Bagian 14

Cahaya pagi ini sangat sempurna. Mengintip dari balik jendela kaca di ruang kerja Newt yang tak tertutupi gorden. Terarah pada dua manusia berbeda jenis kelamin yang masih bergelung nyaman di atas sofa bed. Tujuh menit berlalu, si gadis yang akhirnya membuka mata terlebih dulu. Kelopaknya bergerak perlahan sampai menunjukkan iris cokelat gelap miliknya.

Dalam detik pertama, yang Sidney lakukan hanya mengamati ruangan tempatnya terbangun ini. Selanjutnya, ia mulai menggali ingatannya akan kejadian tadi malam. Satu demi satu memorinya memenuhi benaknya. Bersamaan dengan itu, beban cukup berat terasa menimpa tubuhnya. Ditambah lagi dengan dorongan kecil di lekukan lehernya sebelum napas hangat menerpa bagian tersebut.

Sidney ingat sekarang. Tadi malam ia menemani Newt minum dan entah bagaimana bisa mereka berbagi sofa lantas tidur bersama.

Ya, Tuhan!

Tanpa membuang waktu lagi, Sidney bergerak cepat. Bangkit dari posisi tidurnya dengan dada yang berdetak kuat di dalam sana. Begitu matanya melihat Newt, ia segera menutup mulutnya, menahan jeritan yang hendak keluar. Jadi, tadi malam ia tidur bersama Newt? Sidney pasti sudah gila.

Sementara Sidney masih terbengong saking kagetnya dengan kejadian pagi ini, Newt mulai menggeliat dalam tidurnya. Gerakan refleks Sidney jelas saja membuat tidurnya terganggu. Sama seperti Sidney, Newt sepertinya belum menyadari apa yang terjadi tadi malam.

Dan lagi, masih sama seperti Sidney, setelah Newt sadar, pria itu langsung membeliakkan kedua matanya dan segera mengambil posisi duduk. Ia meneliti penampilannya dan semakin bertambah kaget kala mendapati tiga kancing kemejanya terbuka.

"Kau apakan aku?!" Begitulah ucapan Newt yang pertama kali keluar dari mulutnya.

Sidney yang awalnya sudah terkejut, kini bertambah kaget akibat pertanyaan Newt yang begitu ambigu.

"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu," sahut Sidney, kelihatan jengkel dengan tuduhan Newt. "Dan bagaimana bisa kita tidur bersama?"

Newt mengerang. Menumpukan sikunya pada paha dan mengusap rambutnya kasar. Tatapannya beralih lagi pada Sidney yang masih berdiri agak jauh darinya, seolah menjaga jarak dengannya. Lebih tepatnya, seperti sedang menghindari sesuatu yang buruk.

"Apa tadi malam aku melakukan hal yang bodoh? Seperti menciummu misalnya," tanya Newt. Nada suaranya turun beberapa oktaf.

Sidney mencoba mengingat-ingat detail kejadian tadi malam. Tidak terjadi apa pun, hanya Newt yang mabuk dan mulai tak sadarkan diri. Lalu, Sidney hendak meninggalkan Newt sebelum pria itu menahannya untuk tetap tinggal hingga akhirnya mereka tidur bersama. Astaga! Ia ingat semuanya sekarang. Syukurlah Newt tidak berbuat yang macam-macam kepadanya.

"Tidak ada."

Newt menghela napas panjang, lega. Kelihatan dari gerak tubuhnya yang bersandar pada sofa. Wajahnya pun sudah tak setegang sebelumnya.

"Syukurlah! Entah apa jadinya kalau aku menciummu. Aku pasti akan sangat menyesal."

Hanya karena satu kalimat itu, air muka Sidney berubah datar. Ia tahu makna menyesal dalam perkataan Newt barusan. Bukan menyesal karena telah menodai Sidney yang polos ini, tetapi menyesal karena mencium gadis sepertinya. Sidney sangat tahu itu. Dan ia sedikit merasa tersinggung. Oh! Pria ini memang sialan sekali.

Ketika kepala Sidney mulai pusing, gadis itu pun memutuskan untuk berhenti berkomentar. Lebih baik pergi dari hadapan Newt kalau tidak ingin kepalanya bertambah sakit.

Tanpa peduli akan tatapan menelisik dari Newt, Sidney berbalik dan lekas pergi dari ruangan ini.

"Apa kau menyesal?"

Suara Newt kembali menyapa telinga Sidney, dan itu berhasil menghentikan niatnya yang ingin segera pergi dari sini.

Newt bersandar pada kursi dan meregangkan kakinya. Pupilnya menatap punggung Sidney dalam-dalam. "Terima kasih untuk tadi malam. Kau membuatku merasa jauh lebih baik. Demikian dengan saranmu yang cukup membantu."

Sidney mengerjap. Lambat laun tubuhnya mulai berputar untuk kembali berhadapan dengan Newt. Yang barusan berterima kasih, benar pria itu? Sejak kapan ucapan terima kasih keluar dari mulut angkuhnya itu. Dan saat melihat senyum tampil di bibir Newt, tak ada lagi alasan bagi Sidney untuk tak memercayai bahwa pria itu barusan berterima kasih kepadanya.

Apa patah hati membuat semua pria mendadak berubah seperti Newt?

"Cepat bersihkan tubuhmu. Setelah itu kita sarapan. Aku yang traktir," kata Newt seraya bangkit dari posisi duduknya dan berjalan melewati Sidney begitu saja.

Terang saja hal itu membuat Sidney terbengong-bengong di tempatnya.

"Cepat, Sidney! Aku tidak mau menunggumu."

Peringatan dari Newt berhasil memulihkan kesadaran Sidney. Ia terburu-buru pergi ke kamarnya untuk membersihkan diri. Semangat Sidney pun berkobar kala mengingat kalimat Newt yang katanya akan mentraktirnya. Dengan begitu, uang yang seharusnya ia gunakan untuk sarapan bisa ia tabung sebagai tambahan untuk menyewa apartemen.

Dan kini, Sidney sudah rapi dengan pakaian santai. Lagi-lagi, tidak ada pakaian cerah di hari ini. Suasana hati Newt sedang baik, Sidney tidak ingin merusaknya. Ia ingin hari ini berjalan dengan damai tanpa adanya teriakan dari pria itu.

"Kau sudah siap?" tanya Newt yang baru menutup pintu kamarnya. Tak jauh berbeda dengan Sidney, pria itu pun tampak santai dengan setelan sederhananya. Bukan kemeja yang ditemani jas dan dasi seperti hari biasanya.

Sidney mengacungkan kedua ibu jarinya dengan semangat. Senyum menghiasi wajahnya. Ditraktir oleh Newt benar-benar membuat suasana hatinya secerah matahari pagi.

"Ayo!" ajak Newt. Ia berjalan lebih dulu, dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana. Sedang Sidney mengekorinya dari belakang.

Sambil melangkah, Newt tak dapat menyembunyikan senyumnya. Beruntung ia berjalan di depan Sidney sehingga gadis itu tak bisa melihatnya.

Satu hal yang baru Newt sadari sejak Sidney tinggal di rumahnya dalam beberapa minggu terakhir: tidak ada salahnya menerima kehadiran orang lain dalam hidupnya. Mungkin, ada saatnya ia membutuhkan orang baru. Dan mungkin Sidney lah orangnya. Dengan gadis itu, ia bisa merasakan berbagai macam emosi yang sudah lama lenyap dari dirinya semenjak beberapa tahun silam. Sidney seolah membangunkan seorang Newt yang telah lama tertidur.

"Newt."

Sapaan lembut dari seorang wanita terdengar di telinga Newt ketika ia baru saja membuka pintu. Keningnya mengerut kala menemukan Louisa di sana.

"Oh, hai, Lou. Bagaimana malammu dengan pria itu?" tanya Newt. Meski kelihatan santai, ia jelas menyindir wanita itu secara terang-terangan.

Tubuh Louisa menegang. Wajahnya pucat seketika. Berbagai macam diksi sudah menyebar di kepalanya untuk memberi alasan seperti biasanya.

Sejujurnya, kemarin Newt tidak mendatangi wanita itu. Ia hanya menyuruh anak buahnya untuk mengawasi Louisa. Dan apa yang Sidney dan Olla katakan memang benar. Rasanya Newt mulai muak dengan segala kebohongan Louisa. Maka dari itu, ia mencoba untuk membuang kepeduliannya terhadap wanita itu. Hanya saja, Newt tak tahu apakah ia bisa atau tidak.

"Newt, aku—"

"Ayo, pergi, Sid."

Sepertinya Newt memang enggan berbicara dengan Louisa. Terbukti dengan dirinya yang segera menarik Sidney dan terburu-buru pergi dari sana. Sedang Sidney sendiri bingung harus melakukan apa ketika melihat drama di antara sepasang kekasih itu.

"Kelihatannya kau mulai muak denganku. Benar begitu Newt Hamilton?"

Louisa kembali buka suara, tetapi tidak terdengar memohon seperti biasanya bila Newt sedang marah. Suaranya lebih terdengar seperti sedang meremehkan pria itu

Terang saja hal itu membuat Newt bertambah geram. Langkahnya pun terhenti dan genggamannya di tangan Sidney semakin erat.

Louisa melangkah dengan anggun, memutus jaraknya dengan Newt. "Kalau kau mulai muak denganku, serahkan saja anak itu kepadaku."

Tampaknya kalimat Louisa barusan benar-benar membuat murka Newt naik beberapa level. Dan dalam sekali sentakan, satu tangan Newt sudah berada di leher Louisa, mendorong wanita itu sampai ke dinding dan mencekiknya tanpa ampun.

"Wanita sialan! Sudah kubilang jangan membawa-bawa anak itu!"

"Le-lepas." Louisa berontak, berusaha menarik dirinya dari serangan Newt. Bahkan, ia sudah memberi cakaran di sekitar rahang pria itu, tetapi usahanya tak membuahkan hasil. Newt benar-benar seperti dirasuki setan. Tidak peduli ia mencekik wanita sekalipun.

"Tuan, hentikan!" Kali ini Sidney ikut ambil bagian. Ia panik melihat Newt mencekik Louisa sampai seperti itu. "Kau bisa membunuhnya."

Usaha pertama Sidney gagal. Newt seperti tak mendengar teriakannya sama sekali. Sidney pun memilih cara lain. Ia segera mengambil tindakan dengan masuk di antara Newt dan Louisa.

"Tuan, hentikan!" teriak Sidney, sambil menarik Newt sekuat tenaga. Tetapi sayang, usaha keduanya pun tak membuahkan hasil. Sementara Louisa sudah hampir kehabisan napas.

"Ayah dan Ibumu sedang dalam perjalanan ke sini!" Akhirnya kalimat itulah yang Sidney teriakkan. Andai tidak berhasil, ia akan segera berlari ke bawah untuk memanggil petugas keamanan.

Syukurlah karena Newt akhirnya melepaskan Louisa. Sidney merasa luar biasa lega. Matanya tak akan melihat mayat di pagi ini.

"Menjauhlah dari hidupku. Aku tak akan terpengaruh lagi dengan kata-katamu sekalipun itu menyangkut soal Elin. Dan jangan pernah berani merebut anak itu dariku," kata Newt. Suaranya begitu pelan, sarat akan sebuah ancaman.

Setelah itu, Newt langsung menarik Sidney dengan sisa-sisa kemarahan yang masih kelihatan di wajahnya, meninggalkan Louisa yang sekarang sudah terduduk lemas di lantai sambil mengisi paru-parunya yang nyaris kosong.

••••

Terima kasih untuk yang masih setia sama cerita ini. Aku kira pembaca cerita ini udah pada kabur wkwk

14 Agustus, 2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top