Bagian 13

Sidney pasti sudah gila karena satu tangannya baru saja ia perintahkan untuk mengetuk pintu ruang kerja Newt. Sedang tangan yang satunya lagi memegang segelas susu cokelat hangat. Padahal, Sidney hanya ingin menyerahkan susu tersebut kepada Newt, tetapi rasanya seperti akan dieksekusi mati.

"Masuk!"

Gelas yang berada di genggaman Sidney nyaris terjatuh akibat seruan kuat Newt dari dalam yang berhasil mengagetkannya. Sial! Kenapa ia jadi segugup ini?

Untuk mengurangi kegelisahannya, Sidney menghirup udara banyak-banyak. Setidaknya mengumpulkan oksigen kalau saja di dalam nanti ia tidak dibiarkan bernapas oleh Newt yang ia yakini masih diliputi api kemarahan.

Menginjakkan kakinya di ruang kerja Newt, yang pertama kali menarik perhatian Sidney adalah dekorasi ruangannya yang luar biasa indah. Warna putih mendominasi dengan hitam sebagai tambahan. Kelihatan begitu elegan dan nyaman.

Sidney menggelengkan kepalanya. Bukan waktunya untuk mengagumi ruangan ini.

Kedua kaki kecil Sidney melangkah menghampiri Newt. Khusus untuk hari ini, ia tak menggunakan pakaian berwarna cerah. Syukurlah karena beberapa pakaian miliknya ada yang berwarna gelap. Seperti kaus dan celana pendek yang saat ini tengah dipakainya.

"Ada apa?" tanya Newt, mengalihkan sejenak perhatiannya dari beberapa kertas yang tergeletak di atas meja.

Sidney menelan ludahnya kelu kala pandangannya tanpa sengaja jatuh pada dada bidang Newt yang tampak jelas sebab dua atau tiga kancing kemeja putihnya terbuka. Perutnya pun merasa tergelitik. Dada pria itu tak kalah indah dengan ruangan ini.

Oh, sial! Fokus, Sidney.

"Maaf, aku mengganggumu. Tapi Bibi Olivia berpesan kepadaku untuk membuatkanmu susu hangat," ucap Sidney, terdengar begitu pelan.

Kalau saja Olivia tidak menyuruhnya untuk melakukan hal ini, Sidney tak akan mau menemui Newt. Pria itu seperti macan yang sedang kelaparan sejak pulang tadi. Apalagi penyebab utamanya kalau bukan karena Louisa. Sidney benar-benar takut menjadi santapan si macan yang tengah kelaparan.

"Aku tidak butuh susu. Jauhkan gelas itu dariku." Newt menggerakkan tangannya, menyuruh Sidney untuk pergi dengan segelas susu tersebut.

"Tapi—"

Sidney tidak berani melanjutkan kalimatnya saat mata Newt semakin menghunus tajam ke arahnya. Kalau sedang marah seperti ini, Newt bukan lagi terlihat menyebalkan di mata Sidney, tetapi mengerikan.

"Baiklah. Aku pergi dulu."

Pada akhirnya, Sidney menuruti perintah Newt. Yang penting ia sudah melaksanakan apa yang Olivia suruh meski tidak berhasil.

"Sebagai gantinya, bawakan aku sebotol alkohol."

Sidney membalikkan badannya untuk kembali berhadapan dengan Newt. Ia melihat pria itu sedang sibuk dengan kertas-kertas yang berserak di atas mejanya.

"Maaf, Tuan, tetapi Bibi Olivia tidak memperbolehkanmu minum alkohol dalam keadaan seperti ini."

Newt membanting pulpennya. Mata tajamnya menyorot Sidney dengan kesal. "Kau ini sebenarnya apa, hah? Kau bukan penjagaku. Jadi, ambilkan saja sebotol alkohol untukku."

Setidaknya Sidney sedikit lega sebab Newt sudah berbicara seperti biasa. Kemarahan tampak sudah bertukar tempat dengan kekesalan. Syukurlah, pikir Sidney.

"Baiklah. Tapi sebaiknya aku memberi tahu Bibi Olivia dulu kalau kau ingin minum alkohol," kata Sidney, merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel.

Sejujurnya Sidney tak terlalu peduli apa yang akan masuk ke dalam perut Newt. Namun, karena Olivia bilang Newt akan semakin parah bila minum alkohol dalam keadaan marah, maka Sidney pun menuruti apa yang Olivia sarankan. Melihat kemarahan Newt saja mampu membuat bulu kuduknya merinding. Bagaimana bila pria itu semakin menjadi jika minum alkohol. Mungkin seluruh bulu di tubuh Sidney akan rontok. Mengerikan.

Newt hampir mengerang kuat. Dalam sekejap ia sudah mengambil posisi berdiri di hadapan Sidney, merampas ponsel gadis itu. Newt masih cukup waras untuk tak berurusan dengan kedua orangtuanya. Kalau itu sampai terjadi, maka akan semakin lama ia mendapat jabatan sebagai managing director di perusahaan.

"Kau mau mati?" geram Newt. Tubuh rampingnya memojokkan Sidney di meja.

Mata Sidney memandang dengan sedikit kepanikan. Andai saja Newt tidak mengurungnya seperti ini, mungkin Sidney sudah mengambil ancang-ancang untuk segera kabur.

Darah mengalir dengan cepat di tubuh Sidney kala Newt memajukan badannya, membuat kepala Sidney agak terdorong ke belakang untuk menghindari sentuhan dengan pria itu. Kedua tangan berototnya berada di sisi kanan dan kiri Sidney, bertumpu pada pinggiran meja. Posisi Sidney kini semakin terpojok.

"Jangan berani melapor apa pun pada orangtuaku," bisik Newt dengan suara rendah di telinga Sidney. Meski begitu, Sidney mendengar ancaman dalam suaranya.

Lidah Sidney keluar dengan cepat saat ia menjilat bibirnya. Aliran darah di tubuhnya seolah-olah berhenti di wajahnya, menimbulkan rona merah di sana. Sial! Hanya diperlakukan seperti itu saja Sidney sampai merona.

"Kau paham?" Newt menjauhkan tubuhnya dari Sidney walau matanya tak mau lepas dari gadis itu.

Sidney memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya. Hanya sekilas matanya beradu dengan manik biru terang milik Newt sebelum beralih pada detail wajahnya yang lain. Ia merasa tidak nyaman. Aura yang dipancarkan Newt begitu dominan, membuat Sidney merasa kecil.

"Kau paham Sidney Hoverson?" Sekali lagi Newt bertanya. Terdapat tekanan dalam nada suaranya. Dan itu membuat Sidney mengangguk patuh.

Satu sudut bibir Newt tertarik seiring dengan tangannya yang bergerak mengusap rambut Sidney, menepuk-nepuknya seperti seekor anjing yang ingin dimanja.

"Kau boleh keluar dari ruanganku sekarang," ucap Newt, menggeser tubuhnya ke samping, memberi akses jalan untuk Sidney. "Dan jangan lupa bawakan sebotol alkohol untukku."

Entah apa yang terjadi, Sidney seakan terhipnotis pada setiap gerakan Newt sehingga ia menuruti apa yang pria itu ucapkan tanpa memberi kebebasan kepada otaknya untuk berpikir dengan jernih.

Tampaknya Sidney diperdaya oleh pesona seorang Newt yang sialnya berhasil memikat gadis itu. Sidney adalah gadis jinak yang bila diberi perlakuan seperti itu akan langsung luluh.

Dan kini, Sidney tengah memukuli kepalanya, merasa bodoh karena dengan mudahnya terperdaya oleh Newt. Ah! Pria itu memang pandai memainkan emosi para perempuan.

Sambil menahan kedongkolannya, Sidney mengambil sebotol alkohol dari dalam kulkas setelah meletakkan susu hangat yang masih utuh di atas meja dapur.

Tanpa mengetuk seperti sebelumnya, Sidney langsung masuk ke ruangan kerja Newt begitu saja. Sambil berjalan ke arah pria itu, ia memasang dinding tak kasat mata dalam dirinya supaya tak mudah terjerat oleh pesona pria itu untuk yang kedua kalinya.

"Ini alkoholmu. Aku permisi dulu." Setelah meletakkan alkohol tersebut dengan sedikit bantingan, Sidney segera berbalik dan meninggalkan pria itu.

"Aku belum memintamu untuk pergi."

Kekesalan Sidney rasanya sudah naik satu level saat ini.

"Apa lagi, Tuan Newt yang terhormat?" tanya Sidney. Gadis itu pun memutar tubuhnya ke arah pria itu, melepas senyum meski matanya melotot tak senang.

Senyum menyambangi bibir Newt, tipis sekali sampai Sidney tidak menyadarinya. Pria itu mengangkat bokongnya dari kursi, membawa langkahnya menghampiri Sidney. Dalam hitungan detik, tubuh tinggi itu sudah menjulang di hadapan Sidney, dengan satu tangan yang berada di pinggul dan satu tangannya lagi yang menggenggam botol alkohol.

"Temani aku minum," kata Newt, tidak seperti sebuah permintaan, melainkan perintah.

"Maaf, Tuan. Aku sebenarnya ingin sekali menemanimu, tetapi tugasku begitu banyak," bohong Sidney. Mana mau ia menemani pria itu minum. Seperti orang kurang kerjaan saja.

"Tidak mau, ya?" Newt mengangguk-anggukkan kepalanya. Bola matanya berputar sejenak sebelum kembali jatuh pada wajah Sidney. "Baiklah kalau begitu. Kau mau mengemasi barang-barangmu sendiri atau mau kubantu?"

Ancaman itu lagi. Dan sialnya, itu selalu berhasil membuat Sidney tunduk.

"Ah! Kau mau minum, ya? Mari aku temani." Sidney memasang senyum termanis miliknya. Ia pun mengambil alkohol dalam genggaman Newt dan menarik tangan pria itu untuk duduk di sofa panjang yang ada di ruangan ini.

Di dalam hatinya, sambil merutuki Newt, Sidney berjanji akan mencari pekerjaan dan menyewa apartemen sendiri setelah ini. Ia tidak ingin terus diancam seperti itu. Ia merasa tidak berharga sama sekali. Menyedihkan.

"Apa harus diancam dulu baru kau mau menuruti ucapanku?" tanya Newt, sambil membuka tutup botol alkoholnya, kemudian meneguknya langsung.

"Sepertinya iya."

"Seharusnya kau melawan. Mulutmu itu kan pandai sekali berkilah."

"Orang miskin sepertiku mana bisa melawan orang sepertimu. Bahkan, otak bodohku saja tidak bisa berpikir banyak saat berhadapan denganmu."

Newt terkekeh pelan. Ia tahu kalimat Sidney bermaksud menyindirnya soal ucapan tajamnya waktu itu. Dan Newt tak dapat mengelak kalau waktu itu ia merasa bersalah dengan Sidney. Itu pertama kalinya Newt kembali merasa bersalah kepada orang lain setelah bertahun-tahun lamanya. Dan itu sungguh membuatnya frustasi.

"Bagaimana hubunganmu dengan Louisa?"

Sidney hanya bermaksud memecah keheningan di antara mereka, tetapi sepertinya ia salah melontarkan pertanyaan. Sebab, air muka Newt langsung berubah tegang. Dan Sidney hanya bisa berdoa agar Newt tidak menendangnya dari sini.

"Sulit menjelaskannya."

Sidney benar-benar terkejut saat Newt menjawab pertanyaannya. Pria itu bukannya terlihat marah seperti yang Sidney bayangkan sebelumnya, tetapi dia tampak tak bersemangat. Dan itu sedikit mengundang simpati Sidney.

"Belakangan ini dia banyak berulah. Macam-macam alasan dia berikan. Dan sialnya semua alasannya masuk akal sehingga aku tak bisa berbuat apa-apa."

"Jadi, kau membiarkannya begitu saja?"

Newt mengangguk. Meneguk kembali alkohol dalam genggamannya.

"Sepertinya kau harus lebih tegas lagi. Kalau kau terus memaklumi setiap alasannya, mungkin dia akan terus berulah," komentar Sidney, memberi nasihat yang dirasa cukup bagus.

Newt hanya bergumam. Lagi-lagi kesunyian menyelimuti keduanya. Sidney bingung harus berbicara apa lagi. Sementara Newt masih terus mencerna apa yang Sidney sarankan.

Jantung Sidney rasanya hampir lari dari tempatnya ketika Newt tiba-tiba saja menjatuhkan kepalanya di atas bahunya.

"Aku mengantuk," kata Newt, memberi tahu Sidney apa maksud dari sikapnya.

"Sebaiknya kau pindah ke kamar saja," sahut Sidney yang mendadak diliputi kegugupan.

"Tidak. Aku butuh teman," desak Newt.

Sidney menoleh ke arah Newt dan mendapati kedua mata pria itu sudah terpejam. Sidney sendiri merasa bingung dengan situasi seperti ini. Awalnya ia sempat meragu, menolak atau tetap menerimanya. Namun, karena rasa simpatinya sudah bertransformasi menjadi empati, maka untuk kali ini Sidney dengan sukarela menuruti kemauan Newt. Jadilah mereka berakhir dengan posisi seperti itu.

Dan keduanya tak bisa menampik bahwa posisi tersebut justru membuat mereka nyaman.

••••

13 Agustus, 2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top