Sepuluh
¦¦Selasa, 18.00¦¦
Kyla's POV
"Jangan ngomong sesuatu yang sok bijak begitu. Gak cocok," jawabku.
"Gak percaya?" tanya Ryan.
"Emangnya lu bisa dipercaya?"
"Kalo gue gak bisa dipercaya, untuk apa gue mau baca struk belanjaannya?"
"Itu kan gara-gara gue bentak," jawabku yang mengingat kejadian waktu itu.
Ryan tersenyum. What? Dia tersenyum?
"Kali ini gak perlu lu bentak kok. Gue bantu lu dengan sepenuh hati," ucap Ryan. "Sekarang lu pulang dulu. Gue mau siap-siap buat les. Biasa juga kita ketemu lagi pas gue mau berangkat kan?"
Aku mengangguk ragu. "Tapi hari ini gue gak ke minimarket lagi."
"Ya pokoknya kita lanjut lagi pembicaraan kita lain kali. Lu mau ngomong selama apapun, gue ladenin deh," jawab Ryan. "Tapi kalo ada yang mau dikasih tau sekarang, kasih tau aja."
"Kenapa?"
"Hm?" Ryan mengangkat satu alisnya.
"Kenapa lu mau ngelakuin itu semua?"
Nah, sifat curigaku keluar lagi.
Ryan terkekeh. "Dibilang kepo bisa, dibilang penasaran juga bisa. Pokoknya, gue itu orangnya penasaran banget. Tingkah lu yang aneh bikin gue pengen tau alasannya."
"Lu bisa jaga rahasia?" tanyaku pada akhirnya.
"Asal nggak sebesar rahasia negara sih bisa," jawabnya.
"Ini aib terbesar gue. Tepatnya, keluarga gue. Lu yakin bisa jaga?" tanyaku lagi.
Ryan terlihat berpikir sebentar. "Kalo lu percaya sama gue, silahkan kasih tau."
Haruskah aku memberitahunya? Sekarang? Apa aku harus benar-benar memberitahunya? Apakah aku harus mengatakannya? Kepada Ryan?
Aku takut. Aku sangat takut. Aku takut membayangkan reaksinya nanti. Aku takut kalau dia melaporkannya kepada polisi. Aku takut karena aku akan mengingkari janjiku kepada orang tuaku. Aku takut semuanya. Aku... takut.
"Ehm... Ryan," panggilku.
"Hm?"
"Maaf. Mungkin lain kali," ucapku lalu berjalan menuju lobby apartemen.
"Oke," jawab Ryan lalu mengikuti langkahku.
***
¦¦Rabu, 18.59¦¦
Aku sudah selesai berbelanja. Aku bertemu dengan kasir yang biasa. Lucunya, kita berkenalan tadi. Anne namanya. Dia masih menyebutkan barang belanjaanku meski dulu aku pernah memarahinya. Biarlah. Siapa tahu dia bisa membantu.
"Halo, tukang belanja," sapa Ryan ketika kita bertemu di koridor. "Kali ini jangan dijatuhin ya, kasih langsung aja ke cowok ganteng ini."
Aku mendengus lalu memberinya struk itu. "Mau gue kasih tahu arti dari struk ini?"
"Mau dong."
"Besok pagi, lu buka internet. Kalo bisa sih di TV pukul tujuh pagi. Tapi kita di sekolah kan jam segitu? Jadinya liat di internet aja," ucapku.
"Kenapa emangnya? Ada kartun kesukaanlu? Spongebob? Robocar Poli? Tayo?"
"Gue gak ada waktu," ucapku lalu langsung berlari menuju unitku. Aku hampir lupa kalau waktuku tinggal beberapa detik lagi.
Sesampainya di unit, aku langsung menyerahkan 'senjata' untuk hari ini.
"Pisau dapur, tali tambang, lakban" ucap ibu sambil mengeluarkan barang itu dari plastik.
Asal kau tahu, aku selalu meminta plastik hitam pada Kak Anne. Memang aneh memakai plastik hitam dari minimarket. Tetapi aku mencari alasan agar tidak terlalu mencolok. Untungnya, minimarket itu menyediakan plastik hitam. Meski aku selalu membawa plastik polos di kantung celanaku一berjaga-jaga jika tidak ada plastik hitam.
Sebenarnya ayah dan ibu selalu menyuruhku untuk membeli di warung. Tetapi aku selalu membeli di minimarket. Alasannya adalah karena minimarket lebih ramai. Kemungkinan orang menyadari barang yang aku beli itu lebih tinggi. Mereka akan curiga, menanyaiku, menyelidiku, lalu mereka bisa membantuku menangkap kedua orang tuaku. Hahaha mimpi, Kyla.
Alasan selanjutnya adalah karena ada struk. Sekarang si pengamat struk adalah Ryan. Kak Anne juga harusnya bisa sadar. Terlebih lagi, ia selalu membaca struk belanjaan milik pembeli. Mengganggu privasi orang memang, tetapi entah kenapa, aku sangat membutuhkan seseorang yang seperti itu.
Jika orang tuaku mengetahui bahwa aku selalu membeli di minimarket, mereka tidak akan tinggal diam. Mungkin mereka akan menyiksaku lebih dari mencambuk. Karena itulah aku berusaha menggunakan plastik yang tidak memiliki merk minimarket.
"Ayah masih nunggu target. Kamu kerjain tugas dulu gih," ucap ibu.
"Iya," jawabku lalu masuk ke kamar.
¦¦20.00¦¦
"Kyla sini!" panggil ibu.
Aku pun melihat jam dinding lalu menghela napas. Ini waktu main ayah dan ibu. Aku keluar dari kamar dan melihat target yang masih hidup. Target kali ini adalah perempuan berumur sekitar dua puluh tahun. Ia tengah pingsan di lantai.
"Kamu duduk di situ ya," ucap ibu sambil menunjuk kursi kecil. Aku pun menurutinya.
"Pertama, ikat dulu tangan dan kakinya pakai tali tambang lalu lakban mulutnya," ucap ayah lalu melakukan apa yang ia katakan.
Mereka pun melakukan proses selanjutnya. Kalian pasti sudah tau pisau dapur untuk apa. Aku tidak berani melihatnya dengan langsung. Aku berusaha menutup mataku. Aku hanya bisa mendengar suara tusukannya. Lagipula ayah dan ibu sedang fokus dengan korban. Mereka tidak mungkin tahu jika aku menutup mata.
¦¦21.32¦¦
"Taruh di mana ya kali ini?" tanya ayah.
Mereka sudah selesai mengambil organ dalamnya. Jika kau melihat isi lemari pendinginku, kau tidak akan curiga sama sekali. Organnya dimasukkan ke kotak besi besar yang berisi es batu. Kotak itu ditempatkan di paling belakang. Di depannya banyak es krim dan makanan beku lainnya. Semua makanan itu hanya sebatas pajangan.
"Di sungai aja. Capek ngurusnya," jawab ayah lalu memasukkan jasad itu ke dalam karung.
Setelah itu mereka pergi keluar apartemen. Aku pun masuk ke kamar lalu melanjutkan mengerjakan tugas. Aku selalu berdoa agar ada saksi saat orang tuaku membuang jasadnya di sungai.
=====
23-06-2018
Maaf slow update lagi. Aku sih pengennya cepet-cepet tamatin ini. Gak enak ada beban huhu. Semoga aja otak encer terus ya hehehe. Thanks yang udah vomment. Kalian sumber kebahagiaanku gais /halah/
-Ines
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top