Chapter 10 • Jasmine Maxwell

Selamat datang di chapter 10

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tandai jika ada typo

Thanks

Happy reading everyone

Hope you like it

____________________________________________

Bagian ini sungguh memalukan kalau mengingatnya tapi tidak juga bisa menormalkan detak jantungku

Jasmine Maxwell
___________________________________________

Musim semi
Michigan, 27 April
04.00 a.m.

Tok tok tok ....

Aku mengernyit dalam tidurku yang tak nyaman akibat suara ketukan pintu yang kuyakini adalah Nameeta. Biasanya ia yang selalu membangunkanku. Jadi aku bergumam, “Lima menit lagi Nameeta.” Sambil berusaha menempelkan pipi pada bantal yang terasa bergerak teratur.

Nomong-ngomong kenapa bantalku bergerak?

Tok tok tok ....

“Ck, lima menit lagi Nameeta! Aku baru saja tidur!” Aku mengeram. Masih dengan memejamkan mata, selanjutnya mengeratkan serta menenggelamkan pelukan pada bantalku. Namun bantalku yang bergerak seperti balas memelukku. Tanpa sadar bibirku tersenyum.

Astaga, bantalku sangat nyaman.

Tok tok tok ....

“Lee?”

Terdengar Nameeta dengan suara berbeda tengah berteriak memanggil nama ‘Lee.’ Aku lantas sengerutka kedua alisku. Lee? Kenapa nama Lee disebut-sebut?

“Aku masuk Lee! Dasar kau ini—Oh My God!”

Aku yang semula masih memejamkan mata kontan mengerjab karena terusik oleh suara derat pintu yang dibuka paksa serta seberkas cahaya yang kuyakini nyala lampu. Astaga. Ingatkan aku untuk mengatakan pada ibu, bahwasanya jangan pernah lagi memberi kunci ganda kamarku pada Nameeta! Sungguh menyebalkan.

“Lee, kau pasti bercanda ... bukankah dia—”

“Sssttt ....” Suara dari bantalku yang sekarang kurasakan bergeser dan sebuah bunyi detak cepat membentur daun telingaku. “Kecilkan suaramu Lea ...,” bisiknya.

Oh God ... suara ini ....

Tunggu sebentar. Lea?

Telah berhasil membuka mata sedikit, retinaku menyesuaikan cahaya lampu. Gambaran itu lantas ditangkap lalu disampaikan pada otak. Ketika prosesnya selesai, aku dapat melihat dengan jelas diriku sedang tidur di dada Lee dan memeluknya begitu erat. Mataku yang terasa lengket seolah diberi perekat kontan melebar tanpa halangan. Pandangan kami pun bersirobok. Lee tanpa kacamata dengan wajah ala bangun tidur adalah ujian terberat yang saat ini aku alami. Berikutnya kuangkat kepala untuk melihat ke arah pintu. Ada seorang gadis berwajah familier—yang salah kutebak sebagai Nameeta—dengan mulut ternganga sedang menatapku dan Lee secara bergantian.

Pandanganku lantas berpindah-pindah. Dari gadis itu, Lee lalu kondisiku. Sadar dengan apa yang tengah terjadi. Aku kontan terhenyak dan menjerit.

“Kkkyaaa ....”

Musim semi
Michigan, 27 April
04.03 a.m.

Ini masih pukul empat dini hari. Dari luar jendela tampak cahaya fajar mulai menyungsing kendati kegelapan masih mendominasi. Itu berarti aku baru tidur sekitar kurang lebih empat jam. Artinya lagi kesehatan kulit serta kantung mataku dipertaruhkan di sini. Ibu tidak akan senang mendengarku kurang tidur. Begitu juga dengan Yuri, penata rias, serta manager Flo Management. Aku yakin mereka akan ceramah sepanjang hari tentang betapa pentingnya seorang model tidur malam minimal delapan jam agar kulit tetap cantik dan sehat tanpa kantung mata—apalagi sampai mirip mata panda—agar terlihat bagus di kamrea. Namun, bukan itu masalahnya sekarang.

Kesadaran memenuhi diriku usai menguap sebanyak tiga kali dalam semenit. Perempuan yang ternyata adik kandung Lee—bernama Lea—itu pun mendudukan aku dan Lee Devoughn di kasur. Sementara ia sendiri berjalan mondar-mandir di depan kami sambil melipat kedua tangannya di dada. Bersikap seolah ia hakim dan kami terdakwanya. Aku sampai pusing sendiri melihatnya.

“Kenapa ada Miss Jasmine Maxwell di kamarmu—oh tidak, pertanyaanku seharusnya lebuh spesifik—kenapa kalian bisa tidur sambil berpelukan?” tanya Lea yang memecah keheningan tanpa menghentikan kegiatan mondar-mandirnya. Aku yakin pipiku merah sekarang. Kau tahu, rasanya panas.

Bagian ini sungguh memalukan kalau mengingatnya tapi tidak juga bisa menormalkan detak jantungku. Harus kuakui itu merupakan kesalahanku. Semalam aku kedinginan lalu tanpa sadar mencari bed cover. Saat tangan seirama dengan tubuhku menjelah, aku terjatuh dari kasur yang sempit dan hampir menimpa Lee. Karena masih sangat mengantuk serta tidak kunjung menemukan selimut, akhirnya kurapatkan tubuh dan memeluknya di atas karpet yang keras. Kehangatan kontan membungkusku. Selebihnya bukan salahku apabila ternyata Lee balas memelukku.

Aku tidak bisa menampik perasaan senang akan fakta tersebut. Aku benar-benar sudah mengakui pada diriku sendiri bila aku menyukai Lee Devoughn tanpa memandang statusnya. Terlebih pada detik insiden pelukan semalam dan dini hari kala ini.

Dari kejadian ini yang patut disyukuri adalah : hanya tinggal kami bertiga yang masih ada di rumah ini. Kata Lea, nenek dan cucunya sudah pergi ke peternakan untuk mengurusi sapi dan memerah susu. Untuk sementara tidak ada yang akan mengetahuinya kalau super model Jasmine Maxwell berada di sini, dan baru saja tidur berpelukan dengan laki-laki culun berkacamata—yang disukainya—jika seandainya Lea bisa menjaga rahasia.

Aku harus turun tangan untuk bagian ini.

Mengembuskan napas untuk mengatur debaran jantangku, kumulai dengan berdeham untuk melonggarkan tenggorokan sebelum menjawab pertanyaan Lea. “Aku bisa menjelaskannya.”

Laki-laki yang sudah mengenakan kacamata itu menoleh padaku untuk menghentikan apa yang baru saja akan kujelaskan. Kelihatannya kesadaran Lee sudah hinggap di tubuhnya dengan sempurna.

“Biar aku saja,” ucapnya padaku. Suaranya berat dan serak khas orang bangun tidur. Gilanya, terdengar seksi di telingaku. Aku sampai harus berdeham sekali lagi lalu melihat Lee memandang adik perempuannya. “Bisa kita berbicara berdua saja?” pintanya.

Lea berhenti sesaat tanpa melepas tatapannya dariku dan Lee. Sepuluh detik kemudian kakaknya bangkit dan ia mengikutinya keluar kamar. Meniggalkanku yang harap-harap cemas.

Semoga Lee bisa mengatasi hal ini.

Memutuskan untuk mempercayakan itu pada Lee, aku mengamati sekitar kamar sempitnya. Memutuskan untuk berdiri dan meraih rak bukunya yang berjajar memenuhi dinding. Seolah-olah memang rak-rak buku itulah yang menjadi dinding depan kasurnya. Mirip perpusatakan mini. Dari sini bisa kusimpulkan bahwa Lee memang jenius dari hobinya membaca buku.

Jariku menelusirinya satu per satu. Mataku tidak sengaja menemukan buku yang penataannya sedikit tidak rapi. Jadi aku mengambilnya dan membaca sampul yang ternyata buku tentang bisnis.

Aku membuka lembar demi lembar. Pada beberapa halaman, Lee menandainya menggunakan sticky note dan stabilo hijau neon. Bibirku tertarik ke atas membentuk sebuah senyum saat melihat tulisannya. Begitu rapi seperti kala ia menulisakan soal aljabar pada kegiatan belajar kami.

Aku mengembalikan buku tersebut dan merapikannya di rak, kemudian beralih ke beberapa buku. Kali ini hanya membaca judul pada pinggiran sampulnya saja. Kegiatan itu bertepatan dengan pintu kamar yang dibuka dan Lee masuk bersama Lea. Dari raut wajah yang mereka tampilkan, membuat jantungku berdebar oleh rasa antisipasi sekaligus penasaran dan otakku tidak bisa diajak kerjasama memikirkan hal-hal positif.

“Miss Maxwell,” panggil laki-laki berambut sedikit berantakan itu. Tanganku gemas ingin merapikannya tetapi kuurungkan niat. “Em sebenarnya, untuk merahasiakan hal ini, adikku meminta satu hal padamu,” lanjutnya dengan nada dan wajah yang terlihat ragu sementara Lea tampak begitu antusias dalam anggukan tegasnya.

Aku mengehela napas. Ya ... ya ... selalu ada syarat untuk mendapatkan atau menutupi sesuatu. Jadi aku bertanya, “Apa itu?”

Karena tidak kunjung menjawab, Lea menyiku lengan Lee yang masih menatapku. Laki-laki berkacamata yang suara seraknya hampir normal itu pun menoleh pada adiknya. Lalu mereka berbicara dengan bahasa isyarat yang hanya bisa mereka pahami. Secara langsung membentuk kernyitan pada kedua alisku serta pikiran negatif dalam otakku.

“Ekhm, kau harus ikut ke kamarnya.” Lee menjawab dengan nada hati-hati.

“Apa pun itu, baiklah. Di mana kamarmu?” Aku kembali bertanya pada Lea yang saat ini berwajah lebih girang.

“Kamarku di sebelah sini,” jawabnya yang kemudian membawa tubuhnya keluar kamar Lee. Aku pun segera mengikutinnya. Lee mengusul setelah aku.

Kamar Lea sendiri terletak bersebelahan dari kamar Lee di lantai dua. Kau tahu pemandangan apa yang kulihat ketika gadis itu membuka pintu kamarnya lebar-lebar? Kau pasti tidak akan menyangka bila seluruh dindingnya dipenuhi poster fotoku dengan berbagai ukuran dan pose.

“Aku hanya ingin kau menandatangani poster fotomu yang paling besar. Dan rahasia kalian aman bersamaku,” kata Lea dengan semangat yang menyala-nyala. Aku speechless. Berpikir, kemungkinan besar ia akan meminta sejumlah uang, permata, pekerjaan, lisensi tempat, kenalan orang untuk jalur dalam sebagai model atau apa pun yang saat ini tidak sedang kubawa serta kupersiapkan dadakan.

Alih-alih meminta semua daftar yang ada di otakku, Lea hanya memintaku menandatangani poster fotoku?

Aku menatap Lee yang tampak tersenyum kikuk padaku.

“Berikan bolpoin padaku. Aku akan menandatanganinya,” ucapku pada Lea yang kini matanya semakin berkilat-kilat lalu mulai mencari sesuatu di meja belajarnya.

Sebenarnya adik Lee cukup imut. Sudah lebih besar dari yang pernah kulihat di pigura foto yang dibawa Lee di hari pertama laki-laki itu menginjakkan kakinya di estatku. Wajahnya persis seperti Lee, dengan mata dan rambut hitam sepunggung. Namun kulitnya tidak sepucat laki-laki yang berdiri di sebelahku, yang masih tersenyum kaku.

“Kau tahu, aku penggemar beratmu. Tadi rasanya aku hampir tidak mempercayai pengelihatanku kalau itu benar-benar kau,” kata Lea yang kini sudah mengulurkan sebuah spidol permanen padaku. “Lupakan soal sikapku tadi. Aku hanya mencoba akting.”

“Baiklah, di mana aku harus tanda tangan?”

“Di sini. Di sini,” tunjuknya antusias dan hampir melompat kegirangan. Aku melakukannya dengan cepat lalu mengembalikan spidol permanen itu padanya. “Terima kasih, Miss Maxwell. Aku janji akan merahasiakannya dari siapa pun,” katanya. Mempertegas perkataanya dengan kode menutup zipper pada mulutnya. Aku hanya bergumam sebagai balasan. Tidak bisa kupungkiri perasaanku menjadi lega setelahnya.

Lea meletakkan spidol di meja belajar lalu bertanya pada Lee. “Jadi, kau akan absen lagi ke peternakan hari ini Lee?”

Laki-laki berkacamata itu tampak berpikir sebentar. “Tidak. Aku sudah absen beberapa hari terakhir jadi aku akan membantu di peternakan. Kau berangkatlah dulu. Pasti Mrs. Brighton sudah menunggumu untuk bersngkat bersama.”

“Tapi bagaimana dengan Miss Maxwell?” tanyanya. Kami pun keluar kamar Lea dan berdiri di depan tangga penghubung lantai bawah.

“Kami akan membicarakannya. Berangkatlah dulu,” jawab Lee tegas tanpa memandangku.

“Baiklah. Ngomong-gomong kau sangat manis mengenakan baju kakakku. Sekali lagi terima kasih Miss Maxwell. Ternyata kau baik sekali dan sampai jumpa,” ujar Lea sambil melambaikan tangan sebelum menuruni tangga dan melesat keluar rumah, meninggalkan kami dengan pikiran baru dalam benakku.

Tidak ada yang pernah mengatakan padaku bahwa aku adalah orang baik. Semua mengatakan aku adalah orang yang tidak memiliki sopan santun dan tidak ramah. Lalu Lea yang riang mengatakan itu. Ada sebuah perasaan hangat yang mengalir dalam rongga dadaku.

Lee dan adiknya sedikit banyak telah mengubah presepsiku terhadap orang asing yang miskin. Bahwasanya, tidak semuanya seperti apa yang kuparanoidkan.

“Maaf, adikku memang begitu, tapi percayalah, dia akan merahasiakan kedatanganmu walau tanpa kau menandatangai poster fotomu dalam kamarnya. Aku bisa menjamin itu. Oh ya ... jadi, aku akan ke peternakan, kusarankan kau menelepon Mr. Doughlash,” ujar Lee. Kembali menyita perhatianku untuk melihatnya yang sedang mengusap tengkuk lalu ikut memasukkannya ke celana olahraga yang ia kenakan. Getstur ini benar-benar bisa mendebarkan jantungku kian giat.

Oh, lupakan itu. Sepertinya, apa yang semua ia lakukan bisa mendebarkan hatiku. Jadi, aku berusaha menjadi Jasmine Maxwell yang normal.

“Kau mengusirku? Aku heran sekali denganmu Devoughn. Hanya kau satu-satunya orang yang tidak suka aku berada di rumahmu. Apa kau balas dendam padaku karena telah mengusirmu beberapa hari yang lalu?”

“Bu-bukan. Bukan seperti itu,” jawabnya gelagapan disertai gelengan cepat. “Aku hanya tidak yakin kau akan kutinggalkan sendirian di sini,” terangnya, “tapi kau bisa tidur lagi di kamarku.” Aku mengernyitkan alis sembari bersedekap tangan. “Hanya kalau kau mau,” tambahnya dengan senyum canggung yang cenderung selalu menghiasi wajahnya ketika berbicara denganku.

“Tidak. Aku akan ikut ke peternakan denganmu.”

Lee tampak terkejut mendengar perkataanku. Jangankan Lee. Aku pun terkejut sendiri mendengar mulutku mengambil alih kontrol otakku.

“Apa kau yakin? Di peternakan akan ada banyak orang yang asing bagimu. Bagaimana kalau orang-orang menyebarkan skandal tentangmu?”

“Kalau kau bisa mengatasi adikmu. Aku yakin kau bisa mengatasi orang-orang di peternakan. Jadi, aku ikut,” jawabku tegas dan tanpa keraguan sedikit pun.

Musim semi
Michigan, 27 April
04.15 a.m.

Setelah melalui perdebatan, Lee akhirnya menyerah dan menyetujui ide konyolku ikut ke peternakan sapi perah Frisian Holstein milik nenek. Ia memberiku masker wajah. Selain untuk menutupi penampilanku yang katanya ‘mencolok,’ juga untuk mengantisipasi bau dan aku menurutinya.

Kami berjalan ke garasi yang terletak di belakang rumah, tempat di mana kendaran yang akan kami naiki ke peternakan. Berupa sebuah truk tua yang sudah terbatuk-batuk ketika Lee menyalakan mesinnya. Aku takut itu tidak akan bertahan lebih dari lima menit. Namun, katanya truk ini lebih kuat dari apa yang kulihat.

Peternakan nenek memang tidak jauh dari sini, tetapi kami harus menaiki truk tersebut sebab truk itulah yang nantinya akan digunakan untuk mengangkut hasil susu sapi segar yang akan dijual ke beberapa pelanggan. Lee juga sempat mengambil dua buah katelpak yang baru dicuci dan dua pasang boots karet untuk kami gunakan ketika di peternakan nanti.

“Jadi, kau mau menjelaskan sesuatu? Kenapa kau tidak mengenaliku saat pertama kali kita bertemu kalau adikmu penggemar beratku? Seluruh dinding kamarnya penuh dengan fotoku,” tuntutku memecah keheningan di antara suara berisiknya mesin truk tua ini.

“Maaf aku benar-benar tidak mengenalmu. Aku memang familier pada wajahmu, tapi aku tidak tahu namamu. Aku juga tidak pernah bertanya pada Lea siapa nama model yang memenuhi dinding kamarnya,” terangnya. Sesekali melirik ke arahku dan fokus kembali ke jalanan yang kanan dan kirinya membentang padang rumput dibentengi pagar kayu setinggi pinggang orang dewasa.

“Kita impas. Kau sudah menjamin rahasia ini.”

____________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote dan komen

See you next chapter teman temin

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

Repost : 1 Januari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top