Bagian 16
"Ma, apa aku banyak berubah selama beberapa tahun belakangan?"
Olivia Hamilton terkejut ketika mendapat pertanyaan seperti itu dari anak sulungnya. Wanita yang sudah berumur sekitar enam puluhan itu meninggalkan sejenak majalahnya hanya untuk menatap Newt Hamilton yang kelihatan tak semangat sejak menginjakkan kakinya di sini.
"Ada apa denganmu, Newt?"
Newt meletakkan kedua tangannya di belakang kepala dan mendorong badannya sampai punggungnya menyentuh sandaran sofa.
"Entahlah, Ma. Aku hanya merasa kalau belakangan ini aku seperti menemukan kembali diriku."
"Sejujurnya kau memang berubah beberapa tahun ini. Mungkin kau tidak menyadarinya. Hanya saja, orang-orang di sekitarmu, terutama Mama dan Papa serta adik-adikmu sangat menyadari perubahanmu. Kami sudah sering menanyakan apa yang membuatmu jadi seperti ini, tetapi kau selalu berkilah kalau kau masihlah Newt yang dulu."
Newt menarik napas, sesuatu seperti mencekik lehernya saat menerima jawaban telak dari ibunya. Jadi, ia memang berubah. Begitulah bagian dari otaknya membuat kesimpulan.
"Apa kau seperti ini karena rasa bersalahmu pada Elin?" tanya Olivia hati-hati. Ia hanya tak ingin membuka luka lama yang mungkin telah Newt simpan bersamaan dengan pribadi lamanya yang menghilang.
Pertanyaan Olivia sangat sulit untuk Newt jawab. Pikirannya bercabang, terbagi pada dua pandangan yang berbeda. Bisa jadi jawabannya adalah iya. Atau mungkin malah tidak.
"Atau mungkin perubahanmu itu disebabkan oleh kedatangan Louisa?" Olivia kembali bertanya. Namun, ia sadar bahwa pertanyaannya terkesan menyudutkan satu pihak. Cepat-cepat ia mengoreksi. "Maksud Mama, bisa jadi kehadiran Louisa membuatmu teringat kembali dengan Elin dan kau ingin menebus semua kesalahanmu kepada Elin lewat Louisa. Mungkin itu juga yang membuat dirimu berubah."
Apa yang ibunya katakan terdengar masuk akal. Lagi pula, kedatangan Louisa ke dalam hidupnya untuk menjalankan permintaan terakhir Elin sebelum wanita itu meninggal. Hanya saja, yang baru Newt sadari sejak tiga tahun dirinya mengenal Louisa, wanita itu seperti berusaha menciptakan sosok Newt yang baru. Lantas, yang menjadi pertanyaan Newt sekarang, apa benar semua perkataan Louisa kepadanya selama ini merupakan permintaan dari Elin?
Rasa bersalah benar-benar membuat Newt lupa diri. Ia bahkan baru mempertanyakan kehadiran Louisa setelah tiga tahun berlalu. Dan ia mulai menyadari segala kejanggalan dalam hidupnya sejak kehadiran Sidney.
Siapa sebenarnya Sidney? Dia seperti membawa sebuah jawaban atas pertanyaan yang hadir dalam benaknya belakangan ini. Namun, sayangnya Newt tak bisa meraba jawaban tersebut sedikit pun. Ia merasa terjebak di jalan buntu.
"Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan," ucap Olivia. Ia sudah berpindah duduk di samping Newt, mengusap rambut gelap milik putranya. "Yang penting kau mulai menyadari apa yang salah dari dirimu. Yang harus kau lakukan cukup memperbaiki sifatmu. Mama merindukan Newt Mama yang dulu. Walaupun selalu memasang wajah datar, tetapi Newt Mama yang dulu tidak pernah seangkuh dan seboros sekarang."
Newt melempar tatapannya kepada sang ibu. Senyum terukir di bibirnya sebelum bibirnya jatuh di atas dahi Olivia untuk memberi kecupan sayang di sana.
"Terima kasih untuk waktunya, Ma."
"Kapan pun kau butuh Mama, Mama akan selalu ada untukmu. Memang itu tugas seorang Ibu, kan?"
Newt mengangguk tersenyum. "Aku pergi dulu kalau begitu, Ma."
"Hati-hati." Olivia mengantar Newt sampai ke depan.
"Aku akan lebih sering pulang ke rumah setelah ini."
Olivia hanya tersenyum. Merasa lega karena sepertinya anak sulungnya mulai kembali menjadi dirinya yang dulu. Kalau seperti ini, tidak ada lagi yang perlu ia cemaskan dari Newt.
"Ah, iya, Newt." Olivia menahan kepergian Newt. Ada pertanyaan lain yang tiba-tiba saja terlintas di dalam benaknya. "Apa semua ini karena Sidney?"
Sebelah alis Newt terangkat. "Apa maksud Mama?"
"Ah, tidak. Sudah, sana pergi."
Meski bingung dengan pertanyaan Olivia, Newt tetap melanjutkan niatnya yang ingin kembali ke penthouse.
Sementara Olivia, matanya terus mengawasi kepergian Newt dengan senyum yang menghiasi bibirnya. Sepertinya ia memang tidak salah memasukkan Sidney ke dalam hidup pria itu.
••••
Kosong.
Itulah yang Newt dapat saat kakinya baru saja berpijak di penthouse-nya. Empat jam lamanya ia meninggalkan Sidney seorang diri, tetapi kini gadis itu sudah menghilang tanpa jejak.
Mendadak Newt dipenuhi kecemasan. Berbagi asumsi pun mulai memenuhi kepalanya. Apa mungkin Sidney lelah karena terus menerima bentakannya setiap saat? Seperti yang ia lakukan tadi pagi misalnya. Gadis itu tidak salah apa-apa. Bahkan, mungkin dia tidak tahu apa yang dirasakan Newt, tetapi pria itu malah memarahinya begitu saja.
Lagi-lagi, Newt dipenuhi perasaan bersalah. Entah mantra apa yang Sidney pakai sampai membuat Newt kelimpungan seperti ini.
Berjalan ke dapur, Newt membuka kulkas dan mengambil alkohol dari dalam sana. Selagi menunggu Sidney yang entah akan kembali ke sini atau tidak, Newt mencoba menjernihkan otaknya dengan meneguk beberapa gelas alkohol.
Sampai waktu bergulir ke angka berikutnya dan Newt telah berhasil menghabiskan beberapa gelas alkohol, Sidney pun menampakkan dirinya.
Gadis itu sedikit terkejut mendapati Newt berada di sini. Ia pikir, pria itu tidak akan kembali secepat ini karena masih marah dengannya.
"Kau dari mana?" tanya Newt yang tak beranjak dari posisinya. Hanya matanya saja yang menyorot Sidney dengan lekat.
"Aku hanya berkeliling." Sidney menundukkan kepalnya. Sungguh, ia cukup lelah kalau harus menerima kemarahan Newt lagi.
Suara tapak kaki Newt yang berjalan ke arahnya membuat Sidney pasrah. Apa yang dilakukannya memang tak pernah benar di mata Newt. Jadi, bila pria itu ingin memarahinya kembali, Sidney hanya perlu menulikan telinganya saja supaya tidak terlalu sakit hati.
Namun, prediksi Sidney meleset. Bukan kemarahan yang ia dapat, melainkan sebuah pelukan.
"Maaf," lirih Newt. Suaranya serak, mungkin efek terlalu banyak minum alkohol di pagi menjelang siang ini.
Perlahan, kekagetan menyebar di wajah Sidney. Pikirannya mendadak kosong, tidak memberi kesempatan padanya untuk dapat mencerna apa yang baru saja terjadi.
"Se-sepertinya kau mabuk, Tuan."
Setelah kesadarannya kembali, hanya kalimat itu yang bisa Sidney ucapkan. Kedua tangannya mendarat di dada Newt, mendorong pria itu supaya melepaskan dirinya.
"Tidak." Bukannya melepaskan dekapannya di tubuh Sidney, Newt malah mempereratnya.
Pengaruh alkohol yang masuk ke dalam lambungnya dan mengontrol jalan pikirannya membuat Newt antara sadar dan tidak sadar dengan apa yang dilakukannya. Memeluk Sidney seolah tak ingin kehilangan gadis itu mungkin tidak ada dalam daftar hal yang ingin diperbuatnya, tetapi entah kenapa dorongan untuk memeluk gadis itu terasa begitu kuat walau ia masih dalam kondisi setengah sadar.
Hanya dalam hitungan jam, Newt berhasil mengacaukan pikiran Sidney. Beberapa jam yang lalu dia marah-marah tidak jelas. Lalu, sekarang dia berperilaku selembut ini sampai kata maaf yang sangat mustahil terucap dari mulut angkuhnya itu pun kini terlontar tanpa beban.
Sepertinya Newt memang benar-benar mabuk, pikir Sidney.
"Tuan, tolong lepaskan. Kenapa kau membingungkan sekali." Sekali lagi Sidney berusaha melepaskan dekapan Newt di tubuhnya. Nada bicaranya mulai santai sebab ia menganggap perilaku Newt yang seperti ini karena pengaruh alkohol. Mungkin saja pria itu memeluknya sambil membayangkan Louisa.
"Sidney Hoverson, aku rasa aku mulai suka padamu," kata Newt, sembari mengurai pelukannya dengan Sidney. Untuk sesaat, ia hanya diam menatap Sidney yang begitu terkejut dengan kalimatnya barusan. Bukan hanya gadis itu yang merasa terkejut, tetapi pria itu pun juga.
Newt berdeham pelan. Ekspresinya seperti orang linglung. Tanpa banyak bicara, ia segera berlalu dari hadapan Sidney sambil merutuki mulutnya yang asal bicara.
••••
16 Agustus, 2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top