Bagian 18
Hari demi hari berlalu sejak Newt mendeklarasikan bahwa ia menyukai Sidney. Tidak banyak yang berubah dari mereka. Newt terkadang masih suka berteriak di hadapan Sidney walau tak sekeras biasanya, tetapi tetap saja menyakiti telinga Sidney.
"Kenapa harus hujan di saat-saat seperti ini?" keluh Sidney yang sudah berdiri di depan gedung apartemen Newt.
Sidney ada kuliah pagi ini. Saat bangun tadi, ia yakin cuaca begitu cerah walau matahari masih malu-malu untuk menunjukkan dirinya. Hanya ditinggal mandi dan sarapan sebentar, situasinya sudah berubah sedrastis ini.
Sebenarnya tak masalah bagi Sidney bila hujan seperti ini. Ia hanya tinggal pergi ke kampus menggunakan taksi. Namun, untuk mendapatkan taksi, ia harus berjalan ke depan. Tak masalah jika ia membawa payung. Pasalnya, ia lupa memasukkan payung ke dalam tasnya. Dan ia terlalu malas kembali ke penthouse hanya untuk mengambil benda tersebut. Tubuhnya akan basah kuyup bila nekat menembus hujan.
"Kalau sudah tahu hujan, jangan meninggalkan payungmu."
Satu suara yang masuk ke telinga Sidney serta payung yang tersodor di depannya membuat gadis itu segera memutar kepalanya ke asal suara. Ada Newt di sana, dengan wajah yang menatapnya tanpa ekspresi.
Sidney tak bersuara. Hanya tangannya saja yang bergerak mengambil payung tersebut dari Newt.
Newt pun sama, pria itu bungkam. Dan menjauh setelah menyerahkan payung kepada Sidney. Yang seperti itulah yang namanya Newt. Sidney sudah kebal. Tak berharap juga pria itu akan mengantarnya ke kampus layaknya orang yang berkata bahwa dia menyukainya.
Tak ingin terlalu berharap pada Newt, Sidney pun melebarkan payungnya, memosisikannya di atas kepala lantas melangkah meninggalkan gedung apartemen.
Sementara di sisi lain, seorang pria yang tak lain adalah Newt, mengawasi Sidney dari tempat yang tidak bisa dijangkau oleh penglihatan gadis itu. "Sial! Kenapa dia tidak memintaku untuk mengantarnya?"
Pada akhirnya, Newt menyusul Sidney. Berlari kecil di bawah guyuran hujan, mengabaikan sepatu mahalnya yang menapak di jalanan penuh genangan air dan membiarkan jas mahalnya dijatuhi rintik hujan.
Begitu matanya menangkap keberadaan Sidney, tangannya segera terulur ke depan, memegang lengan gadis itu lantas menariknya untuk ikut dengannya.
"Tuan—ah, maksudku Newt." Cepat-cepat Sidney mengoreksi sapaannya saat ingat bahwa Newt menyuruhnya untuk memanggil pria itu dengan namanya saja. "Ada apa denganmu?"
Newt baru menjawab kebingungan Sidney setelah mereka tiba di depan gedung apartemen. Keduanya pun saling berhadapan. "Seharusnya kau memintaku untuk mengantarmu. Apa susahnya melakukan hal itu? Kenapa kau malah nekat pergi sendiri di saat hujan deras seperti ini?"
Bukannya menjawab keheranan Sidney, kalimat beruntun Newt malah semakin membuat gadis itu hilang akal. Apalagi nada suara Newt yang jelas sekali terdengar begitu frustasi.
"Kenapa bukan kau saja yang menawariku? Apa susahnya melakukan itu?"
Newt bungkam seketika saat Sidney membalikkan kata-katanya. Ia lupa kalau Sidney pandai sekali berkilah.
"Sudahlah," ucap Newt pada akhirnya. Ia memegang lengan Sidney, mengajak gadis itu untuk ikut bersamanya.
Namun, Sidney menahan langkahnya. Melepas pegangan Newt di tangannya. Hal itu jelas saja membuat Newt heran. Pria itu pun berbalik, berdiri kembali di hadapan Sidney, tetapi kali ini kerutan samar tampak menghiasi dahinya.
Tanpa peduli dengan kebingungan Newt, Sidney membuka tasnya, mencari tisu yang selalu ia bawa ke mana-mana lantas mengambil beberapa helai sebelum menyapukan benda tipis tersebut di sekitar wajah Newt yang lumayan basah.
"Lain kali, kalau kau memang ingin mengantarku, katakan saja langsung. Demi Tuhan, kau sudah dewasa Newt. Hal seperti ini saja kau tidak tahu." Sidney berdecak di akhir kalimat. Tangannya masih menyeka butiran air hujan yang hinggap di wajah Newt dengan telaten.
Newt membeku di tempat. Terkejut dengan perlakuan Sidney yang entah kenapa behasil membuat jantungnya menggila di dalam sana.
"Kau seperti tidak pernah menawarkan seorang perempuan untuk pergi bersamamu saja," gerutu Sidney. Kali ini tangannya sudah berpindah ke rambut Newt, mengelap sekaligus merapikannya.
Newt berdeham pelan. Menormalkan debaran jantungnya. "Memang tidak pernah. Biasanya wanita-wanita itu yang meminta."
Sidney mendecih dan mencibir setelahnya. "Aku tahu kau pasti akan menjawab itu. Dasar, sombong."
"Kau bilang apa tadi?" tanya Newt. Nada suaranya naik beberapa oktaf, tak terima dengan perkataan gadis itu.
Memutar kedua bola matanya, Sidney pun berlalu dari hadapan Newt dengan santai. "Ayo, antar aku, Tuan super angkuh."
"Berani sekali kau denganku." Newt menyusul Sidney dengan terburu-buru. "Hey, Kuning!"
Dalam langkahnya, Sidney hanya bisa tersenyum. Sekarang, ia sudah tak lagi merasa takut dengan Newt. Pria itu sudah mulai bisa mengatur emosi dan caranya berbicara. Ia tahu Newt tak akan lagi melontarkan perkataan yang dapat menyinggung perasaan Sidney seperti dulu.
Sidney tersentak kaget saat tangan Newt tiba-tiba saja menggenggam tangannya. Menciptakan kehangatan yang menyebar di seluruh tubuh sampai ke hatinya.
"Sudah kubilang tunggu aku," ucap Newt, tanpa memandang Sidney sama sekali dan tetap melanjutkan langkahnya menuju parkiran.
Untuk kali ini, senyum Sidney merekah lebar di bibirnya. Ia pun membalas genggaman tangan Newt, membuat pria itu ikut tersenyum walau tidak selebar Sidney. Apalagi alasannya kalau bukan karena harga dirinya yang terlalu tinggi itu.
"Bagaimana kuliahmu?" Newt mencari bahan obrolan setelah ia melajukan mobilnya di jalanan.
"Biasa-biasa saja. Tidak ada yang membuatku semangat sama sekali," jawab Sidney, kelihatan lesu.
"Memangnya apa yang bisa membuatmu semangat?"
Sidney memutar kepalanya ke arah Newt, menerbitkan seulas senyum di bibirnya. "Kekasih."
Newt menatap Sidney tak percaya. "Kau tidak butuh kekasih."
"Aku butuh."
"Anak kuliahan sepertimu seharusnya belajar saja yang benar."
"Aku tidak bisa belajar tanpa seorang kekasih."
"Kau bisa."
"Tidak."
"Aku bilang bisa ya bisa!" Pada akhirnya, Newt tak bisa lagi menahan emosinya. Teriakannya terdengar membahana, mengejutkan Sidney detik itu juga.
"Kenapa kau malah marah?" tanya Sidney keheranan.
Newt memelankan laju mobilnya sejenak hanya untuk menarik napas panjang dan membuangnya secara perlahan. Ia melakukan hal itu selama beberapa saat sampai dirinya sedikit tenang dan terkendali.
"Jangan berkata apa-apa lagi. Gara-gara dirimu aku jadi tidak bisa fokus," ujar Newt, memperingati Sidney dengan pelototan tajamnya.
Sidney menekuk wajahnya. Newt yang memancingnya, tetapi pria itu malah menyalahkannya. Ia memang tidak pernah benar di mata pria itu.
Pada menit-menit awal setelah Sidney menerima teguran dari Newt, gadis itu menurutinya dengan mengunci mulutnya rapat-rapat. Namun, saat sebuah ide konyol melintas dalam benaknya, keputusan untuk terus diam sampai tempat tujuan pun terpaksa harus terpatahkan.
"Newt, berhubung aku tidak bisa belajar kalau tidak punya kekasih, bagiamana kalau kau saja yang jadi kekasihku?"
Bunyi decitan antara ban dan aspal adalah hal pertama yang Sidney dengar setelah pertanyaan tersebut keluar dari bibirnya. Newt terlalu kaget sampai menginjak rem secara mendadak dan mengakibatkan mobil yang mereka tumpangi berhenti di tengah jalan.
"Apa kau gila?!" Respons Newt baru terdengar sekian detik setelahnya. Ya, berteriak seperti biasanya.
"Ya, sudah kalau tidak mau," balas Sidney acuh tak acuh.
Newt hendak menyahuti omongan Sidney, tetapi urung kala mendengar suara klakson dari arah belakang. Ia pun segera melajukan kembali mobilnya agar tak menimbulkan kemarahan bagi pengguna jalan lainnya.
"Kau harus ingat ini baik-baik, Sidney Hoverson. Meski aku berkata bahwa aku menyukaimu, bukan berarti aku mau menjadi kekasihmu. Berkhayal saja sana."
Sidney mengerucutkan bibirnya. Sungguh, ia tak sakit hati sama sekali mendapat penolakan dari pria itu. Toh, perkataannya tadi juga sekadar main-main saja. Ia sudah kenal sifat Newt luar dalam. Tak kaget mendapat tanggapan seperti itu.
"Jangan menyesal karena sudah menolakku."
Newt mendengus sinis. "Tidak akan."
Dan setelah mengatakan itu, Newt berharap semoga ia tak menyesal nantinya.
••••
31 Agustus, 2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top