Bagian 12
Sinar matahari begitu menyilaukan di sore ini. Matahari seolah enggan pergi dari peraduannya meski bulan sudah ingin cepat-cepat menggantikan posisi matahari. Sesekali angin berhembus, menerpa rambut sepunggung Sidney yang tengah berjalan di area kampus untuk pulang.
Kepalanya masih dipenuhi dengan Newt yang bersikap aneh kemarin malam. Rasa enggan untuk pulang ke penthouse pria itu semakin bertambah kala ingatannya kembali digali akan ucapan tajam Newt soal masakannya. Jujur saja, hatinya masih sakit ketika mengingat hal itu.
"Sid, aku duluan!"
Sidney membalikkan badan ke kiri, mencari asal suara dan menemukan pasangan muda berjalan tak jauh darinya.
"Hati-hati!" Sidney melambaikan tangannya.
Suara yang baru saja menyapanya adalah milik Lisa. Temannya itu dijemput oleh kekasihnya. Bikin iri saja.
Sambil berjalan, Sidney tak henti memikirkan bagaimana sikap yang harus ditunjukkannya nanti ketika berhadapan dengan Newt. Apa ia menghindar seperti biasanya saja? Menghindar pun rasanya percuma sebab ia tinggal serumah dengan Newt. Apa ia harus menginap sehari lagi di rumah Lisa?
"Ah! Pria itu membingungkan sekali." Sidney mengusap wajahnya. Embusan napas kasar lolos dari mulutnya.
"Siapa yang membingungkan?"
Interupsi dari belakang membuat kaki Sidney berhenti melangkah. Ia seperti kenal dengan suara tersebut. Perlahan, Sidney pun berbalik dan menemukan mata biru terang yang tengah menatap tajam dirinya.
Ya, Tuhan! Itu adalah Newt. Baru saja Sidney memikirkannya, kini pria itu sudah berada di depannya. Dan apa yang dilakukan Newt di kampusnya?
"Ka-kau sedang apa?" tanya Sidney. Suaranya terbata-bata, belum siap rasanya bertemu dengan pria itu.
"Menjemputmu," jawab Newt dengan enteng. Berbanding terbalik dengan Sidney yang entah bagaimana bisa tiba-tiba saja merasa gugup. "Ayo!"
Rahang Sidney hampir menyentuh tanah saking lebarnya mulutnya menganga. Bagaimana tidak, Newt datang ke sini untuk menjemputnya? Yang benar saja. Kenapa pria itu berubah menjadi baik? Rasanya Sidney tidak memasukkan apa pun ke dalam masakannya kemarin malam.
"Hey, Kuning! Cepatlah."
Teguran dari Newt membuat Sidney meninggalkan segala pemikirannya. Ia pun menyusul pria itu yang sudah berjalan beberapa langkah di depannya.
"Pakai sabuk pengamanmu," perintah Newt ketika Sidney baru saja duduk di sampingnya.
"Ah, iya."
"Kau jangan besar kepala dulu karena aku menjemputmu. Aku melakukan ini karena Mama yang menyuruh," ucap Newt blak-blakan sembari menjalankan mobilnya.
Detik itu pula, tak ada lagi alasan bagi Sidney untuk mempertanyakan sikap Newt yang mendadak berubah. Sebab, pria itu masih sama. Hanya tadi malam saja pria itu sedikit membingungkan dengan bersikap lembut kepadanya.
Alhasil, Sidney hanya mengangguk tanpa suara.
Setelah itu, keheningan menyelimuti mereka dalam beberapa menit. Dan dihapuskan oleh nada dering yang berasal dari ponsel Newt.
"Ya, Louisa?"
Awalnya Sidney bermaksud untuk menulikan telinganya dan berusaha untuk tidak menguping Newt yang tengah menjawab panggilan masuk. Namun, saat nama Louisa terdengar di telinganya, ia jadi teringat dengan wanita yang ia temui di pinggir jalan waktu itu.
Seingatnya, Louisa adalah nama kekasih Newt. Dan Louisa adalah orang yang sama dengan yang waktu itu dilihatnya tengah bercumbu bersama pria lain. Jadi, Newt rupanya masih berhubungan dengan wanita itu. Lalu, kenapa Louisa berciuman dengan pria lain?
"Baiklah. Nanti malam aku akan ke apartemenmu."
Setelah yakin bahwa kalimat barusan adalah akhir dari pembicaraan Newt dengan Louisa, Sidney mengalihkan pandangannya ke arah pria itu. Ragu-ragu ia bertanya apa yang benaknya ingin tanyakan.
"Tuan, apa kau masih berhubungan dengan kekasihmu itu?"
Newt menaikkan alisnya. "Kenapa?"
Bukan jawaban yang Sidney dapat, melainkan sebuah pertanyaan. Walau begitu, pertanyaan balik dari Newt ia anggap sebagai jawaban bahwa pria itu masih menjalin hubungan dengan Louisa.
"Tidak ada. Aku hanya bertanya."
Sidney bingung harus memberi tahu tentang apa yang dilihatnya waktu itu atau tidak. Pasalnya, ia memiliki janji dengan Newt untuk tidak saling mengurusi hidup satu sama lainnya. Sidney belum siap ditendang dari rumah pria itu.
"Kita ingin ke mana?" tanya Sidney saat menyadari bahwa mobil yang dikendarai Newt tidak menuju ke penthouse pria itu. Kalau memang tujuan mereka ke sana, mereka pasti sudah sampai sejak tadi.
"Ke rumah orangtuaku."
Sidney hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Tahulah ia kenapa Newt menjemputnya.
"Perjanjian kita, Sidney. Katakan yang baik-baik kepada orangtuaku nanti." Newt mengingatkan.
"Ya ya, aku tahu." Sidney mendesah dan merengut di dalam hati.
Senyum menggelitik bibir Newt. "Bagus."
Tak berselang lama, keduanya pun tiba di kediaman Hamilton. Untuk kedua kalinya, Sidney menginjakkan kakinya di rumah super mewah ini. Kekagumannya masih tak hilang dari dirinya meski ia pernah tinggal di sini selama dua atau tiga hari.
"Oh! Kalian sudah datang."
Olivia Hamilton yang sedang bersantai di halaman belakang menyambut kedatangan mereka dengan senyum hangat khas seorang ibu.
"Hai, Ma," sapa Newt, menghampiri Olivia dan mencium dahi wanita yang paling dicintainya itu.
Sidney mengikuti. Ia mendekat ke arah Olivia, menyapa dan memberi ciuman di pipi kanan dan kiri wanita itu meski ia melakukannya dengan gerakan canggung. Entahlah, berada dekat dengan keluarga Hamilton selalu membuatnya gugup. Kecuali Newt. Khusus untuk Hamilton yang satu itu, ia selalu dibuat jengkel.
"Bagaimana kuliahmu, Sidney?" tanya Olivia, sambil mempersilakan mereka untuk duduk.
"Tidak ada masalah, Bibi. Semuanya baik," jawab Sidney, tersenyum.
"Oh, baguslah," Olivia ikut senang. Lalu, ia memajukan sedikit wajahnya ke arah Sidney. "Kalau Newt, dia baik kepadamu, kan?" bisiknya, melirik anak sulungnya yang tengah sibuk dengan ponselnya.
Sidney tersenyum kecut. "Ya, dia baik padaku."
Di dalam hatinya, Sidney memohon ampun kepada Tuhan karena sudah berbohong kepada orang yang sangat baik kepadanya. Dosanya pasti begitu besar.
Walaupun sedang mengotak-atik ponselnya, Newt tetap mendengar apa yang Sidney dan ibunya bicarakan. Ia pun tak bisa lagi menyembunyikan senyumnya.
"Kalian sudah di sini rupanya."
Dari arah belakang, muncul Nate dengan celemek merah muda dan semangkuk kue kering di tangannya.
"Halo, Paman!" sapa Sidney dengan senyum sopannya.
"Hai, Sid. Newt tidak menjahatimu, kan?" tanya Nate seraya mengambil duduk di samping Olivia.
"Oh, ya, Tuhan! Kenapa Papa dan Mama menanyakan hal yang sama?" Newt mengerang, melempar tatapan kesal kepada kedua orangtuanya.
Olivia mengambil kue buatan Nate, menyuruh Sidney untuk memakannya juga. "Sifatmu itu kan memang perlu dikhawatirkan, Newt."
Sidney menuruti apa yang Olivia katakan. Kini, sambil memakan kue kering buatan Nate, ia menyaksikan perdebatan kecil antara Newt dengan orangtuanya. Hal itu membuat Sidney merasa terhibur. Newt yang biasanya tak pernah absen meneriakinya, kini tak berkutik bila berhadapan dengan orangtuanya. Lucu sekali.
"Newt! Kebetulan sekali kau sedang berada di sini."
Satu orang lagi hadir di antara mereka. Wanita yang memiliki bentuk tubuh nyaris sempurna yang selalu membuat iri setiap perempuan, termasuk Sidney, menghampiri Newt dengan heboh.
"Kau berisik sekali, Olla," kata Newt, merasa terganggu dengan keributan yang adik perempuannya itu lakukan.
"Oh! Hai, Sidney." Olla menyapa Sidney saat menyadari gadis itu juga ada di sini.
Sidney hanya menghadiahi sebuah senyuman serta anggukkan sopan kepada anak ketiga dari pasangan Nate dan Olivia Hamilton itu.
"Kau harus tahu, Newt. Saat aku baru saja pulang pemotretan, aku bertemu Louisa," ucap Olla menggebu-gebu.
Newt memutar kedua bola matanya. "Lalu aku harus apa?"
"Dia ternyata pergi dengan seorang pria."
Awalnya Newt merasa tak tertarik dengan perkataan Olla, tetapi kini manik birunya sudah menatap lekat adiknya itu, menunggu kelanjutan dari ceritanya.
"Dan mereka berciuman, Newt. Oh, Tuhan! Rasanya tanganku sudah gatal ingin menjambak rambutnya saat itu juga."
Sontak semua orang dibuat terkejut dengan ucapan Olla. Newt yang paling kentara.
"Apa kau yakin dengan yang kau lihat, Olla?" tanya Olivia.
"Aku yakin seratus persen, Ma. Mama tahu sendiri kalau mataku yang paling bagus di keluarga ini."
"Apa laki-laki itu berbadan besar?" Kali ini gantian Sidney yang bertanya. Semua orang pun menoleh ke arahnya dengan bingung.
"Ya," jawab Olla.
"Rambutnya berwarna keemasan?"
Olla membelalakkan matanya. "Kau tahu?"
"Sejujurnya aku juga pernah melihat Louisa berciuman dengan pria lain." Sidney meringis di akhir kalimat. Ia sempat melirik ke arah Newt, merasa tak enak dengan pria itu.
"Aku pergi dulu." Tiba-tiba saja Newt bangkit dari duduknya, pergi begitu saja tanpa memedulikan panggilan dari orangtuanya.
Semua pun tahu kalau saat ini Newt tengah marah.
••••
12 Agustus, 2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top