Chapter 2 • Jasmine Maxwell

Selamat datang di chapter 2 • Jasmine Maxwell'POV

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tandai jika ada typo (suka gentiyingin)

Thanks

Happy reading everyone

Hope you like it

❤️❤️❤️

______________________________________________

Jantungku berdebar keras
Iramanya tak beraturan dan suatu perasaan aneh serta asing segera datang menyerbuku kala melihat wajah di balik kacamata itu
-Jasmine Maxwell
______________________________________________

Musim Semi
Michigan, 23 April
13.01 p.m.

Aku benci sekolah. Terutama yang umum. Meski itu yang terbaik di Michigan sekalipun seperti Peart High School, aku tetap membencinya. Aku benci supir saat mengantarku ke sana, seragamnya yang tidak modis, dan yang paling kubenci murid-murid lain mencemoohku hanya karena aku kaya raya. Hei! Lalu sekarang itu salahku terlahir dari keluarga konglomerat? Apa aku bisa memilih terlahir kapan, dari rahim siapa dan dalam keadaan ekonomi seperti apa?

Hanya satu yang membuatku bertahan di sekolah yaitu Lexter Willingstone. Sahabatku sejak kecil dan satu agensi model denganku. Namun sekarang, alasan itu juga harus kandas karena ia yang terlalu populer menjadi banyak penggemar dan akhirnya mereka melakukan bully padaku. Berusaha membuatku jauh dengannya seperti yang baru saja Regina dan dua anteknya lakukan padaku.

Berkali-kali aku meminta ayah untuk home schooling tapi berkali-kali juga beliau menolak dengan alasan, "Nikmati saja masa remajamu di sekolah umum, Sweety. Kau akan bisa menemukan jati dirimu yang sebenarnya di sana. Sekolah umum itu baik untuk pembentukan karaktermu, sering-seringlah bersosialisasi dengan murid lain."

Apanya yang harus dinikmati? Jadi diri apa yang dimaksud ayah jika model adalah satu-satunya jati diri yang sudah terbentuk sedari aku kecil? Lalu, bersosialisasi? Ha! Aku tidak butuh kecuali dengan Lexter dan guru.

Saat itu mungkin pikiranku terlalu sederhana sebab serangkaian kegiatan membosankan di sekolah. Kali ini ada perbedaan. Seorang murid laki-laki asing membelaku. Aku yakin, ia pasti ingin mengambil keuntungan dariku. Dia pikir aku sudi ditolong? Tidak. Bisa kuprediksi masalah ini akan menjadi semakin rumit. Regina bisa saja akan berbalik melakukan bully padanya dan itu jelas merugikanku. Bukan karena aku mengkhawatirkannya. Aku justru mengkhawatirkan diriku sendiri. Mereka sangat berpeluang besar menimbulkan scandal yang akan sangat merugikan karier modelku.

Namun-lagi-lagi aku harus menambahkan kata pengecuilian dalam hal ini-ada sesuatu yang membuatku terusik. Kau mungkin juga sudah bisa menebaknya. Ya, kau benar. Laki-laki itu ketika tanpa mengenakan kacamata.

Harus kuakui ia begitu ... apa ya? Aku tidak dapat menggambarkannya dengan mudah.

Menawan? Mengagumkan? A little bit cute? Or Something kinda good looking?

Aku tidak tahu. Tapi di luar dugaan ia sanggup menyita perhatianku. Sanggup menciptakan suatu perasaan asing yang aneh dan mengganjal. Kemudian secara otomatis tubuhku bergerak di luar kendali otak. Mengambil kacamatanya yang terlempar di sudut koridor dan memakaikannya. Sadar-sadar saat kami bertatapan, aku kembali memasang pertahanan diri dengan sikap antisipasi.

Hal tersebut masih terus berlanjut ketika tanpa sadar aku melamun di depan lokerku dan Lexter datang menghampiri, masih dengan kostum rugbynya-minus helm.

For your information, selain sahabat dan super model, Lexter merupakan kapten tim rugby Peart High School. Wajahnya tampan, bermata biru terang, agak sedikit pirang dengan perawakan tubuh atletis sempurna. Oleh karena itu jangan heran bila ia menjadi most wanted boy di sekolah ini dan Regina bersama dua anteknya merupakan penggemar beratnya.

"Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Lexter yang kini sudah berada tepat di sebelahku. Badannya yang lebih tinggi dariku, membuat laki-laki itu seperti menyebulkan kepalanya di atas pintu lokerku yang masih terbuka.

"Tidak ada," jawabku datar, kembali tersadar untuk mengambil beberapa buku catatan di dalam loker.

"Jassy, kau tidak bisa membohongiku," sanggahnya.

'Jassy' itu memang menjadi sangat spesial baginya untuk memanggilku demikian. Nama kecil yang hanya boleh diucapkan anggota keluarga dan sahabatku.

"Apa karena cemooh orang-orang di sekeliling kita?" Lexter menyapu pandangan di depan loker yang menampilkan beberapa pasang mata tengah terang-terangan melihat sambil mencemoohku. "Jangan terlalu dipikirkan."

Aku memasang wajah datar mirip saat photoshoot. "Apa aku terlihat peduli?"

"Kau benar, kau sudah kebal dengan omongan mereka. Lalu apa yang membuatmu melamun selama lima menit di depan lokermu?"

"Lex, bisa tidak kau mengganti bajumu dulu? Kau bau keringat dan itu menjijikkan." Lagi-lagi aku berkelit. Tidak mungkin akan menceritakan hal yang baru saja terjadi padaku di koridor. Aku yakin Lexter tidak akan menyukainya.

Laki-laki bermata biru terang itu mengendus kaosnya sendiri. Kernyitan alis menjadi pertanda bau keringatnya memang menyebar dan aku tidak sedang membual. Berikutnya hidung mancung itu mendengkus. Sementara aku reflek mengibas tangan lalu menutup hidung sambil mengamatinya.

"Ew! Kau benar-benar bau!"

"Kau benar. Baiklah, aku akan ke loker rugby, sampai jumpa, Jassy," katanya sebelum menghilang di ruangan khusus para pemain rugby.

Saat aku kembali menatap sekeliling. Aku memberikan tatapan tajam yang kuharap menusuk pada murid-murid lain sebelum akhirnya kembali ke kelas biologi.

Musim Semi
Michigan, 23 April
15.05 p.m.

Bel tanda usai pelajaran sekolah telah berbunyi. Para murid berhamburan keluar termasuk aku. Bedanya, mereka berdesak-desakan karena ingin cepat pulang. Mungkin agar tidak ketinggalan bus sekolah. Sementara diriku menunggu kelas sepi terlebih dahulu.

Menjadi yang terakhir dalam kelas setelah mengecek ponsel untuk memeriksa jemputanku, aku pun keluar dan berjalan sendirian menyusuri koridor menuju gerbang. Lexter tidak bersamaku. Ia sudah mengambil kelas biologi tahun lalu karena sekarang sudah senior, sementara aku baru memasuki tahun sophomore-ku[1] di sekolah ini.

Saat beberapa langkah hampir mencapai gerbang, aku mendengar suara langkah kaki yang terburu-buru menyamai posisiku, dan itu Lexter.

Dengan napas terengah, ia bertanya, "Boleh aku mengantarmu pulang, Jas?"

"Tidak terima kasih, mobil jemputanku sudah di depan," jawabku realistis sambil menunjuk kendaraan-yang kata orang-orang mewah, tapi bagiku tidak alias biasa saja-menggunakan dagu.

Lexter membenarkan letak ranselnya dan mencibir. "Lain kali akan kupastikan Mr. Alex akan mengijinkanku mengantarmu pulang sekolah."

"Jika bisa," tukasku datar dan singkat kemudian memisahkan diri dari sahabatku.

Sebelum mencapai pintu mobil yang sudah di bukakan oleh supir pribadiku, Lexter berteriak, "Aku akan berusaha keras Jas!"

"Selamat mencoba, sampai jumpa Lexter," ucapku sebelum menghilang masuk mobil.

Selewat beberapa menit, ketika mobil yang kutumpangi sudah melaju, tiba-tiba bus sekolah warna kuning menyalip dan mataku yang sedang menatap luar jendela menangkap seseorang yang tidak asing dalam bus tersebut. Walau hanya terlihat dari samping, tapi aku begitu yakin itu adalah ...

Si culun ...

Entah kenapa mengingat wajah tanpa kacamatanya jantungku berdebar keras lagi. Ada perasaan aneh dalam perut yang membuatku sedikit mual. Padahal seharusnya pikiranku bekerja menyimpulkan kebenaran status sosial si culun itu dan alasan ia membelaku tidak lain hanya untuk meraih keuntungannya sendiri.

Untuk mengalihkan pikiran dan perasaan tersebut, aku segera mengambil ponsel dan menelepon asisten yang mengatur seluruh jadwal photoshoot-ku. Pada dering ketiga ia mengangkatnya. Namun sebelum menyapa, aku lebih dulu berbicara. "Apa jadwalku hari ini?"

Aku yakin mendengar suara dengkusan di seberang telepon. "Hari ini tidak ada jadwal, kau bisa langsung pulang dan istirahat, tapi tiga hari lagi akan ada pemotretan untuk koleksi musim panas brand Dorothea bersama Lexter di luar kota. Dan kita akan berangkat subuh," jawabnya.

"Urusi semua surat izinku."

Kemudian aku langsung menutup sambungan telepon tanpa perlu repot-repot mendengar jawabannya. Atau mungkin umpatannya karena atitute-ku-yang selalu ia keluhkan.

Sekitar lima belas kemudian, mobil yang kutumpangi telah sampai di pelataran estate orangtuaku. Saat turun dari mobil, orang yang pertama kali kujumpai selain beberapa maid, adalah ayahku yang sudah menunggu di foyer depan.

Tidak biasanya dad pulang lebih awal. Batinku bertanya-tanya. Ada apa sebenarnya?

Sibuk menerka-nerka pikiranku sendiri, tidak butuh waktu lama, ayah menjawab semua pertanyaanku. "Sweety, masuklah ke ruangan Dad, ada yang ingin Dad bicarakan padamu."

"Di saat aku baru saja pulang sekolah? Are you kidding me? Dad? Aku bahkan belum ganti baju." Aku menunjuk seragam Peart High School, lebih tepatnya pada blazer warna marunnya.

Ayah mengatubkan bibir rapat-rapat dengan mata yang sejenak terpejam sebelum akhirnya menjawab pertanyaanku. "Sebenarnya Dad sedikit sibuk hari ini, tapi meluangkan waktu untukmu, Sweety, tapi baiklah, gantilah bajumu dulu lalu masuk ruang kerja Dad."

Aku mengendikkan bahu ringan. Selain berjalan ke kamar nuasa scandinavian untuk mengganti baju kemudian segera ke ruang kerja beliau, juga berusaha memahami dan tidak protes ketika orangtuaku selalu sibuk. Datang-datang pada kedua anaknya hanya singgah sebentar kemudian kembali berkutat dengan pekerjaan lagi. Kembali menambah pundi pundi-pundi dollar dengan alasan demi masa depan kami.

Untuk beberapa alasan, aku tidak ingin menjadi remaja dengan pemikiran kekanakan, jadi aku akan mengambil satu segi positif dari ini. Bahwa ayah sudah meluangkan waktunya untukku di tengah jadwal yang sibuk mengalahkan presiden Amerika.

"Bagaimana harimu di sekolah?" tanya ayah ketika melihatku masuk ruang kerja beliau tanpa mengetuk pintu.

"Biasa saja."

Ayah mengangguk sejenak. "Begitu ... oh ya mulai besok akan ada guru private untuk mengajarimu belajar setelah pulang sekolah."

"Lagi?" Aku bertanya dengan nada tak percaya. Pasalnya ini bukan untuk yang pertama kali, tapi sudah yang ke seratus kali. Atau mungkin keseribu kali.

"Jangan memecat guru private-mu lagi kali ini Sweety!" Tiba-tiba saja, ayah membaca pikiran dan gelagatku. Mengingat sudah kesekian kali aku memang seenak jidat memecat mereka.

"Mereka tidak memiliki kemampuan mengajar yang baik, lalu apa gunanya menjadi guru private-ku?!" Aku menjabarkan alasan tidak realistis. Padahal bukan itu alasan utamanya. Aku hanya berpikir mereka sangat membosankan. Tidak mampu membangkitkan semangat belajarku.

Beliau memijat kepalanya yang mungkin sudah dilanda pusing. "Tidak, kali ini kau tidak bisa memecat guru private-mu. Dad sudah meminta kepala sekolahmu memilih murid senior dengan nilai terbaik untuk menjadi guru private-mu. Jadi hanya Dad yang bisa memecatnya."

Aku mencelos. "Aku tidak tahu kalau Dad bisa selucu ini." Mengingat para guru private yang sebelumnya mengajarku kebanyakan sudah menempuh pendidikan tinggi saja kupecat. Apa lagi hanya seorang murid biasa. Menggelikan. Mana mungkin dia mampu meningkatkan semangat belajarku.

"Dad hanya berpikir, mungkin teman sebaya denganmu lebih baik dan mungkin lebih membuatmu merasa nyaman untuk belajar daripada orang yang lebih tua darimu. Oh! Dan mungkin dia bisa menjadi temanmu."

"Lexter juga senior dan dia sudah menjadi temanku sejak kecil."

"Bocah itu hanya pintar olahraga dan bergaya di kamera."

"Tidak, dia mendapatkan nilai B plus pada mata pelajaran aljabar."

"Ada yang lebih baik dari B plus Sweety ... lalu bagaimana dengan pelajaran yang lain?"

Aku mengendikkan bahu ringan.

"Jadi jangan memecat guru private-mu kali ini."

"Aku tidak janji tidak akan memecatnya, semua tergantung cara mengajarnya Dad. Lagi pula aku sudah memiliki Lexter sebagai temanku, jadi aku tidak butuh teman yang lain."

Ayah menurunkan tangan dari pelipis kemudian menatapku yang duduk di sofa seberang beliau dalam ruang kerja ini.

"Sweety, kau butuh banyak teman, tidak hanya Lexter. Itulah sebabnya Dad tidak menurutimu home schooling. Dad ingin kau bergaul dengan orang-orang di sekolah umum. Itu akan membentuk karaktermu dan akan memeperluas kehidupan sosialmu."

Sudah kukatakan bukan? Ayah selalu mengatakan ini padaku. Aku sebenarnya ingin membantah bawah itu semua hanya omong kosong belaka. Karena kenyataannya mereka selalu mencomoohku dan berkomentar seenak jidatnya, serta sifat-sifat buruk lain yang sudah muak untuk kusebutkan.

Maka dari itu bukankah home schooling lebih aman? Tidak perlu khawatir akan dikejar paparazzi?!

Namun ayah tidak memberiku kesempatan karena sudah meninggalkan ruangan lebih dulu ketika ponsel beliau bergetar.

Astaga hari ini benar-benar sialan! But let see will be, Dad! Aku akan memecatnya bahkan sebelum ia menginjakkan kaki di estate ini!

Musim Semi
Michigan, 24 April
12.00 p.m.

"Kau pasti bercanda Jas," ucap Lexter Willingston ketika baru saja mendengarku berkeluh kesah tentang perintah ayah dan niatku untuk bertanya pada kepala sekolah tentang murid yang dimaksud beliau, di tengah kantin yang berisik.

"Tidak, aku benar-benar akan menemui kepala sekolah setelah menghabiskan salad dan infuse water-ku."

Fyi, aku dan Lexter tidak pernah mengantri untuk mendapat makan siang di kantin karena selalu membawa bekal sendiri. Kau tahu bukan? Sebagai seorang super model tentu harus menjaga berat badan. Sedangkan kantin biasanya tidak mengukur kandungan kalori pada setiap makanan yang disajikan, jadi itu tidak bisa kami makan. Tapi lagi-lagi tindakan kami di salah artikan sebagai bentuk kesombongan.

Ya sudah, aku juga tidak ingin meladeni mereka dengan bantahan. Lagi pula ini sudah tahun keduaku di sekolah ini, jadi aku sudah sangat-sangat terbiasa dengan hal tersebut.

"Kau gila Jas," tanggap Lexter sambil menggelengkan kepalanya. "Pecat saja dia saat di estate-mu. Kenapa perlu repot-repot menanyakan itu pada kepala sekolah?"

"Oh ayolah Lexter, kau tentu tahu alasanku melakukan hal ini. Tidak mungkin aku mengizinkan murid lain datang ke estate. Aku tidak ingin mengambil risiko. Kadang aku juga tidak mengerti jalan pikiran dad, kenapa beliau begitu tidak bisa mengantisipasi sesuatu? Bagaimana jika murid itu mengumbar apa yang ada di estate-ku? Bahkan mencuri? Bahkan yang lebih parahnya lagi membuat scandal tentangku karena merasa hebat bisa menjadi guru private super model sepertiku?"

"Kau berlebihan. Dan kurasa apa yang di katakan Mr. Alex benar, Jas. Kau harus mulai memercayai seseorang. Selain aku, kau juga harus bergaul dengan teman yang lain. Atasi rasa paranoidmu itu."

"Tidak, mereka semua oportunitis Lex."

"Tidak semuanya Jas, asal kau tahu itu!" Sahabatku itu mencomot saladku sedikit kemudian bergumam. "Pantas saja kau tidak memiliki kekasih Jas. Memang semua mata lelaki di ruangan ini melirikmu. Tapi kau seperti membentengi dirimu."

"Whatever, aku hanya tidak ingin ada scandal."

Setelah menghabiskan menghabiskan bekal makanan, aku menemui kepala sekolah, dan kau tahu apa yang di katakan beliau?

"Maafkan aku, Miss Maxwell, ayahmu melarangku memberitahukannya padamu."

What the ....

______________________________________________

[1] Sistem pendidikan sekolah menengah atas (SMA) di Amerika ditempuh selama empat tahun. Ada pun sebutan-sebutan tingkatan tahunnya yaitu : tahun pertama disebut freshman, tahun kedua disebut sophomore, tahun ketiga disebut junior dan tahun keempat atau terakhir disebut senior.

______________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote dan komen

See you next chapter teman temin

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

11 September 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top