Chapter 13 • Lee Devoughn
Selamat datang di chapter 13
Tinggalkan jejak dengam vote dan komen
Thanks
Happy reading everyone
Hope you like it
❤❤❤
_____________________________________________
Oke Lee, saatnya bangun
Kau tidur terlalu nyenyak dan bermimpi terlalu tinggi
—Lee Devoughn
_____________________________________________
Musim semi
Michigan, 29 April
12.00 p.m.
Berlainan dengan kebiasaan, aku tidak menyangka kalau jam istirahat sekolah adalah sesuatu yang kutunggu-tunggu. Kau tahu kenapa? Karena aku ingin melihat Jasmine di kantin. Terhitung dua hari lalu semenjak ia mengunjungi, memeluk dan kami sempat berciuman, pikiranku tak pernah benar-benar lepas dari gadis itu sepenuhnya.
Setiap kali melakukan sesuatu, aku membayangkan ia tersenyum, marah, dan yang paling membuatku gila adalah wajah merah meronanya sewaktu kami berciuman. Ingin sekali kubenturkan kepala ke dinding untuk membedakan hari itu kalau aku sedang berhalusinasi atau Jasmine memang nyata berciuman denganku.
Hatiku tidak tenang karenanya. Meski sangat ingin bertemu dengannya, aku juga bingung bagaimana harus berhadapan dengannya nanti. Meminta maaf tentang ciuman itu—tapi aku sama sekali tidak menyesal telah melakukannya—atau bersikap tidak pernah terjadi apa-apa agar ia selalu nyaman berada di dekatku.
Mencoba menepis pikiran-pikiran itu, aku membereskan semua buku-bukuku yang tersebar di meja dengan cepat. Selayang pandang kulirik Helena yang duduk agak jauh dariku dan sudah melesat keluar. Oh ya, sejak cucu grandma Rose itu mengetahui kunjungan Jasmine di peternakan, ia terus-terusan bersikap kesal terhadapku. Lagi-lagi aku tidak mengerti. Malah, sekarang aku sudah tidak memedulikan hal itu sebab Jasmine Maxwell memenuhi pikiranku.
Aku menggerakkan tubuh ke kantin dan seperti biasa sedang mengantri makanan dengan nampan stenlis. Begitu mendapatkannya, aku memilih meja yang biasa kutempati bersama Helena di ujung. Kulihat ia sudah duduk di sana sendirian.
“Apa aku boleh bergabung dengamu?” Aku meminta izin pada perempuan berambut pirang yang dulu selalu menampilkan wajah ceria bila berdekatan denganku. Sekarang sudah tidak lagi.
“Silahkan. Ini tempat umum, jadi terserah kau saja.”
Bunyi nampan stenlis yang membentur meja menjadi pertanda jawabanku pada Helena. Burger dan kentang yang menjadi menu andalan kantin ini segera menjadi sasaran mulutku sebab perutku sudah meronta. Aku juga mengeluarkan salah satu buku mata pelajaran yang akan dimulai usai istirahat. Hobiku yang satu ini kadang sulit kukendalikan. Jadi sembari mengunyah kentang, aku mulai membuka lembar per lembarnya serta membacanya dalam hati.
Beberapa saat kemudian, di tengah berisiknya kantin, aku mendengar Helena yang duduk di depanku mendengkus keras. “Kenapa kau masih membaca di saat makan?” tanyanya.
Tanpa memindah fokus dari buku sembari membenarkan letak kacamatku, aku menjawab, “Membaca itu memberi kita pengetahuan Helena. Aku senang melakukannya. Ngomong-ngomong, aku juga senang kau sudah mau berbicara denganku lagi.”
“Kau senang bisa mengobrol denganku lagi tapi kenapa tidak melihatku sewaktu bicara padaku? Kupikir kau tidak akan pernah berusaha meluluhkanku setengah-setengah Lee. Atau memang buku itu lebih menarik daripada mengobrol denganku?”
Helena benar. Ia berhasil menarik perhatianku penuh kali ini. Aku menelan kentang goreng lalu tersenyum. Baru akan mendongak untuk menatapnya ketika suara grasak-grusuk kantin yang menandakan Jasmine Maxwell datang lebih dulu menyita perhatianku. Jadi bukannya melihat Helena, mataku malah menjelah mencari Jasmine sesuai dari sumber selentingan-selentingan yang kudengar.
“Itu dia si Sombong.”
“Tidak biasanya dia sendirian. Di mana Lexter?”
“Apa mereka bertengkar? Oh ya ampun, tidak kusangka kalau benar, itu berita yang bagus. Lexter jadi bisa kudekati dengan mudah.”
“Jasmine cantik sekali, bagaimana kalau kuajak kencan?”
“Aku bertaruh 50 dollar untukmu.”
Tidak dapat kupungkiri jika kalimat terakhir yang kudengar dari segerombolan laki-laki di seberang mejaku membuatku meradang. Ingin sekali kulayangkan tinju pada wajah-wajah mereka. Namun aku tidak bisa melakukannya.
Tiba-tiba pandanganku berhenti pada satu titik. Jasmine Maxwell berjalan sendirian dari arah depan menuju mejaku. Di tangan kanan gadis itu memegangi kotak makan lengkap dengan botol minum yang masih penuh. Jantungku kontan berdebar keras. Aku tidak bisa menghentikan diriku sendiri mengabaikan jawaban yang akan kuberikan pada Helena sebab perhatianku kuarahkan penuh pada Jasmine. Serta hatiku bertanya-tanya. Benarkah ia berjalan kemari? Aku tidak yakin. Ia sedang menatapku kan?
“Dia kemari Jeff, kau harus mengajaknya berkencan.”
Kudengar lagi suara dari salah seorang gerombolan laki-laki tadi.
“Siapakan uangku,” balas laki-laki yang dipanggil Jeff oleh temannya tadi.
Namun sebelum niat Jeff dan lain-lain terlaksana, Jasmine sudah duduk. Tidak semeja denganku, tapi posisi meja itu persis di sebelah mejaku. Lalu Lexter—yang tidak kudeteksi kedatangannya—segera menyusul.
“Jassy ... bicaralah padaku. Jangan mengabaikanku seperti ini, aku minta maaf. Kenapa dari kemarin lusa kau begini?”
Aku yakin seribu persen kalau semua penghuni kantin sedang fokus pada dua sosok yang begitu mencolok dan tampak serasi bersama di meja seberangku. Aku tahu aku memang tidak tahu diri kalau aku begitu tidak menyukai gagasan yang baru saja kubuat sendiri. Meski itu benar.
“Jassy ....” Lexter yang masih berpakaian rugby tanpa helm serta terdapat noda-noda lumpur di sekitar jersey yang ia kenakan, merengek menarik-narik lengan Jasmine. Rasanya aku meradang. Tanganku yang masih memegang lembaran buku kontan kututup kencang sehingga Helena kaget.
“Ada apa denganmu Lee?” tanyanya. Namun aku mengacuhkannya dan terus mengawasi gerak-gerik dua orang itu. Selayaknya seluruh penghuni kantin saat ini.
“Lex, berhentilah. Aku tidak suka kau mempermalukan diri kita seperti ini,” ucap Jasmine dengan suara tegas dan penuh penekanan. Dari samping, wajahnya tampak sangat serius karena kerutan alis cantiknya sudah berkumpul menjadi satu.
“Tidak, sampai kau memaafkanku. Aku tidak peduli pada mereka.” Lexter masih tidak gentar dengan omongan Jasmine. Bisa kulihat dari tempatku duduk, Jasmine berusaha menyentak tangan Lexter yang melingkari pergelangan tangannya yang kurus. Namun tentu kekuatannya tidak sebanding dengan kekuatan kapten tim rugby itu.
“Lex hentikan,” kata Jasmine masih menggunakan nada rendah. “Pergilah mandi di ruang rubgy, kau bau lumpur. Kalau kau ingat aku ingin makan siang.”
“Tidak Jassy, kau sudah menunda menuntaskan permasalahan ini kemarin. Kau bahkan juga tidak mengangkat teleponku. Kenapa kau masih ingin menundanya lagi?” rengek laki-laki yang menjadi incaran murid perempuan itu.
“Mandilah dulu. Setelah itu kita bicara. Tapi tidak di sini,” jawab Jasmine.
Aku penasaran—mungkin juga semua orang—tentang permasalahan mereka. Apakah sama dengan yang gadis itu ceritakan padaku menjelang tidur?
“Tidak mau, aku ingin kita selesaikan ini sekarang. Apa susahnya memaafkan orang? Kau tahu kan Jassy, kemarin malam aku sedang mabuk.”
Oh, ternyata sama.
“Lalu sekarang? Kau sedang tidak mabuk kan?” tanya Jasmine masih sambil mencoba melepaskankan diri dari laki-laki berambut pirang itu. Lexter menggeleng cepat. “Berarti kau sama saja Lex,” tambah gadis itu.
“Jassy, aku mohon.”
“Aku tidak mau Lex, kau sama saja! Sudahlah. Kau membuatku tidak nafsu makan.” Ketika Jasmine berusaha berdiri, Lexter menarik tubuh kurusnya untuk duduk lagi. Aku kontan berdiri sebab melihat Jasmine memekik kesakitan akibat sentakan itu.
“Hei, dia bilang tidak mau, bisa kau tinggalkan dia saja? Jangan kasar terhadap perempuan.”
“Lee! Apa yang kau lakukan? Apa kau sudah gila?!” desis Helena. Saat itulah aku sadar dengan kesalahan yang kubuat. Rasanya aku ingin meninju diriku sendiri sebab sekarang perhatian semua orang beralih padaku. Termasuk Jasmine yang melotot sambil mengusap pergelangan tangan bekas cekalan Lexter yang sudah memosisikan diri berdiri di hadapanku.
“Apa yang baru saja kau katakan?” tanya Lexter dengan wajah geram. Sedetik kemudian mencengkram bagian depan blazer-ku dan meninju sudut bibiku keras sekali hingga rasanya telingaku berdengung.
Bugh!
“LEXTER! Apa yang kau lakukan padanya?!” teriak Jasmine saat aku terhuyung ke belakang. Beruntungnya bisa menyeimbangkan badan sehingga kembali tegak berdiri pada kedua kakiku. Kacamataku jatuh entah ke mana. Aku refleks memegangi sudut bibir yang ngilu sebab merasakan sesuatu sedang mengalir di sana. Aku tahu ini, bau anyir darah. Sudut bibirku berdarah.
Helena langsung menghampiriku, “Lee kau tidak apa-apa?” tanyanya khawatir.
Saat aku berjongkok hendak mencari kacamataku sebuah tangan meraih bagian depan blazer-ku lagi dan aku yakin itu adalah Lexter. “Berani-beraninya kau ikut campur! Siapa kau?! Berusaha mengguruiku?!” teriak laki-laki itu yang membenarkan asumsiku.
“Wilingstone! Hentikan! Someone please calling Mr. Dughan!” teriak Helena pada semua orang.
Semar-samar kulihat Jasmine segera menyusul dan menarik-narik tangan Lexter. “Lex hentikan! Lepaskan dia!” pekiknya tepat di telingaku.
“Oh, Jassy jadi sekarang kau berusaha menyelamatkannya setelah dia berusaha sok mengguruiku?” tanya Lexter yang masih memegangi bagian depan blazer-ku dan aku mencoba melepaskannya juga.
“Apa kau sinting Lex?! Ini tentang reputasiku!” pekik Jasmine. “Lepaskan dia! Kau mempermalukanku!”
Aku tersenyum kecut. Merasa miris serta ironis mendengar ucapan Jasmine. Kupikir ia akan menyelamatkanku karena peduli denganku. Ternyata ia hanya menyelamatkan reputasinya sendiri. Sama halnya ketika ia melakukkannya pada awal perjumpaan kami.
Kenapa aku jadi sedih? Rasanya aku ikhlas mendapat pukulan lagi dari Lexter agar diriku sadar bahwa berharap mendapat respons dan kepercayaan dari Jasmine adalah mustahil.
Lalu apa artinya tidur pelukan dan ciuman kami? Apa hanya aku saja yang bahagia dan gila karenanya? Apa karena Jasmine sering pemotretan bersama rekan model—dan kemungkinan besar sudah sering pelukan atau ciuman dengan mereka—jadi ia tidak menganggap semua hal tersebut? Kenapa membayangkannya saja sudah membuat seluruh hatiku meradang?
Sadar diri Lee, bagaimana tampangmu, statusmu dan perbedaan besar itu. Hatiku pun mengejek.
“Kau bilang reputasi Jass? Ok, karena itu sudah rusak, jadi tidak ada salahnya kan meninjunya lagi? Aku sedang kesal sekarang!” pekik Lexer.
Saat laki-laki yang tinggi tegap itu akan melayangkan satu kupulannya padaku, Mr. Dughan datang dan memekik, “Hei?! Apa yang kalian lakukan?!” Guru disipliner itu lantas berusaha mengurai tangan Lexter dari blazer-ku. “Kalian bertiga, ikut bersamaku ke ruang kepala sekolah! Tapi sebelumnya, kau pergi ke ruang kesehatan dulu. Obati lukamu itu, lalu pergilah ke ruang kepala sekolah setelahnya,” ucap pria berkepala plontos itu padaku.
Meski nyeri, rasa sakitnya bisa kutahan, jadi aku mengatakan pada Mr. Dughan kalau aku baik-baik saja.
“Obati dulu saja, aku juga tidak akan mulai mengintrogasi kalian kalau belum lengkap,” jawab Mr. Dughan.
Entah dari mana Helena berhasil menemukan kacamataku dan memberikannya padaku saat Mr. Dughan menggiring Jasmine yang sempat melirikku sekilas serta Lexter yang berwajah lebih geram dari tadi ke ruang kepala sekolah. Sedangkan Helena sendiri mengikutiku ke ruang kesehatan.
Musim semi
Michigan, 29 April
12.20 p.m.
Dokter ruang kesehatan sekolah membersihkan luka menggunakan cairan infus lalu memberiku betadine. Penanganannya cepat sehingga aku bisa segera menyusul Jasmine dan Lexter di ruang kepala sekolah.
Helena yang sedari tadi mengekoriku bertanya, “Apa yang kau pikirkan ketika melakukannya Lee? Kau tidak tahu badan Lexter Wilingstone lebih besar darimu dan dia sedang emosi?”
Aku diam seribu bahasa mendengar omelan Helena yang lain.
“Lihat sekarang apa yang terjadi padamu?! Kau terluka! Aku katakan sekali lagi, jangan pernah berhubungan dengan mereka lagi. Kecuali kau sedang mengajar Jasmine Maxwell.”
Aki tidak suka Helena berkata seperti itu sama halnya ketika ia menghina Jasmine sewaktu akan pulang dari peternakan. Namun aku juga tidak membalas kata-katanya sebab pintu ruang kepala sekolah sudah berjarak seperempat kaki dariku. Jadi aku berpamitan padanya. Helena pun segera pergi.
Kuketuk pintu cokelat tua. Suara berat dan berwibawa milik kepala sekolah memintaku masuk dan duduk bersama dengan Jasmine serta Lexter.
“Jadi, apa masalah kalian?” tanya kepala sekolah disertai Mr. Dughan yang mondar-mandir sambil melipat tangan di dada, dekat meja pemimpin tersebut.
“Dia yang mulai, bukan Lexter,” jawab Jasmine datar.
Aku ternganga sambil memutar kepala melihatnya. Sedangkan Lexter yang juga sama terkejutnya denganku dan sama-sama menghadap Jasmine pun mulai tersenyum.
“Jadi kau senang diperlakukan kasar olehnya?” celetukku.
“Itu urusanku dengan Lexter. Kau tidak berhak ikut campur. Dan aku tidak butuh bantuan apa pun darimu.”
“Benar,” jawabku sambil mengangguk dan tersenyum kecut. Rasanya ada nyeri di ulu hati ketika Jasmine mengatakan hal itu. Oke Lee, saatnya bangun. Kau tidur terlalu nyenyak dan bermimpi terlalu tinggi, dalam benakku mengingatkan. “Jadi itu salahku karena ikut campur, Sir.”
“Anda dengar sendiri kan? Permasalahannya selesai, Sir,” tanggap Lexter.
Kepala sekolah mengembuskan napas. Kedua tangan besar beliau yang di letakkan di meja saling menggegam. Semua pandangan tertuju pada pemimpin lembaga belajar ini. Begitu pula Mr. Dughan yang sudah menghentikan kegiatan mondar-mandirnya dan sudah mengurai lipatan tangan di dada.
“Baiklah, Mr. Wilingstone ... kau boleh kembali ke kelas. Tapi kusarankan sebaiknya kau mandi dulu di ruang rugby, aku yakin Mrs. Malvin tidak akan keberatan kau terlambat masuk kelasnya karena hal itu,” ucap kepala sekolah tegas. Menatap Lexter lurus-lurus kemudian melihat Jasmine. “Dan kau Miss Maxwell, kau juga boleh kembali ke kelas.” Tatapan itu lantas berpindah padaku. “Mr. Devoughn tetap di sini.”
Laki-laki berambut pirang itu lantas beranjak dari duduk. Sebelum resmi melesat keluar, ia melirikku dengan tatapan puas. Seperti berkata ‘Lihat, jangan mulai bermasalah denganku. Kau membela Jasmine tapi dia membelaku’ lalu menatap gadis bermata hijau safir tersebut.
“Kenapa kau tidak keluar Jass?” tanya Lexter.
“Aku ingin tahu hukuman apa yang akan dia dapatkan. Kupikir harus sesuai,” jawab Jasmine enteng.
Sekali lagi Mr. Dughan dan kepala sekolah menatap gadis itu kemudian mengangguk. Lalu memerintah kembali pada Lexter agar bergegas mandi.
Usai pintu tertutup rapat, Jasmine memulai pembicaraan. “Jangan katakan pada ayahku. Sebagai gantinya aku bersedia dihukum bersamanya.”
“Apa? Kau bercanda?” tanyaku implusif yang kuyakini mewakili kepala sekolah dan Mr. Dughan.
“Tidak,” jawabnya datar sambil menatapku. Meski secuil dan selayang pandang, aku yakin gadis bersurai cokelat gelap bergelombang itu tersenyum. Bukan jenis yang meremehkan atau smirk smile tak ramah andalannya. Melainkan senyum malu-malu. Sampai-sampai ia harus mengatubkan bibirnya rapat-rapat. Mungkin ia tidak ingin senyum itu terbaca olehku atau semua orang yang ada di ruangan ini.
Jasmine kembali menatap kepala sekolah dan bertanya, “Setelah kupikir-pikir itu juga salahku karena tidak bisa menghentikan Lexter. Jadi, apa hukuman bagi murid yang menyebabkan perkelahian?”
____________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah vote dan komen
See you next chapter teman temin
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
Repost : 1 Januari 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top