Chapter 20 • Jasmine Maxwell
Selamat datang di chapter 20
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen
Tandai jika ada typo
Thanks
Happy reading everyone
Hope you like it
❤❤❤
______________________________________________
Seolah melepas segel pada hewan piaraan yang didomestikasi, kemudian akan membangkitkan sisi liar dalam diri laki-laki itu
______________________________________________
Musim panas
Michigan, 3 Juni
19.03 p.m.
Jangan menilai buku dari sampulnya. Itulah yang semestinya kulakukan pada Lee Devoughn. Laki-laki itu boleh saja berkacamata mirip orang culun pada umumnya, dengan pembawaan yang tenang, berkarisma sekaligus kecerdasan yang terasa menindas. Namun, siapa sangka kalau ia memiliki sisi lain. Terutama saat kacamata itu terlepas dari wajahnya. Seolah melepas segel pada hewan piaraan yang didomestikasi, kemudian akan membangkitkan sisi liar dalam diri laki-laki itu.
Aku bisa memberi kesimpulan tersebut karena telah menjumpainya seperti itu. Di setiap kali kami berciuman, Lee yang biasanya kalem berubah menjadi agresif dan aku—yang notabennya pembangkang—ia buat tidak bisa berkutik sedikit pun.
Mulanya kupikir hanya sebatas sampai di sana kesimpulan yang telah kubuat atas kendali diriku terhadap Lee. Ternyata aku terlalu tergesa-gesa. Rupanya, tidak hanya sisi lain dari Lee yang bisa membuatku lembek seperti jely, tetapi juga seluruh bagian dari laki-laki itu nyatanya mampu membuatku menuruti kata-katanya untuk mengganti dress dengan kausnya. Parahnya lagi, ternyata Lee berhasil meyakinkanku ke rumah hantu di pasar malam ini karena ia sangat menyukai sesuatu yang berbau horor.
Sudah berkali-kali kukatakan pada diriku sendiri bila aku sudah remaja. Seharusnya tidak takut pada hal-hal kekanakan seperti ini. Apalagi bukan rahasia lagi kalau dalam rumah hantu itu, semua hantu adalah petugas yang menyamar. Namun, tetep saja aku merasa takut. Bagaimana kalau ada hantu sungguhan yang sebenarnya menyamar seperti di film-film horor yang sering diceritakan Trax?
Jadi, aku terus memeluk Lee erat-erat, sementara laki-laki itu sendiri membalasku dengan melingkarkan satu tangan sebab tangan yang lain sibuk memegangi boneka beruang besar yang kudapatkan dari adu tembak.
Nomong-ngomong mulai sekarang aku akan menyukai boneka itu dan menamainya Lee. Hehe. Bukan karena aku senang dengan gumpalan kapas yang dijahit itu, tetapi karena momen kebersamaanku bersama dengan Lee Devoughn.
Well, sepanjang perjalanan mencari jalan keluar dari rumah hantu itu, aku tidak berani membuka mata. Hanya menyembunyikan wajah di dada laki-laki berkacama tersebut serta menutupi telinga untuk menghalau suara-suara musik horor yang memenuhi sekeliling. Namun, tiba-tiba Lee berhenti dan bertanya, “Jasmine, kau yakin tidak ingin melihat isinya? Cobalah, tidak seseram yang kaubayangkan.” Ia sedikit berteriak sebab suara musik horor itu lebih mendominasi. Jelas sekali berusaha menembuskan suaranya agar melewati penghalang berupa tanganku yang masih menutupi telinga.
“Tidak. Mereka seram! Dan kenapa kita berhenti? Ayolah Devoughn, cepat jalan! Aku tidak ingin berlama-lama di dalam sini,” ucapku ketus dan sedikit berteriak sama seperti dirinya, akan tetapi masih tidak ingin membuka mata. Aku lantas merasakan getaran pada tubuhnya. “Aku bisa merasakan kau tertawa Devoughn!” desisku.
“Kau tahu Jasmine, kita sudah berada di luar sejak lima menit lalu.”
“Apa?!” Aku kontan melepas pelukanku pada laki-laki itu, berikutnya menyisir tempat sekitar dan mendapati orang-orang yang berlalu lalang di pasar malam. “Kupikir kita masih di dalam.”
“Karena musiknya terdengar sampai sini, jadi tidak heran kau berpikir seperti itu. Padahal aku hanya mengajakmu mengelilingi sekitar rumah hantu ini,” akunya, menyertai tawa itu dengan menggeleng pelan. Penambahan boneka beruangku membuatnya tampak konyol.
Ngomong-gomong ingatkan aku untuk menambah daftar sisi lain Lee yang satu ini. Ternyata ia jahil.
“Kenapa kau melakukannya?!” pekikku sambil melayangkan pukulan kecil pada lengannya yang bebas, “kau tahu aku sangat takut! Dasar bodoh!”
“Karena aku ingin melihat reaksimu,” jawabnya sembari berusaha menepis pukulan-pukulan itu menggunakan bonekaku. “Jasmine, hentikan pukulan itu, rasanya sakit,” tambahnya masih dengan tawa yang sama.
Untuk beberapa alasan, aku menyukai tawa laki-laki itu. Namun, bukankah selalu ada pengecualian dalam hidup? Seperti ini contohnya.
“Rasakan! Salah sendiri kau mengerjaiku, Devoughn! Aku tidak mau tahu. Kali ini aku yang akan memilih permainanannya!”
“Baiklah,” katanya pasrah. Barulah aku menghentikan pukulan-pukulan kecilku. Boneka beruang itu pun kuambil darinya. “Jadi, kau ingin naik permainan apa?”
Sepasang mataku menjelajah lalu berhenti pada satu permainan. “Itu, aku ingin naik bianggala.” Menunjuknya yang terletak sedikit ke kiri dan membelakangi laki-laki itu.
Lee mengikuti pandanganku lalu tersenyum tulus dan menambah jumlah kalimatnya. “Kalau begitu, jangan lepaskan tanganmu dariku.”
Jantungku berdetak cepat sekali sewaktu laki-laki itu mengulurkan tangannya, dan meski kesusahan membawa boneka beruang besar, tetapi aku menyambutnya.
Setibanya di sana, banyak pengunjung yang mengantri. Lee bertanya padaku untuk menunda menaiki permainan itu dan pergi menaiki permainan lain yang tidak dalam masa tunggu, tetapi aku bersikeras ikut mengantri.
Selewat beberapa saat, akhirnya tiba giliran kami naik keranjang besar tersebut. Aku pun mendudukan boneka itu di sebelahku, sementara Lee duduk di depanku.
“Michigan selalu keren di malam hari,” ucapnya sambil melihat ke sekeliling lampu-lampu kota yang terpapar seperti kunang-kunang yang menyala terang dalam kegelapan ketika bianggala kami mulai naik beberapa meter dari bawah. Aku lantas mengikuti pandangannya. Namun, karena angin yang bertiup membuat rambut gelombang pantaiku menutupi wajah, aku harus merapikannya menggunakan tangan
Sesekali juga menggerakan kepala agar semua jatuh di punggung.
“Kau benar,” kataku. Lalu tiba-tiba bianggala yang kami naiki berhenti di puncak. Membuat keranjang kami bergoyang. Aku mulai khawatir. “Devoughn, bianggalanya bergerak-gerak.”
“Memang itu biasa terjadi,” kata laki-laki itu tenang.
“Kau yakin ini tidak apa-apa? Kenapa lama sekali turunnya?”
“Tenanglah, dan nikmati saja pemandangannya. Semua akan baik-baik saja.” Aku tidak menjawab karena sibuk melihat sekeliling yang lambat laun keranjang ini mulai tenang kemudian Lee kembali membuka suara. “Ternyata, kau paranoid sekali ya?”
Aku lantas memandangnya dan mengerucutkan bibir. “Ya, begitulah. Tapi, aku berusaha mengatasinya,” jawabku sambil bersedekap tangan. Namun karena gerakan bianggala yang tiba-tiba, aku jadi panik lagi dan harus berpegangan pada besinya. “Devoughn, kenapa bergerak lagi?”
“Tenanglah Jasmine.”
“Aku takut, Devoughn,” bisikku.
“Jangan bergerak-gerak seperti itu, kau membuat bianggalanya semakin berguncang.”
Aku berusaha diam, tapi ketakutan seolah tidak ingin meninggalkan tubuhku. Kemudian dengan gerakan sepelan mungkin, Lee memindah boneka beruang ke tempat duduknya tadi, berikutnya ia duduk di sebelahku. “Tenanglah.”
Entah kenapa tubuhku bergerak sendiri untuk memeluknya. Laki-laki itu membalas pelukanku dan itu membuatku tenang.
Apa aku salah bila memberi kesimpulan bahwa ia juga menyukaiku? Terutama saat ia mengaku tidak ingin ada laki-laki lain melihatku dengan balutan dress merah terang yang telah kupersiapkan untuknya? Kesimpulan itu semakin kuat saat kurasakan bibir serta hidungnya menempel di puncak kepalaku. Berlaianan dengan kinerja jantungku yang tidak pernah bisa berirama normal ketika bersamanya, tubuhku diam selama tiga puluh detik.
Beberapa detik berikutnya rasa penasaran terhadap ekspresi wajah Lee membuatku secara perlahan mencoba mendongak untuk melihatnya. Pandangan kami pun bersirobok.
Kau tahu, aku selalu merasa iris sepekat malam milik Lee Devoughn selalu bisa membuat jantungku berpacu semakin cepat dan cepat. Rambut hitam lurus cepak laki-laki itu diterpa angin dan tanganku berusaha merapikannya. Berikutnya, saat tanganku bergerak sendiri untuk berniat membangkitkan sisi liarnya dengan melepas kacamata itu, petugas membuka pintu bianggala kami. Baik aku dan Lee sama-sama menoleh pada seorang pria dewasa dengan wajah datar mirip Squidward Tentakle yang mengunyah permen karet.
“Apa lagi yang kalian tunggu? Ada banyak antrian di sini,” katanya masih dengan memegangi pintu bianggala untuk mengusir kami. Dengan segera, kulepas pelukanku dan mengambil boneka beruang lantas turun diikuti Lee. Kemudian kami memutuskan untuk pulang.
Musim panas
Michigan, 4 Juni
01.00 a.m.
Hari pertama menginap di rumah grandma Rose, aku tidak bisa tidur. Udaranya sangat panas dan hanya ada kipas angin di langit-langit kamar. Padahal aku sudah mengenakan baju tidur tipis dan mini tetapi masih membuatku berkeringat. Meski demikian, Lea dapat tidur dengan nyenyak usai mengakhiri obrolan kami yang durasinya hampir tiga jam. Lea, penasaran dengan ceritaku, jadi aku mencurahkan semua kejadian bagaimana kencanku dengan Lee di pasar malam, ditemani boneka beruang yang kupeluk ketika menceritakannya.
Berlainan dengan kasur Lee yang sempit, kasur Lea lebih lebar dan kamarnya lebih luas. Berdasarkan apa yang diceritakan Lea padaku, Lee mengatakan kalau perempuan memang membutuhkan kamar yang lebih luas dibandingkan dengan laki-laki sebab barang-barang mereka lebih banyak. Oleh karena itu, Lee mengalah.
Aku menyeka keringat di pelipis dan melihat ke arah jendela. Ingin sekali kubuka tapi takut seseorang masuk lalu menyerang kami. Aku lantas mulai menghitung domba agar bisa terpejam.
Merasa cara itu tidak terlalu efektif, aku duduk secara perlahan dan mengambil ponsel. Mengetik pesan pada Lee apakah ia sudah tidur atau belum. Kupikir karena lama tidak membalas pesanku, kusimpulkan ia sudah tidur. Jadi, aku kembali menghitung domba hingga ke 2371 ekor dan terlelap sekitar pukul satu dini hari.
Pukul empat, Nameeta dan Lea yang melihatku pun berteriak, “Astaga Nona. Ada kantung mata di mata Nona.”
“Benar, kau mirip panda, Jassy.” Lea mempertegasnya. Ngomong-ngomong, aku yang memintanya memanggilku Jassy. Namun kalau di deoan Lee, ia harus memanggilku Miss Maxwell.
“Aku tidak bisa tidur semalam, boleh aku tidur saja?” pintaku dengan posisi tubuh masih lengket di kasur sambil memeluk boneka beruangku.
Lee yang saat itu kebetulan sedang melintasi kamar Lea yang pintunya terbuka pun berhenti dan menyahut, “Kalau begitu, istirahatlah.”
“Benarkah tidak apa-apa?” tanyaku karena tidak yakin.
Lee, Lea, dan Nameeta mengangguk serempak, jadi aku melewati jadwal membantu di peternakan dini hari ini. Namun, hari-hari berikutnya aku rutin membantu. Hingga aku mengutarakan keinginan untuk berkemah satu malam di Redwood.
“Lea, kau akan ikut kan?” tanyaku padanya ketika kami sedang makan malam bersama. Semua orang yang semula memusatkan perhatian padaku kini beralih menatap Lea.
“Em, aku ada latihan band, kau bisa pergi bersama Lee, Miss Iskh dan Mr. Doughlash,” jawabnya sambil melihat Nameeta dan Sebastien secara bergantian.
Karena itulah pagi harinya Sebastien datang membawa perlengkapan kemah yang kuminta. Selain itu aku juga meminta pada supir pribadiku itu berangakat dengan Nameeta menaiki Maserati. Sementara aku memilih naik truk tua bersama Lee.
“Nona, biar kami saja yang naik truk itu, Nona naik mobil ini,” kata Sebastien yang telah berdiri di teras rumah grandma bersama seransel perlengkapanku. Well, Lee memintaku untuk tidak membawa barang banyak karena hanya menginap semalam.
“Ayolah Seb, kau bisa berkencan dengan Nameeta dan aku akan berkencan dengan Lee. Lagipula, aku naik truk itu agar tidak ketahuan paparasi.”
“Tapi Nona—”
“Aku tidak ingin ada protes Nameeta ...,” potongku cepat pada Nemeeta. Lee yang berdiri di sampingku sambil memasukkan kedua tangan dikantung celana jin hanya mengandikkan bahu ringan, beriringan dengan kedua alisnya yang terangkat dan senyum yang dipaksakan. Sebuah tanda bila ia pasrah dengan keputusanku. “Kalian juga boleh berpencar untuk kencan sendiri,” tambahku. Menyertai bisikan dengan mencondongkan badan dan menutupinya menggunakan telapak tangan.
“Mana bisa kami seperti Nona. Bagaimana kalau terjadi apa-apa?” tanya Sebastien yang disetujui Nameeta.
“Tenang saja, aku bersama orang yang tepat,” ucapku sambil malu-malu dan akhirnya ... jadilah aku kemah berdua saja bersama Lee Devoughn!
Musim panas
Michigan, 10 Juni
14.22 p.m.
“Aku baru tahu mereka ada hubungan yang seperti itu,” ucap Lee sedikit berteriak pada saat kami berkendara menuju Redwood. Sesekali ia menoleh padaku yang menikmati terpaan angin.
“Aku pernah melihat mereka berciuman beberapa kali. Dan Sebastien selalu mengekori Nameeta kalau tidak ada kerjaan.”
“Kupikir kau menyukai Sebastien.”
“Aku?! Menyukai Sebastien?!” pekikku sambil menunjuk diriku sendiri dan menghadap laki-laki yang sedang memegang kemudi truk tua ini, “bagaimana kau bisa menyimpulkan seperti itu?”
Lee berdeham beberapa kali dan menggerakkan kepala tanda mencari alasan. Jari telunjuknya bahkan mengetuk-ngetuk stir. “Kau selalu bersamanya, Sebastien juga tahu semua tentang dirimu. Kadang dia juga sering tersenyum padamu. Bukankah dia menyukaimu? Dan kau menyukainya?”
“Jadi, kau cemburu Devoughn? Seperti saat aku memakai dress merah—”
“Aku hanya menebak,” potongnya cepat. “Ekhm, soal dress itu, aku tidak ingin ada laki-laki yang memotretmu diam-diam lalu ... lalu akan ... akan disebarluaskan.”
Aku lantas bertopang dagu menghadap Lee sambil tersenyum. Ia berkilah lagi. Padahal kemarin sudah mengatakannya kalau tidak suka melihatku dilihat laki-laki lain. Kurasa ia pikun. Hehe.
“Jangan melihatku seperti itu, Jasmine. Aku harus konsentrasi ke jalan,” katanya.
“Aku tidak mengganggumu, aku hanya diam saja.” Lee semakin tersenyum lebar dan malu-malu sambil menggeleng. Sedangkan tangannya membelokkan stir mamasuki kawasan Redwood.
Kami memilih bumi perkemahan Gold Bluffs Beach. Menurut apa yang telah dibaca oleh Lee, musim panas seperti ini kemungkinan besar banyak yang mendirikan tenda di sana. Hal itu menjelma nyata saat kami melihat ada sekitar lima tenda beragam warna yang sudah berdiri dengan jarak tertentu. Lee tampaknya mulai khawatir.
“Kau yakin ingin mendirikan tenda di sini?” tanya laki-laki itu tanpa melepas genggaman tangannya.
Aku mengamati sekeliling tanpa melepas kacamata hitam, sedangkan Lee tidak memakai kacamata hitam di hari yang terik ini. Ia hanya bertopi. “Yakin, aku tidak mempermasalahkan mereka.”
“Bagaimana kalau ada yang memotretmu?”
“Aku tidak peduli lagi soal itu Devoughn, aku ingin menjadi diriku sendiri sekarang,” akuku.
“Tapi kau tadi mengatakan pada Sebastien dan Nameeta—”
“Oh! Itu hanya alasan. Ayo kita dirikan tendanya!”
Dasar Lee tidak peka!
Pada akhirnya kami berhasil mendirikan tenda kuning empat puluh menit kemudian, pada saat siang telah menjelang sore. Beberapa orang dari tenda lain berjumpa dengan kami dan aku tidak mempermasalahkannya sama sekali. Namun, Lee selalu berusaha agar mereka tidak terlalu memperhatikan kami.
Malam harinya kami membuat api unggung di tepi pantai dan memanggang ikan serta beberapa sosis kaleng yang dibawakan Sebastien serta Nameeta. Karena sudah malam dan mulai mengantuk, aku ke tenda lebih dulu, sedangkan Lee menunggu di luar. Kudengar ia juga mengobrol dengan beberapa orang.
Lee itu cerdas dan berwawasan luas, jadi ia sama sekali tidak pernah kehabisan bahan obrolan dengan siapa pun dalam berbagai macam topik. Dengan kata lain, ia cocok mengobrol dengan siapa saja. Mungkin Lee tidak menyadari bahwa sebenarnya disitulah letak nilai daya tariknya. Tidak heran juga bila ayah, ibu, dan Trax langsung cocok dengannya. Begitu pula dengan Sebastien dan Nameeta.
Pada detik di mana aku sedang melepas baju hendak menggantinya sesuatu yang lebih hangat, Lee berujar dari luar tenda. “Jasmine, matikan lampu yang di dalam sana!”
Gerakan tanganku yang sudah menggapai pengait bra pun terhenti. “Kenapa? Aku masih membutuhkannya.”
“Matikan saja!” teriaknya.
“Tapi aku masih membutuhkannya.” Aku pun lantas mengabaikan Lee untuk melanjutkan kegiatanku akan tetapi tiba-tiba dikejutkan oleh kedatangan laki-laki itu. “Kyaaa! Apa yang kau lakukan!” teriakku sambil menyilangkan kedua tangan di dada yang sudah tidak tertutupi apa pun.
Lee kontan memejamkan mata dan berbalik. Saat ekor mataku menangkap selimut, aku meraihnya lalu melilitkannya di seluruh tubuhku. Jantungku turut berpacu kencang. Pipiku memanas dengan cepat. Apa ia tadi melihatku?
“Maafkan aku. Just swich off the lamp. bayanganmu ganti baju kelihatan dari luar!”
“Apa?!”
______________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah vote dan komen
See you next chapter teman-temin
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
Repost : 3 Januari 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top