Tiga Belas
¦¦Kamis, 15.06¦¦
Kyla's POV
"Apa lagi petunjuk yang lu dapet?" tanyaku.
"Mutilasi itu memang kunci utamanya. Katanya organ dalamnya gak ada, kan? Dengan kata lain, pelaku ini ikut serta dalam pasar gelap. Jadi, pelaku ini adalah orang kaya raya," ucap Ryan.
Ah, itu. Aku pernah mendengarnya di kelas. Tetapi, ia salah besar. Keluargaku sangat miskin. Mungkin jika semua hutang ayahku dijumlahkan, bisa membiayai sepuluh orang untuk keliling dunia. Ah, maaf. Mungkin aku berlebihan.
"Iyakah?" tanyaku.
Ryan terdiam sebentar lalu menjawab. "Nggak juga sih. Bisa aja buat bayar hutangnya? Biasanya orang yang melakukan kriminal itu sering main judi sampai uangnya habis."
"Begitukah?"
"Dari tadi jawabanlu gitu-gitu amat sih."
"Lagian lu jadi kayak penulis novel deh. Banyak ngarang, banyak menghayal," jawabku.
"Loh, gak apa-apa dong. Kreatif. Emang elo, gak bisa apa-apa."
Sialan.
Aku ingin mengatakan semuanya kepada Ryan. Apa sekarang adalah waktu yang tepat? Atau aku mencari alasan terlebih dulu?
Aku membuka mulutku tetapi menutupnya lagi sedetik kemudian. Aku ragu. Apa memberitahu Ryan adalah keputusan yang tepat?
"Ryan," panggilku pada akhirnya.
"Hm?"
"Jangan kaget ya. Apapun yang gue bilang setelah ini, jangan kaget. Jangan teriak, jangan lakuin apapun. Dengerin dulu sampai selesai. Oke?"
Ryan menegakkan punggungnya agar lebih serius. "Iya."
"Gue tahu tempat tinggal pembunuh berantai itu."
Ryan segera menutup mulut dengan kedua telapak tangannya. Ia pasti sangat terkejut. Jika aku langsung memberitahu bahwa orang tuaku lah yang merupakan pembunuh, mungkin ia bisa stroke.
"Se-serius? Kok lu bisa tau? Setau gue, lu gak pernah terlihat peduli sama kasus ini. Lu polisi? Detektif? Penguntit?"
"Konyol," jawabku singkat.
"Di mana?" tanyanya pelan.
"Lu percaya sama perkataan gue tadi?" tanyaku.
Jika ia bilang tidak, mungkin aku bisa memberitahunya lain kali. Aku berharap agar ia menganggap ini hanya sebatas candaan.
"Percaya, lah!"
"Kenapa lu percaya?"
"Lu liat aja sendiri. Kapan lu pernah ketawa di hidup lu? Orang kayak lu yang gak pernah ketawa, mana bisa bercanda."
Aku tidak percaya dengan apa yang ia katakan. Sungguh di luar harapanku.
"Makanya lu itu ga asik. Makanya lu ga punya tem--ah, nggak jadi. Ayo kasih tau di mana," lanjutnya.
Orang ini benar-benar. Ia ingin menghinaku atau apa? Iya aku tahu bahwa aku tidak punya teman. Lagipula masa bodoh. Tidak punya teman bukan berarti tidak punya hidup.
"Apartemen Thulla Nomor 506," jawabku.
"HEI!" teriaknya.
"Apa? Gue udah bilang jangan teriak," kataku.
"Kan jangan teriaknya cuma buat ucapan yang tadi. Yang ini belom lu suruh," jawabnya.
"Dasar bodoh."
Aku dan Ryan saling diam untuk beberapa detik lalu tiba-tiba ia tersentak. Seakan-akan saraf otaknya terputus sesaat dan kembali tersambung.
"Seriously? Nomor 506? Lantai lima? Apartemen Thulla? Sedangkan gue di Nomor 514? Dan setahu gue? Lu juga di lantai lima? Jadi? Selama ini? Kita berdua selantai sama dia? Astaga?"
Aku mengerutkan dahiku karena nada bicaranya yang sangat aneh. Bahkan lebih aneh daripada diriku yang dicap aneh oleh teman sekelas.
Kabar baiknya, Ryan tidak tahu aku tinggal di unit nomor berapa.
"Ngomong apaan sih?" tanyaku.
"Itu gila, Kyla! Bilang lu bohong atau lu bercanda atau apapun itu."
"Gue gak bohong. Gue gak bercanda," jawabku.
"Jadi selama ini kita tinggal bareng sama pembunuh itu? Selantai? Memakai lift yang sama setiap hari? Melewati parkiran yang sama setiap hari?"
Aku mengangguk. "Tetapi kalo soal parkiran... gue gak yakin. Mungkin mereka lebih suka melewati jalan belakang apartemen."
Ryan menatapku intens. Aku awalnya heran dengan apa yang ia lakukan. Tetapi, beberapa detik kemudian, aku segera menutup mulutku. Shit. Keceplosan.
"Kyla? Tadi lu bilang apa? 'Mereka'? Sedangkan sedari tadi gue bilangnya 'dia'?"
Aku bingung harus menjawab apa. Terlebih lagi, kenapa dia terus menggunakan nada bicara yang sama sedari tadi?!
"Jawab, Kyla. Lu bilang 'mereka'? Lu tahu kalo pelakunya lebih dari satu orang? Kenapa lu bisa tahu?" lanjutnya.
Aku masih diam.
"Gue memang merasa aneh sedari tadi. Lu terlihat menguji gue saat gue ngasih tahu petunjuk yang gue dapet. Lu tahu tempat tinggalnya. Lu bahkan tahu nomornya. Ditambah lagi, lu tahu pelakunya lebih dari satu. Lu kaki tangannya? Tidak ada saksi yang mengetahui semua hal ini tanpa melaporkan ke polisi," ucapnya lagi.
Aku diam seribu bahasa一terutama saat ia bilang bahwa aku kaki tangan. Aku tidak bisa menolak pernyataan itu.
Siapapun tolong. Aku harus melakukan apa?
"Meski lu temen gue, tapi kalo lu itu kaki tangan pembunuh, gue gak bisa maafin lu, Kyla. Lu udah bunuh orang. Lu udah ngancurin hidup orang一banyak orang." Suara Ryan terdengar sangat tegas.
Aku menggigit bibirku. Aku masih belum bisa mengatakan sepatah kata pun. Jika aku mengatakan semuanya sekarang, ia tidak akan percaya.
"Tujuan lu kasih tau itu semua ke gue apa? Ternyata perkiraan gue selama ini bener ya. Lu itu memang cuma mau narik perhatian gue dengan pengetahuan lu tentang kasus itu. Gak heran, lu ngajakin gue ngobrol terus. Ternyata kata temen-temen sekelas itu bener. Lu itu memang orang aneh."
"Ryan, gak gitu," jawabku lemah.
"Kalo gak gitu, berarti apa? Setelah lu ngomong poin pentingnya, lu langsung nutup mulut lu seakan lu udah melakukan kesalahan fatal. Dari tadi gue ngomong, lu gak potong sama sekali. Dengan kata lain, itu semua sungguhan, Kyla! Dasar gila." Ryan segera mengambil ponselnya.
"Lu mau nelpon siapa?" tanyaku saat melihatnya mengetik nomor.
"Polisi."
=========
07-07-2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top