke rahangnya, lalu leher jenjangnya. Berikut menghidu harum tubuhnya tanpa ampun. Kuginggit kecil lalu kuisap dalam dan aku yakin akan ada jejak merah keunguan di sana. Desahan dari bibir gadis itu semakin membutakan egoku mendominasi serta menyesatkan pikiranku yang masih di awang-awang.

Aku tidak lagi peduli dan membedakan ini mimpi atau halusinasi. Paling penting, semuanya terasa nyata bagiku.

Sambil terus menghujaminya dengan ciuman, tangan kananku mulai bergerak menelusup di balik selimut. Kemudian merangkak ke pahanya yang mulus, persis seperti dugaanku.

Satu desahan lebih keras keluar dari bibir gadis itu. Tanganku semakin merayal ke atas dan menemukan apa yang kucari, yang rupanya tidak terhalang oleh apa pun. Menekan bagian tersebut lebih kuat, desahan merdunya mengalun membentur daun telingaku. Usapan di rambutku jadi terasa lebih giat.

Bibirku bergeser ke telinganya. “Kau harus menghentikanku sekarang,” bisikku sebelum menyapukan lidahku pada bagian tersebut. Membuat suara merdu bagai musik indah itu terdengar lagi. “Aku tidak bisa berhenti kalau kau tidak menghentikanku,” tambahku dan tersadar kalau suara serta napasku memberat. Entah karena ciri khas orang bangun tidur, atau karena sesuatu dalam diriku terasa terbakar.

Jasmine tidak menjawab sebab sibuk mendesah. Betapa itu kuartikan seolah menjadi kunci sebuah persetujuan darinya untuk bisa kuakases lebih banyak dan lebih jauh.

Tubuhku yang terasa panas lantas memberi jarak untuk menyibak selimut yang menutupi bagian tubuh bawahnya lalu kuangkat bagian bawah jamper yang ia kenakan dan membawanya melewati kepala gadis itu. Jasmine refleks menyilangkan kedua tangan di dadanya yang terbuka dengan napas terengah serta mata sayu. Usai membuang jumper itu sembarang, jumper-ku kuperlakukan sama. Tanpa memutus pandanganku darinya, kuurai kedua tangannnya dan kubawa ke samping kanan serta kiri. Setelahnya kulayangkan ciuman lagi pada bibirnya yang bengkak akibat ulahku.

“Kau tidak ingin menghentikanku?” tanyaku setengah berbisik ketika menatap tajam wajahnya yang merona. “Aku tidak akan melakukannya tanpa persetujuanmu.”

“Ti-tidak apa-apa kalau kau jadi yang pertama. A-aku hanya sedikit takut sekaligus penasaran.”

Aku tersenyum lalu mengecup bibirnya singkat. “Terima kasih, Jasmine. Kalau begitu sebaiknya aku tidak buru-buru. It will be just making out.”

Musim panas
Redwood, 11 Juni
13.02 p.m.

Karena kemarin belum sempat, siangnya kami baru berjalan kaki menjelajahi Redwood usai melipat tenda dan mengemasi barang-barang lalu memasukkannya ke truk tua yang sekarang telah kuparkir di tempat parkir.

Musim panas memang cocok untuk berkunjung kemari. Pohon terbesar dan tertinggi di dunia jenis Squoia sempervirens yang bisa tumbuh hingga ratusan tahun mengisi Taman Nasional ini sehingga menjadikan suasananya terasa sejuk. Mencoba melihat ke atas untuk menjangkau puncak pohon, Jasmine memekik, “Lihatalah Devoughn, pohon ini bahkan lebih gemuk daripada kita.”

Kuturunkan pandanganku dan melihat gadis itu tengah berusaha memeluk pohot tersebut.

“Tentu saja,” jawabku sambil membenarkan letak kacamata.

“Bantu aku supaya bisa memeluknya!” Aku meringis dan menggeleng. Tidak menyangka kalau gadis itu bisa juga bersikap kekanakan. “Ayolah Devoughn.” Kubawa tubuhku ke sana dan mengikuti kemauannya. Ia mememik lagi. “Kita berhasil mmemeluknya! tunggu sebentar aku harus mengambil gambar kita dengan polaroit dan ponselku.”

Jasmine lantas meminta bantuan pengunjung lain untuk mengambil gambar kami menggunakan polaroit serta ponselnya.

Siang menjelang sore, Jamsine menelepon Nameeta untuk janji bertemu di rumah grandma Rose. Namun sewaktu melakukan perjalanan menuju ke sana, truk tua yang kami tumpangi mogok. Jamsine kembali menelepon Sebastien. Beberapa saat kemudian supir serta maid keluarga Maxwell itu pun datang dengan mobil derek yang digunakan untuk mengangkut truk kami.

“Nona tidak apa-apa?” Aku melirik ke arah Nameeta yang terlihat cemas menanyai Jasmine. Gadis itu pun berhasil meyakinkan maid itu kalau baik-baik saja. “T-tunggu, kenapa leher Nona ruam-ruam seperti ini—jangan katakan ....” Mereka kompak melihatku. Aku jadi salah tingkah dan berdeham beberapa kali sambil berusaha melirik ke arah lain.

Pada akhirnya kami tiba di rumah grandma Rose menjelang petang. Seturunnya dari Maserati, Jamsine mengikutiku masuk dan berpamitan pada grandma.

“Aku akan pulang dulu,” kata Jasmine sambil menggigit bibir bawahnya ketika kami sudah berdiri di teras depan.

“Hati-hati,” jawabku. Gadis itu mengangguk lalu memelukku. Pada detik yang lain berjinjit untuk mencium bibirku lagi. Sedikit lumatan menjadi akhir dari ciuman kami.

“Sampai jumpa, aku akan mengabarimu kalau sudah sampai rumah.” Lalu ia berlalu. Sewaktu membalik tubuh, betapa terkejutnya aku melihat Helena sudah berdiri di ambang pintu dengan raut wajah tak kalah terkejut dariku.

“He-Helana, kapan kau datang? Kupikir kau masih di Toronto.”

“A-apa aku salah lihat kalian baru saja berciuman?” tanyanya kembali, menjadikanku was-was. Namun berusaha bersikap tenang dan tidak terjadi apa-apa.

“Apa maksudmu? Aku tidak mengerti. Sepertinya kau mengigau,” kilahku kemudian masuk rumah.

Musim panas
Michigan, 30 Juli
09.13 a.m.

“Jadi, kau sedang pemotretan sekarang?”

“Ya, untuk koleksi musim gugur brand Dorothea,” jawab Jasmine di seberang sambungan telepon, “aku akan mengirimkan fotonya padamu nanti.”

“Apa Lexter Wilingstone juga ikut?” tanyaku implusif. Kudengar ia tertawa pelan.

“Tentu saja ikut. Kau ingat kan kalau aku satu agensi dengannya? Tapi tenanglah, aku akan meminimalisir berdekatan dengannya kalau bukan urusan pekerjaan. Jadi jangan cemburu.”

“Aku tidak cemburu.”

“Katakan itu pada hatimu. Well, sampai jumpa Devoughn.” Gadis itu memutus sambungan telepon setelahnya.

Saat baru saja ponsel tersebut kuletakkan di meja belajar, suara deru halus mesin mobil terdengar masuk pekarangan rumah grandma. Aku melihat dari balik jendela dan mendapati supir keluarga Maxwell bernama Josh yang turun. Mengira-ngira ada urusan apa pria itu datang kemari, tidak sampai dua menit pertanyaan dalam benakku itu pun terjawab.

“Mr. Maxwell ingin bertemu denganmu sekarang,” katanya.

Aku masih tersenyum dan menduga pasti akan ditanyai tentang perkembangan Jasmine selama di peternakan seperti dulu di saat gadis itu tidak ada di estat. Lalu senyum itu runtuh sepenuhnya begitu melihat tidak hanya keluarga Maxwell yang berada di sana. Ada juga beberapa orang asing, yang menghancurkan harapan serta mimpiku nyaris tanpa sisa.

__________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote dan komen

See you next chapter di versi cetak ya teman temin

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

Repost : 4 Januari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top