Chapter 11 • Lee Devoughn

Selamat datang di chapter 11

Tinggalkan jejak dengam vote dan komen

Tandai jika ada typo

Thanks

Happy reading everyone

Hope you like it

❤️❤️❤️

___________________________________

Membanggakan rasanya bila bisa menjadi sesuatu yang bisa dimintai tolong oleh Jasmine
Rasanya seperti bisa diandalkan
Lee Devoughn
___________________________________

Musim semi
Michigan, 27 Arpil
04.30 a.m.

Truk pick up yang membawa kami telah kuparkir di depan peternakan. Mematikan mesin sambil melepas seatbelt, aku melihat Jasmine dan kembali bertanya, “Apa kau yakin?”

Gadis cantik itu menatapku dengan raut wajah kesal. Oh ayolah. Kenapa aku selalu membuatnya kesal? Ke mana wajah bidadari turun dari surganya semalam saat tertawa? Aku harus bagaimana agar ia tertawa lagi seperti itu? Apa aku perlu menjadi badut yang lucu dulu?

“Kita sudah sampai di sini Devoughn,” jawabnya lalu ikut meraih seatbelt yang membelit tubuh kurusnya.

Kau tahu kan aku hanya takut akan banyak hal? Seperti, Helena—yang secara ajaib kulupakan keberadaannya semalam—akan lebih marah padaku bila Jasmine kuajak kemari. Aku kadang merasa aneh pada cucu grandma itu. Kenapa ia seperti sangat membenci Jasmine ketika aku menceritakannya? Seolah-olah Jasmine memang sangat jahat yang berpenan sukses merusak mood-nya.

Kemudian, aku juga mengkhawatirkan orang-orang peternakan. Terutama Mrs. Brighton. Meski kuakui pekerjaan memerah susu sangatlah cekatan, tapi wanita seumuran grandma itu sangat suka bergosip. Bagaimana kalau beliau memberitahu para tetangga tentang keberadaan Jasmine di sini? Aku tidak yakin mampu mengatasinya. Namun Jasmine sepertinya sudah berpikir masak-masak tentang keputusannya ikut kemari.

Kau tahu, bila kuperhatikan dan kuamati, kadang ia jauh lebih bisa mengantisipasi seuatu. Tidak seperti diriku. Namun, aku juga ingin membangun kepercayaan padanya bahwa semua rahasianya aman bersamaku dan aku bisa diandalkan. Aku tahu serta sadar otakku sudah melenceng akibat ia memelukku. Bailklah. Ralat. Aku juga balas memeluknya sewaktu tidur. Aroma rashberry bercampur bergamot tidak hanya mengendalikan tubuhku, tapi juga otakku.

Lalu bagaimana mungkin aku bisa menjadi orang yang bisa ia andalkan kalau tidak bisa mengondisikan diriku sendiri? Itulah yang menjadi kewajiban diriku untuk menjawabnya.

Brak!

Aku menoleh ke samping karena suara pintu kendaraan tua ini yang ditutup oleh Jasmine. Memang harus lumayan kencang seperti itu.

“Jadi, kau akan turun atau tidak?” tanya gadis bersurai cokelat gelap yang terlihat berkacak pinggang di depan pintu.

Aku pun lantas bergegas meluncur dari mobil. Berjalan ke arah belakang, megambil dua buah katelpak dan dua pasang boots kemudian memutari truk tua ini untuk berdiri sejajar dengan Jasmine yang saat ini menyapu pandangannya ke seluruh peternakan. Rambutnya yang diterpa angin ramah membuat untaian gelombang itu seperti menari. Dari arah timur, cahaya fajar yang menerpa wajah cantik itu membuatnya lebih memesona. Tidak heran sosoknya bisa menjadi model. Ia photogenic. Aku pasti masih betah berlama-lama memangdanginya jika bukan karena suara ayam jago yang berkokok mengambil alih kesadaranku lebih cepat.

Membenarkan letak kacamata, aku mengikuti pandangan Jasmine yang mengarah ke kandang sapi tipe tunggal mirip istal kuda tapi penyekat yang terbuat dari besi tidak tinggi. Bagian depannya ada bak tempat pakan dan minum. Kandang-kandang itu sendiri saling berjajar dan berhadapan, ada pula yang saling berjajar serta membelakangi. Jarak antara bagian yang saling membelakangi terdapat sebuah selokan untuk menampung kotoran sapi yang kemudian akan bermuara pada sumur. Kegunaannya untuk gas dan juga pupuk kandang (organik). Sedangkan pada jarak tiap-tiap kandang tunggal sapi terdapat keran yang berfungsi untuk memandikan sapi dan mengaliri kotorannya ke selokan.

Karena matahari belum muncul sepenuhnya, lampu-lampu yang menerangi kandang terbuka beratap tersebut masih dibiarkan menyala dan tampaklah beberapa pekerja sedang memandikan sapi dengan selang dan sikat bulu sebelum memerah susunya.

“Bagaimana menurutmu? Apa kau masih ingin ke sana?” Aku bertanya pada Jasmine yang saat ini tengah sibuk membenarkan rambutnya.

“Tidak buruk. Aku tetap akan ikut kau ke sana.”

Gelombang kejut segera menyerbuku akibat jawaban itu. “Benarkah?” tanyaku implusif.

Jasmine lantas memandangku. “Ya. Aku pernah pemotretan di tempat berlumpur dan aku harus bermain dengan lumpur. Jadi apa masalahnya di sini?”

“Benarkah?” ulangku.

“Tanyakan saja pada adikmu!” pekiknya sembari memukul pelan dada kiriku sebelum berjalan meninggalkanku menuju pintu utama kandang.

“Miss Maxwell, tunggu. Pakailah ini,” kataku yang berusaha menyamai langkah sembari mengulurkan sebuah katelpak beserta boots karet pada Jasmine. Gadis itu pun menerimanya lantas mengenakannya sama seperti aku.

“Jadi kau membantu nenek bekerja di sini setiap hari?” tanya Jasmine ketika mengikutiku berjalan ke arah deretan sapi di sebelah timur.

“Panggil saja grandma Rose. Dan ya waktu belum jadi guru private-mu aku membantu grandma di sini setiap pagi dan sore.” Ketika kami melewati selokan, aku memperingatkan Jasmine. “Hati-hati. Perhatikan langkahmu.”

Tidak lucu kan kalau ia terpeleset?

Tanpa kuduga, Jasmine melingkarkan tangannya di lenganku. Gadis itu tergolong takut pada hal-hal kecil seperti naik dan turun dari tangga rumah grandma. Aku harus memeganginya. Alasan Jasmine yang baru ia ceritakan pagi ini, tangganya curam. Ia takut penghubung antara lantai satu dan dua itu akan patah atau retak saat diinjak karena kayunya terlihat lapuk.

Well, tanpa menunggu perintah dari otak, tubuhku mengabil alih untuk memegangi tangannya yang masih melingkari lenganku dan menuntunnya melangkah lebar melewati selokan itu.

Sekitar dua menit kemudian, kami tiba di depan kandang sapi tempat di mana grandma dan Lea yang saat itu tengah berdiri sambil meletakkan hasil susu di bagian tepi kandangnya. Namun aku tidak melihat Helena.

“Grandma, maaf aku terlambat,” ucapku pada grandma Rose yang masih menunduk. Sementara Lea begitu tercekat tetapi sudah kukode untuk diam. Jasmine pun sudah melepaskan diri dari lenganku—ngomong-ngomong, bagian ini, hatiku sedikit tidak rela. Membanggakan rasanya bila bisa menjadi sesuatu yang bisa dimintai tolong oleh Jasmine. Rasanya seperti bisa diandalkan.

“Kau sudah datang Lee. Oh, kau membawa teman lagi?” tanya grandma yang melihat Jasmine. Kulirik gadis itu sudah memelorotkan masker wajah kemudian melambai pada grandma meski tidak bersuara. Aku bersumpah wajah meriput itu kontan sumringah. “Miss Maxwell?”

“Grandma tahu Miss Maxwell?” bisik Lea tapi suaranya terdengar oleh gendang telingaku.

Sebelum Lea mewawancarai grandma lebih lanjut, aku memotong percakapan mereka. ”Apa yang bisa kubantu, Grandma?”

Baik Lea, grandma, mau pun Jasmine sama-sama menoleh padaku karena suaraku yang sedikit kencang. Sepertinya mereka memahamiku kalau tidak ingin pembahasan tentang Jasmine dilanjutkan. Bukan sesuatu yang buruk, kurasa.

“Tolong letakkan hasil susu-susu ini di sana. Dan kau boleh mengajak Miss Maxwell berkeliling dulu,” kata wanita berumur lebih dari setengah abad yang masih cekatan mengurus segalanya sambil menunjuk sebuah tempat dekat lumbung penyimpan jerami, hai, dan lain-lain untuk persediaan pakan sapi.

Sementara ruangan di sebelahnya yang dimaksud grandma, khusus untuk transit susu yang telah diperah. Karena tidak langsung diedarkan ke pembeli, tapi disaring terlebh dahulu. Ada juga yang dipasteurisasi. Baru nanti akan kupindahkan ke truk tua itu. Sudah ada yang mengurusi bagian-bagian tersebut.

Sebelum memutuskan untuk membawa barel besi berisi susu sapi hasil perahan, aku memutuskan untuk bertanya, “Apa grandma tidak kesulitan kalau kutinggal berkeliling?”

“Tidak Lee. Biasanya kalau kau sedang tidak ada juga banyak yang membantu,” jawab grandma yakin.

“Baiklah,” kataku sambil tersenyum kaku. Merasa tidak enak hati sebab beberapa hari lalu aku absen. Tepat saat akan menenteng barel, Helena datang dari arah kandang sapi tunggal belakang grandma dengan wajah terkejut. Aku yang lebih terkejut sebab ia melihat Jasmine.

“Lee?” gumamnya agak keras. Sedetik kemudian benar-benar fokus menatap Jasmine yang maskernya masih melorot. “K-kenapa dia ada di sini?”

Aku refleks melihat Jasmine yang berwajah mengernyit lalu kembali melihat cucu grandma. “Helena, aku bisa menjelaskannya. Ta-tadi ....” Omonganku berhenti sebab Helena menggeleng lalu pergi. “Tunggu sebentar Helena.” Aku lantas mengejarnya dan mengabaikan Jasmine, Lea serta grandma Rose yang mungkin sudah kebingungan melihat tingkahku.

Helena berjalan cepat ke arah kandang sapi pejantan. “Aku tidak tahu kenapa kau membawanya ke sini Lee,” katanya yang ternyata tidak sepenuhnya mengabaikanku. Bahkan perempuan berambut pirang itu pun berhenti untuk melihatku.

“Aku minta maaf Helena, soal kebohonganku ikut klub Sains. Aku benar-benar membutuhkan uang untuk kuliahku nanti dan juga Lea. Aku tidak ingin bertengkar denganmu karena masalah ini.”

“Aku mengerti bagian itu. Tapi aku hanya berusaha menjauhkanmu dari masalah. Masih ada cara mencari uang selain menjadi guru private Jasmine Maxwell,” terang Helena dengan wajah kacau.

Aku tahu ada cara lain. Namun, apakah itu sebanyak jumlah yang ditawarkan keluarga Maxwell dan dalam waktu singkat?

“Begini Helena, dia tidak seperti yang kau duga.”

“Tidak seperti yang kuduga?” ulangnya sambil melotot. “Kau baru mengenalnya. Aku yang sudah dua tahun melihatnya, Lee. Kau tidak tahu bagaimana dia! Kenapa kau tidak mengerti?” ungkap Helena dengan wajah sendu. Sekarang aku semakin tidak paham kenapa ia bisa sampai seperti ini jika berkaitan dengan Jasmine. Jadi aku hanya diam sambil membenarkan letak kacamataku. “Kenapa dia ke sini? Kutebak pasti karena dia ingin merundungmu.”

“Sudah kukatakan, dia tidak pernah merundungku. Dia ... dia hanya mampir,” kilahku.

Helena kontan mengumbar tawa sumbang. Tidak seperti biasanya yang ceria. Aku juga masih tidak paham kenapa ia harus menambahnya dengan terhenyak juga. “Mana mungkin dia mampir di rumah kita Lee?! Dia itu sombong, arogan, benci orang miskin seperti kita!” sanggahnya penuh dengan penekanan.

“Entahlah, aku juga tidak tahu. Tapi kumohon, rahasiakan ini pada siapa pun.” Aku meminta Helena dengan suara pelan. Sejujurnya tidak suka bila ia berbicara buruk seperti itu. Jasmine jelas tidak seperti yang mereka bicarakan.

Gadis bermata hijau safir itu memang arogan, tapi kupikir, ia tidak sombong. Tidak keberatan tidur di kasurku, lalu mengenakan kaus serta celana olahragaku yang kelihatan kumal dan lusuh. Ia juga tidak pernah berkoar tentang betapa kaya dirinya.

“Aku tidak berminat membicarakan ini dengan siapa pun. Tidak ada yang akan percaya padaku juga. Jangankan orang-orang. Aku sendiri pun, tidak mempercayai dia bisa mampir di sini.”

“Terima kasih Helena. Aku harus kembali ke sana.”

Musim semi
Michigan, 27 April
04.45 a.m.

Aku kembali ke tempat Jasmine berada tapi tidak menemukannya di sana. Hanya ada grandma Rose yang sudah berpindah tempat memerah sapi di kandang sebelahnya. Barel besi yang berisi susu juga sudah tidak ada. Jadi aku bertanya, “Apa grandma melihat Miss Maxwell? Dan di mana barel susunya?”

Grandma melihatku tanpa menghentikan kegiatan beliau. “Dia menemani Lea menyaring susu di dekat lumbung. Tadi Mr. Brighton membantu mengangkat barelnya ke sana.”

“Baiklah, aku akan menemui mereka.”

“Lee?” panggil grandma ketika aku baru memutar tubuh. Jadi aku berbalik lagi. “Kau dan Helena sedang bertengkar?”

“Hanya sedikit masalah, tapi sudah baikan.”

“Syukurlah ....”

“Baiklah, aku akan ke tempat transit susu.”

Melihat wanita paruh baya itu mengangguk sambil tersenyum, aku melangkah ke tempat transit. Kulihat Lea sedang menjelaskan sesuatu pada Jasmine. Kupikir, model remaja terkenal itu sudah mulai sedikit bisa mengatasi paranoidnya dengan orang asing. Perasaan lega kontan merayap di tubuhku.

“Sedang apa kalian?” Aku bertanya pada keduanya yang tampak berdiri yang kutebak sedang menunggu susu selesai dipasteurisasi.

“Kenapa kau ingin tahu? Bukankah yang terpenting adalah pacarmu? Urusi saja dia!” Aku mengernyit mendengar Jasmine berkata dengan nada kesal seperti itu. Aku yakin ia pasti marah saat kutinggal bersama orang yang dianggapnya asing di tempat asing juga. Kenapa pula ia bisa berpikir Helena adalah pacarku?

Berlainan dengan Lea yang bungkam tapi sedang mengembunyikan senyum yang ditahan hingga bibir adikku yang terkatub rapat itu bergetar, sambil melirikku dan Jasmine Maxwell secara bergantian.

Bisakah Lea pura-pura menjadi barel besi saja dan tidak melihat serta mendengar bagian ini?

“Miss Maxwell ...,” panggilku. “Helena bukan pacarku dan maaf sudah meninggalkanmu. Ada sesuatu yang kuurus dengannya tadi.”

“Aku yakin itu sangat penting. Sampai-sampai kau meninggalkan aku. Ngomong-ngomong, aku sudah meminjam ponsel Lea untuk menelepon Sebastien. Mungkin sebentar lagi dia datang ke rumah grandma. Jadi antarkan aku ke sana sekarang!”

Rasanya ada sesuatu yang menghantam ulu hatiku. Bagiannya mengatakan bahwa aku tidak ingin Jasmine pulang. “Tapi kau baru saja tiba.”

“Memangnya kenapa kalau aku ingin pulang.”

“Em, maaf menginterupsi. Pasteurisasinya sudah selesai, aku akan mengambil barel dulu,” potong Lea kemudian melangkah keluar ruangan ini. Jasmine mengikutinya dan aku pun menyusul mereka.

“Miss Maxwell, aku minta maaf kalau kau marah. Aku mengondisikan Helena agar merahasiakan kedatanganmu pada siapa pun.”

Jasmine Maxwell tetap melangkah keluar hingga mencapai lumbung pakan sapi lalu tiba-tiba Lea berteriak, “Awas! Sapi Limusin jantannya lepas!”

Aku dan Jasmine kontan berhenti untuk melihat ke samping. Semuanya terjadi begitu cepat. Sapi limusin berlari liar. Gadis itu lalu berteriak kencang sambil menerjang ke arahku hingga aku mundur dan terjatuh duduk di jerami dalam ruang pakan. Sampai-sampai kacamataku lepas dan aku masih harus dikejutkan oleh Jasmine yang berada di atasku, memelukku erat-erat.

“Kyaaa ... Devoughn! Aku takut! Sapi itu mirip banteng!” pekiknya sambil memejamkan mata rapat-rapat.

Berlainan denganku. Jantungku memang berpacu cepat sekali. Namun bukan karena takut sapi Limusin yang baru saja berlari hampir menyeruduk kami. Melainkan karena posisi kami.

Sedetik kemudian, ia melonggarkan pelukan untuk menatapku. Mataku memang minus tapi jika dalam jarak sedekat ini, aku bisa melihat dengan jelas.

Tuhan ... dari dekat seperti ini ia terlihat cantik sekali. Sepasang iris hijau safir itu menyihir tubuhku terpaku di tempat. Aroma campuran antara rashberry dan bergamot menyerang otakku sehingga tidak bisa diajak kerjasama. Aku berusaha mengatur napasku yang saling berbenturan dengan napasnya di udara. Lalu entah kenapa pandanganku malah mengarah pada bibir penuh gadis itu yang terbuka sedikit. Jasmine juga melihat hal yang sama pada diriku. Berikutnya entah siapa yang memulai, bibir kami resmi saling bertaut.

Ini merupakan ciuman pertamaku. Namun naluriku seperti mengambil alih semuanya. Jadi aku mulai menggigit bibir bawah gadis dan Jasmine menyambutku dengan baik. Ketika ia mengusap rambutku, tanganku balas menelusup ke rambut bagian kepala gadis itu. Kujelajahi setiap inci rongga mulutnya yang manis. Kuabsen setiap giginya dan kubenamkan lidahku dalam-dalam.

Mataku terpejam erat menikmati usapan tangan Jasmine yang kini berpindah pada rahangku. Sapauan tangannya sungguh halus.

“Engh ....” Satu lenguhan gadis itu memacu semangatku untuk semakin menyecapnya rakus seperti orang kehausan. Layaknya menemukan oase di gurun pasir.

Jangankan kau. Aku juga terkejut dengan diriku sendiri kalau bisa melakukan hal yang seperti ini. Terlebih dengan Jasmine Maxwell. Gadis yang rupanya, sudah membuatku tergila-gila.

____________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote dan komen

See you next chapter teman temin

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

Repost : 1 Januari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top