Lima

¦¦Senin, 18.40¦¦

Kyla's POV

"Hei, beli peralatan untuk hari ini!" perintah ayah sambil memberiku uang 'belanja'.

"Bukankah ayah selalu tepat waktu? Aku akan berangkat pukul 18.53 agar kembali tepat pukul tujuh," jawabku.

Ayah tertawa. "Pintar sekali anakku ini."

"Hari ini satu jam atau dua jam?" tanya ibu.

"Satu jam saja. Lalu, kita pikirkan taruh di mana mayatnya," jawab ayah.

"Apa ayah dan ibu tidak mau berhenti sebentar? Kalian bisa menunggu sampai beritanya mereda," ucapku.

"Diamlah dan dukung orang tuamu!" bentak ayah.

***

¦¦18.56¦¦

Aku baru saja sampai di minimarket. Kasirnya selalu wanita ini. Aku bosan melihat wajahnya. Tetapi, jika dipikir-pikir, ia membacakan apa yang aku beli waktu itu. Mungkin, suatu saat ia akan curiga dengan apa yang aku beli.

"Apa kau sudah tahu kasus pembunuhan berantai akhir-akhir ini?" tanya kasir itu sambil menyerahkan sekantung plastik belanjaan.

"Iya. Sangat menyeramkan," jawabku.

"Kau sebaiknya hati-hati. Hari sudah malam dan korbannya selalu perempuan," ucap kasir itu lagi.

"Eyy, kau menakutiku," jawabku.

Ia tersenyum. "Terima kasih, datang lagi. Hati-hati di jalan."

***

Aku baru saja keluar dari lift. Tepat sekali, di depanku ada seseorang yang sangat aku harapkan—Ryan.

Aku pun menjatuhkan struk belanjaannya lalu segera melewatinya. Aku harus cepat kembali ke unit karena aku harus sampai tepat waktu.

***

¦¦21.00¦¦

Drrrt... Drrrt...

"Oke. Alarm sudah berbunyi. Jam sudah tepat pukul sembilan," ucap ayah.

Aku yang hendak mengambil makanan dari kulkas, tiba-tiba terjatuh karena melihat kondisi korban mereka saat ini.

"A-ayah... ibu... kalian sungguh melakukan perbuatan sadis seperti ini?" tanyaku takut.

"Kamu kenapa, Kyla? Takut?" Ibu tertawa. "Suatu saat nanti juga kau akan melakukannya."

Aku benar-benar takut saat ini. Gadis yang ada di depanku, digores di semua bagian tubuhnya. Telapak tangan dan kakinya terlihat seperti sudah dihancurkan dengan palu. Aku bahkan tidak mengenali makhluk apa yang ada di hadapanku ini. Wajahnya sudah hancur, entah apa yang dilakukan oleh orang tuaku padanya.

Setiap orang tuaku membunuh seseorang, aku selalu ingin bersembunyi di kamar. Aku tidak mau melihat cara mereka memperlakukan korbannya. Dan bodohnya lagi, jika aku tidak menginginkannya, kenapa aku tidak menolong korban tersebut? Kenapa aku tidak menghentikan mereka melakukan perbuatan seperti itu?

"Kita taruh mana korban ini?" tanya ayah.

"Sepertinya semua tempat sudah tidak aman. Bagaimana jika kita buang lagi saja?" usul ibu.

"Hei, bagaimana jika taruh di rumah lama kita?" tanya ayah.

"Boleh juga. Kenapa kita tidak terpikirkan sejak dulu?"

"Rumah kita sudah tidak ada yang menghuni dan terletak di pedalaman. Polisi akan susah mencarinya," tambah ayah.

"Bukankah rumah kita memiliki basement?"

"Betul! Kita simpan saja di basement mulai sekarang."

Aku harus cepat menelpon polisi sebelum mereka membawa jasad itu pergi. Mereka belum mengambil organ dalam gadis itu. Mungkin polisi akan datang sebelum mereka melakukan operasi.

Aku segera masuk ke dalam kamarku dan menelpon polisi. Semoga polisi datang tepat waktu.

[Halo ada yang bisa dibantu?]

"Apartemen Thulla nomor 506. Ada pembunuhan di sini. Tolong cepat datang. Aku mohon..."

[Baiklah.]

Enam menit kemudian, pintu unitku diketuk. Setelah diketuk, pintu itu segera didobrak.

Ayah dan ibu yang sedang mengurusi jasad tersebut langsung keluar dari ruangannya.

"Kami mendapat laporan terjadi kasus pembunuhan di unit ini," ucap polisi.

"Pembunuhan?" tanya ibu bingung.

"Iya, apakah ada yang terbunuh?" tanya polisi yang lain.

"Maaf, Pak. Tidak ada pembunuhan di unit ini. Bapak harus mengganti rugi karena telah merusak pintu unit saya," jawab ibu.

"Kami benar-benar mendapat panggilan dari unit ini, Bu," ucap polisi lalu berjalan mengitari unit. "Biar saya periksa."

"Apakah... yang menelpon kalian adalah seorang gadis remaja?" tanya ayah.

"Betul, Pak."

Ayah menunduk. "Maaf, anak saya memang memiliki trauma sejak kecil. Karena trauma itu, ia mengalami penyakit jiwa. Ia sering berhalusinasi dan teringat kembali dengan tragedi saat ia kecil."

"Benarkah itu, Pak? Bu?"

"Iya, itu benar. Saya juga prihatin dengan keadaan anak saya. Polisi sering datang kemari karena panggilan darinya. Ia benar-benar trauma," jawab ibu.

"Coba panggilkan anak bapak dan ibu ke sini," pinta polisi.

"Kyla!" panggil ibu.

Aku mendengar semua percakapan mereka. Aku makin benci dengan orang tuaku. Mereka membuat cerita tentang diriku, membuatku menjadi kambing hitam.

Ini kesempatanku, polisi sudah ada di depan mataku. Aku harus memanfaatkan sebaik-baiknya.

Aku pun keluar dari kamar dan menghampiri para polisi.

"Pak, mohon jangan dengarkan orang tuaku... mereka adalah pembunuh. Sungguh, Pak. Saya tidak bo--"

"Kalian lihat kan, Pak? Penyakit anak saya memang serius," sela ayah.

Para polisi melihatku dengan tatapan kasihan.

Salah satu polisi pun menepuk pundakku. "Dik, kami tahu bagaimana terkejutnya adik saat kejadian dulu. Semoga trauma adik cepat hilang, ya."

"Pak... saya tidak punya trauma atau apapun itu! Tolong jangan percaya orang tua saya! Tolong tangkap mereka sekarang! Mereka adalah pembunuh beran--"

"Maaf atas keributan ini, Pak. Jika ada panggilan dari unit ini, jangan diterima lagi ya. Kami hidup di sini dengan aman dan tidak memiliki masalah apapun. Masalah kami hanyalah penyakit jiwa anak kami satu-satunya. Mohon pengertiannya, ya, Pak," sela ayah.

"Baiklah, kami permisi. Soal ganti rugi pintu unit bapak, akan saya urus."

"Tidak, Pak. Tidak perlu ganti rugi. Saya akan menggantinya sendiri. Hitung-hitung, ini permintaan maaf saya karena perbuatan anak saya," jawab ayah.

Ayah, ibu, tahukah seberapa besarnya rasa jijikku pada kalian berdua?

====

17-03-2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top