Tujuh Belas
||Rabu, 17.00||
Kyla's POV
"Ayo kita pindah rumah," ucap ayah.
"Mau pindah ke mana?" tanya ibu.
"Ke apartemen. Tetapi yang jauh dari sini."
"Bagaimana dengan sekolahku?" tanyaku.
Sebenarnya, aku tidak terlalu peduli dengan sekolah. Tetapi, jika pindah sekolah, maka aku tidak bisa bertemu dengan Ryan lagi.
"Kita harus pindah. Bagaimana jika kau berhenti sekolah? Kau bisa menjadi asisten kita," jawab ayah.
"Tidak masuk akal. Aku akan tetap sekolah," jawabku.
"Bukankah aku sudah bilang bahwa belajar itu tidak penting?" tanya ibu.
"Ayo kita bekerja lagi hari ini," ajak ayah tiba-tiba.
"Ayah! Jangan lakukan itu untuk sementara. Tunggulah hingga berita itu mereda," ucapku.
Bodoh sekali. Padahal semua orang sedang membicarakan tentang ditemukannya mayat di sungai. Tetapi, mereka tetap ingin membunuh orang lagi. Rasanya seperti menggali kuburan sendiri.
"Memangnya ada masalah dengan itu?" tanya ayah. "Kita juga selalu melakukan pembunuhan meski ada berita."
"Tetapi, ada tiga korban yang ditemukan," ucapku.
"Lalu?" tanya ayah.
"Bisakah ayah mendengarkanku sekali saja? Bukankah ini demi kebaikan kalian?"
"Kebaikan?" Ayah tertawa. "Hei, bocah, kau tahu apa?"
"Pokoknya, jangan melakukan apa-apa selama seminggu ini. Jika kalian menyuruhku belanja, aku tidak akan mau menurutinya."
"Anak kurang ajar! Tidak tahu diuntung."
"Kita tidak perlu pindah untuk menghindari polisi. Kalian hanya perlu berhenti sementara," ucapku.
"Kau siapa berani menentangku?!" teriak ayah.
"Kau siapa berani meneriakiku?!" balasku.
"Ayo kita bunuh dia hari ini," ucap ayah sambil menunjuk diriku.
Aku muak.
Bunuh, bunuh, bunuh, bunuh.
Selalu saja kata itu yang keluar dari mulut mereka berdua.
Sungguh, aku muak.
Jika aku bukan orang yang kuat, aku sudah menyerah sejak dulu.
"Bunuh! Bunuh aku! Aku sudah siap dibunuh sejak aku lahir!" teriakku. "Memiliki orang tua seperti kalian, rasanya memuakkan hingga ingin mati!"
"Kyla! Jangan berteriak kepada orang tuamu," ucap ibu.
Sungguh, Ibu? Kau lebih mementingkan cara bicaraku daripada apa yang aku bicarakan?
"Orang tua?" Aku mendecih. "Kalian tidak pantas menjadi orang tua."
"KYLA!" teriak ibu.
Jarang sekali ibu teriak histeris seperti ini. Mungkin aku sudah keterlaluan. Tetapi, aku tidak merasa bersalah.
"Sampai kapan aku harus hidup seperti ini?" tanyaku.
"Apa maksudmu?" tanya ayah.
"Sampai kapan aku harus hidup di tengah-tengah monster seperti kalian?!"
"Jaga mulutmu!" bentak ayah.
"Jaga mulutku? Sampai kapan aku harus menjaga mulutku? Sampai aku mati?" tanyaku. "Kalau begitu, bunuh aku sekarang. Bunuh aku!"
"Kau masih berguna di hidup kami," ucap ibu.
Berguna? Aku memutar bola mataku. Omong kosong macam apa itu? Berguna untuk membeli peralatan pembunuhan?
Wah, jika diingat lagi, aku jadi merasa sangat berguna.
"Bereskan barang-barangmu. Kita akan pindah besok," ucap ayah ketus.
"Tidak. Aku tidak mau pindah," ucapku tidak kalah ketus.
"Ikuti saja perintah orang tuamu!" teriak ayah.
"Sebelum aku mati, aku tidak memperbolehkan kalian pindah."
Ayah tertawa. "Kenapa kau yang memberi keputusan?"
Aku tidak membalas pertanyaan ayah melainkan pergi ke dapur. Aku mengambil pisau dapur di sana. Aku mengenggamnya kuat lalu kembali ke ruang tamu.
"Karena aku akan membunuh diriku di sini," jawabku.
Maaf.
Seharusnya, aku menangkap kedua orang tuaku sebelum aku mati.
Seharusnya, aku percaya kepada Ryan dalam rencananya kali ini.
Tetapi, aku frustasi. Rasanya sesak. Semuanya buram. Mataku sudah tidak bisa melihat warna dengan jelas lagi.
Orang tuaku tidak ada bergerak sedikit pun. Mungkin mereka tidak menyayangkan kematianku.
Aku menggerakan tanganku menuju depan perutku. Tanganku gemetaran.
BRAK!!!
Aku segera menjatuhkan pisaunya ketika pintu unitku didobrak.
Ada tiga pria berseragam polisi yang masuk. Mataku membulat melihatnya. Aku pun langsung melihat reaksi dari kedua orang tuaku. Ternyata mereka tidak berubah sejak dulu.
Mata ibu sudah berkaca-kaca dan ia menutup mulutnya dengan telapak tangannya. Seakan-akan, dia adalah orang paling sedih sedunia. Sedangkan Ayah hanya terdiam sambil menepuk bahu ibu.
Aku muak.
Aku muak dengan semuanya.
Apa ini semua sudah cukup untuk menjadi alasan aku mengakhiri hidupku?
Mungkin ... tidak?
"Kami dari pihak kepolisian," ucap salah satu polisi lalu memperlihatkan kartu pengenalnya. "Kami menerima laporan pembunuhan di unit ini."
"Pembunuhan apa, Pak?" tanya ibu dengan suara paraunya.
"Pembunuhan banyak kasus. Kalian bertiga harus ke kantor polisi sekarang. Mohon kerja samanya," ucap polisi itu lalu melihat ke arahku. "Apa-apaan pisau itu?"
"Maaf, Pak," ucap ayah. "Anak kami, Kyla, mengalami gangguan jiwa sejak kecil. Baru saja ia akan menusuk perutnya sendiri. Untung saja bapak datang."
Loh? Kenapa topiknya tiba-tiba berubah?
Padahal aku ingin mendengar ucapan para polisi saat menangkap kedua orang tuaku. Atau paling tidak, sebutkan bukti yang pihak polisi sudah dapatkan.
"Tidak, Pak! Saya seratus persen waras. Tolong percaya saya," ucapku.
"Apa benar kau hendak menusuk perutmu sendiri?" tanya polisi yang lain.
Aku terdiam.
Jika aku bilang tidak, pasti orang tuaku akan bersikeras mengatakan bahwa aku berbohong. Mereka juga saksi. Sepertinya tidak aman.
Jika aku bilang iya, berarti aku mengakui bahwa aku sakit jiwa? Apa lebih baik begitu?
Apa lebih baik aku menjadi gila saja sekalian?
"Iya. Saya ingin menusuk perut saya," jawabku.
Ibu terisak. "Sudah seringkali Kyla bertingkah seperti ini. Ia selalu saja ingin membunuh dirinya sendiri. Saya sebagai orang tuanya, hanya bisa menangis sepanjang hari."
Aku menatap ibuku dengan tatapan tidak suka. Apa-apaan dia ini? Bisa-bisanya dia mengarang cerita seperti itu.
"Itu bohong! Ini percobaan pertama saya," ucapku.
"Lebih baik kalian bertiga segera ikut kami," ucap polisi itu lalu memborgol tanganku.
Kenapa mereka hanya memborgol tanganku?
Hei, pembunuhnya adalah orang tuaku!
"Pak, kenapa orang tua saya tidak diborgol?" tanyaku.
"Tenangkan dirimu dan pastikan menjawab jujur saat diinterogasi, oke?"
***
Aku menundukㅡmelihat borgol yang ada di tanganku.
Setelah ayah dan ibu diinterogasi, kini giliranku. Pasti mereka sudah mengarang banyak.
Tetapi, ada sedikit kelegaan di hatiku.
Mencapai kantor polisi itu merupakan kemajuan besar, bukan? Kenapa aku tiba-tiba merasa senang? Bahkan jantungku berdetak sangat kencang. Rasanya seperti menunggu sesuatu yang sangat spesial.
Excited.
Iya. Perasaan itu. Ini pertama kali aku merasakannya.
========
15-06-2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top