Bagian 42

Dua minggu kemudian, Newt merasa jauh lebih baik. Keresahan yang harus ditanggungnya tatkala menunggu Sidney bangun dari masa kritisnya, kini terbayar sudah ketika wanita itu bisa kembali tersenyum untuknya dan mulai bisa melakukan aktivitas sehari-hari meski harus dibantu oleh kursi roda.

Rasanya tak ada lagi yang ia inginkan selain melihat kekasih hatinya pulih seperti sedia kala. Maka dari itu, Newt memutuskan untuk fokus pada terapi yang harus Sidney jalani setelah ini ketimbang membalaskan dendamnya kepada Tyreese. Lagipula, ayah dan adiknya sudah mengurus bajingan itu hingga Tyreese menerima hukuman untuk mendekam di penjara selama beberapa tahun.

"Ah, sial!"

Umpatan itu berhasil membawa Newt kembali dari pikirannya. Ia menoleh ke sumber suara dan tersenyum kecil saat mendapati Sidney dan Neville yang kini tengah bermain kartu.

"Tiga kali aku kalah olehmu, Sid. Dan ini sungguh memalukan." Neville menghempaskan punggungnya pada sandara kursi dan menatap Sidney tak percaya.

Sedang Sidney sendiri tertawa kecil. "Sudah kubilang aku sangat mahir bermain kartu. Dulu aku sering bermain di kasino sampai mendapat begitu banyak uang."

"Kau berjudi?" Kedua mata Neville membulat, menunjukkan kekagetan.

"Ya, begitulah." Sidney mengedikkan kedua bahunya.

Neville berdecak takjub. "Kau benar-benar penuh kejutan."

"Dan kau sudah terlalu lama di sini." Newt akhirnya bergabung bersama Sidney dan Neville. "Pulanglah, Nev, Sidney harus istirahat."

Neville melirik sekilas jam tangannya dan mendengus tak rela saat sadar bahwa ia memang sudah terlalu lama berada di sini . Pria itu pun kemudian bangkit, pamit kepada Sidney serta Newt dan segera pergi dari hadapan mereka.

"Aku harus istirahat lagi?" tanya Sidney sepeninggal Neville.

"Tidak," jawab Newt dengan seringai yang muncul di bibirnya. "Itu adalah cara mengusir orang secara halus."

Sidney berdecak, tetapi ia tetap tak dapat menyembunyikan senyum geli dari bibirnya. "Dan aku sudah tahu kenapa kau mengusirnya."

"Kau sangat mengerti aku, Sayang." Newt berkata dengan nada bahagia. Ia kemudian naik ke atas ranjang, duduk di samping Sidney sehingga membuat wanita itu harus sedikit bergeser dan berbagi tempat dengannya.

"Sejak aku pulih, kau kan memang selalu mengusir tamu yang datang untuk menjengukku." Kalimat itu terdengar sedikit menyindir, tetapi sialnya Newt sama sekali tidak terpengaruh.

Pria itu kini malah membungkus tubuh mungil Sidney dengan kedua lengannya, mencuri ciuman-ciuman kecil di rambut, wajah, bahkan bibir wanita itu.

"Newt," panggil Sidney, sambil menarik satu tangan Newt untuk mengisi ruas jarinya.

"Hm?"

"Kapan kakiku bisa kembali berjalan dengan normal?" Dia bertanya dengan nada pelan, seolah tengah memendam kesedihan yang dalam.

Newt menghentikan kesenangannya menciumi seluruh tubuh Sidney dan mendongak setelahnya. Tangannya lantas merangkum wajah wanita itu dan memberi tatapan teduh untuk wanitanya.

"Secepatnya, Sayang," jawabnya yang terdengar seperti sebuah janji. Sebab, Newt memang sudah berjanji untuk membuat Sidney benar-benar pulih seperti sedia kala. Ia tak akan pernah membiarkan wanitanya tersiksa dengan kondisi seperti ini.

Sidney menaikkan pandangannya sejenak ketika merasakan matanya memanas. "Aku benar-benar masih bisa berjalan kan setelah ini?" Dan ia kembali menatap Newt saat bertanya.

"Kau masih bisa berjalan dengan normal, Sayang." Newt menjawab dengan suara tenang dan penuh keyakinan.

Namun, yang tidak Sidney ketahui, sedari tadi satu tangan Newt sudah mengepal kuat. Ia sedang menahan gejolak emosi yang tiba-tiba saja melingkupi hatinya.

Perasaan sedih mendominasi di sana. Namun, ia tak bisa menunjukkannya kepada Sidney yang mana malah akan membuat wanita itu makin terpukul batinnya. Karena Sidney pun tak tahu bahwa Newt lebih terguncang melihat keadaannya yang seperti sekarang ini. Newt jauh lebih menderita setiap saat karena harus dihadapkan oleh Sidney yang tak sesehat dulu.

"Tetapi kenapa kakiku tidak bisa digerakkan sama sekali, Newt. Aku merasa mati rasa di bagian kakiku." Kali ini, nada pilu benar-benar tak terelakkan dari suara Sidney. Ada keputusasaan yang membayang di sorot matanya.

"Itu hanya sementara, Sid. Setelah melakukan terapi nanti, kakimu akan kembali seperti semula."

Tak ada yang bisa Newt lakukan selain memberi semangat kepada Sidney. Wanita itu sedang berada dalam kondisi yang begitu rapuh.

Sidney menarik selimutnya, menatap nanar kedua kakinya yang memang tak bisa merasakan apa pun. Bahkan, ketika ia memukulnya berulang kali, tak ada rasa sakit yang ia rasakan.

"Cukup, Sid," tegur Newt kala Sidney tidak kunjung berhenti memukuli kakinya sendiri.

"Bagaimana kalau aku tidak bisa berjalan lagi, Newt?!" Masih sambil memukuli kakinya, Sidney berteriak histeris. Air mata yang coba untuk ditahannya sejak tadi, kini mengucur deras.

"Aku bilang berhenti, Sid." Newt berusaha menghentikan Sidney dengan mengambil kedua lengan wanita itu, tetapi usahanya tidak membuahkan hasil sama sekali karena Sidney semakin meronta.

"Cukup, Sid!" Dan pada peringatan ketiga, ketika Newt berteriak, Sidney pun berhenti.

Wanita itu menunduk dalam dengan lengan yang terkulai lemas di atas pahanya dan tangisan yang diiringi isakan menyedihkan.

"Aku hanya takut, Newt," lirih Sidney. Sesekali isakan masih terdengar meski tak sekuat sebelumnya.

Kedua mata Newt memejam. Dan bersamaan dengan itu, embusan napas panjang meluncur keras dari bibirnya. Sama seperti Sidney yang merasa hancur, Newt pun turut merasakan hal yang sama.

"Apa yang kau takutkan, Sayang?" Newt kembali buka suara, kali ini nadanya mulai melunak. Jemarinya bergerak membetulkan rambut Sidney.

Sidney mendongak hingga matanya bertumbukan dengan Newt. Isakannya sudah tak lagi terdengar, meninggalkan wajahnya yang basah bekas air mata. Kedua belah bibirnya merenggang, hendak menjawab pertanyaan Newt. "Aku takut kau meninggalkanku."

Newt mendengus geli. "Memangnya apa yang bisa membuatku rela meninggalkan perempuan sepertimu, Sid?"

Sidney menunduk, menarik napas panjang dan mengangkat kembali kepalanya walau tatapannya melihat detail lain dari wajah Newt selain matanya. "Tidak ada yang tahu apa aku bisa kembali berjalan dengan normal atau tidak sampai semuanya benar-benar terjadi. Dan hal itu bisa saja membuatmu ... pergi dariku." Ia memelankan suaranya di akhir kata. Tak sanggup membayangkan bila hal itu benar-benar terjadi.

"Ya, Tuhan, Sid. Pikiranmu sudah terlalu jauh." Newt tertawa sumbang, tak percaya Sidney yang selama ini dikenalnya bisa berpikiran serendah itu terhadapnya.

Sidney akhirnya memberanikan diri menjatuhkan tatapannya di kedua mata Newt. Dan ia pun kembali buka suara. "Seandainya aku tidak bisa berjalan lagi, kau pasti akan mencari wanita lain yang normal, Newt. Sama seperti Ayahku, yang mencari wanita lain ketika Ibuku lumpuh."

"Apa kau baru saja menyamakanku dengan Bajingan itu, Sid? Yang benar saja." Kepala Newt menggeleng penuh ketidaksukaan.

Kedua mata Sidney kembali memanas. Air mata sudah bersiap untuk keluar. Dan Sidney sebenarnya ingin sekali menanggapi kalimat Newt barusan, tetapi ia belum menyelesaikan apa yang ingin disampaikannya kepada pria itu.

"Aku takut, Newt. Aku sudah begitu dalam mencintaimu. Aku bergantung padamu. Dan aku juga menyayangi Cliff begitu besar. Aku takut kalau apa yang menimpaku ini bisa membuat kita berpisah. Aku takut kau pergi dariku dan secara otomatis Cliff juga akan meninggalkanku. Aku ... aku tidak sanggup bila hal itu benar-benar terjadi, Newt."

Newt tahu Sidney sedang tak berada dalam pikiran yang normal, karena setahunya, Sidney bukanlah wanita yang selemah ini. Namun, Newt tahu Sidney hanya memikirkan hal paling buruk dari apa yang menimpanya kali ini. Dan ia juga tak bisa menyalahkan Sidney yang mulai melantur sebab rasa takut pasti bisa muncul kapan saja.

Memegang kedua bahunya, Newt pun memaksa Sidney untuk menatapnya. "Kau tahu aku sangat mencintaimu, Sid. Bukan hanya tubuhmu, tetapi apa yang ada di dalam dirimu, termasuk hatimu. Jadi, seburuk apa pun kondisi tubuhmu, rasa cintaku kepadamu tak akan pernah hilang, sebab ada hatimu yang masih kucintai. Begitu pula saat kau kehilangan hatimu, masih ada hal lain dalam dirimu yang bisa kucintai. Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah bisa berhenti mencintaimu karena aku mencintai setiap hal yang ada pada dirimu."

Sidney menelan ludahnya. Ucapan Newt barusan membuatnya kehilangan kata-kata sehingga mulutnya hanya bisa terkatup rapat. Namun, Sidney tak bisa menampik bahwa darahnya berdesir hangat dan jantungnya berdebar keras di dalam sana. Perasaannya mendadak tenang. Keputusasaannya bahkan lenyap tak bersisa.

Perkataan Newt mampu membuat kedua matanya terbuka, hatinya pun berteriak untuk menghentikan segala keraguannya akan Newt, karena ia tahu bahwa pria itu bukanlah orang yang akan berpindah hati seburuk apa pun keadaannya.

Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, Sidney memajukan wajahnya dengan cepat dan merenggut bibir Newt untuk diciumnya.

Sementara itu, sembari membalas ciuman Sidney yang menggebu, Newt menerbitkan senyumnya. Kelegaan menyusup ke dalam jiwanya karena Sidney-nya telah kembali.

"Sampai kapan pun, jangan pernah meninggalkan aku," ucap Sidney dengan nada yang menyiratkan sebuah perintah setelah ia menarik bibirnya dari Newt.

Satu sudut bibir Newt terangkat berbarengan dengan jemarinya yang menghapus sisa-sisa air mata di wajah Sidney. "Tidak akan. Aku berjanji."

"Kalau kau sampai meninggalkanku, aku akan menjadi orang gila yang tak akan pernah berhenti menguntitmu." Sidney menambahi, kali ini dengan mata yang menyipit dan kalimatnya barusan terdengar seperti sebuah ancaman.

Dan hal itu berhasil mengundang tawa Newt. "Sepertinya hal itu tidak akan pernah terjadi, Sid. Karena aku tak akan pernah meninggalkanmu."

Perlahan, sudut-sudut bibir Sidney tertarik ke atas, menunjukkan senyum yang begitu lebar. "Aku percaya."

Senyum itu pun menular kepada Newt. Dan sedetik kemudian, bibir keduanya kembali menyatu.

"Ewh, Dad!"

Belum ada satu menit bibir mereka beradu, interupsi dari seseorang berhasil membuat keduanya dengan terpaksa menyudahi ciuman mereka. Dan keduanya mendapati Cliff di sana, dengan kedua mata yang terhalang oleh tangan Odellia.

"Lanjutkan saja." Odellia meringis pelan lantas membawa Cliff pergi dari sana.

Setelahnya, Newt dan Sidney pun saling pandang dan mereka tertawa bersama.

••••

Komen yang banyak dong. Mana tau besok update lagi (kalo gak sibuk ya) HAHAHA😋

5 Desember, 2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top